Selasa, 31 Desember 2013

Bahkan Bersihpun Harus Risih

Kalau suatu hari anda membangun rumah atau membeli kendaraan dengan cara tunai karena anda mendapat warisan ataupun melalui kredit karena anda hanya seorang pegawai negeri pas-pasan, sebaiknya simpanlah semua nota atau kwitansi pembayaran yang berkaitan dengan pembangunan/pembelian tersebut. Itu penting, karena boleh jadi suatu waktu ketika anda melakukan kesalahan kecil, rumah atau kendaraan anda akan diungkit-ungkit oleh penegak hukum. Kesalahan kecil itu tidak perlu harus berkaitan dengan rumah atau kendaraan anda. Ia dapat berdiri sendiri dan menjadi portal bagi penegak hukum untuk mempersoalkan kekayaan anda yang diduga tidak wajar hanya karena anda tidak mengarsipkan nota/kwitansi pembelian/pembangunan.

Sebagai contoh ketika anda tanpa sadar, tidak membayar hutang anda pada seorang kawan meski jumlahnya hanya berkisar ratusan ribu rupiah, maka anda dapat diduga melakukan tindak pidana penipuan atau penggelapan. Penipuan/penggelapan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf q dan r Undang-Undang No. Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) dikategorikan sebagai tindak pidana asal yang dapat membawa implikasi ke arah tindak pidana pencucian uang. Oleh karena UU TPPU tidak merinci adanya hubungan kausalitas yang tegas antara perbuatan sebagaimana tindak pidana asal dan aset/harta benda yang dimiliki seseorang maka terbuka ruang yang luas untuk ditafsirkan sebagai perilaku pencucian uang. Artinya, rumah dan kendaraan anda akan ikut ditelisik, dari mana sumber pembangunan/pembeliannya. Ketika anda tidak dapat membuktikan (meski alasannya adalah anda tidak memiliki metode pengarsipan yang baik) maka rumah dan kendaraan anda akan disita dan dirampas untuk negara.

Kasus Gayus Tambunan dapat dijadikan “cermin” yang menarik. Dakwaan Tindak Pidana Korupsi yang dikenakan terhadap Gayus hanya mencakup kerugian sebesar Rp.570.952.000,- Atas nama kebenaran dan keadilan, harta benda Gayus yang berjumlah ratusan milyar rupiah kemudian ikut disita “hanya” karena kepemilikan uang dalam jumlah besar itu tidak sesuai dengan profile Gayus sebagai seorang pegawai negeri.
Dalam persidangan tindak pidana korupsi, khususnya berkaitan dengan penggunaan pasal-pasal yang menunjuk adanya kerugian negara, hubungan kausalitas terjadi antara perbuatan melawan hukum yang tersurat maupun tersirat dengan kerugian negara. Hubungan itu harus riil dan tidak boleh berdasar asumsi. Ketika suatu  perbuatan melawan hukum ternyata tidak dalam posisi “sejajar” dengan besaran kerugian negara maka Majelis Hakim akan dengan mudah meruntuhkan “rumah kartu” pembuktian Penuntut Umum. Pendeknya, dalam hukum pidana, asumsi tentang besaran kerugian negara adalah sesuatu yang diharamkan.

Persoalannya kemudian menjadi pelik saat Undang-Undang No. Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) lahir dan mengetengahkan mekanisme yang selama ini diharamkan oleh hukum pidana. Ketika Penuntut Umum melimpahkan perkara ke pengadilan, ia harus yakin dengan didukung oleh minimal dua alat bukti bahwa perbuatan pidana telah terjadi dan tersangka adalah pelaku perbuatan pidana tersebut. Anomali tindak pidana pencucian uang terjadi ketika Penuntut Umum harus membawa Terdakwa ke depan pengadilan hanya berdasar pada asumsi-asumsi yang diperoleh karena minimnya alat-alat bukti. Asumsi-asumsi itu kelak akan disandarkan pada Pasal 77 UU TPPU : Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.  Sekali lagi, undang-undang tidak menyebutkan bahwa pada saat penyidikan ataupun penuntutan, tersangka wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.

Orang bisa berdalih bahwa “kepentingan pemeriksaan” yang dimaksud disitu juga mencakup ketika perkara berada di tingkat penyidikan dan penuntutan. Padahal kalau melihat posisi Pasal dalam UU TPPU, sangat jelas, bahwa bagian keempat tentang pemeriksaan di sidang pengadilan merupakan bagian yaang terpisah dari bagian ketiga  tentang Penuntutan.

Dengan menggunakan konstruksi hukum pidana biasa (minus TPPU), Penyidik atau Penuntut Umum yang tidak memiliki alat-alat bukti untuk membuktikan kesalahan terdakwa harus menghentikan penyidikan/penuntutannya. Sebaliknya, dengan menggunakan konstruksi TPPU, asumsi atau perkiraan-perkiraan itu menjadi “peluru” bagi penyidik atau Penuntut Umum untuk melimpahkan perkaranya  ke tingkat yang lebih tinggi.
Sekilas penggunaan mekanisme TPPU itu dapat berpotensi menyelamatkan kerugian keuangan atau perekonomian negara yang pola penggerogotiannya dilakukan secara halus dan tidak terdeteksi. Marilah kita berkeliling dan melihat rumah-rumah mewah para pejabat birokrasi atau membaca berita tentang rekening-rekening dalam jumlah yang luar biasa sementara profile mereka hanya sebagai pejabat pemerintahan belaka. Mereka inilah yang dimaksud sebagai corruption by greed (korupsi dengan alasan serakah). Mereka ini pula yang seharusnya menjadi sasaran senjata Tindak Pidana Pencucian Uang.

Tetapi sesungguhnya, aturan TPPU itu juga berpotensi menerabas pihak yang benar. Betapa tidak, Masyarakat kita adalah masyarakat yang kurang rapi metode pengarsipan dokumen/surat-surat pentingnya. Semua masih berprinsip bahwa pengaturan itu tidak diperlukan sepanjang dilakukan dalam jumlah yang kecil/seadanya atau pembelian/pembangunan sesuatu tersebut dilakukan tanpa merugikan pihak lain atau corruption by need (korupsi dengan alasan ekonomi).

Di sisi lain, pemerintah kita juga tidak mempunyai mekanisme pencatatan keuangan atau perekonomian yang menelisik sampai ke dompet setiap warganya. Pemerintah masih berkutat pada pencatatan keuangan yang sifatnya makro dan belum menjangkau hingga ke sistem keuangan pribadi warga. Bandingkanlah dengan warga negara asing yang memiliki sistem pencatatan keuangan rapi. Di Negara-negara tersebut, Pemerintah mencatat setiap bentuk penerimaan dan pengeluaran keuangan warga untuk mempermudah proses perpajakan. Sehingga ketika terjadi persoalan, negara dapat dengan mudah membuka file keuangan warganya sekaligus memastikan bahwa tidak ada yang salah dengan itu.

Dalam kondisi demikian, orang bersihpun saat ini harus risih, bukan karena khawatir ditelisik melainkan karena tidak memiliki bukti pembangunan/pembelian. Slogan “kalau bersih kenapa harus risih” rasanya harus di perbaharui. Akan lebih tepat kalau ditambah sehingga menjadi “kalau bersih dan punya kuitansi, kenapa harus risih”.

Di tengah moral penegak hukum yang masih sering dipertanyakan warga, marilah kita berharap bahwa kita semua tidak tidak pernah terjebak pada masalah pidana, sekecil apapun agar harta/aset kepemilikan kita yang lain tidak ikut ditelisik dan menjadi masalah baru.


Minggu, 10 November 2013

Keterangan Ahli Tidak Mengikat Putusan Hakim ?

Dewasa ini berkembang pemahaman baru di kalangan para penegak hukum yang
foto : surabaya.bpk.go.id
berkecimpung di dunia peradilan dalam kaitannya dengan keterangan ahli. Pemahaman konvensional selama ini, keterangan ahli sebagaimana Pasal 1 angka 28 KUHAP adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Sedangkan pemahaman baru yang saya maksud adalah bahwa keterangan ahli bersifat lentur sehingga dapat dibentuk sesuka hati sesuai keinginan pihak pemesan (Penasihat Hukum ataupun Penuntut Umum).
Pemahaman itu diperoleh bukan berdasarkan analisis teori yang rumit ataupun doktrin yang lahir di tengah perjalanan hukum kita. Pemahaman itu muncul lebih pada pengalaman-pengalaman yang lazim dijumpai di ruang sidang.
Perdebatan dalam menilai keterangan ahli antara Penuntut Umum dan Penasihat Hukum yang sering muncul di ruang sidang dapat dibedakan atas dua hal :
1)    Perdebatan mengenai kapasitas keahlian seorang ahli
Masalah pertama yang segera tampak ketika seorang ahli duduk di depan persidangan berkaitan dengan latar belakang atau kompetensi seorang ahli.
“Keahlian khusus” sebagaimana Pasal 1 angka 28 KUHAP dimaknai sebagian kalangan, dapat lahir dari dua hal. Yang pertama lahir dari latar belakang akademik atau pendidikan formal /informal yang pernah dijalani. Sedangkan yang kedua datang dari pengalaman atau kemampuan melaksanakan suatu pekerjaan dalam rentang waktu yang lama sehingga person yang bersangkutan paham dan memiliki “keahlian khusus.
Dalam prakteknya, seorang ahli yang datang dari kalangan terdidik secara akademik hampir tidak pernah dipersoalkan kapasitas keilmuannya. Padahal semua orang juga paham bahwa latar belakang pendidikan tidak selalu berkorelasi positif dengan kapabilitas seseorang tentang sesuatu hal. Apalagi, pada masa ketika dunia keilmuan semakin terpesialisasi dalam wilayah-wilayah yang lebih sempit, hampir susah mencari seorang generalis yang pemahamannya terhadap suatu persoalan bersifat komprehensif dan dapat dipertanggungjawabkan.
Hal tersebut berbeda dengan “ahli” yang hadir melalui pengalaman melaksanakan pekerjaan yang selalu menjadi tema penting perdebatan. Sebagian perangkat persidangan bahkan cenderung melecehkan melalui gaya bahasa/pertanyaan terhadap seorang ahli yang hanya berlatar belakang tamatan SMA atau sekolah kejuruan;

2)    Perdebatan mengenai materi keterangan ahli
Substansi keterangan ahli sesungguhnya berada di wilayah ini. Perdebatan yang terjadi seharusnya berada pada tataran metode penarikan kesimpulan dan bukan pada hasil. Metode sebenarnya dapat didekati melalui suatu SOP (standar operating procedure) sehingga akurasi pelaksanaannya mendapat imbangan berupa parameter yang jelas. Dalam praktek, pada bagian ini, orang seringkali mempersoalkan masalah hasil. Dengan mempersoalkan hasil, peserta sidang sebenarnya sedang bergerak di luar domain yang dipahaminya.

Kedua hal tersebut menurut Arthur Best sebagaimana dikutip Eddy OS Hiariej (2012) dapat ditambahkan dengan jenis keterangan dan berkaitan dengan corak kesaksian. Jenis keterangan ini berkaitan dengan pengetahuan atau penelitian atau observasi yang dilakukan ahli di luar pengadilan. Dedangkan corak kesaksian berkaitan dengan pendapat atau kesimpulan topik yang dijelaskan dengan pembatasan untuk menyatakan secara eksplisit apakah terdakwa yang sedang diproses bersalah telah melakukan suatu kejahatan.
Bagaimana seharusnya pendapat hakim apabila dalam persidangan bertemu dengan seorang ahli yang memberikan pendapat berdasarkan keahlian dan pengetahuannya ?
Terhadap keterangan ahli ini, dalam pengalaman saya, masih terdapat dua sikap yang biasa ditunjukkan Hakim terutama dalam kaitannya dengan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Yang pertama, Hakim berpendapat bahwa keterangan ahli tidak mengikat bagi majelis Hakim dalam menentukan putusan atau pertimbangan putusan. Kelompok Majelis hakim ini berpandangan bahwa Hakim tidak dapat diintervensi oleh siapapun ketika membuat putusan.  Kelompok yang pertama ini adalah kelompok mayoritas dalam dunia peradilan. Banyak majelis Hakim yang memandang bahwa banyak ahli yang dalam memberikan keterangan bersikap tidak netral. Ini sebenarnya merupakan imbas dari perdebatan lama yang belum selesai dalam dunia filsafat ilmu tentang apakah suatu ilmu bebas nilai/kepentingan. Sistem keilmuan kita memang selalu menempatkan para pencarinya pada posisi untuk bebas menjatuhkan pilihan. Tidak ada kebenaran tunggal dalam setiap konklusi sehingga setiap jawaban selalu membuka kemungkinan adanya jawaban-jawaban lain yang juga benar.
Menurut Hari Sasangka dan Lily Rosita (2003),kekuatan alat bukti berupa keterangan ahli bersifat bebas, karena tidak mengikat seorang hakim untuk memakainya apabila bertentangan dengan keyakinannya. Guna keterangan ahli di persidangan merupakan alat bantu bagi hakim untuk menemukan kebenaran dan hakim bebas mempergunakan sebagai pendapatnya sendiri atau tidak. Apabila bersesuaian dengan kenyataan yang lain di persidangan, keterangan ahli diambil sebagai pendapat hakim sendiri. Jika keterangan ahli tersebut bertentangan bisa saja dikesampingkan oleh hakim. Namun yang perlu diingat bahwa apabila keterangan ahli dikesampingkan harus berdasar alasan yang jelas. Karena hakim masih mempunyai wewenang untu meminta penelitian ulang bila memang diperlukan.
Kelompok kedua adalah hakim yang memiliki pandangan lebih moderat dengan mengakui bahwa keterangan ahli bersifat mengikat sepanjang ada kondisi atau syarat tertentu. Syarat atau kondisi yang dimaksud biasanya berkaitan dengan relevansi atau kompetensi ahli yang memberikan keterangan dibandingkan dengan latar belakang pengalaman atau akademik majelis Hakim yang bersangkutan.
Prof. Dr. Surya jaya, SH. MHum yang pernah mengajar mata kuliah hukum pidana ketika saya masih duduk di bangku kuliah strata 1 adalah penganut kelompok kedua. Beliau  berpendapat bahwa Hakim dapat saja mengenyampingkan keterangan ahli sepanjang keterangan tersebut tidak relevan ataukah merupakan bidang kompetensi dari Hakim yang memeriksa perkara.  Sebaliknya dapat menjadi imperatif manakala keterangan ahli tersebut bersifat menentukan, misalnya keterangan ahli pemeriksaan sidik jari, forensik atau balistik tidak dapat dikesampingkan. Oleh karena itu keterangan ahli dalam perkara a quo tidak dapat dikesampingkan berhubung sangat urgen dan bersifat guna menentukan siapa pelaku sesungguhnya. Bahwa konsekwensi hukum yang ditimbulkan dengan tidak digunakannya keterangan ahli balistik dan forensik oleh Judex Facti, merupakan suatu kekeliruan karena telah mengesampingkan tujuan dari pemeriksaan perkara pidana untuk mencapai kebenaran materiil atau kebenaran yang sesungguhnya. Tujuannya adalah untuk menghindari terjadi peradilan sesat (menghukum orang yang tidak bersalah) (Dissenting opinion dalam putusan MA pada kasus Antasari Azhar).

 Sleman, 10 November 2013

Minggu, 21 Juli 2013

Quo Vadis Korps Adhyaksa ?

(Refleksi Hari Bhakti Adhyaksa Ke- 53, Tanggal 22 Juli 2013)
  
Tahun 2013 Kejaksaan memasuki usia ke 53 tahun. Suatu usia yang lama, mapan dan menjanjikan banyak hal yang dapat dilakukan. Perjalanan usia dan harapan di masa yang akan datang tercermin sebagaimana Tema Hari Bhakti Kejaksaan tahun ini yaitu “Melalui Hari Bhkati Adhyaksa tahun 2013, mari kita terus tingkatkan integritas moral dalam rangka pemulihan kepercayaan masyarakat”.  Dari tema tersebut setidaknya dapat ditarik dua hal yang dapat dijadikan sebagai bahan renungan. Yang pertama berkaitan dengan integritas moral personil kejaksaan, dan yang kedua adalah pemulihan kepercayaan masyarakat.

Beban Masa Lalu
Dalam Press Release Transparansi Internasional Indonesia (TII) tanggal 5 Desember 2012, tentang Corruption Perception Index (CPI) tahun 2012, Indonesia berada pada posisi 32 pada urutan 118 dari 176 yang disurvey. Yang menarik adalah salah satu saran TII berkaitan dengan peningkatan posisi Indonesia adalah berkaitan dengan dorongan agar Kemandirian dan kredibilitas kejaksaan, kepolisian dan pengadilan dalam menangani kasus tindak pidana korupsi terus ditingkatkan.
Survey terbaru dari Indonesia Legal Rountable (ILR) berkaitan dengan Indeks Presepsi Negara Hukum pada 31 Mei 2013 menempatkan Indonesia pada angka 4,53. Survei ini berkaitan dengan pandangan masyarakat mengenai lima poin prinsip negara hukum. Lima prinsip dimaksud adalah pemerintah berdasarkan hukum; independensi kekuasaan kehakiman; penghormatan, pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia; akses terhadap keadilan; dan peraturan yang terbuka dan jelas.
Survey lain yang juga baru saja dirilis datang dari Lembaga Transparency Internasional Indonesia  pada 8 Juli 2013 yang menempatkan kelembagaan pemerintah "Kepolisian, Parlemen, dan Peradilan di Indonesia sebagai pelaku praktek korupsi tertinggi. Menurut informasi Sekjen TII, Dadang Trisasongko kepada penulis, Kejaksaan dalam survey tersebut dianggap sebagai bagian dari lembaga peradilan.
Kedua survey tersebut menunjukkan betapa rendahnya persepsi positif publik terhadap lembaga penegakan hukum. Lembaga Penegakan Hukum masih dianggap sebagai lembaga yang tidak terbuka terhadap perubahan, mempertahankan paradigma lama yang berorientasi kekuasaan dan menempatkan publik lebih sebagai obyek ketimbang subyek.
Ketidakmandirian Kejaksaan sebagai lembaga penegakan hukum juga menjadi salah satu “titik lemah” Kejaksaan. Dengan posisi sebagai anggota eksekutif, Kejaksaan menjadi lembaga penegak hukum pemerintah dan bukan penegak hukum negara. Konsekwensinya, Kejaksaan kemudian memiliki cara pandang yang sangat “pemerintah sentris”.  Persoalan penegakan hukum kemudian terreduksi hanya menjadi sekedar persoalan keamanan dan ketertiban, jauh dari logika keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Di negeri Belanda sebagai sumber dari berbagai peraturan pidana Indonesia, Jaksa Agung selain memimpin institusi Kejaksaan juga bertindak sebagai pejabat pada Mahkamah Agung (Hoofd Officer van Justitie Hoge Raad). Pemisahan lembaga Kejaksaan dari struktur eksekutif menjadikan Kejaksaan di negeri Belanda sedemikian kuat dan berwibawa. Hal itu tercermin pada “keberanian” Kejaksaan untuk memperkarakan semua pihak yang diduga bersalah apapun posisi jabatan dan karir politiknya.
Terkait dengan kredibilitas, Kejaksaan tentu tidak terlepas dari persepsi negatif. Masa lalu Kejaksaan tidaklah selalu tergores dengan tinta emas. Banyak hal yang dilakukan Kejaksaan justru dicatat oleh masyarakat dengan tinta merah. Pada beberapa penanganan perkara yang menonjol, Kejaksaan justru memperlihatkan sikap yang bertolak belakang dari harapan publik. Perkara kakao mbok minah, nenek loeana, rasyid rajasa menjadi contoh bagaimana persepsi keadilan versi kejaksaan berbenturan dengan persepsi keadilan masyarakat.
Persepsi negatif masyarakat tersebut juga diperparah dengan posisi Kejaksaan yang lebih memposisikan diri sebagai lembaga kuratif dalam membasmi pelanggaran hukum. Posisi tersebut tidak salah karena memang ditegaskan dalam UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan, meski juga tidak sepenuhnya tepat. Dengan posisi tersebut, Kejaksaan menampakkan diri sebagai institusi yang sangar, kaku dan tidak bersahabat. Kejaksaan hadir di depan warga dengan “pedang” yang siap menebas dan memotong. Benak publik kemudian merekonstruksi peran Kejaksaan hanya sebagai lembaga penuntut dan eksekusi yang tidak menyenangkan dan merampas kemerdekaan “anak-anaknya”.
Padahal Kejaksaan juga memiliki peran lain yang tidak kalah pentingnya. Peran preventif yang selama ini terkesan terlupakan harus mulai di angkat ke permukaan dan dikenalkan di tengah-tengah masyarakat. Pencegahan pelanggaran hukum terutama dalam penanganan perkara korupsi harus menjadi prioritas yang sama pentingnya dengan aspek penindakan.
Dalam peran pencegahan, Kejaksaan hadir menampakkan senyum, sikap welas asih dan pembimbingan yang membahagiakan. Orientasi pelayanan harus dikedepankan dan menempatkan warga sebagai sharing partner yang setara. Anggapan “presumption of gulity” yang hadir dalam benak para penegak hukum setiap kali menangani perkara harus dikesampingkan guna memulihkan kepercayaan masyarakat.

Prospek ke depan
Dengan berbagai persoalan masa lalu yang membebani langkah Kejaksaan, maka di masa datang boleh jadi peran Kejaksaan akan semakin berkurang. Kewenangannya mungkin saja akan semakin dipreteli seiring dengan meningkatnya peran lembaga penegak hukum lain seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada beberapa titik, peran KPK (meski hanya sebagai lembaga ad hoc) yang semakin besar menggerus kepercayaan masyarakat terhadap Kejaksaan.
Satu-satunya langkah yang dapat diambil Kejaksaan guna mengukuhkan eksistensinya adalah dengan mereformasi diri tidak hanya pada tataran birokrasi semata. Friedman dalam bukunya “Legal Theory” menunjukkan dua hal penting lain diluar perombakan struktur yaitu berkaitan dengan substansi dan kultur. Substansi meliputi aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Sedangkan Kultur berkaitan dengan sikap manusia terhadap hukum (kepercayaan), nilai, pemikiran, serta harapannya
Institusi dan personil Kejaksaan harus kembali pada nilai-nilai dasar yang menempatkan hukum dalam ruang sosial yang tidak rigid. Masyarakat terus-menerus mengalami transformasi, sehingga hukum meski tertatih-tatih juga harus mengejar setiap peristiwa (het recht hink achter de feiten aan). Dahulu Hakim sering dianggap sebagai corong undang-undang (la bouche des lois) tetapi nampaknya saat ini, adagium itu lebih tepat dinisbahkan kepada para jaksa. Para Hakim sudah melangkah maju dengan menjadikan harapan publik sebagai salah satu pertimbangan putusan sedangkan para jaksa masih tertinggal, berkutat pada berbagai peraturan dan petunjuk pimpinan. Sedikit banyak, hal ini berkaitan dengan posisi para hakim sebagai kekuasaan yang merdeka dan bebas intervensi.
Pada sisi kinerja, Kejaksaan di masa datang juga harus menunjukkan diri sebagai institusi yang liat dan alot dalam memerangi tindak pidana. Terkhusus pada tindak pidana korupsi, Kejaksaan tidak boleh kalah dengan para koruptor. Kado spesial tahun ini yang menunjukkan bahwa Kejaksaan masih dapat diharapkan sebagai lembaga penegakkan hukum yang berwibawa adalah terbuktinya di persidangan kasus Chevron dan kasus IM2 Indosat. Ini perkembangan yang menggembirakan dan menumbuhkan harapan baru, di tengah apatisme publik yang memandang sinis langkah Kejaksaan melimpahkan kedua perkara tersebut ke pengadilan.
Demikian pula, berkaitan dengan anggaran institusi, Kejaksaan harus terus menerus mengedepankan prinsip akuntabilitas dan keterbukaan dalam setiap pengelolaan keuangan. Anggaran dan pertanggungjawabannya harus dipahami dan diketahui oleh seluruh personil yang mendedikasikan tenaga dan pikirannya bagi kemajuan institusi.
Terakhir, semoga ekspektasi dan pengharapan publik terhadap kemajuan dan kewibawaan institusi menjadi katalisator lahirnya Kejaksaan yang mandiri dan berwibawa.

Selamat Hari Bhakti Adhyaksa ke- 53.
Kita basmi kemungkaran, Kebatilan dan Kejahatan

Senin, 11 Februari 2013

Pelatih-pelatih top dalam kesebelasan KPK


Awalnya adalah status di BB Johan Budi, Juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi, “Pandawa tak lagi lima” pada minggu pertama Februari ini. Status itu menjustifikasi banyak hal. Isu perpecahan, ketidakcocokan bahkan  perseteruan kembali naik ke permukaan. Sebelumnya berkali-kali isu itu muncul meski selalu diredam oleh berbagai pihak terutama internal KPK yang menganggapnya hanya “sekedar” dinamika dalam suatu organisasi.

Berpijak pada berbagai hal, terutama interaksi saya dengan para komisioner KPK mulai dari latar belakang, sikap keseharian, pandangan dan wawasan masing-masing Komisioner KPK, saya akan mencoba memberikan ulasan sederhana dengan menukil watak dan strategi para pelatih sepakbola top dunia. Tentu saja ini sebatas analisis sederhana yang bisa salah dan bisa pula benar, tergantung pada sisi mana kita menilainya.

Pada posisi Ketua Umum bertengger Abraham Samad. Lelaki jebolan Universitas Hasanuddin dan sebuah kampus ternama di Malaysia ini sering kami panggil dengan sebutan Ompeng di makassar. Ompeng sepintas dapat disamakan dengan Louis Van Gaal, pelatih Timnas Belanda dan mantan pelatih Ajax dan Bayern Muenchen. Filosofi Bola van Gaal berasal dari  Rinus Michel yang menemukan konsep Total Football.  Konsep ini menempatkan lapangan sebagai panggung merekayasa berbagai strategi menyerang bagi semua aktornya. Sikap ini tercermin pada sikap van Gaal yang mementingkan penyerangan jauh lebih utama ketimbang pertahanan. “Tidak masalah seberapa banyak bola bersarang di gawang anda, anda hanya harus membuat gol lebih banyak ke gawang lawan”. Maka kemudian kita melihat  Tim Ajax era Seedorf, Davids dan Kluivert serta tim Muenchen dengan Scwainsteiger, Lahm dan Ballack menjadi talenta-talenta muda yang dengan dingin mengekspresikan sikap “penyerangan” itu.  

Abraham Samad datang dari latar belakang aktivis anti korupsi. Beliau tentu saja minim pengalaman dalam melakukan pemberkasan suatu perkara korupsi. Kelemahan ini berlaku umum meski disadari tidak berlaku secara keseluruhan. Demikian pula tim asuhan van Gaal. Klub yang pernah diasuhnya mengesampingkan berbagai strategi dan pola permainan. Dalam setiap pertandingan, lawanlah yang harus menyesuaikan diri berhadapan dengan tim asuhannya. Kelemahan tim dengan nafas demikian adalah pada rendahnya kualitas pertahanan dalam mengantisipasi serangan lawan. Ketika tim ini dipenuhi pemain muda, deru serangan itu sangatlah mematikan, namun ketika pemainnya mulai kelelahan dimakan usia, beban pekerjaan atau spirit yang kurang maka tim ini dengan mudah menjadi bulan-bulanan lawan.

Sosok kedua adalah Bambang Wijayanto  yang dapat disamakan dengan pelatih Real Madrid  Jose Mourinho. Bambang setipe dengan Mourinho, utamanya dalam melakukan perang urat syaraf yang menggemparkan pihak lain.  Masih ingat dengan wawancara Karni Ilyas pada awal tahun 2013 ? Serangannya pada institusi DPR, Kejaksaan dan Kepolisian bagaikan gertakan Mourinho pada lawan-lawannya. Meski demikian, Mourinho punya kelebihan membuktikan “mulut besarnya”. Ia adalah pelatih hebat yang membuat klub-klub yang diasuhnya meraih kemenangan demi kemenangan. Kelemahan Mou yang paling nampak adalah keenggananya untuk melunak. Ia tipe pelatih yang memegang setiap prinsipnya dengan sangat tegas dan tidak kenal kompromi bahkan walaupun keadaan mengharuskan kelembutan sikap.  Mourinho adalah pelatih yang menjunjung tinggi kesempurnaan. Ia menelaah segala sesuatu dengan detil termasuk tahapan-tahapan dalam setiap upaya pencapaian tujuan. Baginya, tidak ada prestasi yang dapat diraih dengan mengabaikan setiap anak tangga proses. Mou adalah orang yang pertama hadir di lapangan, membantu menyiapkan setiap program/peralatan latihan dan juga orang yang terakhir meninggalkan latihan.

Busyro Muqoddas adalah contoh transformasi yang sangat tepat dari seorang pelatih bernama Fabio Capello. Pada mulanya, Capello adalah seorang yang sangat konsisten memegang pola penyerangan dalam setiap pertandingan. Milan Glorie yang pernah berjaya di zaman Capello adalah kunci utama memenangi banyak gelar. Sikap ofensif dan trengginas adalah ciri khas anak binaan Don Fabio pada tahun 80-an dan 90-an. Demikian pula dengan Busyro. Masih ingat ketika Busyro menyerang “senayan” dengan istilah hedonis ? itu adalah salah satu varian pola penyerangan yang sangat mengagetkan dan membuat anggota dewan mencak-mencak sebagai hasil dari latar belakang akademisi yang cenderung independen. Tapi itu zaman dulu. Capello yang sekarang adalah Capello yang sangat lembut dan cenderung menjaga keseimbangan dalam bertahan. Bandingkan dengan timnas Inggeris ketika masih dibawa Capello. Gonta-ganti gelandang dan pemain bertahan dilakukan sedemikian sering demi untuk menemukan stabilisasi dengan Rooney di depan. Capello yang sekarang adalah Capello yang lembut dan penuh pertimbangan. Sifat ofensif, tegas dan “mematikan” beralih menjadi penuh pertimbangan dalam menaga stabilisasi permainan.

Zulqarnain dapat pula disamakan dengan pelatih MU Alex Fergusson.  Orang tua yang sangat tenang, mumpuni dan berperan membentuk generasi dalam persepakbolaan. Ilmunya tidak diragukan meski sebagian besar karirnya dihabiskan hanya dalam satu klub. Demikian pula dengan Zulkarnain, sebagian besar karirnya dihabiskan di institusi Kejaksaan. Namanya dalam Kejaksaan tidaklah menjadi pusat perhatian meski perlahan-lahan dan tanpa ribut-ribut bergerak mendekati sumbu kekuasaan. Fergusson adalah tipe pelatih yang percaya pada perubahan dengan sendirinya. Perubahan itu harus dilakukan secara gradual dan tidak boleh tergesa-gesa. Bagi Fergusson, prestasi akan hadir dengan sendirinya ketika sistem dan personil bergerak sejalan menciptakan lingkungan yang saling mendukung, tanpa kesan ramai ataupun diintervensi.

Komisioner terakhir adalah Adnan Pandu Praja yang dapai dibandingkan dengan Andre Villas Boas. Villas Boas adalah pelatih muda minim pengalaman yang pernah sukses bersama Porto sepeninggal era Mourinho.  Villas Boas adalah nama yang asing di telinga bahkan setelah memimpin Porto menjuarai UEFA Cup sampai tiba-tiba berpindah ke Chelsea. Namanya lalu menjadi familiar meski kemudian harus menuai kegagalan dalam meramu tim bertabur bintang di Chelsea. Villas Boas akhirnya berlabuh di Tottenham dan berupaya merajut kembali asa menuju tahta pelatih hebat.  Hal penting yang menjadi poin dalam kepelatihan Villas Boas adalah keinginannya untuk bersikap transparan dalam pengelolaan klub dan tidak menyukai campur tangan yang berlebihan dan terkesan intervensi dari pemilik klub.