Senin, 22 Agustus 2011

SEPENGGAL KENANGAN BERSAMA DR. RUDI SATRIYO MUKANTARDJO


Minggu 19 Juni 2011, segenap civitas academica Fakultas Hukum Universitas Indonesia menangis. Seorang Dosen (saya lebih suka menyebutnya Maha Guru) yang sangat low profile menghembuskan nafas terakhirnya di RS. Mitra Keluarga Depok.  DR. Rudi Satriyo Mukantardjo telah lebih dahulu menghadap ke haribaan-Nyapada usia 54 tahun. Awan mendung itu terasa menggantung mulai dari kampus salemba yang penuh sejarah sampai ke kampus Depok yang penuh harapan.
Kenangan awal tentang Pak Rudi (demikian kami biasa memanggilnya), muncul ketika melihat nama beliau sebagai calon pengajar pada mata kuliah “Kebijakan Penanggulangan Kejahatan dan HAM” bersama Prof. Indriyanto Seno Adjie. Kenangan itu pada awalnya sangat menyesakkan dada. Betapa tidak, Pak Rudi adalah seorang yang seringkali mengkritisi institusi tempat kami bekerja (Kejaksaan). Ucapan-ucapannya yang tersebar di berbagai media sangat tajam dan tanpa kompromi menerabas berbagai persoalan di institusi kami. Nampaknya perkenalan pertama akan berlangsung dalam suasana tegang dan tidak menyenangkan.

Namun ternyata pertemuan pertama berbalik seratus delapan puluh derajat dari perkiraan kami semua. Pak Rudi orangnya sangat sederhana, low profile dan berusaha obyektif. Beliau memberikan pengantar kuliah yang menceritakan relasi dirinya dan institusi Kejaksaan. Setiap pendapat dan komentarnya senantiasa diletakkan dalam kerangka untuk mengembangkan institusi. Persoalan coba diletakkan sesuai dengan porsinya. Tidak ada kesan menjelek-jelekkan atau mengumbar kejelekan-kejelekan. Kalaupun itu kurang mengenakkan, tetap harus dipahami bahwa maksud dan tujuannya adalah untuk kebaikan dan keberhasilan tugas-tugas institusi. Semua berjalan seperti apa adanya.
Yah, semua berjalan seperti apa adanya sebagaimana prinsip hidup yang dipegang oleh Pak Rudi. Kami sempat terperangah ketika beliau memimpin kami melakukan kunjungan ke LP Sukamiskin Bandung, sebagai usaha melihat kondisi lembaga pemasyarakatan percontohan di Indonesia. Pak Rudi yang namanya besar di dunia hukum negeri ini, dengan santainya menunggu di pinggir jalan dekat pintu masuk tol cipularang dengan hanya ditemani sebuah ransel kecil di punggungnya. Sosok sederhananya demikian nyata terlihat ketika beliau meloncat mengejar bus yang berjalan pelan sebelum masuk tol. Ketenangan berpikirnya juga muncul ketika beliau menyadari kalau administrasi persuratan untuk kunjungan tersebut agak bermasalah. Beliau dengan tenang mempersilahkan kami menyelesaikan administrasi tersebut sembari membiarkan beliau menunggu di bus bersama sebagian teman lain. Satu yang tidak kami sadari, ternyata pada saat itu beliau sedang dalam kondisi sakit parah. Beliau berusaha menyembunyikan semua itu demi keberhasilan kunjungan kami ke LP Sukamiskin.
Beliau juga adalah orang yang selalu menepati janji. Selama perkuliahan, cuman sekali beliau terlambat masuk kelas. Itupun karena malamnya beliau harus begadang menunggui anaknya yang sedang sakit. Kami semua memakluminya dengan ikhlas, mengingat alasan itu sangatlah manusiawi sebagai perwujudan cinta seorang bapak pada anaknya.
Dengan olah pikir yang sangat cerdas, ditingkahi olah rasa yang sangat mencintai itulah, Pak Rudi berusaha membimbing kelas kami. Kesungguhan beliau coba kami ikuti dengan ketekunan dan semangat yang tinggi di kelas. Tidak heran, pada mata kuliah yang beliau asuh bersama Prof. Indriyanto, kami sekelas mendapat nilai A. Sebuah pencapaian yang tidak dapat diulangi dalam kuliah-kuliah lain di kampus yang sangat ketat ini.
Kebesaran nama Pak Rudi juga terlihat ketika jenazahnya disemayamkan di Fakultas Hukum UI-Depok pada Senin 20/6 pukul 08.00 WIB. Hampir seluruh keluarga besar Fakultas Hukum UI Depok hadir dan memberikan penghormatan terakhir. Mulai dari tokoh-tokoh senior seperti Prof. Jimly, Prof Yusril, Prof. Erman sampai ke dosen-dosen muda yang siap mencatat sejarah seperti Bu Eva Achjani, Pak. Ganjar, Pak Heru atau dari kalangan politisi seperti Lukman Hakim Syaefudin hingga advokat seperti Afrian Bondjol. Bahkan seorang kawan yang juga dosen di UII Jogja yaitu Ibu Aromah menyempatkan diri naik kereta malam dari Jogja demi untuk memberikan penghormatan terakhir kepada Pak Rudi.
Pak Rudi sesungguhnya bukan milik Fakultas Hukum UI lagi. Nama besarnya telah merasuk dalam setiap pembicaraan hukum pidana di negeri ini. Hampir tiada media yang luput menggoreskan namanya dalam khazanah pemberitaan. Hampir tiada pembahasan undang-undang pidana yang tidak menyertakan beliau. Beliau telah menjadi milik bangsa ini. Sudah sepatutnya Negara ini ikut kehilangan.
Selamat jalan Pak Rudi…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar