Senin, 11 Februari 2013

Pelatih-pelatih top dalam kesebelasan KPK


Awalnya adalah status di BB Johan Budi, Juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi, “Pandawa tak lagi lima” pada minggu pertama Februari ini. Status itu menjustifikasi banyak hal. Isu perpecahan, ketidakcocokan bahkan  perseteruan kembali naik ke permukaan. Sebelumnya berkali-kali isu itu muncul meski selalu diredam oleh berbagai pihak terutama internal KPK yang menganggapnya hanya “sekedar” dinamika dalam suatu organisasi.

Berpijak pada berbagai hal, terutama interaksi saya dengan para komisioner KPK mulai dari latar belakang, sikap keseharian, pandangan dan wawasan masing-masing Komisioner KPK, saya akan mencoba memberikan ulasan sederhana dengan menukil watak dan strategi para pelatih sepakbola top dunia. Tentu saja ini sebatas analisis sederhana yang bisa salah dan bisa pula benar, tergantung pada sisi mana kita menilainya.

Pada posisi Ketua Umum bertengger Abraham Samad. Lelaki jebolan Universitas Hasanuddin dan sebuah kampus ternama di Malaysia ini sering kami panggil dengan sebutan Ompeng di makassar. Ompeng sepintas dapat disamakan dengan Louis Van Gaal, pelatih Timnas Belanda dan mantan pelatih Ajax dan Bayern Muenchen. Filosofi Bola van Gaal berasal dari  Rinus Michel yang menemukan konsep Total Football.  Konsep ini menempatkan lapangan sebagai panggung merekayasa berbagai strategi menyerang bagi semua aktornya. Sikap ini tercermin pada sikap van Gaal yang mementingkan penyerangan jauh lebih utama ketimbang pertahanan. “Tidak masalah seberapa banyak bola bersarang di gawang anda, anda hanya harus membuat gol lebih banyak ke gawang lawan”. Maka kemudian kita melihat  Tim Ajax era Seedorf, Davids dan Kluivert serta tim Muenchen dengan Scwainsteiger, Lahm dan Ballack menjadi talenta-talenta muda yang dengan dingin mengekspresikan sikap “penyerangan” itu.  

Abraham Samad datang dari latar belakang aktivis anti korupsi. Beliau tentu saja minim pengalaman dalam melakukan pemberkasan suatu perkara korupsi. Kelemahan ini berlaku umum meski disadari tidak berlaku secara keseluruhan. Demikian pula tim asuhan van Gaal. Klub yang pernah diasuhnya mengesampingkan berbagai strategi dan pola permainan. Dalam setiap pertandingan, lawanlah yang harus menyesuaikan diri berhadapan dengan tim asuhannya. Kelemahan tim dengan nafas demikian adalah pada rendahnya kualitas pertahanan dalam mengantisipasi serangan lawan. Ketika tim ini dipenuhi pemain muda, deru serangan itu sangatlah mematikan, namun ketika pemainnya mulai kelelahan dimakan usia, beban pekerjaan atau spirit yang kurang maka tim ini dengan mudah menjadi bulan-bulanan lawan.

Sosok kedua adalah Bambang Wijayanto  yang dapat disamakan dengan pelatih Real Madrid  Jose Mourinho. Bambang setipe dengan Mourinho, utamanya dalam melakukan perang urat syaraf yang menggemparkan pihak lain.  Masih ingat dengan wawancara Karni Ilyas pada awal tahun 2013 ? Serangannya pada institusi DPR, Kejaksaan dan Kepolisian bagaikan gertakan Mourinho pada lawan-lawannya. Meski demikian, Mourinho punya kelebihan membuktikan “mulut besarnya”. Ia adalah pelatih hebat yang membuat klub-klub yang diasuhnya meraih kemenangan demi kemenangan. Kelemahan Mou yang paling nampak adalah keenggananya untuk melunak. Ia tipe pelatih yang memegang setiap prinsipnya dengan sangat tegas dan tidak kenal kompromi bahkan walaupun keadaan mengharuskan kelembutan sikap.  Mourinho adalah pelatih yang menjunjung tinggi kesempurnaan. Ia menelaah segala sesuatu dengan detil termasuk tahapan-tahapan dalam setiap upaya pencapaian tujuan. Baginya, tidak ada prestasi yang dapat diraih dengan mengabaikan setiap anak tangga proses. Mou adalah orang yang pertama hadir di lapangan, membantu menyiapkan setiap program/peralatan latihan dan juga orang yang terakhir meninggalkan latihan.

Busyro Muqoddas adalah contoh transformasi yang sangat tepat dari seorang pelatih bernama Fabio Capello. Pada mulanya, Capello adalah seorang yang sangat konsisten memegang pola penyerangan dalam setiap pertandingan. Milan Glorie yang pernah berjaya di zaman Capello adalah kunci utama memenangi banyak gelar. Sikap ofensif dan trengginas adalah ciri khas anak binaan Don Fabio pada tahun 80-an dan 90-an. Demikian pula dengan Busyro. Masih ingat ketika Busyro menyerang “senayan” dengan istilah hedonis ? itu adalah salah satu varian pola penyerangan yang sangat mengagetkan dan membuat anggota dewan mencak-mencak sebagai hasil dari latar belakang akademisi yang cenderung independen. Tapi itu zaman dulu. Capello yang sekarang adalah Capello yang sangat lembut dan cenderung menjaga keseimbangan dalam bertahan. Bandingkan dengan timnas Inggeris ketika masih dibawa Capello. Gonta-ganti gelandang dan pemain bertahan dilakukan sedemikian sering demi untuk menemukan stabilisasi dengan Rooney di depan. Capello yang sekarang adalah Capello yang lembut dan penuh pertimbangan. Sifat ofensif, tegas dan “mematikan” beralih menjadi penuh pertimbangan dalam menaga stabilisasi permainan.

Zulqarnain dapat pula disamakan dengan pelatih MU Alex Fergusson.  Orang tua yang sangat tenang, mumpuni dan berperan membentuk generasi dalam persepakbolaan. Ilmunya tidak diragukan meski sebagian besar karirnya dihabiskan hanya dalam satu klub. Demikian pula dengan Zulkarnain, sebagian besar karirnya dihabiskan di institusi Kejaksaan. Namanya dalam Kejaksaan tidaklah menjadi pusat perhatian meski perlahan-lahan dan tanpa ribut-ribut bergerak mendekati sumbu kekuasaan. Fergusson adalah tipe pelatih yang percaya pada perubahan dengan sendirinya. Perubahan itu harus dilakukan secara gradual dan tidak boleh tergesa-gesa. Bagi Fergusson, prestasi akan hadir dengan sendirinya ketika sistem dan personil bergerak sejalan menciptakan lingkungan yang saling mendukung, tanpa kesan ramai ataupun diintervensi.

Komisioner terakhir adalah Adnan Pandu Praja yang dapai dibandingkan dengan Andre Villas Boas. Villas Boas adalah pelatih muda minim pengalaman yang pernah sukses bersama Porto sepeninggal era Mourinho.  Villas Boas adalah nama yang asing di telinga bahkan setelah memimpin Porto menjuarai UEFA Cup sampai tiba-tiba berpindah ke Chelsea. Namanya lalu menjadi familiar meski kemudian harus menuai kegagalan dalam meramu tim bertabur bintang di Chelsea. Villas Boas akhirnya berlabuh di Tottenham dan berupaya merajut kembali asa menuju tahta pelatih hebat.  Hal penting yang menjadi poin dalam kepelatihan Villas Boas adalah keinginannya untuk bersikap transparan dalam pengelolaan klub dan tidak menyukai campur tangan yang berlebihan dan terkesan intervensi dari pemilik klub.