Senin, 19 Juni 2017

Tiga kali ikut Tes Potensi Akademik

Beberapa waktu lalu saya mengikuti tiga buah tes Potensi Akademik guna memenuhi hasrat melanjutkan studi. Tes yang pertama, sekitar akhir Tahun 2016 di sebuah kampus negeri di tanah Makassar. Tes kedua adalah tes PAPS yang diselenggarakan Fak. Psikologi UGM dan yang ketiga, penyelenggaranya adalah Bapennas kerjasama Pasca Sarjana UGM. Tes kedua dan ketiga dilakukan pada akhir Maret 2017 dan awal April 2017;

Seperti halnya kalau menjalani ujian sebelum-sebelumnya, saya selalu mengalami rasa inferior/ rendah diri. Saya berusaha hadir lebih pagi (saya senang hadir jauh lebih cepat), kemudian mengambil jarak agak jauh dari tempat tes karena tidak tahan mendengar diskusi dari para calon peserta. Peserta yang dengan semangat berdiskusi mengenai prediksi/asumsi soal yang akan keluar hanya akan membuat saya gagal fokus karena ekspektasi saya tentang kehebatan mereka (di daerah saya disebut “kejagoan”)

Di Makassar, saya hadir lebih pagi kemudian mencoba memetakan para peserta tes yang berkumpul di depan ruangan. Beberapa Kajari, Para Kasi, Rekan Jaksa di Badiklat atau beberapa kawan yang pernah sama-sama bertugas di suatu tempat adalah calon-calon saingan. Penyakit lama saya mulai kambuh. Saya begitu rendah diri, membayangkan posisi saya di tengah orang-orang yang saya belum kenal dan hanya pernah mendengar cerita-cerita tentang “kejagoan” mereka.

Rekan saya yang pernah kuliah bareng di Jakarta mencoba membesarkan jiwa saya, “santai saja bro, boleh jadi cerita-cerita kehebatan mereka banyak di bumbu-bumbui” Kita kerjakan saja seikhlasnya. Soal hasil terserah yang di atas.”

Ketika soal dibagikan, saya mulai merasakan beratnya tekanan itu. Soal yang sulit ditingkah waktu yang terbatas mengalihkan perhatian saya dari hal-hal lain. Saya tenggelam dalam soal. Agak rumit namun semua soal dapat saya selesaikan. Soal matematika yang sering menjadi momok bagi sebagian kalangan, saya kerjakan dengan cepat. Kadang-kadang saya membalik metodenya dari deduktif menjadi induktif. Saya diuntungkan model soal yang pilihan ganda sehingga hanya ada lima kemungkinan jawaban (soal jawaban terrentang dari a sampai e). Dengan cara membolak-balik model jawaban itu, saya berhasil menyelesaikan soal pada waktunya.

Setelah menunggu selama beberapa waktu, nilai jawaban dikeluarkan oleh pihak Badiklat Kejaksaan. Ajaibnya, nilai saya termasuk salah satu peringkat yang tinggi dari seluruh peserta. Karena tidak ada nilai yang ditunjukkan, saya Cuma mengira-ngira bahwa nilai tinggi itu karena saingannya nilai rendah dan sama sekali bukan karena “kepintaran”. Saya tidak habis pikir, sudah pasti ini keberuntungan atau orang jawa menyebutnya “bejo”.

Beralih ke tes PAPS yang diadakan di Jogja, saya juga merasakan hal yang sama. Rasa inferior dan ekspektasi meninggi karena para peserta adalah anak-anak muda yang jauh di bawah umur saya. Di sini tidak ada pembedaan antara calon peserta S2 ataupun S3.  Satu-satunya pembedaan hanya pada lembar jawaban yang mencantumkan kode 2  atau 3.

Kesulitan dalam mengerjakan soal relatif sama dengan di Makassar. Banyak bagian yang sulit bahkan sama sekali tidak paham meski juga banyak yang mudah dan tidak perlu pemikiran. Soal matematika juga tidak terlalu sulit meskipun selalu ada celah untuk menyederhanakan perhitungan. Satu-satunya  halangan berarti ketika menjawab adalah pada bulatan-bulatan jawaban yang harus dihitamkan. Bentuknya yang kecil lama-lama menjadi kabur karena pandangan mata tidak beralih ke tempat lain.

Seminggu kemudian muncul hasilnya, skor saya untuk kemampuan verbal adalah 583, kemampuan kualitatif 683 dan kemampuan penalaran adalah 600. Total keseluruhan skor adalah 656. Saya mensyukuri nilai ini karena di usia yang tidak muda lagi masih dapat melampaui angka 600. Menurut info kawan-kawan, skor yang diperlukan untuk mendaftar program S3 adalah 550.

Beralih Tes TPA yang dilakukan pihak Bapennas dan Pasca Sarjana UGM, saya ikut saja karena telah membayar meskipun nilai skor PAPS sudah dapat dipakai untuk mendaftar. Pada hari H, saya mencoba mengerjakan soal-soal yang diberikan. Ternyata soalnya luar biasa sulit. Saya memperkirakan soal-soal itu memiliki tingkat kesulitan yang dua kali lebih sulit ketimbang di Makassar dan PAPS. Soal Kemampuan Kualitatif atau matematika yang terdiri dari 90 soal hanya mampu saya kerjakan (benar-benar!) sekitar 30 soal. Sisanya lagi saya bulatin jawabannya tanpa melihat soal (hehehe).

Setelah selesai secara keseluruhan, saya menikmati nasi kotak yang disediakan panitia tanpa rasa enak sama sekali karena masih kesal, tidak puas dengan kemampuan saya mengerjakan soal. Saya melampiaskan kekesalan saya dengan menulis status di facebook dengan kata-kata dalam dialek manado, “...rasa-rasa mau picah ini kapala”. Dalam hati saya membatin, kemungkinan skor saya adalah 400-an, dan kalaupun dapat skor 500, itu sudah bagaikan mukjizat.

Hari ini nilai dikeluarkan oleh Pasca Sarjana UGM, dan ternyata skor kemampuan verbal saya adalah 69,68, kemampuan kualitatif 40,03 dan kemampuan penalaran adalah 67,86. Skor keseluruhan 592,50. What ?????? It’s absolutely miracle. Thanks to Allah, Alhamdulillah


Selamat datang kembali...Blogku

Beberapa bulan lalu, Blog ini sempat di hack orang.

Saya tidak mengerti alasan dibaliknya, karena blog ini hanya sekedar ruang untuk mengeluarkan pikiran yang sumpek berjubel dalam kepala

Sempat beberapa waktu saya tidak bisa menginput blog ini

Ada rasa sedih

Hari ini saya iseng-iseng membukanya dan ternyata blog ini telah kembali

Saya memaafkan anda yang telah meng-hack blog ini

Terima kasih telah mengembalikannya