Senin, 26 Maret 2012

Mengikis Ego Sektoral dalam Penegakan Hukum


DR. Abdul Malik Gismar 
Materi lain yang tidak kalah menarik dalam Diklat Manajemen Peradilan Pidana I di Jakarta Center for Law Enforcement Cooperation (JCLEC) Semarang tanggal 5 hingga 9 Maret 2012 adalah materi Psikologi dalam Sistem Peradilan Pidana. Materi tersebut dibawakan dengan sangat apik oleh DR. Abdul Malik Gismar, seorang akademisi dari Universitas Paramadina sekaligus penggiat organisasi “Kemitraan”.

Pada awal paparannya, DR. Abdul Malik Gismar menunjukkan bagaimana globalisasi dan perubahan zaman terus bergerak membawa dunia ke depan. Informasi dan komunikasi telah  melenyapkan sekat-sekat negara dan menyatukannya dalam suatu pandangan. Trend menuju peradaban yang lebih bermartabat juga sampai ke Indonesia. Pada tataran yang lebih kasat mata, dimana-mana mulai ditemukan antrian masyarakat di ruang-ruang publik. Sifat “antri” ini merupakan salah satu indikator sederhana bahwa masyarakat ingin lebih tertib dan menghindari budaya ketidakteraturan yang selama ini membudaya di negara kita.
Pemaparan yang menggabungkan antara metode visual (melalui video derap dunia yang semakin cepat), metode dialog dan game-game psikologi menjadi menarik dalam rangka membongkar kejumudan berpikir peserta. Kejumudan ini lalu digantikan dengan konsep-konsep baru yang lebih mengedepankan kebersamaan, kesatuan dan kesepahaman antar lembaga.

Pada konsep yang lebih integratif antar institusi penegakan hukum, sifat keteraturan itu harus menjadi salah satu katalisator dalam mengeratkan hubungan antar lembaga. Apa yang selama ini menjadi ego sektoral harus dikesampingkan dan diganti dengan hubungan saling kepercayaan. Tentu saja pola hubungan antar lembaga itu harus berubah dari hubungan yang independen menjadi hubungan yang interdependen. Saling membantu menjadi kata kunci karena keberhasilan setiap sub sistem peradilan pidana juga akan menjadi keberhasilan sub sistem lain.

DR. Abdul Malik Gismar mencoba mengajak berpikir “out of the box”. Dalam artian, beliau mengajak setiap penegak hukum keluar dari pola pikir yang selama ini dipakai, melalui upaya-upaya mengeratkan komunikasi dan mengesampingkan ego sektoral setiap institusi. Penekanan pada upaya membongkar Konsep ego sektoral ini karena tidak dapat dipungkiri masih menjadi bagian dari setiap lembaga meskipun keberadaannya seringkali dipungkiri.

Konsep ini juga bersesuaian dengan konsep pribadi dari Alfred Adler tentang tujuan final manusia. Ada 3 tahap dalam pemikiran Adler tentang tujuan final manusia, yakni: menjadi agresif, menjadi berkuasa, dan menjadi superior. Superior adalah perjuangan menuju ke arah kesempurnaan. Dari lahir sampai mati, perjuangan ke arah superioritas itu membawa sang pribadi ke satu tahap perkembangan ke perkembangan berikutnya yang lebih tinggi.
Eksistensi lembaga penegakan hukum di Indonesia, secara internal boleh jadi juga mengadopsi konsep Adler untuk menjadi superior. Hal itu tercermin dengan berusaha memperkuat kewenangan masing-masing sambil berusaha mengikis kewenangan lembaga lain. Upaya memperkuat kewenangan lembaga tersebut pada gilirannya bermuara pada menjadikan lembaganya sendiri sebagai pusat penegakan hukum sekaligus mengingkari keberagaman dan konsep pemisahan kekuasaan. Ini mengingatkan pada isi surat John Emerich Edward Dalberg Acton atau Lord Acton kepada Uskup Mandell Creighton di tahun 1887, “power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”.

Sebagai bahan perbandingan, DR. Abdul Malik Gismar memberikan jenis-jenis Egocentric yang dikutip dari buku Critical Thinking karya Richard Paul dan Linda Elder, khususnya pada bab Pathological Tendencies of the Human Mind, yaitu :

1.    Egocentric memory : kecenderungan alamiah untuk “melupakan” bukti dan informasi yang tidak mendukung pendapat dan “meningat” bukti dan informasi yang mendukung.
Cara mengoreksinya :
Dengan secara terbuka mencari bukti dan informasi yang tidak mendukung pendapat dan secara eksplisit mengarahkan perhatian pada bukti dan informasi tersebut.
Bila anda coba dan tidak menemukan bukti dan informasi seperti itu , asumsikanlah bahwa anda belum mencarinya secara benar.

2.    Egocentric myopia : kecenderungan alamiah untuk berpikir “absolut” dalam sudut pandang yang sangat sempit.
Cara mengoreksinya :
Secara rutin berpikir dengan sudut pandang yang bertentangan dengan sudut pandang kita
Bila anda tidak menemukan prasangka-prasangka pribadi dalam proses ini, pertanyakanlah apakah anda telah dengan jujur (in good faith) mencobanya

3.    Egocentric rightteousness : Kecenderungan alamiah untuk merasa lebih baik atau “superior” karena yakin benar, padahal tidak
Cara mengoreksinya :
Secara berkala mengingatkan diri mengenai betapa sedikit sebenarnya yang kita ketahui. Coba list/daftar pertanyaan-pertanyyan yang tak terjawab.
Bila daftar ini pendek, apalagi kosong, anda perlu meragukan cara anda bertanya.

4.    Egocentric hypocrisy : Kecenderungan alamiah untuk tidak menghiraukan inkosistensi—misalnya antara kata dan perbuatan; atau antara standar yang kita pakai untuk diri sendiri dengan yang kita terapkan  untuk orang lain.
Cara mengoreksinya :
Secara berkala membandingkan standar yang kita pakai untuk diri sendiri dengan yang kita terapkan untuk orang lain
Bila anda tidak menemukan inkosistensi dalam pikiran ataupun dalam perilaku anda, bertanyalah apakah anda sudah bertanya/menggalinya cukup dalam

5.    Egocentric simplification : Kecenderungan alamiah uintuk mengabaikan kompleksitas masalah dengan lebih memilih pandangan yang simplistik bila kompleksitas tadi mengharuskan untuk mengubah pendapat
Cara mengoreksinya :
Secara reguler memfokuskan pikiran pada kompleksitas masalah, secara eksplisit memformulasikannya dalam kata-kata
Bila anda tidak menemukan bahwa anda telah menyederhanakan banyak masalah penting, bertanyalah apakah anda telah benar-benar mengkonfrontasi diri anda dengan kompleksitas dalam masalah yang anda hadapi.

6.    Egocentric blindness : Kecenderungan alamiah untuk tidak memperhatikan fakta  dan bukti yang berlawanan dengan kepercayaan dan nilai-nilai kita
Cara mengoreksinya :
Secara eksplisit mencari fakta dan bukti tersebut. 
Bila anda tidak mendapati diri anda mengalami keresahan dalam mencari fakta dan bukti ini, maka anda perlu bertanya, apakah anda telah secara serius menanggapi fakta dan bukti ini
Bila anda dapati bahwa semua kepercayaan-kepercayaan anda benar sejak awalnya, maka mungkin anda telah secara canggih “mengelabui” diri anda sendiri.

7.    Egocentric immediacy : kecenderungan alamiah untuk “overgeneralize” perasaan dan pengalaman sesaat, sehingga pandangan sangat diwarnai olehnya.
Cara mengoreksinya :
Meletakkan hal-hal positif dan negatif yang kita dapati dalam perspektif yang lebih besar. Untuk yang negatif, ingatkan diri anda bahwa situasi bisa lebih buruk lagi; untuk yang positif, ingatkan bahwa masih banyak yang perlu anda capai.
Anda ‘OK” bila dalam situasi apapun masih memiliki energi untuk lanjut; anda tidak “OK”  dan menjadi korban emosi sesaat bila anda tak mampu melakukan apa-apa lagi (immobilized).

8.    Egocentric absurdity : kecenderungan alami untuk gagal melihat pemikiran yang telah memiliki konsekuensi “absurd”



Tentu saja kita boleh menerima ataupun menolak kedelapan macam Egocentric tersebut. Namun satu hal yang tidak boleh kita lupakan dalam membangun kerangka hubungan yang lebih baik antar setiap lembaga penegakan hukum adalah bekerja jujur, profesional dan proporsional. Sebagaimana bait sebuah lagu lawas, “jangan ada dusta diantara kita”. 

Senin, 19 Maret 2012

Pengelolaan Konflik antar Penegak Hukum


Pada tanggal 5 hingga 9 Maret 2012 kemarin, saya bersama sekitar 40 peserta lain mengikuti Diklat Manajemen Peradilan Pidana I di jakarta Center for Law Enforcement Cooperation (JCLEC) Semarang. Diklat tersebut terselenggara atas kerjasama pihak JCLEC, United Nations Offices on Drug and Crime (UNODC) dan Organisasi Kemitraan. Para pemateri  sengaja didatangkan dari dunia akademisi yang sangat paham dengan dinamika peradilan pidana ditinjau dari ilmunya masing-masing. Diklat yang diselenggarakan dengan peserta dari LBH, Kepolisian, KPK, Kejaksaan, Mahkamah Agung tersebut berupaya menekankan kerjasama dan koordinasi dalam penanganan perkara.

Berbagai materi menarik disajikan dalam diklat lima hari tersebut. Sistem Peradilan Pidana disajikan berdasar kaca mata sosiologi, psikologi, manajemen dan hukum pidana. Termasuk juga perbandingan dengan sistem peradilan pidana yang berlaku di salah satu negara eropa oleh seorang penegak hukum dari negara eropa tersebut.
Kerjasama dan koordinasi dianggap penting oleh penyelenggara atas dasar pemahaman bahwa banyak masalah yang terjadi di pengambilan kebijakan ataupun di tingkat lapangan terjadi karena keengganan, keseganan ataupun ego sektoral masing-masing institusi.

Dari sekian banyak materi yang disajikan (termasuk game-game hiburan yang menekankan kerja sama), materi yang saya anggap paling menarik adalah pandangan sosiologi tentang Peradilan Pidana. Materi ini dibawakan dengan sangat menarik oleh Dr. Bagong, seorang akademisi dari Universitas Airlangga Surabaya. Dengan pola andragogi yang tidak terkesan menggurui, Dr. Bagong (sering menyebut diri hanya sebagai Pak Bagong) menyajikan kisah-kisah konflik yang nyata terjadi di masyarakat. Dengan mengungkap hal-hal tersebut, beliau telah membongkar pemahaman yang selama ini menjadi basis tindakan para penegak hukum dalam melaksanakan tugas-tugasnya.

Pak Bagong memulai uraiannya dengan menyajikan bahwa teori harmonis yang selama ini menjadi cita-cita semua orang adalah teori yang tidak memiliki banyak referensi. Harmonisasi sesungguhnya tidak ada. Kalau harmonisasi dipahami sebagai ketiadaan konflik maka kata itu sebenarnya hanya hidup dalam dunia idee. Tidak ada satu unit masyarakat terkecilpun yang benar-benar harmonis. Oleh karenanya, keberhasilan dalam pengelolaan kehidupan masyarakat bukan karena  ketiadaan konflik melainkan karena kemampuan mengelola konflik.
Ajaran yang mengakomodasi konflik sebagai bagian dari kehidupan masyarakat banyak digunakan oleh Georg Simmel yang kemudian disempurnakan oleh Lewis A. Coser. Menurut Coser, konflik merupakan proses yang bersifat instrumental dalam membentuk dan memelihara struktur sosial. Konflik membentuk batas imajiner antara dua kelompok masyarakat. Ketika konflik terjadi, ia juga secara tidak langsung memperkuat identitas kelompok, mengeratkannya dan melindunginya agar tidak “ditelan” oleh kelompok masyarakat lainnya.

Agar konflik tidak membesar dan meledak, Coser menawarkan gagasan yang disebutnya sebagai safety valve atau katup penyelamat. Gagasan ini  adalah salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial. “Katup penyelamat” membiarkan luapan permusuhan tersalur tanpa menghancurkan seluruh struktur, konflik membantu “membersihkan suasana”  dalam kelompok yang sedang kacau. Coser melihat katup penyelamat berfungsi sebagai jalan ke luar yang meredakan permusuhan, yang tanpa itu hubungan- hubungan di antara pihak-pihak yang bertentangan akan semakin menajam

Pada tataran masyarakat yang lebih luas (Pak Bagong sering mengambil daerah Surabaya sebagai contoh), “Katup penyelamat” ini dapat berupa teriakan, umpatan/makian suatu kelompok pada kelompok lainnya atau bahkan dapat berupa memori kolektif yang dijaga sekedar sebagai basis tindakan. Dengan mengambil contoh kejadian di daerah “Kembang Jepun” yang relatif stabil, Pak Bagong menunjukkan bagaimana kohesivitas hubungan dibangun atas dasar perbedaan suku, agama ataupun ras. Perbedaan itu tidak sampai mengakibatkan kericuhan atau kerusuhan dikarenakan setiap kelompok menerima manfaat dari kohesivitas hubungan tersebut. Tujuan/manfaat yang diterima itu pada gilirannya menyatukan semua pihak untuk berinteraksi dan saling menerima meski terkadang terselip konflik sebagai “Katup penyelamat” yang menyalurkan energi negatif.

Pada konteks hubungan antara sesama penegak hukum, pengelolaan konflik antar setiap institusi harus dipandang sebagai upaya untuk menyelaraskan hubungan ke arah yang lebih baik.  Dengan mengakomodir tujuan sistem peradilan pidana sebagai keberhasilan semua kelompok maka setiap konflik akan dimaknai sebagai suatu pergeseran mencari titik keseimbangan yang lebih baik dalam mengapresiasi hubungan selanjutnya. Hubungan kemudian dibangun atas dasar komunikasi, saling memahami, memerlukan dan tidak cepat tersinggung terhadap sesuatu.

Dari sisi teori, sebagian besar konflik yang terjadi diantara para penegak hukum (saya berusaha menghindari penggunaan kata “aparat” karena menurut Prof. MR, dalam bahasa Rusia “aparat” adalah penegak hukum yang korup, buruk dan sewenang-wenang) adalah konflik yang disebabkan oleh  ancaman identitas, kesalahpahaman antar budaya dan transformasi. Ancaman identitas sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan disertai ketakutan bahwa kehilangan atau penderitaan itu akan terulang di masa datang. Kesalahpahaman antar budaya memahami bahwa konflik disebabkan oleh ketidak cocokan dalam cara-cara komunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda. Sedang transformasi berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi.

Pembahasan yang menarik dan sangat dekat dengan keseharian oleh Pak Bagong lalu ditutup oleh Pak Bambang Widjojanto pada bagian akhir diklat yang menekankan bahwa suatu hubungan yang baik tidaklah hanya karena dibangun atas dasar saling memberi dan menerima melainkan harus dengan memberi lebih banyak untuk memulai suatu hubungan sebelum kemudian secara bersama-sama menerima hasil lebih banyak, jauh dari yang telah dikeluarkan.

Jumat, 16 Maret 2012

Optimisme Asumsi Makro Ekonomi dan Indeks Persepsi Korupsi


Dalam pertemuan di gedung Bappenas tanggal 13 Februari 2012 yang membahas tentang Pertemuan pendahuluan berkaitan dengan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2013, dipaparkan asumsi-asumsi makro ekonomi proyeksi tahun 2012 dan 2013. Dalam asumsi-asumsi makro ekonomi tersebut dipaparkan mengenai pertumbuhan ekonomi 2012 sebesar 6,7 % (2013 diproyeksikan 7 %), Inflasi 5,3 % (2013 diproyeksikan 5 %) serta Rupiah di angka Rp. 8800 (2013 diproyeksikan 9000), tingkat pengangguran pada 6,4-6,6 (2013 diproyeksikan 6,0 – 6,3) serta angka kemiskinan 10,5 – 11,5 (2013 diproyeksikan 9,5 – 10,5).
Tanggal 13 Februari 2012, Presiden pada acara silaturahim dengan jurnalis Istana Kepresidenan di Istana Negara, masih sangat yakin akan mencapai pertumbuhan yang diproyeksikan pemerintah di angka 6,7 %. Proyeksi pertumbuhan ekonomi 2012 yang terkesan sangat berani dan optimis di tengah sisa-sisa krisis ekonomi eropa itu akhirnya direvisi sendiri oleh Bank Indonesia menjadi 6,5 %. Meskipun angka itu sebenarnya juga masih berada di atas angka proyeksi dari Bank Dunia yang mematok 6,3 % sebagai angka yang realistis.

Publik patut berbangga pada optimisme dan kesiapan pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, meskipun sesungguhnya jika dilihat persektor seuai Laporan BPS, pertumbuhan tertinggi terjadi pada pengangkutan dan komunikasi yang mampu tumbuh 10,7 persen. Tertinggi kedua pada pengangkutan dan komunikasi 10,7 persen. Kemudian perdagangan, hotel dan restoran 9,2 persen. Keuangan, real estat dan jasa perusahaan 6,8 persen. Sektor jasa-jasa dan konstruksi masing-masing 6,7 persen, industri pengolahan 6,2 persen. Kemudian listrik, gas dan air bersih 4,8 persen. Pertanian 3,0 persen serta pertambangan dan penggalian 1,4 persen.

Optimisme di bidang ekonomi tersebut ternyata juga menular ke bidang hukum, terutama yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi. Proyeksi yang dipaparkan melalui Indeks Persepsi Korupsi (IPK) juga semakin meningkat dari tahun ke tahun. IPK adalah suatu hasil dari Survei pengukuran korupsi yang dilaksanakan Transparency International (TI) mengenai tingkat kecenderungan terjadinya suap di beberapa institusi publik ataupun pemerintah daerah. Tahun 2010 angka IPK Indonesia adalah 2,8 dan menjadi 3,0 pada 2011. Angka IPK itu diproyeksi meningkat pada tahun 2012 menjadi 3,2 serta 4,0 pada 2013 hingga berujung di angka 5,0 pada tahun 2014 ketika masa pemerintahan Presiden SBY berakhir. Angka-angka itu lalu diperbandingkan dengan hasil pengukuran di negara-negara lain untuk menentukan posisi indonesia dalam kancah “perkorupsian” dunia. Menurut Transparency International (TI) dari 183 negara, pada 2011 Indonesia mengalami kenaikan skor 0,2 dibanding tahun 2010, dan menempati posisi 100 dengan skor sebesar 3,0. Angka ini di ASEAN lebih rendah dari Singapura yang memiliki skor CPI tertinggi dengan skor 9,2. Disusul Brunei Darussalam 5,2. Malaysia 4,3. Thailand 3,4. Posisi Indonesia masih lebih baik ketimbang Vietnam 2,9. Filipina 2,6. Laos 2,2. Kamboja 2,1. Myanmar 1,5.

Khusus pada angka IPK yang juga secara optimis diramalkan akan meningkat, publik rasanya harus memberi perhatian khusus terkait kinerja lembaga-lembaga pemerintahan dan KPK serta proyeksinya ke depan.
1.      Kejaksaan.
Menurut data yang dikeluarkan oleh ICW, pada tahun 2011, Kejaksaan RI telah menangani 332 perkara korupsi dengan kerugian negara sejumlah Rp. 1,133 Triliun. BPK memberikan pendapat berkaitan dengan penilaian terhadap Laporan Keuangan Kejaksaan RI tahun 2010 adalah Wajar Dengan Pengecualian. Pendapat BPK tersebut merupakan peningkatan setelah beberapa tahun sebelumnya mengeluarkan pendapat Disclaimer terhadap Kejaksaan.
2.      Kepolisian.
Menurut data yang dikeluarkan oleh ICW, pada tahun 2011, Kepolisian RI telah menangani 82 perkara korupsi dengan kerugian negara sejumlah Rp. 943,7 Miliar. Terhadap Laporan Keuangan Kepolisian tahun 2010, BPK memberikan pendapat berupa Wajar Tanpa Pengecualian dengan Paragraf Penjelasan.
3.      KPK.
Menurut data yang dikeluarkan oleh ICW, pada tahun 2011, KPK telah menangani 22 perkara korupsi dengan kerugian negara sejumlah Rp. 75,2 miliar. Terhadap Laporan Keuangan KPK tahun 2010, BPK memberikan pendapat berupa Wajar Tanpa Pengecualian seperti halnya beberapa tahun terakhir.

Tahun 2012 adalah tahun yang krusial bagi penegakan hukum. Pengalaman di akhir 2011 memberikan pelajaran tentang banyak hal. Kasus-kasus besar yang selama ini terpendam di bawah permukaan kehidupan masyarakat mulai terkuak. Sengketa pertanahan, sengketa pertambangan dan anarkisme dalam mengungkapkan pendapat akan banyak mewarnai proses penegakan hukum di tahun 2012. Kesiapan penegak hukum akan menjadi “key factor” bagi keberhasilan negara menangani masalah dalam penegakan hukum.

Berkaitan dengan kesiapan penegak hukum, pemberdayaan lembaga-lembaga konvensional mutlak dilakukan. KPK tidak bisa dipungkiri telah menjadi semacam “role model” dalam pemberantasan korupsi. Keberhasilan KPK dalam membentuk sistem internal dan pola hubungannya ke luar telah membangkitkan harapan akan lembaga penegak hukum yang lebih baik. Alangkah baiknya pula kalau model KPK ini ditularkan pada lembaga-lembaga hukum konvensional, baik dari segi sistem, kewenangan ataupun personilnya.

Demikian pula dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Pemerintah masih berkutat sebagai “pemadam kebakaran” yang hanya hadir ketika “api” telah membesar. Pemerintah belum sampai pada tahap bagaimana membangun mekanisme pencegahan “kebakaran” yang akurat. Sistem yang akurat akan mampu mencegah orang berbuat kejahatan. Sistem menutup “kesempatan” sebagai salah satu inti dari suatu pelaksanaan kejahatan selain “niat”. Oleh karenanya, tanpa suatu “road map” pemberantasan korupsi yang jelas, integratif dan komprehensif, pemerintah hanya akan berjalan di tempat.
  

Kamis, 15 Maret 2012

Tindak Pidana Pencucian Uang pada Putusan Majelis Hakim Kasus Hakim (non aktif) Syarifuddin


foto : tribunnews.com
Hakim (non aktif) Syarifuddin telah divonis penjara selama 4 tahun dan denda Rp150 juta subsidair empat bulan penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor. Meski putusan itu lebih ringan 16 tahun dari tuntutan Penuntut Umum, putusan itu tetap merupakan produk hukum yang harus dihormati bersama.
Tulisan kali ini tidak bermaksud untuk mempersoalkan kesenjangan antara tuntutan dan putusan, melainkan mencoba membahas pertimbangan hakim yang terserak pada berbagai media massa, khususnya pada bagian yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang. Tentu saja pertimbangan hakim harus dibaca melalui suatu putusan yang utuh. Namun sekedar sebagai materi pembelajaran, tidak salah juga kiranya kalau uraian yang hadir lewat media massa dijadikan sebagai bahan kajian.

Pada portal berita online “inilah.com” tertanggal 28 Februari 2012 disebutkan :
Selain itu, majelis hakim menyatakan uang dalam bentuk mata uang asing yang turut disita dari rumah Syarifuddin ketika digeledah KPK senilai Rp2 miliar dikembalikan kepada terdakwa. Majelis hakim beralasan soal itu itu tidak dimasukkan dalam surat dakwaan oleh penuntut umum sehingga tidak ada kewajiban terdakwa untuk melakukan pembuktian terbalik atas asal muasal uang tersebut.
Atas vonis ini, penuntut umum menyayangkan karena majelis hakim tidak memerintahkan pembuktian terbalik. Menurut penuntut umum, penggunaan pasal 38 UU Pemberantasan Korupsi soal pembuktian terbalik tidak perlu dimaksukan dalam surat dakwaan karena hukum acara mengatur seperti itu.
Pada tanggal yang sama, Republika.co.id memberitakan :
Tidak adanya dakwaan pencucian uang terhadap terdakwa perkara korupsi hakim Syarifudin Umar dinilai menjadi penyebab ditolaknya permohonan pembuktian terbalik dari Jaksa Penuntut Umum. Ketua Kelompok Regulasi Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan, Fitriadi, mengungkapkan seharusnya jaksa memasukkan pencucian uang dalam dakwaan.
"Ketentuannnya untuk bisa dibuktikan terbalik, dakwaan harus masuk. Tetapi tidak ada dalam dakwaan, ini kan lucu,"ujar Fitriadi saat dihubungi, Selasa (28/2). 
Jika dikenakan pencucian uang, ungkapnya, Pasal 77 Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menjelaskan bahwa pembuktian terbalik merupakan kewajiban terdakwa. Menurut dia, terdakwa harus menjelaskan bahwa harta kekayaan itu tidak terkait dengan perkara yang disangkakan.
Demikian pula kanal berita Vivanews.com pada 28 Februari 2012 :
Dalam dakwaan, penuntut umum hanya mendakwakan perihal uang Rp250 juta. Adapun yang tidak didakwakan maka barang bukti dikembalikan kepada terdakwa,” kata Hakim Anggota Ugo di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Selasa 28 Februari 2012.
Majelis Hakim mengatakan, pembuktian terbalik terhadap mata uang asing yang ditemukan KPK di rumah terdakwa tidak tercantum dalam dakwaan. Sementara untuk melakukan pembuktian terbalik sebagaimana pasal 38 Undang-undang Tipikor, Hakim berpendapat perihal mata uang asing itu harus masuk dalam dakwaan.
“Maka hal-hal yang di luar dakwaan, tidak dapat dipertimbangkan majelis hakim,” ujar Hakim Ugo. Hakim memerintahkan hal-hal yang tidak berhubungan dengan dakwaan dikembalikan kepada terdakwa.

Dari ketiga majalah berita online tersebut dapat ditarik intisari yang serupa yaitu :
1.    Dalam penggeledahan di rumah terdakwa, ditemukan barang bukti berupa uang dalam bentuk mata uang asing yang ditaksir bernilai sekitar 2 Milyar Rupiah;
2.    Penuntut Umum tidak memasukkan dalam surat dakwaan perihal barang bukti berupa uang dalam bentuk mata uang asing yang ditaksir bernilai sekitar 2 Milyar Rupiah.
3.    Oleh karena Penuntut Umum tidak memasukkan perihal barang bukti berupa uang dalam bentuk mata uang asing yang ditaksir bernilai sekitar 2 Milyar Rupiah dalam surat dakwaan maka Majelis Hakim tidak mengizinkan adanya upaya pembalikan beban pembuktian yang diusulkan Penuntut Umum.
4.    Majelis Hakim memutuskan untuk mengembalikan barang bukti berupa uang dalam bentuk mata uang asing yang ditaksir bernilai sekitar 2 Milyar Rupiah kepada terdakwa dengan alasan bahwa hal-hal yang diluar dakwaan, tidak dapat dipertimbangkan Majelis Hakim.

Dasar dari suatu pemeriksaan di persidangan adalah surat dakwaan. Ini mengesampingkan pendapat yang menyatakan bahwa dasar pemeriksaan adalah berkas perkara. Dalam suatu urut-urutan penggunaan dokumen pada tahap pra penuntutan maka berkas perkara adalah dasar dari penyusunan surat dakwaan. Penuntut Umum dapat mengesampingkan beberapa fakta yang termuat dalam berkas perkara apabila menurutnya fakta tersebut tidak berkaitan dengan pembuktian perkara ketika menyusun surat dakwaan. Meskipun demikian, suatu surat dakwaan yang dibuat dengan tidak berlandaskan pada perbuatan materil sebagaimana terurai dalam berkas perkara dari penyidik, dapat dibatalkan oleh Hakim.
Kembali pada putusan perkara Hakim (non aktif) Syarifuddin, nampak bahwa Majelis Hakim yang menangani perkara tersebut berpendapat bahwa Penuntut Umum harus memasukkan perihal barang bukti berupa uang dalam bentuk mata uang asing yang ditaksir bernilai sekitar 2 Milyar Rupiah tersebut ke dalam Surat Dakwaan. Persoalannya, kalau benar harus masuk, perihal barang bukti tersebut harus dinarasikan dimana dan bagaimana ? Mengikuti alur berpikir Majelis Hakim seperti ini, menurut saya paling tidak terdapat dua kemungkinan yang dapat dilakukan, yaitu :
1.    Perihal Barang bukti tersebut masuk ke dalam penguraian tentang pelanggaran terhadap UU Pencucian Uang. Terhadap hal ini, Penuntut Umum harus memastikan penyidik telah melengkapi berkas perkara dengan menambahkan pasal-pasal tentang pencucian uang. Artinya, bentuk dakwaan berubah menjadi kombinasi dengan penambahan secara kumulatif dakwaan tentang pencucian uang, diluar dakwaan tentang tindak pidana korupsi. Dengan komposisi dakwaan seperti ini, Majelis Hakim tidak memiliki alasan untuk menolak permintaan Penuntut Umum yang menghendaki adanya pembalikan beban pembuktian dalam persidangan.
2.    Narasi tentang Perihal Barang bukti dapat dimasukkan dalam uraian perbuatan tentang tindak pidana korupsi. Ketika Penuntut Umum dalam bagian akhir dakwaannya menguraikan tentang proses penangkapan terdakwa, dapat disisipkan narasi mengenai ditemukan adanya sejumlah barang yang tidak jelas asal-usulnya di rumah terdakwa apakah berkaitan dengan perkara ini atau tidak. Dengan menyisipkan uraian tentang asal-usul barang bukti, dalam proses persidangan, Penuntut Umum dapat meminta adanya pembalikan beban pembuktian agar keberadaan barang bukti tersebut menjadi jelas. Ketidakmampuan terdakwa menjelaskan asal-usul barang bukti tersebut dapat dianggap sebagai kebenaran materiil yang memberi peluang pada Majelis Hakim agar memutuskan status barang bukti menjadi harta milik negara. Upaya ini sebenarnya “gambling” karena belum tentu Majelis Hakim menyetujui adanya upaya pembalikan beban pembuktian.

Terlepas dari kemungkinan-kemungkinan tersebut, Majelis Hakim seharusnya dapat bertindak lebih arif dengan berupaya sekeras mungkin menggali kebenaran materiil dan tidak membiarkan proses-proses formil “membajak” hal-hal yang sifatnya materiil. Dengan mengungkap setiap fakta yang lahir di persidangan, Majelis Hakim memiliki referensi yang banyak tentang bagaimana sikap dan keseharian terdakwa. Referensi itu pada gilirannya akan berguna untuk mengetahui apakah perbuatan pidana telah terjadi dan membangun keyakinan bahwa terdakwa adalah pelaku dari tindak pidana tersebut.