Minggu, 10 November 2013

Keterangan Ahli Tidak Mengikat Putusan Hakim ?

Dewasa ini berkembang pemahaman baru di kalangan para penegak hukum yang
foto : surabaya.bpk.go.id
berkecimpung di dunia peradilan dalam kaitannya dengan keterangan ahli. Pemahaman konvensional selama ini, keterangan ahli sebagaimana Pasal 1 angka 28 KUHAP adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Sedangkan pemahaman baru yang saya maksud adalah bahwa keterangan ahli bersifat lentur sehingga dapat dibentuk sesuka hati sesuai keinginan pihak pemesan (Penasihat Hukum ataupun Penuntut Umum).
Pemahaman itu diperoleh bukan berdasarkan analisis teori yang rumit ataupun doktrin yang lahir di tengah perjalanan hukum kita. Pemahaman itu muncul lebih pada pengalaman-pengalaman yang lazim dijumpai di ruang sidang.
Perdebatan dalam menilai keterangan ahli antara Penuntut Umum dan Penasihat Hukum yang sering muncul di ruang sidang dapat dibedakan atas dua hal :
1)    Perdebatan mengenai kapasitas keahlian seorang ahli
Masalah pertama yang segera tampak ketika seorang ahli duduk di depan persidangan berkaitan dengan latar belakang atau kompetensi seorang ahli.
“Keahlian khusus” sebagaimana Pasal 1 angka 28 KUHAP dimaknai sebagian kalangan, dapat lahir dari dua hal. Yang pertama lahir dari latar belakang akademik atau pendidikan formal /informal yang pernah dijalani. Sedangkan yang kedua datang dari pengalaman atau kemampuan melaksanakan suatu pekerjaan dalam rentang waktu yang lama sehingga person yang bersangkutan paham dan memiliki “keahlian khusus.
Dalam prakteknya, seorang ahli yang datang dari kalangan terdidik secara akademik hampir tidak pernah dipersoalkan kapasitas keilmuannya. Padahal semua orang juga paham bahwa latar belakang pendidikan tidak selalu berkorelasi positif dengan kapabilitas seseorang tentang sesuatu hal. Apalagi, pada masa ketika dunia keilmuan semakin terpesialisasi dalam wilayah-wilayah yang lebih sempit, hampir susah mencari seorang generalis yang pemahamannya terhadap suatu persoalan bersifat komprehensif dan dapat dipertanggungjawabkan.
Hal tersebut berbeda dengan “ahli” yang hadir melalui pengalaman melaksanakan pekerjaan yang selalu menjadi tema penting perdebatan. Sebagian perangkat persidangan bahkan cenderung melecehkan melalui gaya bahasa/pertanyaan terhadap seorang ahli yang hanya berlatar belakang tamatan SMA atau sekolah kejuruan;

2)    Perdebatan mengenai materi keterangan ahli
Substansi keterangan ahli sesungguhnya berada di wilayah ini. Perdebatan yang terjadi seharusnya berada pada tataran metode penarikan kesimpulan dan bukan pada hasil. Metode sebenarnya dapat didekati melalui suatu SOP (standar operating procedure) sehingga akurasi pelaksanaannya mendapat imbangan berupa parameter yang jelas. Dalam praktek, pada bagian ini, orang seringkali mempersoalkan masalah hasil. Dengan mempersoalkan hasil, peserta sidang sebenarnya sedang bergerak di luar domain yang dipahaminya.

Kedua hal tersebut menurut Arthur Best sebagaimana dikutip Eddy OS Hiariej (2012) dapat ditambahkan dengan jenis keterangan dan berkaitan dengan corak kesaksian. Jenis keterangan ini berkaitan dengan pengetahuan atau penelitian atau observasi yang dilakukan ahli di luar pengadilan. Dedangkan corak kesaksian berkaitan dengan pendapat atau kesimpulan topik yang dijelaskan dengan pembatasan untuk menyatakan secara eksplisit apakah terdakwa yang sedang diproses bersalah telah melakukan suatu kejahatan.
Bagaimana seharusnya pendapat hakim apabila dalam persidangan bertemu dengan seorang ahli yang memberikan pendapat berdasarkan keahlian dan pengetahuannya ?
Terhadap keterangan ahli ini, dalam pengalaman saya, masih terdapat dua sikap yang biasa ditunjukkan Hakim terutama dalam kaitannya dengan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Yang pertama, Hakim berpendapat bahwa keterangan ahli tidak mengikat bagi majelis Hakim dalam menentukan putusan atau pertimbangan putusan. Kelompok Majelis hakim ini berpandangan bahwa Hakim tidak dapat diintervensi oleh siapapun ketika membuat putusan.  Kelompok yang pertama ini adalah kelompok mayoritas dalam dunia peradilan. Banyak majelis Hakim yang memandang bahwa banyak ahli yang dalam memberikan keterangan bersikap tidak netral. Ini sebenarnya merupakan imbas dari perdebatan lama yang belum selesai dalam dunia filsafat ilmu tentang apakah suatu ilmu bebas nilai/kepentingan. Sistem keilmuan kita memang selalu menempatkan para pencarinya pada posisi untuk bebas menjatuhkan pilihan. Tidak ada kebenaran tunggal dalam setiap konklusi sehingga setiap jawaban selalu membuka kemungkinan adanya jawaban-jawaban lain yang juga benar.
Menurut Hari Sasangka dan Lily Rosita (2003),kekuatan alat bukti berupa keterangan ahli bersifat bebas, karena tidak mengikat seorang hakim untuk memakainya apabila bertentangan dengan keyakinannya. Guna keterangan ahli di persidangan merupakan alat bantu bagi hakim untuk menemukan kebenaran dan hakim bebas mempergunakan sebagai pendapatnya sendiri atau tidak. Apabila bersesuaian dengan kenyataan yang lain di persidangan, keterangan ahli diambil sebagai pendapat hakim sendiri. Jika keterangan ahli tersebut bertentangan bisa saja dikesampingkan oleh hakim. Namun yang perlu diingat bahwa apabila keterangan ahli dikesampingkan harus berdasar alasan yang jelas. Karena hakim masih mempunyai wewenang untu meminta penelitian ulang bila memang diperlukan.
Kelompok kedua adalah hakim yang memiliki pandangan lebih moderat dengan mengakui bahwa keterangan ahli bersifat mengikat sepanjang ada kondisi atau syarat tertentu. Syarat atau kondisi yang dimaksud biasanya berkaitan dengan relevansi atau kompetensi ahli yang memberikan keterangan dibandingkan dengan latar belakang pengalaman atau akademik majelis Hakim yang bersangkutan.
Prof. Dr. Surya jaya, SH. MHum yang pernah mengajar mata kuliah hukum pidana ketika saya masih duduk di bangku kuliah strata 1 adalah penganut kelompok kedua. Beliau  berpendapat bahwa Hakim dapat saja mengenyampingkan keterangan ahli sepanjang keterangan tersebut tidak relevan ataukah merupakan bidang kompetensi dari Hakim yang memeriksa perkara.  Sebaliknya dapat menjadi imperatif manakala keterangan ahli tersebut bersifat menentukan, misalnya keterangan ahli pemeriksaan sidik jari, forensik atau balistik tidak dapat dikesampingkan. Oleh karena itu keterangan ahli dalam perkara a quo tidak dapat dikesampingkan berhubung sangat urgen dan bersifat guna menentukan siapa pelaku sesungguhnya. Bahwa konsekwensi hukum yang ditimbulkan dengan tidak digunakannya keterangan ahli balistik dan forensik oleh Judex Facti, merupakan suatu kekeliruan karena telah mengesampingkan tujuan dari pemeriksaan perkara pidana untuk mencapai kebenaran materiil atau kebenaran yang sesungguhnya. Tujuannya adalah untuk menghindari terjadi peradilan sesat (menghukum orang yang tidak bersalah) (Dissenting opinion dalam putusan MA pada kasus Antasari Azhar).

 Sleman, 10 November 2013