Senin, 26 Maret 2012

Mengikis Ego Sektoral dalam Penegakan Hukum


DR. Abdul Malik Gismar 
Materi lain yang tidak kalah menarik dalam Diklat Manajemen Peradilan Pidana I di Jakarta Center for Law Enforcement Cooperation (JCLEC) Semarang tanggal 5 hingga 9 Maret 2012 adalah materi Psikologi dalam Sistem Peradilan Pidana. Materi tersebut dibawakan dengan sangat apik oleh DR. Abdul Malik Gismar, seorang akademisi dari Universitas Paramadina sekaligus penggiat organisasi “Kemitraan”.

Pada awal paparannya, DR. Abdul Malik Gismar menunjukkan bagaimana globalisasi dan perubahan zaman terus bergerak membawa dunia ke depan. Informasi dan komunikasi telah  melenyapkan sekat-sekat negara dan menyatukannya dalam suatu pandangan. Trend menuju peradaban yang lebih bermartabat juga sampai ke Indonesia. Pada tataran yang lebih kasat mata, dimana-mana mulai ditemukan antrian masyarakat di ruang-ruang publik. Sifat “antri” ini merupakan salah satu indikator sederhana bahwa masyarakat ingin lebih tertib dan menghindari budaya ketidakteraturan yang selama ini membudaya di negara kita.
Pemaparan yang menggabungkan antara metode visual (melalui video derap dunia yang semakin cepat), metode dialog dan game-game psikologi menjadi menarik dalam rangka membongkar kejumudan berpikir peserta. Kejumudan ini lalu digantikan dengan konsep-konsep baru yang lebih mengedepankan kebersamaan, kesatuan dan kesepahaman antar lembaga.

Pada konsep yang lebih integratif antar institusi penegakan hukum, sifat keteraturan itu harus menjadi salah satu katalisator dalam mengeratkan hubungan antar lembaga. Apa yang selama ini menjadi ego sektoral harus dikesampingkan dan diganti dengan hubungan saling kepercayaan. Tentu saja pola hubungan antar lembaga itu harus berubah dari hubungan yang independen menjadi hubungan yang interdependen. Saling membantu menjadi kata kunci karena keberhasilan setiap sub sistem peradilan pidana juga akan menjadi keberhasilan sub sistem lain.

DR. Abdul Malik Gismar mencoba mengajak berpikir “out of the box”. Dalam artian, beliau mengajak setiap penegak hukum keluar dari pola pikir yang selama ini dipakai, melalui upaya-upaya mengeratkan komunikasi dan mengesampingkan ego sektoral setiap institusi. Penekanan pada upaya membongkar Konsep ego sektoral ini karena tidak dapat dipungkiri masih menjadi bagian dari setiap lembaga meskipun keberadaannya seringkali dipungkiri.

Konsep ini juga bersesuaian dengan konsep pribadi dari Alfred Adler tentang tujuan final manusia. Ada 3 tahap dalam pemikiran Adler tentang tujuan final manusia, yakni: menjadi agresif, menjadi berkuasa, dan menjadi superior. Superior adalah perjuangan menuju ke arah kesempurnaan. Dari lahir sampai mati, perjuangan ke arah superioritas itu membawa sang pribadi ke satu tahap perkembangan ke perkembangan berikutnya yang lebih tinggi.
Eksistensi lembaga penegakan hukum di Indonesia, secara internal boleh jadi juga mengadopsi konsep Adler untuk menjadi superior. Hal itu tercermin dengan berusaha memperkuat kewenangan masing-masing sambil berusaha mengikis kewenangan lembaga lain. Upaya memperkuat kewenangan lembaga tersebut pada gilirannya bermuara pada menjadikan lembaganya sendiri sebagai pusat penegakan hukum sekaligus mengingkari keberagaman dan konsep pemisahan kekuasaan. Ini mengingatkan pada isi surat John Emerich Edward Dalberg Acton atau Lord Acton kepada Uskup Mandell Creighton di tahun 1887, “power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”.

Sebagai bahan perbandingan, DR. Abdul Malik Gismar memberikan jenis-jenis Egocentric yang dikutip dari buku Critical Thinking karya Richard Paul dan Linda Elder, khususnya pada bab Pathological Tendencies of the Human Mind, yaitu :

1.    Egocentric memory : kecenderungan alamiah untuk “melupakan” bukti dan informasi yang tidak mendukung pendapat dan “meningat” bukti dan informasi yang mendukung.
Cara mengoreksinya :
Dengan secara terbuka mencari bukti dan informasi yang tidak mendukung pendapat dan secara eksplisit mengarahkan perhatian pada bukti dan informasi tersebut.
Bila anda coba dan tidak menemukan bukti dan informasi seperti itu , asumsikanlah bahwa anda belum mencarinya secara benar.

2.    Egocentric myopia : kecenderungan alamiah untuk berpikir “absolut” dalam sudut pandang yang sangat sempit.
Cara mengoreksinya :
Secara rutin berpikir dengan sudut pandang yang bertentangan dengan sudut pandang kita
Bila anda tidak menemukan prasangka-prasangka pribadi dalam proses ini, pertanyakanlah apakah anda telah dengan jujur (in good faith) mencobanya

3.    Egocentric rightteousness : Kecenderungan alamiah untuk merasa lebih baik atau “superior” karena yakin benar, padahal tidak
Cara mengoreksinya :
Secara berkala mengingatkan diri mengenai betapa sedikit sebenarnya yang kita ketahui. Coba list/daftar pertanyaan-pertanyyan yang tak terjawab.
Bila daftar ini pendek, apalagi kosong, anda perlu meragukan cara anda bertanya.

4.    Egocentric hypocrisy : Kecenderungan alamiah untuk tidak menghiraukan inkosistensi—misalnya antara kata dan perbuatan; atau antara standar yang kita pakai untuk diri sendiri dengan yang kita terapkan  untuk orang lain.
Cara mengoreksinya :
Secara berkala membandingkan standar yang kita pakai untuk diri sendiri dengan yang kita terapkan untuk orang lain
Bila anda tidak menemukan inkosistensi dalam pikiran ataupun dalam perilaku anda, bertanyalah apakah anda sudah bertanya/menggalinya cukup dalam

5.    Egocentric simplification : Kecenderungan alamiah uintuk mengabaikan kompleksitas masalah dengan lebih memilih pandangan yang simplistik bila kompleksitas tadi mengharuskan untuk mengubah pendapat
Cara mengoreksinya :
Secara reguler memfokuskan pikiran pada kompleksitas masalah, secara eksplisit memformulasikannya dalam kata-kata
Bila anda tidak menemukan bahwa anda telah menyederhanakan banyak masalah penting, bertanyalah apakah anda telah benar-benar mengkonfrontasi diri anda dengan kompleksitas dalam masalah yang anda hadapi.

6.    Egocentric blindness : Kecenderungan alamiah untuk tidak memperhatikan fakta  dan bukti yang berlawanan dengan kepercayaan dan nilai-nilai kita
Cara mengoreksinya :
Secara eksplisit mencari fakta dan bukti tersebut. 
Bila anda tidak mendapati diri anda mengalami keresahan dalam mencari fakta dan bukti ini, maka anda perlu bertanya, apakah anda telah secara serius menanggapi fakta dan bukti ini
Bila anda dapati bahwa semua kepercayaan-kepercayaan anda benar sejak awalnya, maka mungkin anda telah secara canggih “mengelabui” diri anda sendiri.

7.    Egocentric immediacy : kecenderungan alamiah untuk “overgeneralize” perasaan dan pengalaman sesaat, sehingga pandangan sangat diwarnai olehnya.
Cara mengoreksinya :
Meletakkan hal-hal positif dan negatif yang kita dapati dalam perspektif yang lebih besar. Untuk yang negatif, ingatkan diri anda bahwa situasi bisa lebih buruk lagi; untuk yang positif, ingatkan bahwa masih banyak yang perlu anda capai.
Anda ‘OK” bila dalam situasi apapun masih memiliki energi untuk lanjut; anda tidak “OK”  dan menjadi korban emosi sesaat bila anda tak mampu melakukan apa-apa lagi (immobilized).

8.    Egocentric absurdity : kecenderungan alami untuk gagal melihat pemikiran yang telah memiliki konsekuensi “absurd”



Tentu saja kita boleh menerima ataupun menolak kedelapan macam Egocentric tersebut. Namun satu hal yang tidak boleh kita lupakan dalam membangun kerangka hubungan yang lebih baik antar setiap lembaga penegakan hukum adalah bekerja jujur, profesional dan proporsional. Sebagaimana bait sebuah lagu lawas, “jangan ada dusta diantara kita”. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar