Senin, 16 Juli 2012

Lembaga Penegak Hukum Ad hoc dalam Sorotan


Hoegeng, Lopa, Suprapto dan Oemar Seno Adjie
Hari ini (16/7) Kejaksaan Agung mengadakan seminar "Eksistensi Lembaga Penegak Hukum ad hoc ditinjau dari Sistem Peradilan Pidana," yang dirangkaikan dengan peluncuran buku : Prof. Dr. Baharuddin Lopa, SH: "Pendekar Hukum dan Keadilan Indonesia" bertempat di Hotel Bidakara Jakarta Selatan. Ada dua hal terpisah yang menjadi menarik berkaitan dengan seminar dan peluncuran buku tersebut. Pertama adalah Kejaksaan Agung mulai “gerah” dengan sepak terjang lembaga ad hoc yang mulai menunjukkan pengaruh dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Sedangkan yang kedua adalah adanya “krisis” tokoh panutan dalam lingkaran penegak hukum khususnya Kejaksaan RI.

1. Eksistensi lembaga penegak hukum ad hoc.

Keberadaan lembaga-lembaga penegak hukum di Indonesia seperti Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH), Komisi Yudisial (KY), Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Komisi Kejaksaan (KK) atau Ombudsman RI (ORI) didasarkan secara yuridis pada aturan perundang-undangan yang berbeda. Kalau KPK didasarkan pada UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dan KY dengan UU No. 18 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial serta UU No. 37 tahun 2008 tentang Ombudsman RI, maka Satgas PMH, Kompolnas serta KK didasarkan pada Keputusan atau Peraturan Presiden. Satgas PMH dengan Keppres 37/2009, Kompolnas dengan Peraturan Presiden No. 17 Tahun 2011 serta KK melalui Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2011.

Dari dasar hukum tersebut terlihat kegamangan Pemerintah dalam membentuk lembaga-lembaga ad hoc sekaligus membuktikan betapa tidak jelasnya desain institusi sebagai benteng utama penegakan hukum. Diantara beberapa lembaga hukum ad hoc tersebut, hanya Satgas Pemberantasan Mafia Hukum yang tidak diperpanjang lagi dan dilebur ke dalam Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4).

Keberadaan lembaga-lembaga hukum ad hoc tersebut ternyata mendapat tempat di hati masyarakat sehingga diakui atau tidak semakin memperburuk citra lembaga-lembaga konvensional yang lebih dulu lahir. Dalam beberapa hal, sepak terjang lembaga-lembaga ad hoc tersebut bersentuhan dengan tugas dan kewenangan lembaga-lembaga konvensional sehingga melahirkan persepsi yang berbeda pada masyarakat. Ambil contoh ketika kasus Bibit-Chandra menghiasi pemberitaan di media massa. Lembaga Konvensional (Kepolisian-Kejaksaan) masih terjebak pada logika-logika hukum normatif untuk menyelesaikan persoalan sedangkan Tim 8 bentukan Presiden bersikukuh menggunakan logika sosio yuridis untuk menghadapinya. Ternyata masyarakat lebih memilih model pendekatan sosio yuridis yang digunakan Tim 8 untuk menyelesaikan persoalan. Dukungan publik itu masih diperparah oleh ketidakkonsistenan Kejaksaan yang lebih dulu memilih menggunakan Surat Keterangan Penghentian Penuntutan (SKPP) sebelum kemudian menggunakan Hak Deponeering (istilah yang tepat seharusnya Seponeering). Rentetan kasus itu semakin menenggelamkan citra lembaga konvensional di mata publik.

“Perseteruan” lembaga konvesional dengan lembaga ad hoc juga nampak dari sepak terjang KPK dibandingkan dengan lembaga Kepolisian-Kejaksaan. Dari sisi Laporan Keuangan, selama beberapa tahun berturut-turut, KPK selalu mendapatkan predikat Wajar Tanpa Pengecualian. Bandingkan dengan lembaga konvensional sejenis yang selalu mendapatkan predikat disclaimer dan baru tahun terakhir ini mendapatkan Wajar Dengan Pengecualian. Belum lagi kalau dilihat dari sisi sepak terjang penanganan kasus. Lembaga-lembaga ad hoc yang selama ini terpelihara citra dan integritasnya di mata publik selalu terkesan garang dimata media dan mendapat apresiasi positif. Sementara lembaga-lembaga konvensional pada posisi yang sama malah mendapat nilai sebelah mata. Kesan yang muncul adalah kalau KPK yang melakukan pemeriksaan, saksi atau tersangka sudah dicitrakan bersalah oleh publik, sebaliknya kalau diperiksa oleh Polisi dan Jaksa, saksi dan tersangka itu dikesankan sedang dizalimi oleh Polisi-Jaksa.

Sayangnya, kebijakan lembaga konvensional selama ini cenderung menganggap lembaga ad hoc sebagai “saingan” dalam pengertian yang negatif sehingga kebijakan yang muncul adalah Politik kontestasi dan bukan kebijakan keterpaduan. Dalam Politik Kontestasi, secara internal ditanamkan sugesti bahwa “mereka” berbeda dengan “kita”, bahwa “kita” lebih bersih daripada “mereka”,  bahwa sumber daya dan teknologi “kita lebih maju dari “mereka”, bahwa penangkapan anggota “kita” oleh “mereka” bukan karena kesalahan melainkan oleh penjebakan dan kesan mencari-cari alasan. Sedangkan secara eksternal bisa berwujud penanganan kasus oleh “kita” hanya untuk melindungi kepentingan “kita” sendiri.

Pemerintah juga punya andil besar dalam memupuk Politik Kontestasi berkembang dan menyeruak di tengah-tengah lembaga penegak hukum. Pemerintah menyediakan insentif berbeda terhadap hal yang sama. Penyidik dan Jaksa di lembaga konvensional mungkin saja melakukan pekerjaan dengan tingkat kesulitan yang sama. Bahkan dalam beberapa hal resiko yang dihadapi lebih besar. Namun pola kesejahteraan yang diperlakukan tetap saja berbeda. Seorang Penyidik dengan pangkat Ipda atau Jaksa dengan pangkat III/a bergaji kurang dari lima juta rupiah. Bandingkan dengan pangkat yang sama di KPK dapat membawa pulang gaji (take home pay) di atas lima belas juta rupiah. Belum lagi dari sisi kewenangan. KPK tidak terikat dengan rahasia Bank, izin pemeriksaan/penahanan pejabat bahkan berhak memeriksa siapapun tanpa kecuali. Secara bertahap, pola kesejahteraan dan kewenangan yang sama juga harus mulai diberikan pada lembaga-lembaga konvensional agar perbandingan institusi yang dilakukan masyarakat mengesankan perbandingan apple to apple dan tidak sekedar apple to banana.

Politik kontestasi seperti itu harus segera diakhiri, baik oleh Pemerintah maupun oleh lembaga konvensional dan ad hoc itu sendiri. Penting untuk dipahami bahwa musuh bersama adalah korupsi, bukan sesama lembaga pemberantas korupsi. Energi untuk “fight” sesama lembaga penegak hukum harus diarahkan pada pemberantasan tindak pidana secara terintegrasi dan saling mendukung.

2.  Krisis tokoh panutan

Ketiadaan tokoh yang dapat menjadi teladan bagi institusi penegak hukum di negeri ini bukan hanya monopoli suatu institusi tertentu. Kepolisian, Kejaksaan ataupun Peradilan mengalami krisis tokoh yang dapat diteladani. Sampai saat ini di Kepolisian hanya mantan Kapolri Hoegeng Imam Santoso yang ramai diperbincangkan dan dibahas. Demikian pula di Kejaksaan, profil mantan Jaksa Agung yang selalu diwariskan keteladanannya secara turun-temurun hanya mantan Jaksa Agung Suprapto dan Baharuddin Lopa. Demikian pula di Mahkamah Agung yang relatif sering dibahas hanya Prof. Oemar Seno Adjie.

Jalinan kisah tokoh-tokoh yang menjadi panutan itu dipintal oleh benang yang sama. Kesederhanaan, keteguhan pendirian menolak intervensi dan pembenahan institusi tanpa kompromi adalah hal-hal yang menjadi kenangan abadi. Para tokoh itu tidak silau oleh limpahan harta atau godaan nafsu hedonis lainnya. Bahkan pada konteks yang lebih dalam, mereka juga tidak tergiur oleh kekuasaan. Para tokoh itu lebih memilih mewariskan nama besar sebagai ladang pengabdian ketimbang gunungan harta dan sederet jabatan.

Krisis tokoh seperti ini mengindikasikan kerinduan masyarakat pada sosok-sosok penegak hukum yang berintegritas. Masyarakat sudah jenuh dengan sajian drama yang diulas media tentang berbagai permainan kongkalikong antara penegak hukum dengan para pencari keadilan. Sementara di lain sisi, masyarakat belum menemukan tokoh sekaliber mereka yang gigih dan konsen pada upaya penegakan hukum.

Krisis tokoh teladan ini sebenarnya menyisakan lubang dalam sejarah penegakan hukum negeri. Upaya untuk menunjukkan jati diri sebagai tokoh yang bisa dijadikan panutan juga terbuka bagi setiap pelaku penegak hukum. Kesempatan harus dimanfaatkan sebaik mungkin oleh para penegak hukum. Keteladanan itu harus resisten dengan sikap hedonis ataupun penghambaan terhadap kekuasaan. Bahkan juga harus dibarengi dengan keberanian yang selalu siap menjadi martir demi nama baik institusi yang terinternalisasi menjadi falsafah hidup. Kalau nilai-nilai itu kemudian mengkristal dalam diri seorang hamba hukum maka bolehlah kita berharap lahirnya Hoegeng muda, Suprapto muda, Lopa muda atau Oemar Seno Adjie muda.


Selasa, 10 Juli 2012

Pembantaran : Keseriusan atau Akal-Akalan Penyidik ?


Pada semua tingkatan penanganan perkara, penegak hukum seringkali melakukan penahanan. Penahanan tersebut dilaksanakan karena adanya keadaan-keadaan sebagaimana termaktub dalam Pasal 21 KUHAP : “Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana”. Syarat ini kemudian dikenal sebagai syarat subyektif. Syarat ini mengandung makna sebagai pertimbangan penegak hukum yang dilihat berdasarkan cara pandang dan subyektifitas semata-mata. Syarat ini sebenarnya sangat tidak adil dilihat dari sisi tersangka atau terdakwa karena tidak memberikan tempat atau ruang pembelaan bagi tersangka/terdakwa yang tidak menghendaki proses penahanan.
Dalam suatu proses penahanan, tidak dapat dihindari adanya kondisi-kondisi tertentu pada kesehatan tersangka/terdakwa yang mengharuskan adanya suatu tindakan pengobatan medis di dalam maupun di luar rumah tahanan. Anehnya, KUHAP tidak memberikan pengaturan secara tegas tentang hal ini. Pengaturan yang berkaitan dengan kepentingan medis hanya ada di Pasal 58 KUHAP : “Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan baik yang ada hubungannya dengan proses perkara maupun tidak”.
Tidak adanya satu klausul yang berkaitan dengan pembantaran penahanan dalam KUHAP membuat instansi penegak hukum harus berkreasi sendiri dengan memasukkannya dalam aturan perundang-undangan di institusinya masing-masing. Dari Mahkamah Agung kemudian lahir Surat Edaran (SEMA) No. 1 Tahun 1989 tentang Pembantaran (Stuiting) Tenggang Waktu Penahanan bagi Terdakwa yang dirawat Nginap di Rumah Sakit di Luar Rumah Tahanan Negara atas Izin Instansi yang Berwenang Menahan.
Pada angka 3 SEMA No. 1 Tahun 1989 disebutkan bahwa “Pada hakikatnya apabila terdakwa karena sakit yang dideritanya benar-benar memerlukan perawatan-nginap di rumah sakit, ia dalam keadaan tidak ditahanpun akan menjalani perawatan yang sama. Hal ini berarti bahwa bagi terdakwa yang benar-benar sakit, tidak ada tujuan tertentu yang dihubungkan dengan perhitungan tenggang waktu penahanan yang secara ketat diatur dalam KUHAP, kecuali sebagai suatu hal terpaksa dijalani yang  bisa berakibat hilangnya suatu hak, kesempatan dan sebagainya”.  Serta angka 5 yang menyebutkan “dengan demikian berarti bahwa setiap perawatan yang menginap di rumah sakit di luar Rumah Tahanan Negara atas izin instansi yang  berwenang menahan, tenggang waktu penahanannya dibantar (gestuit), pembantaran mana dihitung sejak tanggal terdakwa secara nyata dirawat-nginap di rumah sakit yang dapat dibuktikan dengan surat keterangan dari Kepala Rumah Sakit di tempat mana terdakwa dirawat”.
Dari SEMA tersebut dapat ditarik benang merah bahwa setiap pembantaran yang mensyaratkan tersangka/terdakwa harus dirawat inap di rumah sakit, dikecualikan dari perhitungan masa penahanan. Masa Penahanan baru dapat diperhitungkan kembali ketika tersangka/terdakwa tersebut telah mengakhiri masa perawatan yang ditandai dengan adanya surat keterangan dokter.
Pihak Kepolisian sebagai pihak yang paling sering bersentuhan dengan hal ini juga memiliki payung hukum berupa Peraturan kapolri Nomor : 12 Tahun 2009 tanggal 30 Oktober 2009, khususnya pada Paragraf 7  tentang Pembantaran Penahanan, Pasal 92 dan 93, yang pada intinya menyebut bahwa Dalam hal tahanan yang karena kondisi kesehatannya membutuhkan perawatan yang intensif dan/atau rawat inap di rumah sakit, dapat dilakukan pembantaran.
Selama ini, proses tersebut tidak menjadi masalah dilapangan. Beberapa masalah kecil yang hadir dilapangan dapat diselesaikan dengan pendekatan kebersamaan antara penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim dan Rutan/Lapas) dan pihak terkait seperti Rumah sakit dan Dokter. Beberapa masalah birokrasi administrasi biasanya diselesaikan dengan saling percaya antar penegak hukum agar tahanan yang sakit tidak harus menunggu prosedur yang berbelit-belit sebelum ke rumah sakit. Demikian pula soal penjagaan, pengawalan atau pemantauan selama di rumah sakit yang melibatkan para penegak hukum dan pihak Dokter/Rumah sakit.
Masyarakat ataupun para ahli hukum sesungguhnya tidak menyadari bahwa persoalan pembantaran ini sangat rentan disalahgunakan oleh penegak hukum. Kasus terakhir yang menghentak semua pihak adalah adanya seorang tersangka yang telah sembuh dari sakit (menurut keterangan dokter pribadinya) namun oleh penegak hukum masih terus dibantarkan dengan dasar surat keterangan sakit dari dokter Rumah Sakit Polri.
Memahami persoalan demikian, harus didahului pemahaman adanya persoalan waktu yang membatasi setiap bentuk penahanan. Dalam konteks Penahanan di tingkat penyidikan, seorang tersangka maksimal dapat ditahan selama 120 hari (20 hari oleh penyidik, 40 hari oleh penuntut umum, dan 30 hari yang dapat diperpanjang 30 hari kembali oleh Hakim, vide Pasal 24 dan 29 KUHAP).
Pada biasanya, seorang tersangka yang telah menjalani penahanan selama 120 hari akan segera bebas demi hukum dari penahanan. Selama ini tidak ada masalah berkaitan dengan hal itu. Persoalan baru muncul ketika Penyidik dan Penuntut Umum tidak menemukan kesepakatan dalam melengkapi berkas perkara. Apa yang menjadi kehendak penuntut umum seringkali tidak sesuai dengan kehendak penyidik dalam melengkapi pembuktian. Akhirnya berkas bolak-balik antara penyidik dan penuntut umum. Berkas demikian tentu saja akan mempengaruhi proses penahanan. Bagi tersangka yang memiliki kemampuan untuk melarikan diri, menghilangkan barang bukti/alat bukti atau mengulangi tindak pidana tentu saja akan sangat riskan bila harus dilepaskan kembali ke masyarakat. Polisi biasanya terjebak antara melepaskan pelaku (karena batas waktu penahanan telah dilampaui) atau mempertahankan pelaku (dengan alasan perkara akan segera dinyatakan lengkap oleh Penuntut Umum). Dalam kondisi demikian, penegak hukum yang kebingungan mudah saja melakukan perbuatan yang melampaui kewenangannya antara lain dengan merekayasa catatan rekam medis pelaku bekerjasama dengan Dokter.
Tentu saja semua pihak paham bahwa dalam ilmu pasti kedokteran seringkali terjadi banyak ketidakpastian. Seorang pasien dengan tekanan darah tinggi dapat dinilai berbeda oleh lebih dari seorang dokter terkait dapat tidaknya diajukan ke depan persidangan sebagai tersangka. Menilai suatu catatan kesehatan sangat rentan “dibaca” secara berbeda oleh para petugas medis. Dalam konteks itu, menggiring suatu catatan rekam medis ke arah yang dikehendaki penegak hukum sangat mungkin dilakukan.
Ketakutan Polisi melepaskan orang-orang yang telah mencapai batas maksimal penahanan, biasanya didasari oleh dua hal :
1.       Polisi merasa sangat kesulitan ketika melakukan proses penangkapan karena yang bersangkutan memiliki semacam “power” untuk merintangi upaya penangkapan itu
2.       Polisi telah “main mata” dengan keluarga korban agar pelaku mendapat hukuman yang berat
Bentrok Blowfish, Foto : Kompas
Tentu saja kedua hal itu itu tidak diharapkan terjadi pada Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kalau saja Polisi merasa kesulitan dalam melakukan penangkapan terhadap seseorang, itu menandakan bahwa Kepolisian telah membiarkan seseorang atau suatu pihak berposisi di atas hukum. Tindakan itu sangat fatal karena satu-satunya pihak yang bersifat supra atas hukum hanya negara. Itupun dilakukan atas dasar aturan yang dibuatnya sendiri. Jadi kalau ada orang lain yang mencoba menyaingi negara maka orang tersebut diposisikan sebagai “melawan” negara dan harus dikenakan tindakan kuratif yudisial secara terukur.
Sebaliknya kalau ada penegak hukum yang “main mata” dengan keluarga korban agar mempersulit posisi pelaku atau mengarahkan pelaku mendapat hukuman yang berat maka hal itu merupakan lonceng kematian penegak hukum. Tidak boleh ada suatu proses peradilan yang bergerak di atas rel perasaan atau emosi sekelompok orang. Peradilan harus berada di atas rel kebenaran dan keadilan. Apa yang benar dan salah harus terkatakan dengan sendirinya melalui serangkaian fakta yang dapat dibuktikan di depan sidang. Peradilan harus menghukum pihak yang bersalah walau pada sisi yang lain juga harus “tega” membebaskan orang yang tidak bersalah.

Selasa, 03 Juli 2012

Konflik dan Rusuh di Euro 2012


foto-foto : REUTER

Pagelaran Piala Eropa 2012 di Polandia-Ukraina menyisakan sejumlah persoalan mendasar yang harus segera disikapi oleh para pejabat pemerintah dan otoritas sepak bola eropa, khususnya yang berkaitan dengan kerusuhan oleh suporter. Kerusuhan di Piala Eropa 2012 boleh jadi adalah kerusuhan yang variatif dari segi kuantitas dan kualitas. Mulai dari bentrok sesama suporter, suporter melawan aparat keamanan, penemuan simbol-simbol neo nazi, rasisme hingga perusakan fasilitas publik. Orang lain mungkin dengan gampang berdalih bahwa kerusuhan suporter adalah suatu faktor pengiring dari hingar bingar sepakbola manapun. Mungkin juga dengan kalimat bahwa kerusuhan bisa terjadi kapanpun dalam jagat sepak bola, tanpa direkayasa atau dikehendaki.

Namun, persoalannya tidak sesederhana itu. Di Eropa, benua yang konon dianggap sebagai benuanya orang terpelajar, melakukan suatu kekerasan atau kejahatan adalah sesuatu yang dianggap diluar kebiasaan. Apalagi kalau kejahatan itu dilakukan terhadap pemerintah sebagai simbol-simbol negara. Bahkan yang tidak kalah mengenaskan, kejahatan itu dilakukan untuk dan atas nama sesuatu yang dikenal sebagai sejarah kelam eropa (holocaust). Berbagai persoalan itu memantik rasa ingin tahu tentang apa yang sedang terjadi di belahan benua biru tersebut dan bagaimana menjelaskan persoalan itu dari sisi hukum dan ketertiban masyarakat (law and order).

Menariknya, kekerasan yang terjadi selama Euro 2012 selalu terjadi  ketika suporter sedang berada berkumpul dalam jumlah besar (massa).  Dalam kondisi demikian sebenarnya berlakulah apa yang disebut sebagai mentalitas kerumunan (crowd mentality).  Menurut James B. Rule, kekerasan sebagai produk irasional adalah kondisi tercerabutnya perilaku dari tatanan normatif yang sering terjadi dalam situasi kerumunan. Situasi kerumunan melahirkan mentalitas kerumunan (crowd mentality) yang mendorong para individu di dalamnya berperilaku liar hewaniah, tanpa kendali dan merebaknya isu-isu yang tidak jelas dalam kerumunan (Novri Susan, 2012). Mentalitas kerumunan memaksa orang untuk berbuat “nekat” dan mengabaikan nilai-nilai pengikat ketertiban (norma). Dalam kondisi demikian, massa menanggalkan norma kepantasan, kesusilaan, agama ataupun hukum. Secara psikoligi, orang-orang akan menggunakan pemikiran yang dicirikan oleh semangat keberanian yang bersesuaian dengan politik identitas.

Identitas merupakan pendefinisian terhadap diri dan kelompok yang direpresentasikan melalui beragam bahasa simbolis seperti pakaian, kesenian, kata-kata, nama dan bendera yang selalu dimaknai adiluhung. Bahasa simbolis tersebut memiliki sifat dasar sosial dalam bentuk ingin diakui (recognized) dan sekaligus dipertahankan (defended). Franke Wilmer dalam The Social Construction of Man, State and War menyebut sifat-sifat bahasa simbolis dari identitas tersebutlah yang mampu menciptakan kerentanan konflik (conflict vulnerability). Pada kondisi yang mana berbagai sifat bahasa simbolis identitas beredar, berbagai kelompok dan sistem sosial seharusnya mampu mengakomodasi secara kreatif jika tidak ingin terjebak pada konflik kekerasan (Novri Susan, 2012).

Euro 2012 merupakan wadah pertemuan berbagai kelompok masyarakat yang berusaha meneguhkan identitas negara atau kelompok. Peneguhan identitas tersebut pada gilirannya akan berimpitan dengan kelompok lain yang juga ingin menegaskan kepentingan diri. Dalam kondisi demikian, pertikaian hampir mungkin terjadi sehingga langkah yang paling dapat dilakukan oleh pihak berkepentingan (negara/pemerintah setempat) bukanlah memisahkan tempat setiap kelompok (walaupun hal ini juga dimungkinkan) melainkan dengan mengarahkan bahasa-bahasa simbol tersebut agar berada dalam keadaan sejajar dan tidak dalam kondisi berlawanan. Pada posisi sejajar, bahasa-bahasa simbol tersebut akan berkolaborasi, saling meneguhkan dan saling mempererat posisi. Bahasa yang digunakan adalah bahasa persatuan, bahasa sepak bola dan bahasa kemenangan bersama. Sebaliknya kalau bahasa-bahasa simbol tersebut diposisikan saling berhadapan maka yang akan terjadi adalah pola “pertandingan”, kontestasi, menang-kalah dan saling meniadakan. Pada titik itu maka konflik akan mengemuka, membesar dan boleh jadi akan melibatkan banyak pihak.

Sosialisasi kemudian menjadi kata kunci yang memegang peranan penting. Pemberitahuan sedini mungkin prosedur penanganan konflik terhadap para suporter akan menciptakan perkiraan-perkiraan terhadap sejauh mana langkah yang akan diambil. Pemberitahuan itu juga akan mengeliminir sikap protes atau pembangkangan terhadap perlakuan penegak hukum.

Pola kuratif yang dikembangkan oleh negara sebagai padanan pola preventif biasanya berwujud tindakan represif. Dengan tindakan represif, para pelaku dipaksa untuk mengakui monopoli penggunaan upaya paksa oleh negara. Oleh karenanya, kita menyaksikan adanya penangkapan, deportasi ataupun penahanan terhadap pelaku-pelaku kekerasan. Penegakan hukum pidana itu juga diimbangi oleh prosedur beracara yang cepat dan tidak berbelit-belit. Mekanisme deportasi, pencekalan atau penangkapan yang berujung pengadilan biasanya dilakukan dengan hanya berdasar kesaksian penegak hukum atau rekaman video. Dengan alat bukti minimal, putusan dapat segera dijatuhkan sehingga penegak hukum dapat segera mengalihkan energinya untuk mengurusi hal-hal lain yang tidak kalah pentingnya.

Dari sisi aturan sepak bola, komite etik UEFA yang bersidang biasanya segera menjatuhkan sanksi berupa denda kepada lembaga sepakbola negara asal pelaku. Bahkan pada tingkat hukuman yang lebih berat, negara asal pelaku mendapat hukuman pengurangan poin pada kompetisi UEFA. Disini, suporter diberi pelajaran bahwa kesalahan yang mereka lakukan dapat berimbas pada tiadanya kesempatan untuk melihat tim kesayangannya tampil pada kompetisi UEFA selanjutnya. Ini merupakan pukulan berat bagi para suporter. Dengan tindakan ini diharapkan agar kompetisi sport itu menjadi kompetisi yang sportif dan tereliminasi dari nilai-nilai konflik.
  

Jumat, 29 Juni 2012

Nenek Loeana, in absensia dan Keadilan yang Tertunda



foto : inilah.com/Dewa Putu Sumerta
Seorang nenek renta bernama Loeana Kanginnadhi (77) yang kini sakit keras, lumpuh dan masih di rawat di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar mencuri perhatian publik tanah air ketika hadir di persidangan PN Denpasar, Selasa 26 Juni 2012 sambil tetap berada di atas kasur kereta dorong. Penuntut Umum menolak bahwa pihaknya yang memaksakan Nenek Loeana hadir di persidangan sambil menunjuk pihak Penasihat Hukum yang melakukannya. Persidangan makin kompleks dengan hadirnya dua surat keterangan dokter yang isinya bertolak belakang serta dalih Pengacara Penggugat (Loeana adalah tergugat dalam kasus perdata) yang menuding adanya upaya memperlambat persidangan demi tujuan merugikan kliennya.

Kehadiran Nenek Loeana di persidangan pidana PN Denpasar menghangatkan kembali perdebatan di kalangan para ahli maupun pemerhati hukum tentang wajib tidaknya kehadiran seorang terdakwa di ruang persidangan. Aturan beracara pidana tidak menyebut secara tegas perihal tersebut sehingga kemudian menimbulkan banyak penafsiran dengan alasan-alasan yuridis yang logis.

Ketidakhadiran terdakwa dalam pemeriksaan yang seringkali disebut sebagai in absensia atau in absentia. Istilah ini berasal dari bahasa latin yang berarti “dengan ketidakhadiran”. Pertama kali merasuk dalam sistem perundang-undangan negara melalui Penetapan Presiden No. 11 Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, khususnya Pasal 11 ayat (1), “Apabila terdakwa setelah dua kali berturut-turut dipanggil secara sah tidak hadir di sidang, maka pengadilan berwenang mengadilinya di luar kehadirannya (in absensia)”. Secara terminologi, istilah ini diberi atribut makna oleh Abdurrahman Saleh (2008) sebagai konsep di mana terdakwa telah dipanggil secara sah dan tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang sah, sehingga pengadilan melaksanakan pemeriksaan di pengadilan tanpa kehadiran terdakwa.

Menurut Dwiyanto Prihartono (2003) terdapat setidaknya tiga kecenderungan pendapat tentang keabsahan sidang in absentia, yaitu :
1.    Yang menganggap bahwa pemeriksaan di Pengadilan memutlakkan hadirnya terdakwa. Pendapat ini berarti secara ekstrim menolak diberlakukannya praksis sidang in absentia. Kelompok ini mendasarkan pendapatnya pada pasal-pasal dalam KUHAP, diantaranya : Pasal 145 ayat (5), Pasal 154 ayat (5), Pasal 155 ayat (1), Pasal 196 ayat (1), Pasal 203 dan Pasal 205. Pemahaman sebagian ahli dan praktisi hukum atas pasal-pasal di atas, menyimpulkan bahwa tidak mungkin sebuah perkara diperiksa dan diadili tanpa kehadiran terdakwa. Bahkan para penyidik pun jelas akan mengalami kesulitan yang substansial dalam menyusun berita acara pemeriksaan. Karena bagaimana mungkin pemeriksaan dilakukan tanpa adanya obyek yang diperiksa.
2.    Yang membolehkan praktik pengadilan in absentia, bersandar pada : Pasal 213, Pasal 214 ayat (1) dan (2) KUHAP, Pasal 38 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi, Pasal 79 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Pasal 79 UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 45 Tahun 2009.
3.    Kelompok ketiga memandang perbedaan pandangan dua kelompok sebelumnya bukanlah untuk disikapi secara dikotomis-antagonistik. Bagi kalangan yang moderat ini, dua dalil hukum yang dikemukakan sama-sama merupakan produk hukum yang memiliki kekuatan hukum yang sama sehingga mempertemukan keduanya jauh lebih baik dibanding berdebat soal kekuatan masing-masing dalil tersebut.

Pendapat Dwiyanto Prihartono tersebut tidak harus dimaknai secara hitam putih karena persidangan in absensia adalah sesuatu yang dilakukan dalam keadaan-keadaan tertentu. Keadaan-keadaan tertentu itu dapat dilihat pada pasal-pasal yang sesungguhnya merupakan pengecualian dari asas bahwa terdakwa mutlak hadir di persidangan.

Kelemahan utama sistem perundang-undangan yang berkaitan dengan in absensia adalah tiadanya ketegasan dalam menyebut apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Yahya Harahap (2002) menyebutkan bahwa, “hukum tidak membenarkan proses peradilan in absentia dalam acara pemeriksaan biasa dan pemeriksaan acara singkat. Tanpa hadirnya terdakwa dalam persidangan, pemeriksaan perkara tidak dapat dilakukan. Itu sebabnya Pasal 154 KUHAP mengatur, bagaimana cara menghadirkan terdakwa dalam persidangan. Tata cara tersebut memperlihatkan tanpa hadirnya terdakwa dalam persidangan, pemeriksaan perkara tidak dapat dilakukan”.

Menariknya, Yahya Harahap menyebutkan pelarangan in absentia hanya berdasarkan penafsiran bahwa KUHAP mengatur tata cara menghadirkan terdakwa ke Pengadilan. Menjadi persoalan baru, kalau misalnya terdakwa yang tidak dapat hadir ke persidangan itu dikarenakan alasan yang patut/masuk akal dari sisi prosedur seperti sakit dalam jangka waktu lama, apakah dengan demikian juga perkaranya harus berhenti ? Perkara HM Soeharto yang tidak dapat dihadirkan ke pengadilan karena alasan yang masuk akal dapat menjadi pelajaran. Perkara itu tidak dapat dilanjutkan proses persidangannya (bahkan kemudian dihentikan) sehingga mengorbankan tujuan hukum yang paling asasi yaitu “keadilan” sekaligus meneguhkan tujuan hukum lain yaitu “kepastian hukum”.

Persoalannya kemudian menjadi dilematis ketika perkara yang ditunda/dihentikan itu merupakan perkara kunci yang berimplikasi pada gugatan perdata atau pada kasus-kasus lain yang berkaitan dan sedang menunggu giliran untuk dungkapkan. Apakah kasus-kasus tersebut juga dengan sendirinya harus ikut ditunda/berhenti ? Bagaimana dengan pandangan dari sisi pihak korban ? Apakah mereka akan sama tenangnya dengan keluarga terdakwa yang tersenyum karena perkaranya ditunda/dihentikan ?

Nampaknya harus ada terobosan hukum dalam proses beracara pidana umum. Satu hal yang juga tidak boleh luput dari perhatian adalah bahwa memberikan keterangan di depan pengadilan bagi seorang terdakwa, selain mengandung kewajiban juga terkandung hak. Dengan mengingkari kewajibannya memberikan keterangan, seorang terdakwa layak diancam hukuman baru yang berkaitan dengan tindakannya menunda atau menghalang-halangi persidangan. Sedangkan tindakannya yang tidak mau hadir di persidangan, secara tidak langsung merupakan penegasan bahwa ia (terdakwa) tidak bersedia menggunakan haknya sekaligus membenarkan keterangan saksi-saksi yang hadir di persidangan.

Aturan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi maupun UU pencucian uang serta UU Perikanan telah mengadopsi hal tersebut. Penyusun UU berdalih bahwa ketiganya adalah kejahatan yang khusus sehingga diperlukan suatu prosedur khusus pula dalam menanggulangi ketiga bentuk kejahatan tersebut. Salah satu preseden penting berkaitan dengan hal itu adalah dalam kasus Hisyam Al Waraq dan Rafat Ali Rivzi. Kedua terpidana Bank Century itu adalah contoh bagaimana suatu sistem in absentia dijalankan, sejak dari penyidikan, penuntutan dan persidangan. Sehingga bukan suatu hal yang asing kalau prosedur demikian hendak pula diterapkan dalam perkara pidum.  

Dengan melakukan terobosan hukum melakukan persidangan in absentia, Nenek Loeana tidak perlu hadir di persidangan atas alasan kesehatan sementara persidangan tetap berlangsung dan tidak berpretensi merugikan pihak-pihak lainnya sebagaimana yang ditudingkan Pengacara Penggugat.

Namun demikian, penegak hukum perlu diberikan sedikit penekanan bahwa perlakuan in absentia tidak boleh dilakukan secara sembarangan karena sangat rentan menimbulkan kesewenang-wenangan.


Selasa, 12 Juni 2012

Penguatan Kelembagaan dan Hukum menghadapi Konflik Etnis


“Mengurangi konflik harus dengan menguatkan kelembagaan dan hukum karena tanpa keduanya, warga akan kembali mengusung identitas dalam suatu kontestasi”


Kalimat dari Prof. Jacques Bertrand itu mengakhiri acara diskusi sekaligus bedah buku “Nasionalisme dan Konflik Etnis di Indonesia” yang diadakan di Gedung Widya Graha LIPI Jl. Gatot Subroto. Tidak ada gebyar berlebihan dalam diskusi itu, semua berjalan khusuk dan tenang menyiratkan keprihatinan peserta atas maraknya konflik etnis di Nusantara sejak akhir 1990-an.

Diskusi tertanggal 12 Juni 2012 itu berjalan menarik dengan penanggap DR. Muridan S. Widjojo (Peneliti LIPI) dan Sofyan Munawar Asgart (Organisasi DEMOS).

Penelitian yang dilakukan oleh Prof. Jacques Bertrand sejak tahun 1996 ini pada dasarnya menceritakan bahwa kekerasan etnis pada akhir 1990-an bisa dijelaskan antara lain dengan menganalisis model kebangsaan Indonesia dan pelembagannya selama masa Orde Baru Presiden Soeharto. Akhir 1990-an merupakan suatu titik simpang kritis dalam sejarah pasca-kemerdekaan Indonesia, dimana transformasi kelembagaan telah membuka saluran-saluran guna merundingkan kembali unsur-unsur model kebangsaan; peran islam dalam lembaga-lembaga politik, arti penting relatif dari pemerintah pusat dan daerah, akses dan representasi kelompok-kelompok etnis dalam lembaga-lembaga negara, serta definisi dan makna “bangsa” Indonesia. Transformasi kelembagaan periode ini merupakan salah satu dari tiga titik simpang penting yang telah mendefinisikan kembali model kebangsaan dan memodifikasi keseimbangan hambatan dan peluang perundingan ulang mengenai hubungan diantara kelompok-kelompok etnis (hal. 5)

Ketiga titik simpang itu, menurut Prof. Jacques adalah : pertama, periode pembentuksn model kebangsaan Indonesia ketika konsep mengenai bangsa Indonesia mulai terbentuk dan dilembagakan dalam suatu negara kesatuan pada 1950; kedua, periode reformasi kelembagaan dimulai sekitar 1957, dengan dicampakkannya lembaga-lembaga demokrasi liberal dan diganti dengan sistem kekuasaan otoriter yang terpusat dan kuat. Pada titik persimpangan ini, yang berakhir pada 1968, Presiden Soekarno dan penerusnya Soeharto menegaskan kembali prinsip-prinsip model kebangsaan yang dibangun pada 1950 tetapi melembagakannya secara berbeda. Karena bukan merupakan hasil kesepakatan luas, model tersebut kian dipaksakan oleh negara dibawah kekuasaan Orde Baru Soeharto. Akibatnya terbentuklah ketegangan yang tak bisa dipertahankan dengan kelompok-kelompok tersingkir atau yang menolak syarat-syarat inklusinya. Ketegangan itu mengakibatkan kerusuhan etnis, dengan tanda-tanda perubahan kelembagaan yang kian meningkat ketika kekuasaan Soeharto sampai pada tahun-tahun terakhirnya. Titik simpang yang ketiga dimulai dengan mundurnya Soeharto pada Mei 1998. Periode ketidakstabilan ini memperburuk ketegangan-ketegangan yang telah menumpuk selama tiga puluh tahun sebelumnya dan mengakibatkan pecahnya sejumlah konflik etnik (hal. 7-8)

Buku ini sangat menarik karena secara nyata menyuguhkan konflik-konflik etnis yang terjadi seperti konflik di Kalimantan, Maluku, Poso, Papua, Timor-timur dan Aceh. Pengalaman penulis yang langsung berinteraksi dengan kalangan akar rumput di daerah-daerah konflik menambah kekayaan khazanah buku ini.

Tidak hanya piawai membongkar masalah dan penyebab lahirnya konflik etnis, Prof. Jacques juga mampu menawarkan solusi mengatasi maraknya konflik etnis di Indonesia. Solusi itu adalah dengan memberikan otonomi khusus, dengan kondisi :
Pertama, unit-unit federal atau otonomi akan bisa berjalan dengan baik ketika batas-batas teritorial mereka bersesuaian dengan kelompok yang relatif homogen. Kedua, suatu lingkungan politik demokratis lebih kondusif bagi pemindahan kekuasaan politik yang berhasil. Demokrasi yang terbangun dengan baik bisa dengan lebih baik menjamin bahwa perundingan mengenai perubahan kelembagaan dilaksanakan sepenuhnya dan bahwa proses hukum bisa diakses untuk menyelesaikan pertikaian. Ketiga, terdapat peluang yang lebih baik untuk menurunkan ketegangan etnis ketika pembagian kekuasaan atau pemindahan kekuasaan antara pusat dan berbagai unit-unitnya jelas. Keempat, sebahian pakar berpendapat bahwa desentralisasi keuangan mungkin sama pentingnya dengan pemindahan kekuasaan politik. Kekuasaan politik tanpa kendali atas sumber-sumber keuangan bisa tak berarti apa-apa (hal. 303-304)

Meski menawarkan otonomi sebagai solusi, Prof. Jacques juga menyadari bahwa otonomi merupakan kebijakan yang berhasil untuk mengelola hubungan antara pusat dan daerah-daerah tetapi tidak cukup untuk menghilangkan gerakan etnonasionalisis di Aceh (meski saat ini lumayan berhasil-Pen) dan Papua. Sementara kekuasaan politik dan keuangan yang lebih terdesentralisasi akan menjawab banyak tuntutan di beberapa daerah, ia juga bisa mencegah pembentukan identifikasi etnis lebih jauh melawan pusat. Akan tetapi dalam kasus-kasus yang sudah ada, langkah-langkah harus diambil untuk mengurangi ancaman etnonasionalitas. Otonomi khusus hanya mengatasi keluhan-keluhan yang berdasarkan pada sentralisasi kekuasaan politik dan keuangan, tetapi tidak cukup untuk mengembalikan kepercayaan terhadap pusat. Ia menawarkan sedikit jaminan bahwa pusat tidak akan memaksakan lebih banyak sentralisasi setelah ia mengatasi kelemahan-kelemahannya, ia tidak menjawab tuntutan-tuntutan untuk mengurangi penindasan, dan ia tidak memberikan keadilan bagi pelanggaran hak-hak asasi manusia yang dilakukan di kedua daerah itu sebagai akibat kekuasaan orde baru (hal. 342)

Buku ini dikritik oleh para penanggap sebagai terlalu membuka ruang yang lebih longgar bagi penyebutan “konflik etnis”. Dalam buku ini, istilah itu mencakup berbagai konflik, termasuk konflik berlatar belakang agama, ras ataupun antar golongan. Selain itu, buku ini dianggap juga terlalu ambisius, menyederhanakan persoalan konflik di Indonesia kedalam suatu buku yang secara rril sesungguhnya dapat dipecah dalam dua atau tiga buku yang sama tebalnya. Selain itu, buku ini juga kurang mengeksplorasi penyebab lain dalam suatu konflik etnis seperti peran media, fundamentalisme pasar dan atau agama.

Terlepas dari berbagai kekurangan kecil diatas, buku ini telah menyuguhkan analisis yang cermat dan komprehensif karena berhasil mengurai benang kusut dimensi konflik dan refleksi kebangsaan para pihak secara simultan dalam dinamika historis yang terus berkembang.

Terima kasih Prof. Jacques Bertrand


Minggu, 10 Juni 2012

Hak Penyidik/Penuntut Umum yang diamputasi MK


Tanpa ribut-ribut dan terkesan sepi dari pemberitaan, para penyidik dan penuntut umum kembali diamputasi haknya oleh Mahkamah Konstitusi. Kali ini yang diamputasi adalah hak  untuk memintakan putusan akhir ke Pengadilan Tinggi atas penetapan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan sebagaimana dimaksud Pasal 83 ayat (2) KUHAP.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-IX/2011 tanggal 19 April 2012, yang selengkapnya dapat dibaca DISINI, mengandung beberapa pertimbangan, diantaranya :

1.    Menurut Mahkamah, Pasal 83 ayat (2) KUHAP bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena tidak mempersamakan kedudukan warga negara di dalam hukum dan pemerintahan serta tidak memberikan kepastian hukum yang adil. Dengan kata lain, Pasal 83 ayat (2) KUHAP tersebut memperlakukan secara berbeda antara tersangka/terdakwa di satu pihak dan penyidik serta penuntut umum di pihak lain dalam melakukan upaya hukum banding terhadap putusan praperadilan. Ketentuan demikian tidak sesuai dengan filosofi diadakannya lembaga praperadilan yang justru menjamin hak-hak tersangka/terdakwa sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia
2.    Menurut Mahkamah, untuk memperlakukan sama antara tersangka/terdakwa dan penyidik serta penuntut umum dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP tersebut terdapat dua alternatif yaitu :  (1) memberikan hak kepada tersangka/terdakwa untuk mengajukan permohonan banding; atau (2) menghapuskan hak penyidik dan penuntut umum untuk mengajukan permohonan banding
3.   Menurut Mahkamah, oleh karena filosofi diadakannya lembaga praperadilan sebagai peradilan yang cepat, untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap tersangka/terdakwa dan penyidik serta penuntut umum maka yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 adalah pemberian hak banding kepada penyidik dan penuntut umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP. Dengan meniadakan hak banding kepada kedua pihak dimaksud maka pengujian konstitusionalitas Pasal 83 ayat (2) KUHAP beralasan menurut hukum;

Disadari atau tidak, konsep KUHAP yang banyak digunakan saat ini banyak menguntungkan penegak hukum. Ini sesuai dengan kebijakan politik hukum nasional ketika KUHAP dibuat pada tahun 1981. Sistem hukum dan sistem politik negara pada saat itu masih dalam masa transisi. Pada saat itu, negara benar-benar berkuasa dan mengejahwantakan kuasa itu melalui serangkaian kewenangan yang bersifat supra di atas warga. Dalam konteks ini, penegak hukum banyak diberikan hak untuk menjalankan tatanan hukum sekaligus membuka ruang bagi penciptaan hukum dan ketertiban dalam masyarakat.

Salah satu hal menjadi contoh berkaitan dengan hal itu adalah pemberian hak pada penyidik atau penuntut umum untuk melakukan “banding” kepada Pengadilan Tinggi bilamana Hakim Pengadilan Negeri memutus tidak sahnya penyidikan/penuntutan. Hak yang sama tidak ditemukan pada tersangka, keluarga atau kuasanya.

Dari kaca mata sekarang, tentu saja hal itu tidak berimbang, oleh karenanya Mahkamah Konstitusi dengan putusannya telah menyeimbangkan pihak tersangka, keluarga atau kuasanya di satu sisi dengan penyidik/penuntut umum di sisi lain. Implikasi putusan Mahkamah Konstitusi ini adalah berkaitan dengan praperadilan yang langsung berkekuatan hukum sesaat setelah diucapkan.

Bagi penegak hukum, putusan MK ini adalah suatu katalisator untuk bekerja secara bertanggung jawab. Setiap pelaksanaan tugas harus senantiasa didasarkan pada argumentasi, fakta dan analisis yang kuat. Bukan saatnya lagi bekerja asal-asalan sekedar untuk memenuhi kewajiban sambil berharap adanya esprit de corps dari sesama penegak hukum. Ini sesuai dengan apa yang dituliskan oleh Michel De Montaigne, Penulis dan filsuf asal Prancis  pada pertengahan tahun 1500-an, “Siapa yang menegakkan pendapat dengan perintah dan keributan, dia memiliki argumentasi yang lemah

Selasa, 05 Juni 2012

Sosialisasi Kompilasi Hukum Acara Pidana Online



Sebagai sarana berbagi, berikut ini saya tuliskan catatan setelah mengikuti Sosialisasi Kompilasi Hukum Acara Pidana Online" pada hari Selasa tanggal 5 Juni 2012 bertempat di Sasana Pradata Kejaksaan Agung RI.

Acara yang berlangsung atas kerja sama Kejaksaan Agung, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Bank Dunia dan Kerajaan Belanda tersebut menghadirkan pembicara dari BPHN yaitu DR. Wicipto Setiadi, SH. MH (Kepala BPHN) dan RM Aminullah S.Kom, MSi (Staf BPHN) serta penanggap yaitu Bpk. Hamzah Tadja, SH. MH (Jampidum) dan Prof (jur) Andi Hamzah.

Inti acara ini menurut saya hanyalah memperkenalkan institusi BPHN melalui website baru BPHN sekaligus fitur baru sekelas media pencarian online khusus mengenai Hukum Acara Pidana DISINI.

Kelebihan media online khusus mengenai Hukum Acara Pidana versi BPHN ini adalah porsinya yang membagi setiap tahapan penanganan perkara pidana yang kemudian dilengkapi dengan padanan peraturan sebagaimana dalam KUHAP ataupun diluar KUHAP. Kelebihan lainnya adalah adanya link untuk setiap peraturan yang merujuk ke peraturan lain yang berkaitan.

Tentu saja situs tersebut juga punya beberapa kelemahan yaitu, penyebutan beberapa istilah/kategorisasi yang tidak dikenal dalam KUHAP (seperti pra persidangan, persidangan dan pasca persidangan). Hal lain berkaitan dengan minimnya keputusan instansi penegak hukum (SEMA, Kepja, PerKa) yang dimasukkan meski diakui hal itu juga menunjang keberhasilan pemberlakuan hukum acara pidana.

Jampidum Hamzah Tadja lebih banyak menyoroti “pemahaman hukum acara yang benar akan mewujudkan pengetahuan masyarakat terhadap ketentuan hukum acara pidana secara komprehensif dan aktual”. Dalam makalahnya disebutkan bahwa pesatnya perkembangan hukum acara pidana yang ditandai dengan banyaknya aturan mengenai hukum acara pidana tersebar di dalam berbagai peraturan perundang-undangan, memang dapat menyulitkan masyarakat yang ingin mengetahui dan memahami hukum acara secara komprehensif.

Lain lagi dengan Prof. Andi Hamzah yang lebih banyak menyoroti banyaknya sistem hukum administrasi yang memiliki sanksi pidana diatas satu tahun. Hukum pidana yang terserak pada berbagai peraturan di luar KUHAP bahkan menyusup masuk ke dalam hukum administrasi negara sudah tentu akan mengganggu proses kodifikasi hukum nasional. Keberadaan sistem legislasi hukum pidana tersebut telah menyimpang terlalu jauh dari kebiasaan internasional. Sudah terlalu banyak perundang-undangan pidana tersendiri yang isinya sebenarnya lestari (selamanya) disusun di luar KUHP (makalah hal. 5)
Pada akhir paparannya, Prof. Andi Hamzah memberi simpulan agar perundang-undangan pidana tersendiri di luar KUHP dipertahankan sementara menunggu lahirnya KUHP baru untuk dimasukkan ke dalamnya seperti negara-negara lain

Kamis, 24 Mei 2012

Kekerasan Negara dan Polisi Moral

Gambar : Rakyat Merdeka Online

Ribut-ribut kedatangan Lady Gaga ke Indonesia telah menguras energi bangsa ini. Masyarakat seakan terpecah pada kelompok “kami” dan “mereka” yang berdiri vis a vis secara diametral. Perdebatan yang seharusnya berada di jalur privat lalu bergeser memenuhi ruang-ruang publik sehingga memekakkan telinga warga yang tidak terkait dengan persoalan sesungguhnya.
Debat yang berlangsung selama ini lebih banyak berkutat pada kebebasan ekspresi versus nilai-nilai tradisional/religius. Perdebatan ini sudah tentu bagaikan jalan tak berujung karena standar posisi setiap pendapat berada pada posisi yang sejajar sehingga menutup setiap pertautan yang mungkin bisa dilakukan. Posisi yang sejajar itu berada pada ruang yang berbeda sehingga hampir mustahil dilakukan rekonsiliasi bahkan dengan iming-iming persatuan bangsa sekalipun.
Persoalan yang tidak kalah substansial berkaitan dengan kedatangan Lady Gaga adalah persoalan besar yang dihadapi bangsa ini. Persoalan besar itu adalah bagaimana kesiapan negara melakukan upaya perlindungan terhadap sebagian warga sambil berusaha meneguhkan diri agar negara tidak dikendalikan oleh sebagian warga yang lain.
Sejatinya negara ini seringkali menunjukkan gerak acak yang membingungkan. Semua warga masih ingat bagaimana negara berusaha mengukuhkan diri menjadi “polisi moral” yang mengintervensi ruang-ruang privat warga, bukan untuk alasan menjaga ketertiban melainkan mengatur apa yang harus dirasakan sekaligus menafikan suatu etika atau bahkan estetika. UU anti pornografi dan pornoaksi, kebebasan berekpresi melalui UU ITE adalah sebagian kehendak negara dalam memasung warganya. Bahkan dalam beberapa hal, negara menunjukkan bagaimana negara mempertontonkan diri sebagai pihak yang paham soal moral ketimbang warganya sendiri.
Di lain sisi, berlawanan dengan pihak yang paling paham soal moral, negara menunjukkan diri sebagai "aktor/pelaku kekerasan".  Kekerasan pasca pemberontakan PKI, Tanjung Priok, Tragedi 27 Juli, Tragedi Mei 1998, Kasus Mesuji, Cikeusik, Temanggung, Kejadian di Pelabuhan Bima adalah contoh bagaimana negara berusaha mengaplikasikan kekerasan pada warganya.
Haryatmoko dalam Kata Pengantar buku “kekerasan negara menular ke masyarakat” karya Rieke Dyah Pitaloka menuliskan bahwa kekerasan negara itu bisa diwujudkan melalui berbagai cara. Pertama, represi yang dilakukan langsung oleh aparat negara dengan berbagai sarana koersifnya. Kedua, melatih paramiliter menjadi kelompok setia kepada penguasa untuk melaksanakan tugas-tugas kotor (kriminal) dengan membungkam, mengintimidasi, memeras, meneror, menculik sampai membunuh. Ketiga, melatih para kriminal (preman) untuk melaksanakan proyek insidental seperti kerusuhan, penculikan atau pembunuhan. Untuk menghilangkan jejak, para preman itu akan dihabisi setelah tugas-tugas terlaksana. Keempat, menciptakan konflik horisontal antar kelompok masyarakat yang berbeda etnis/agama. Konflik horisontal membutuhkan kondisi matang, maka perlu rekayasa agar terjadi radikalisasi kelompok tertentu.
Dalam buku yang merupakan inti dari tesis Rieke Dyah Pitaloka atas dasar tulisan-tulisan Hannah Arendt diungkapkan benang merah yang menghubungkan kekerasan negara dengan tindak kekerasan yang dilakukan masyarakat. Tulisan itu menunjukkan bagaimana kekerasan yang dilakukan masyarakat sipil berasal dari kedangkalan berpikir dan ketidakmampuan menilai secara kritis.  Yang menjadi “penyakit” utamanya adalah ketidakberpikiran. Tidak berpikir berbeda sama sekali dengan bodoh. Orang bisa saja amat cerdas, namun tak menggunakan kecerdasannya itu secara maksimal untuk berpikir secara menyeluruh, berpikir secara sistemik (bukan sistematis).  Dan karena tak berpikir, ia seringkali tak sadar, bahwa tindakannya itu merupakan suatu kejahatan brutal. Maka salah satu hal mendasar yang dibutuhkan untuk menjadi penjahat brutal adalah ketidakberpikiran. Kedua hal tersebut (kedangkalan berpikir dan ketidakmampuan menilai secara kritis) terjadi akibat masyarakat terkondisikan menganggap kejahatan sebagai hal yang biasa, yang oleh Arendt disebut sebagai banality of evil (banalitas kejahatan).
Konsep ini sejalan dengan teori Hegemoninya Antonio Gramsci yang menjelaskan bahwa bentuk-bentuk persetujuan masyarakat atas nilai-nilai masyarakat dominan dilakukan dengan penguasaan basis-basis pikiran, kemampuan kritis, dan kemampuan-kemampuan afektif masyarakat melalui konsensus yang menggiring kesadaran masyarakat tentang masalah-masalah sosial ke dalam pola kerangka yang ditentukan lewat birokrasi (masyarakat dominan). Di sini terlihat adanya usaha untuk menaturalkan suatu bentuk dan makna kelompok yang berkuasa
Kalau Hegemoninya Gramsci cenderung bebas nilai dan mempersepsikan penguasaan nilai sebagai bagian dari “proyek” negara, banality of evil-nya Arendt lebih mengarah pada sisi negatif umat manusia untuk menganggap kejahatan sebagai bagian dari sistem negara dan jauh dari nilai-nilai “kekerasan”. Kedua teori ini dimungkinkan untuk dipergunakan pada saat bersamaan, menyesuaikan dengan eskalasi yang hendak dibangun
Gambar : News.Infogue
Kekerasan yang tersistematis mulai dari penguasaan basis-basis pemikiran hingga terstimulisasi pada tindakan kekerasan di lapangan menciptakan suatu skema kejahatan kekerasan yang sempurna. Menurut Yasraf Amir Piliang dalam bukunya Postrealitas, pelaku “kejahatan yang sempurna” itu hanyalah negara. Sistem kejahatan yang sempurna menghilangkan barang bukti, membungkam saksi, menciptakan alibi, merekayasa motif, mencari kambing hitam, mereduksi pelaku, dan membangun kontra pencitraan. Kejahatan sempurna menciptakan kondisi ”minimalisme hukum” dan menghasilkan ”minimalitas kebenaran”. Kejahatan sempurna bekerja melalui ”pembunuhan tanda-tanda”, yaitu penghancuran tanda bukti (barang bukti, rekaman, dokumen, saksi, tempat perkara) dan kondisi psikis pelaku (hipnotis, pembungkaman, pembisuan).  
Sifat Paradoks negara yang disatu sisi bertindak sebagai “polisi moral” sedangkan di sisi lain bertindak sebagai pelaku kekerasan menegaskan kegamangan dalam menentukan sikap tegas posisi negara dalam setiap masalah. Negara cenderung bersifat reaktif memadamkan masalah berdasarkan kekuatan kelompok penekan (pressure group) yang berada di sekeliling masalah.
Dalam suatu negara demokrasi yang mapan, kekuatan kelompok penekan (pressure group) adalah prasyarat demokrasi yang memberikan kontribusi positif sebagai modal sosial . Modal sosial ini pada gilirannya mempengaruhi kualitas hidup individu dan keberlangsungan komunitas masyarakat. Robert Putnam (1993) mendefinisikan modal sosial sebagai suatu nilai mutual trust (kepercayaan)  antara anggota masyarakat  dan masyarakat terhadap pemimpinnya. Modal sosial didefinisikan sebagai institusi sosial yang melibatkan jaringan (networks), norma-norma (norms), dan kepercayaan sosial (social trust) yang mendorong pada sebuah kolaborasi sosial (koordinasi dan kooperasi) untuk kepentingan bersama.
Di Indonesia, kekuatan kelompok penekan (pressure group) itu berwujud pada berbagai kelompok yang tersebar berdasarkan keyakinan agama, etnis latar belakang, ideologi ataupun kesamaan identitas lainnya. Multikultur yang menjadi ciri negara juga dengan mudah ditemukan pada kelompok-kelompok tersebut. Keragaman itu di satu sisi memperkaya khazanah bernegara meski di sisi lain juga sangat rentan dengan kekerasan dan pemaksaan.
Sebenarnya, tidak ada persoalan berkaitan dengan politik multikultur bangsa ini. Secara kultural, keragaman itu telah terbangun sejak negara ini didirikan. Pada tataran akar rumput, multikultural itu tidak pernah menjadi masalah. Ia baru menjadi masalah ketika dipergunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu yang jauh dari kesan damai yang selama ini ada. Ketika kekuatan kelompok penekan dikerahkan untuk mematahkan dominasi negara dalam bidang hukum dan ketertiban (meski dilakukan atas nama kepentingan tertentu) maka negara sesungguhnya sedang mengalami penyakit yang akut, apalagi kalau kemudian negara takluk pada keinginan kelompok-kelompok itu.
Cermin kegamangan negara dapat dengan jelas dilihat pada rencana pelaksanaan konser Lady Gaga. Negara yang diwakili Polisi pada awalnya menutup peluang pelaksanaan konser di Indonesia. Entah disadari atau tidak, hal itu bersesuaian dengan tekanan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu. Dengan dalih alasan keamanan, Polisi menolak mengeluarkan rekomendasi konser. Ini aneh, karena Polisi sebagai perwujudan negara seharusnya tidak boleh takut dengan persoalan ketidakamanan, bahkan bila perlu, maju ke depan menciptakan keamanan bagi seluruh warga. Konsep pendekatan ketidakamanan ini sesungguhnya lebih bermakna ketidakmauan ketimbang sekedar ketidakmampuan negara. Penolakan ini tentu saja mendapat tekanan dari kelompok-kelompok lain yang terus mengharapkan Polisi agar menggunakan alasan lain yang lebih rasional ketimbang sekedar “takut” terhadap ancaman. Polisi akhirnya gamang dan mengubah pandangan awal dengan janji akan menelaah ulang permohonan jaminan keamanan dari sponsor, bahkan bukan tidak mungkin menyetujuinya.
Pada titik ini, Polisi sedang menggunakan pendekatan Arendt untuk menutupi penolakan awal konser sekaligus menstimulasi benak warga bahwa negara sudah tepat dalam mengambil tindakan berkaitan dengan konser.
Para pengamat atau pemerhati hukum seharusnya tidak larut dengan situasi ini. Mari terus berpikir !!!

Jumat, 11 Mei 2012

Quo Vadis Penyiksaan oleh Penegak Hukum


Pada Januari 2012, organisasi Kemitraan yang bekerja sama dengan LBH dan Uni Eropa mengeluarkan hasil riset bertajuk “ Penyiksaan di Bumi Cenderawasih : Studi tentang Realitas dan Toleransi Penyiksaan di Propinsi Papua ”. Riset itu penting karena menggambarkan bagaimana perilaku penyiksaan yang masih kental dipraktikkan oleh aparat penegak hukum sekaligus mengukur tingkat toleransi masyarakat, korban, dan aparat penegak hukum terhadap kekerasan, yang meliputi kekerasan fisik, psikis, dan seksual di fokuskan di Papua. 
Dari tabel Prevalensi Penyiksaan yang dimuat pada Hal. 56, terlihat bahwa keseluruhan responden mengakui adanya penyiksaan oleh Polisi pada saat penangkapan, 96 % responden membenarkan adanya penyiksaan pada tahap pemeriksaan, 74 % responden pada saat penahanan dan 15 % responden ketika proses penghukuman. Tangan “penyiksaan” Jaksa terlihat pada saat pemeriksaan dan penahanan yang masing-masing diakui oleh 4 % responden serta 15 % pada saat penghukuman. Petugas Rutan/Lapas juga memiliki andil melakukan penyiksaan yang dibenarkan oleh 22 % responden pada saat penahanan serta 70 % ketika masa penghukuman.
Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa sebagian penegak hukum belum beranjak dari mindset penyiksaan untuk mendapatkan alat-alat bukti yang sesungguhnya telah dilarang dalam KUHAP. Pelarangan itu terlihat secara tersurat pada Pasal 183 KUHAP : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Dari rangkaian kalimat Pasal 183 KUHAP tersebut terdapat kata-kata “...alat bukti yang sah...”, yang tidak ditemukan penjelasan secara lebih lanjut. Namun demikian, secara logika kata-kata itu dapat dimaknai bahwa setiap perolehan, perlakuan maupun penggunaan alat bukti harus dilakukan dengan benar dan dapat dipertanggungjawabkan.
Perolehan,  dapat menentukan sah tidaknya alat bukti berkaitan dengan cara, lokasi atau waktu pengambilan alat bukti yang bersih/tidak terkontaminasi ataupun dimanipulasi oleh pihak lain. Perlakuan, berkaitan dengan cara mengelola alat bukti, penyimpanan sejak alat bukti itu diambil hingga kemudian dipergunakan untuk memperkuat pembuktian. Sedangkan Penggunaan, alat bukti itu harus pula dilakukan sesuai dengan logika perundang-undangan dan tidak digunakan untuk tujuan-tujuan lain yang tidak jelas.
KUHAP memang tidak memiliki penjelasan yang tegas tentang apa yang dimaksud dengan “...alat bukti yang sah...”. Ini berbeda dengan Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi, pada Pasal 36 ayat (2) : “ Alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, harus dapat dipertanggungjawabkan perolehannya secara hukum”. Serta ayat (3) Dalam hal alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang tidak dapat dipertanggungjawabkan perolehannya secara hukum, tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah.
UU Mahkamah Konstitusi tersebut sejalan dengan sistem hukum common law yang memiliki asas “Exclusionary Rules” di dalam hukum pidana. Asas ini menentukan bahwa setiap bukti yang diperoleh apabila tidak sesuai dengan hukum atau bertentangan dengan hukum (illegal) harus dianggap tidak mempunyai kekuatan dalam pembuktian (unlawful gathering evidence atau onrechtmatigeverkrijgen bewijs). Meskipun dalam sistem hukum nasional asas “Exclusionary Rules” ini tidak dinyatakan secara tegas, mantan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan mengakuinya sebagai sesuatu yang eksis melalui tulisannya “Penegakan Hukum Dalam Perkara Pidana” . Varia Peradilan No. 296 Juli 2010, “Dan kelalaian di dalam memperhatikan atau memegang asas “exclusionary rules” ini mengakibatkan dakwaan, tuntutan dan atau putusan menurut hukum tidak dapat diterima atau batal demi hukum”.
Dalam asas “exclusionary rules” terkandung doktrin “fruit of the poisoneous tree”. Doktrin ini kalau diartikan secara gramatikal berarti bahwa pohon yang beracun pasti pula mengandung buah yang beracun. Jika dibawah ke khazanah pembuktian, doktrin ini mengandung makna bahwa suatu proses pengambilan dan pengelolaan alat bukti yang menyalahi aturan yang berlaku, tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah di depan persidangan.
Doktrin “fruit of the poisoneous tree” sangat kuat dipegang dalam sistem common law seiring dengan kekuatan pembuktian physical evidence yang lebih “diutamakan” ketimbang testamentary evidence. Pihak yang berhak melakukan penilaian terhadap sah tidaknya alat bukti ketika diperoleh tentu saja adalah Hakim. Hal ini dituangkan dalam adagium yang sering diulang-ulang dalam sistem peradilan pidana sebagai “no evidence no case”.
Sebaliknya dalam sistem pembuktian di Indonesia, testamentary evidence jauh lebih diutamakan ketimbang physical evidence. Ini dapat dilihat dalam Pasal 184 KUHAP yang lebih mengedepankan keterangan saksi dan keterangan ahli ketimbang barang bukti yang kadangkala hanya dianggap sebagai petunjuk.
Kalau Doktrin “fruit of the poisoneous tree” dibawa ke dalam sistem pembuktian pidana Indonesia, maka setiap bentuk penyiksaan yang dilakukan sejak dari tahap penyidikan hingga berakhirnya proses pemeriksaan dapat dianggap sebagai bentuk tekanan yang secara langsung mempengaruhi hasil pemeriksaan (Berita Acara Pemeriksaan/berkas perkara), hasil penuntutan (surat dakwaan) ataupun hasil dari persidangan (putusan hakim). Ini sesuai dengan Pasal 117 (1) KUHAP : “keterangan tersangka dan/atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan/atau dalam bentuk apapun”.