Kamis, 22 Desember 2011

Whistleblower & Justice Collaborator


Dalam beberapa kasus yang menjadi perhatian, publik seringkali menyaksikan perlakuan yang berbeda dilihat dari kaca mata hati nurani. Pihak tertentu yang di awal berupaya membongkar suatu masalah seringkali menjadi orang pertama pula yang harus terjerembab karenanya. Penegakan hukum bagaikan pisau bermata dua. Ketika suatu masalah itu diangkat ke permukaan dan menjadi konsumsi publik, pihak pengungkapnya harus bersiap-siap menerima tusukan pertama.
Padahal keberadaan para pembuka kasus atau pembongkar masalah seringkali menjadi pintu masuk ke perkara yang sesungguhnya. Pengungkapan kasus tidak dapat dilakukan hanya melalui mekanisme intersepsi (penyadapan) atau analisis terhadap masalah melainkan juga melalui kerja-kerja sunyi para penyelidik/penyidik dalam mengupayakan orang-orang yang bersedia memberi kesaksian.
Persoalan demikian, telah menjadi perhatian para penegak hukum sedunia, sehingga kemudian muncul beberapa istilah melalui berbagai aturan perundang-undangan untuk melindungi pihak-pihak yang demikian. Tulisan ini mencoba untuk menelusuri istilah-istilah demikian, termasuk upaya perlindungannya.
1.       WHISTLEBLOWER
Istilah whistleblower seringkali diterjemahkan sebagai “peniup peluit”. Istilah ini muncul sebagaimana layaknya suatu pertandingan olahraga yang selalu menghadirkan tiupan peluit dari wasit sebagai pertanda ada sesuatu hal yang perlu mendapat perhatian.  Dalam perkembangannya, whistleblower sering diartikan sebagai pelaku kriminal yang membongkar kejahatan. Dalam konteks ini, whistleblower meminjam istilah Prof. Indriyanto Seno Adji adalah inner-circle criminal yang dianggap memiliki daya potensial untuk membuka tabir kejahatan lebih signifikan.
Secara yuridis, whistleblower sebagaimana PP No.71 Tahun 2000 adalah orang yang memberi suatu informasi kepada penegak hukum atau komisi mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi dan bukan pelapor.
Tidak jelas sejak kapan istilah whistleblower mulai muncul, namun yang jelas, sebagaimana istilah “money laundering”/pencucian uang, istilah ini juga sangat lekat dengan dunia kejahatan atau mafia. Begitu kuatnya persaudaraan sesama anggota organisasi kejahatan mafia, organisasi ini sangat sulit untuk dibongkar kecuali ada anggota yang berkhianat. Pelaku yang membelot dan kemudian mendapat perlindungan penegak hukum ini kemudian dijuluki sebagai whistleblower (“peniup peluit”) atau pertanda yang mengagetkan orang lain/publik dan “membangunkan” anggota organisasi mafia sekaligus memaksa penegak hukum bergerak mengungkapnya.
Secara umum, pemahaman publik tentang whistleblower terbagi dua macam. Pemahaman pertama, whistleblower adalah orang yang mengungkap suatu tindak kejahatan namun tidak terlibat di dalamnya. Sedangkan pemahaman yang kedua memasukkan pengungkap kejahatan sebagai whistleblower meskipun juga terlibat di dalamnya.
Berdasarkan Surat Edaran MA (SEMA) No 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Whistleblower dan Justice Collaborator, kedua istilah ini mendapat pemisahan yang tegas. Pemahaman pertama, tetap disebut sebagai whistleblower, sedangkan pemahaman yang kedua dikategorikan sebagai Justice Collaborator. Menurut SEMA tersebut, whistleblower adalah seseorang yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu yang bukan pelaku tindak pidana itu. Apabila pelapor (whistleblower ) dilaporkan balik oleh terlapor, maka perkara yang dilaporkan pelapor didahulukan.
Perbedaan praktik yang terjadi dalam memperlakukan whistleblower ini sangat kental antara Indonesia dan negara-negara lain dalam sistem Eropa Kontinental ataupun sistem Anglo Saxon. Kalau di Indonesia, perlindungan yang terjadi sangat lemah dan bahkan sering berubah menjadi pelaku yang lebih dahulu di proses. Ccontoh yang paling kental berkaitan dengan hal ini adalah Vincentius Amin Sutanto (akuntan PT. Asian Agri yang mengetahui seluk beluk penggelapan pajak di perusahannya) dan Agus Condro (Politisi DPR dalam kasus cek pelawat). Ketika mereka berteriak membongkar upaya pelanggaran hukum di tempatnya bekerja, tiba-tiba mereka dijadikan tersangka atas kasus yang mereka laporkan. Di negara lain dalam sistem Eropa Kontinental ataupun sistem Anglo Saxon, whistleblower mendapat perlindungan yang sangat ketat, mulai dari perlindungan dari pengungkapan nama dan identitas ke publik hingga perlindungan terhadap diri dan keluarganya dalam menjalani kehidupan selanjutnya. Di negara-negara tersebut peran whistleblower sangat diutamakan untuk dilindungi mengingat sulitnya mengungkap kejahatan terorganisasi.

2.       JUSTICE COLLABORATOR
Pengertian Justice Collaborator secara yuridis dapat ditemukan pada Surat Edaran MA (SEMA) No 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Whistleblower dan Justice Collaborator. Pada SEMA tersebut, Justice Collaborator dimaknai sebagai seorang pelaku tindak pidana tertentu, tetapi bukan pelaku utama, yang mengakui perbuatannya dan bersedia menjadi saksi dalam proses peradilan. Dalam Surat Keputusan Bersama antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, KPK dan Mahkamah Agung, Justice Collaborator adalah seorang saksi, yang juga merupakan pelaku, namun mau bekerjasama dengan penegak hukum dalam rangka membongkar suatu perkara bahkan mengembalikan aset hasil kejahatan korupsi apabila aset itu ada pada dirinya.
Untuk menentukan seseorang sebagai Justice Collaborator, sesuai SEMA No. 4 Tahun 2011, ada beberapa pedoman, yaitu :
a.       Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalamSEMA ini, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.
b.      Jaksa penuntut umum dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik dan atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana yang dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan asset-aset/hasil suatu tindak pidana.
c.       Atas bantuannya tersebut, maka terhadap saksi pelaku yang bekerja sama sebagaimana dimaksud di atas, hakim dalam menentukan pidana yang akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-hal penjatuhan pidana sebagai berikut :
i.                     Menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus, dan/atau
ii.                   Menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan diantara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara dimaksud

Dalam pemberian perlakuan khusus dalam bentuk keringanan pidana hakim tetap wajib mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.

Selasa, 13 Desember 2011

Alat Bukti dalam Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang (Belajar dari Kasus WaOde Nurhayati)

foto : Metronews.com
Pemberitaan Kompas online hari ini (14/12) salah satunya membahas komentar-komentar dari anggota parlemen WaOde Nurhayati (WON). Berita dengan link DISINI menarik untuk dikaji karena banyak dari pernyataan itu yang perlu diluruskan sebagai salah satu upaya pembelajaran hukum pada masyarakat. Sebenarnya pernyataaan-pernyataan itu tidak salah, hanya sedikit melenceng keluar jalur sehingga perlu diklarifikasi agar masyarakat memahami persoalan yang sebenarnya.
Hal pertama yang harus dikomentari adalah pernyataan : "(Laporan) PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) itu tidak bisa dijadikan bukti hukum oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Karena permintaan PPATK itu sudah menyalahi prosedur. Marzuki Alie sebagai Ketua DPR telah menggunakan wewenang meminta aliran dana pribadi saya," ujar Wa Ode.
Pernyataan ini terdiri dari dua anak kalimat yang diikat oleh hubungan kausalitas. Pada anak kalimat pertama, WON benar, dengan menyatakan bahwa Laporan PPATK tidak dapat dijadikan bukti hukum oleh KPK (bahkan oleh siapapun juga, termasuk Hakim!).
Laporan yang disampaikan oleh PPATK terdiri dari dua laporan, yaitu Laporan Hasil Transaksi Keuangan Mencurigakan dan Laporan Hasil Transaksi Tunai. Dua jenis laporan ini oleh UU No. 8 tahun 2001 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PPTPPU) telah ditambah dengan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP). Berdasarkan Pasal 1 angka 7 UU PPTPPU, Laporan Hasil Pemeriksaan adalah Laporan Hasil dari proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi Transaksi Keuangan Mencurigakan yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional untuk menilai dugaan adanya tindak pidana. LHP ini sebenarnya adalah penajaman atau pendalaman dari Laporan Hasil Transaksi Keuangan Mencurigakan dan Laporan Hasil Transaksi Tunai.
Tentu saja ketiga dokumen laporan dari PPATK ini tidak dapat dijadikan alat bukti. Apalagi pada tingkat penyidikan ketika berbagai hal belum mendapat pembenaran secara yuridis. Kebocoran atau "tipping off" laporan PPATK tersebut merupakan suatu tindak pidana tersendiri sebagaimana diatur dalam Pasl 12 UU PPTPPU yang diancam pidana 5 tahun (Pelakunya dapat dikenakan penahanan pada tingkat penyidikan). Seorang kawan yang pernah bertugas di Bareskrim  Mabes Polri menceritakan, saking rahasianya Laporan PPATK, disposisi oleh Kabareskrim dilakukan tanpa membuka segel amplopnya. Disposisi hingga ke struktur terbawah dilakukan dalam amplop tertutup hingga kemudian dibuka oleh Ketua Tim Penyidik. Ruang penyimpanannyapun dilindungi sedemikian rupa hingga menyamai perlindungan uang pada bank-bank besar di tanah air (ruang khasanah).
Alat bukti dalam perkara Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) sebagaimana diatur dalam UU mencakup alat-alat bukti dalam KUHAP (keterangan saksi, ahli, surat, petunjuk dan keterangan tersangka) serta alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau alat yang serupa optik dan Dokumen.
Dalam praktek penanganan perkara pencucian uang, Laporan PPATK tidak pernah diperlihatkan dalam semua tahapan pemeriksaan (penyidikan, penuntutan dan persidangan). Kalaupun penegak hukum melihat/mengetahui hal itu, maka pengetahuan itu hanya untuk diri mereka sendiri dan bukan untuk diceritakan pada orang lain.
Apakah dengan demikian Laporan PPATK itu tidak ada manfaatnya ? Tentu saja tidak, bahkan laporan itu sangat bermanfaat karena dapat menjadi landasan atau acuan penyidik mencari dan mengumpulkan alat bukti ketika mulai melakukan penyidikan.
Jadi, laporan PPATK itu tidak dapat dijadikan alat bukti bukan karena permintaan yang menyalahi prosedur melainkan karena memang ada larangan yang dilengkapi sanksi bagi pihak yang mempublikasikannya.
Pada anak kalimat kedua, Ketua DPR menurut WON telah menyalahgunakan wewenangnya meminta aliran dana pribadi WON. Menurut UU PPTPPU, ada lima pihak yang dapat meminta informasi pada PPATK, yaitu instansi penegak hukum, lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap penyedia jasa keuangan, lembaga yang bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, lembaga lain yang terkait dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang atau tindak pidana lain terkait dengan tindak pidana Pencucian Uang; dan financial intelligence unit (PPATK-nya) negara lain. DPR atau Parlemen dapat dikategorikan sebagai lembaga keempat atau lembaga yang terkait dengan PPTPPU. Jadi, permintaan informasi kepada PPATK tersebut tidak dapat dipersalahkan sepanjang dilakukan secara institusi.
Demikian pula, PPATK tidak dapat dipersalahkan melanggar klausul Kerahasiaan Bank dalam UU tentang Perbankan. PPATK dilindungi oleh Pasal 41 ayat (2) UU PPTPPU. Siapapun pemilik rekening di perbankan, baik pribadi ataupun lembaga dapat ditelusuri dengan mudah oleh PPATK untuk mengetahui apakah pada rekening atau transaksi itu terjadi hal-hal yang mencurigakan.
Tentu saja, semua masyarakat berharap penuntasan kasus ini secara hukum tidak diinterupsi oleh berbagai persoalan politik. Biarkanlah alat-alat bukti saling bertarung di pengadilan tanpa ada upaya untuk mendistorsi apa yang sebenarnya sedang terjadi. Juga kepada semua pihak (termasuk KPK) dapat lebih jernih melihat persoalan.


 

Sabtu, 10 Desember 2011

Nunun Ditangkap di Thailand ? Tidak ! Nunun Dideportasi.


Berbagai media beramai-ramai memberitakan penangkapan Nunun Nurbaeti oleh penyidik KPK di Thailand. Anehnya, penangkapan itu dilakukan oleh penyidik KPK di dalam pesawat Garuda Indonesia. Dalam pemberitaan itu juga disebutkan bahwa penyidik KPK beberapa kali mengepung rumah yang diduga persembunyian Nunun di luar negeri namun selalu gagal. Ada “sesuatu” yang tidak jelas berkaitan dengan penangkapan tersebut. Rakyat sepertinya disuguhi pemberitaan yang terkesan misterius.  Adalah penting untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi berdasarkan “pembacaan” kejadian berdasarkan ilmu hukum internasional agar masyarakat mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Dalam standar Perserikatan Bangsa-Bangsa dikenal adanya tiga perjanjian dibidang pidana sebagai landasan dalam menyelesaikan persoalan hukum lintas negara, yaitu: Pertama, perjanjian Ekstradisi (Extradition), kedua, perjanjian Transfer of Sentenced Persons (TSP) dan terakhir adalah perjanjian Mutual Legal Assistance in Criminal Matters ( Bantuan kerjasama timbal balik dibidang pidana).
Mutual Legal Assistance in Criminal Matters ( Bantuan kerjasama timbal balik dibidang pidana) diatur melalui UU No. 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam masalah pidana.  Judul UU tersebut didefinisikan sebagai permintaan bantuan berkenaan dengan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan negara yang diminta. Adapun jenis bantuan yang dapat diberikan sesuai Pasal 3 ayat (2) adalah mengidentifikasi dan mencari orang, mendapatkan pernyataan atau bentuk lainnya, menunjukkan dokumen atau bentuk lainnya, mengupayakan kehadiran orang untuk memberikan keterangan atau membantu penyidikan, menyampaikan surat, melaksanakan permintaan penggeledahan dan penyitaan, perampasan hasil tindak pidana, memperoleh kembali sanksi denda berupa uang sehubungan dengan tindak pidana, melarang transaksi kekayaan, membekukan aset yang dapat dilepaskan atau disita, atau yang mungkin diperlukan untuk memenuhi sanksi denda yang dikenakan, sehubungan dengan tindak pidana, mencari kekayaan yang dapat dilepaskan, atau yang mungkin diperlukan untuk memenuhi sanksi denda yang dikenakan, sehubungan dengan tindak pidana; dan/atau Bantuan lain yang sesuai dengan Undang-Undang ini.
Sedangkan perjanjian Transfer of Sentenced Persons (TSP) adalah Perjanjian untuk melakukan tukar-menukar nara pidana antara dua negara yang warganya dihukum di negara counterpart agar dapat menjalankan hukuman di negara asalnya sendiri.
Bagaimana dengan ekstradisi ? Menurut UU No. 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi, Ekstradisi adalah penyerahan oleh suatunegara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidanakarena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan didalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut, karena berwenang untuk mengadili dan memidananya.
Selain ketiga pranata hukum internasional tersebut, pelanggaran terhadap pranata hukum nasional juga dapat berimplikasi ke hukum internasional. Misalnya pelanggaran hukum keimigrasian, dapat berujung pada mekanisme Deportasi atau secara sederhana dipulangkan ke negara asalnya.

Kasus Nunun

Pertama kali yang harus dikoreksi dari pemberitaan media adalah bahwa penyidik KPK beberapa kali mengepung rumah yang diduga persembunyian Nunun di luar negeri. Suatu negara tentu saja tidak menginginkan aparat hukum negara lain bergerak gentayangan di negaranya tanpa izin dengan dalih apapun. Persetujuan pergerakan aparat hukum negara lain dalam wilayah suatu negara mengindikasikan lemahnya kedaulatan hukum suatu negara. Tentu kita belum lupa bagaimana Polri mati-matian menolak upaya Amerika Serikat menerjunkan anggota FBI ketika warganya terbunuh di Papua beberapa tahun lalu. Jadi kalaupun penyidik KPK berada di Thailand, Kamboja atau Singapura, tentu saja yang bergerak mencari Nunun adalah polisi Thailand,Kamboja atau Singapura.
Setelah Kepolisian Thailand menangkap Nunun di rumah persembunyiannya, mengapa kemudian Nunun di bawa ke pesawat garuda yang nota bene merupakan yurisdiksi negara RI ?
Kalau Kepolisian Thailand menemukan Nunun, kenapa tempat penyerahannya ke Penyidik Indonesia tidak dilakukan di Markas Kepolisian ?
foto : Media Indonesia
Jawabnya, karena kalau diserahkan di Markas Kepolisian Thailand maka hubungan hukum yang dilaksanakan adalah MLA atau Mutual Legal Assistance in Criminal Matters ( Bantuan kerjasama timbal balik dibidang pidana). Konsekuensi dari MLA adalah didahului adanya permintaan dari Menteri Hukum dan HAM (sebagai leading sector MLA) kepada negara Thailand agar dilakukan bantuan pencarian. Berbagai upaya dan birokrasi surat-menyurat harus dilakukan dengan waktu yang tergerus lama.
Permintaan bantuan penangkapan via interpol tidak termasuk dalam kategori ini. Kalau kemudian pihak kepolisian Thailand berhasil melakukan penangkapan, maka yang harus diberi kredit point adalah hubungan yang baik antara anggota interpol. Pihak Kepolisian Thailand menyadari persis bahwa upaya MLA, ekstradisi dan TSP tidak mungkin dilakukan.
Kemungkinan yang paling mungkin terjadi dilakukan Nunun adalah pemalsuan/ penyalahgunaan/tidak berlakunya paspor (ini asumsi saya!) sehingga terjadi pelanggaran UU Keimigrasian Thailand. Sebagaimana di Indonesia, pelanggaran UU Keimigrasian dapat berujung pidana dan atau deportasi. Deportasi adalah pembuangan, pengasingan, atau pengusiran seseorang ke luar negeri sebagai hukuman, atau karena orang itu tidak berhak tinggal di situ. Salah satu contoh kasus deportasi yang paling sering mengemuka adalah deportasi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke Tanah Air.
Atas dasar hendak melakukan deportasi maka pihak Kepolisian Thailand memiliki dasar untuk membawa Nunun. Kalau kemudian mereka membawa Nunun ke Pesawat Garuda Indonesia, tentu saja hal itu karena hubungan yang baik dengan counterpart mereka di Indonesia (Polisi atau KPK). Pihak Kepolisian Thailand telah mengontak counterpart mereka dari RI agar bersiaga di pesawat Garuda Indonesia, sehingga ketika mereka membawa Nunun ke pesawat untuk dideportasi, dengan mudah penyidik KPK menyerahkan surat perintah penangkapan dan menyiarkan ke seluruh dunia keberhasilan itu.
Jadi, sekali lagi yang harus diberikan penekanan, pihak Kepolisian Thailand adalah pihak yang sesungguhnya melakukan penangkapan dan selanjutnya memberlakukan mekanisme Deportasi untuk mengembalikan Nunun ke negara asalnya (melalui pesawat Garuda sebagai wilayah yurisdiksi negara RI).

Jumat, 02 Desember 2011

Pimpinan KPK Terpilih “Disandera” Parlemen


foto : matanews.com
Apa yang menjadi perhatian masyarakat setelah hingar bingar pemilihan (apapun, termasuk Ketua KPK !) yang berjalan penuh tarik-menarik kepentingan ? Jawabannya adalah janji-janji pimpinan terpilih. Dalam pemilihan Pimpinan (dan juga Ketua) KPK periode 2011-2015, DPR sesungguhnya telah memasang perangkap untuk “menyandera” pimpinan KPK terpilih agar bergerak sesuai pendulum yang digerakkan dari senayan.
Dalam uji kelayakan dan kepatutan, para calon pimpinan KPK digiring untuk mengucapkan janji secara teknis tentang penanganan suatu kasus tertentu. Janji itu berwujud pada penuntasan kasus yang selama ini nasibnya terkatung-katung dan telah berulang tahun. Dengan lugunya pula para calon pimpinan KPK itu bersedia memberikan janji akan mampu menyelesaikan kasus-kasus besar yang ada, bahkan ada pula yang dengan tegas memberikan limitasi waktu. Lucunya, pimpinan KPK yang terpilih kemudian adalah orang-orang yang selama ini berada di luar sistem. Dalam artian, mereka adalah orang-orang luar KPK yang secara teknis dan prosedural tidak memahami bagaimana perkembangan kasus yang mereka janji akan dituntaskan.
Melalui janji yang diucapkan oleh para calon pimpinan KPK tersebut, terlihat kalau sebenarnya mereka berasumsi bahwa keterlambatan atau tidak tuntasnya penanganan kasus lebih didasarkan integritas atau political will dari pimpinan KPK. Atas dasar itu, para calon pimpinan KPK menyodorkan cek kosong untuk menggadaikan integritas dan profesional mereka demi sebuah hal yang sebenarnya mereka tidak mengetahuinya secara persis.
Ketua KPK yang baru terpilih, Abraham Samad menjanjikan dalam waktu setahun, KPK akan menuntaskan mega kasus yang menyedot perhatian publik. Dari perpustakaan kasus yang terkatung-katung penyelesaiannya, mega kasus di Indonesia diantaranya adalah Dana talangan Bank Century, Suap pemilihan Deputi Gubernur Senior BI tahun 2004, Mafia Perpajakan dan kasus BLBI.
Sepintas rakyat salut dan angkat topi pada janji-janji Pak Abraham Samad, meskipun sebenarnya banyak juga yang miris dengan berbagai janji tersebut. Persoalannya, apakah Pak Abraham pernah melakukan pemetaan secara teknis yuridis terhadap mega-mega kasus tersebut dan menemukan bahwa persoalannya terletak pada kemauan kuat pimpinan KPK ? Apakah Pak Abraham menyadari bahwa mega-mega kasus tersebut sesungguhnya memiliki episentrum politik yang berhulu di Senayan dan nota bene adalah orang-orang yang memilihnya sebagai Ketua KPK ?
Dari berbagai retorika politik yang hadir dalam uji kepatutan dan kelayakan, sangat minim diungkap bahwa pimpinan KPK bersifat kolegial yang jauh dari kesan individual. Pimpinan KPK bagaikan pemain sepak bola yang harus bekerja sama sebagai sebuah tim. Permainan solo individual yang meskipun menarik perhatian orang tentu saja tidak akan membawa tim ke puncak. Apalagi kalau disadari bahwa lawan mereka (para koruptor) adalah tim yang sangat solid, saling mengcover dan mengedepankan kerja sama dalam permainan korupsi.
foto : Detiknews.com
Aneka Mega kasus yang ingin dituntaskan oleh para pimpinan KPK terpilih adalah kasus-kasus yang selama ini di push atau di kejar-kejar oleh partai “oposisi” seperti Partai PDIP, Hanura, Gerindra atau bahkan Golkar dan PKS. Sandiwara politik menunjukkan bagaimana alotnya Partai Demokrat, PAN dan PKB memperketat barisan pertahanan ketika diserang oleh partai-partai “oposisi” bahkan oleh teman-teman mereka sendiri. Tentu saja di masa datang, rakyat akan melihat “pertarungan” keras penanganan kasus masih terus berlanjut di Senayan dan bukannya di Kuningan. Gerak langkah KPK ke depannya akan berimbas pada penganggaran secara institusi. Berlawanan dengan pendapat orang, prediksi yang mungkin terjadi adalah, ketika KPK berupaya keras menuntaskan kasus, porsi anggaran akan berkurang atau setidaknya terjadi pergeseran anggaran dari bagian penindakan ke bagian pencegahan. Sebaliknya, apabila KPK setengah hati menangani kasus maka kemungkinan besar, anggarannya secara keseluruhan akan dikurangi. Ini masih merupakan bagian dari pertarungan panjang antara Senayan dan Kuningan yang telah berlangsung lama dan memuncak ketika Busyro Muqoddas menjadi Ketua KPK.
Selanjutnya kita tinggalkan pertarungan DPR dan KPK, mari berasumsi menilai kelima anggota KPK yang baru terpilih dan posisinya dalam lembaga. Latar belakang pimpinan KPK yang baru adalah dari Pengacara (Bambang Wijayanto dan Abraham Samad), Jaksa (Zulkarnain), LSM (Adnan Pandu Praja) dan Akademisi (Busyro Muqoddas). Oleh karena Abraham Samad telah duduk sebagai Ketua, maka jabatan lain akan dipetakan sesuai asumsi latar belakang dan pengalaman. Deputi bidang Penindakan tentu akan diisi oleh orang yang berwajah “garang” dalam menghadapi para koruptor. Jabatan ini rasanya pantas diduduki oleh Bambang Wijayanto. Busyro Muqoddas tepat menduduki jabatan Deputi bidang Pencegahan mengingat bidang ini berkaitan erat dengan penelitian dan pengembangan sesuai dengan latar belakang akademisi yang sepi dari kegaduhan politik. Adnan Pandu Praja dengan latar belakang LSM cocok sebagai Deputi Informasi dan data. Terakhir, Zulkarnain akan menempati pos Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat. Penempatan posisi ini bukan jaminan keberhasilan tugas KPK. Porsi paling besar dalam keberhasilan pelaksanaan tugas-tugas KPK akan ditempati oleh para staf dan satgas-satgas.
Keberadaan para staf dan satgas-satgas ini pula yang menjadikan sebagian orang, skeptis terhadap keberhasilan pimpinan KPK. Meskipun pimpinan berganti, pada level bawah tetap tidak ada perubahan berarti. Staf dan satgas-satgas yang bekerja adalah orang yang sama dengan hari kemarin. Kalau dianalogikan ke komunitas lebah, pergantian lebah ratu (sebagai pimpinan) tidak akan berpengaruh terhadap banyaknya madu yang diperoleh para lebah pekerja. Juga tidak akan membuat para lebah pekerja mampu mengambil madu dari nektar-nektar yang berada dalam perlindungan rumah kaca.

Namun, apapun hambatan yang kelak menghadang, harapan telah lahir melalui pimpinan KPK terpilih. Menyemai harapan itu agar mekar dan menjadi pelindung negeri adalah tugas seluruh komponen masyarakat, termasuk para anggota dewan terhormat yang duduk manis di Senayan.

Kamis, 01 Desember 2011

Putusan Mahkamah Militer Luar Biasa An. Letnan Kolonel Untung (Kasus G 30 S/PKI)

Awalnya adalah kunjungan rutin ke toko buku di Jogja. Kebetulan ada banyak buku yang diobral karena sudah lama terbit namun belum juga diminati pelanggan. Saya melihat-lihat tanpa ada niatan untuk membeli. Tiba-tiba saya melihat sebuah buku dengan judul unik, “Tindak Pidana Makar menurut KUHP” karangan Djoko Prakoso yang terbit tahun 1986. Saya tertarik karena menyadari bahwa sejak lama perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana makar belum banyak mengalami perubahan. Ketika melihat daftar isi, saya terhenyak, ternyata dalam buku ini ada putusan Mahkamah Militer Luar Biasa dalam kasus Letnan Kolonel Untung. Akhirnya buku seharga Rp. 3000.- itu berpindah ke dalam tas saya.
Letnan Kolonel Untung adalah seorang tokoh antagonis yang tidak dapat dilepaskan dari sejarah bangsa khususnya ketika pemberontakan PKI berkobar pada paruh akhir 1965. Perannya yang begitu sentral dalam peristiwa tersebut juga menjadi semakin penting karena dia adalah salah satu aktor papan atas organisasi PKI yang pernah menjalani proses peradilan pidana.
Dalam tulisan berikut, saya tidak hendak menghakimi berdasar nilai kesejarahan (karena itu adalah domain para sejarawan). Saya hanya akan menunjukkan beberapa hal yang berkaitan dengan hukum pidana khususnya terkait surat dakwaan, pertimbangan dan putusan hakim.
Putusan Mahkamah Militer Luar Biasa No. PTS-03/MB/U/1966 tanggal 7 Maret 1966 memperlihatkan suatu proses persidangan yang berlangsung sangat cepat. Persidangan dimulai sejak tanggal 23 Februari 1966 hingga putusan dibacakan tanggal 7 Maret 1966. Waktu kerja yang dipergunakan hanya 11 hari (diluar hari minggu). Musyawarah Majelis Hakim (dilakukan diluar persidangan) pun dilakukan dan disepakati pada hari minggu tanggal 6 Maret 1966.
Pada bagian awal putusan, disebutkan identitas terdakwa, yaitu UNTUNG Bin SJAMSURI, umur 40 tahun, dilahirkan di Desa Seruni, Kedung Badjul Kebumen (Jawa Tengah) pada tanggal 3 Juli 1926, agama Islam, pangkat terakhir Letnan Kolonel Infantri NRP. 11284, jabatan Dan Jon I Kawal Kehormatan Cakrabirawa (berdasarkan Keputusan Presiden/Panglima ABRI/KOTI/1965 tanggal 4 Desember 1965 diberhentikan dengan tidak hormat dari pangkat dan jabatannya dalam dinas ketentaraan terhitung mulai tanggal 30 September 1965), tempat tinggal Jalan Cidurian Jakarta.
Surat Dakwaan (dulu disebut Surat Tuduhan) yang disusun oleh Oditur Militer adalah :
A.    1. Tuduhan Pertama : Pasal 107 ayat (1) dan ayat (2) KUHP
2. Tuduhan Kedua : Pasal 108 ayat (1) sub 1 dan ayat (2) KUHP
3. Tuduhan Ketiga : Pasal 66 KUHPT (KUHP Tentara) berhubungan dengan Pasal 110 ayat (1), 107 dan 108 KUHP
B.    Tuduhan Primair : Pasal 340 berhubungan dengan pasal 55 ayat (1) sub 2 KUHP
Tuduhan Subsidair : Pasal 328 berhubungan dengan pasal 55 ayat (1) sub 2 KUHP

Terlihat bahwa surat tuduhan demikian berciri kombinasi. Secara pokok bentuknya adalah kumulatif yang terdiri atas dua bagian. Bagian pertama khusus berkaitan tentang tindak pidana makar sedangkan bagian kedua tentang tindak pidana menggerakkan orang lain melakukan pembunuhan berencana serta penculikan. Dari surat tuduhan tersebut nampak ada kesan “dipaksakan”. Pasal-pasal dalam Surat tuduhan bagian A memiliki sanksi maksimal berupa penjara seumur hidup. Untuk itu maka Pasal-pasal pada bagian B “dimasukkan” karena memiliki ancaman pidana tertinggi yaitu hukuman mati.
Saksi yang diajukan dalam perkara tersebut sebanyak 14 orang, terdiri dari 13 saksi yang diajukan Oditur militer yaitu : Gatot Sukresno, Heru Atmodjo, Wahjudi, Suradi, Sujono, Sukirman, Anwar Rachman, Ngadimo, Mukidjan, Raswad, Gijadi, Kuntjoro dan Anis Sujatno. Terdakwa mengajukan 1 orang saksi meringankan (a decharge) yaitu eks Mayor Rudito.
Surat-surat, berkas-berkas dan barang bukti yang diajukan terdiri dari 14 buah benda terdiri dari dokumen-dokumen, uang, senjata api, visum et repertum, foto dan pernyataan-pernyataan.
Berdasarkan hasil pemeriksaan di depan persidangan, diperoleh fakta-fakta sidang :
1.    Pada tanggal 30 September 1965 malam, anggota-anggota pimpinan G.30.S termasuk terdakwa berkumpul di gedung PENAS untuk mulai menggunakannya sebagai markas Cenko (Central Komite).
2.    Pada tanggal 30 September 1965 malam, terdakwa beserta anggota Cenko lainnya memeriksa persiapan pasukan-pasukan di basis Lubang Buaya, dimana antara lain terdakwa memberikan perintah-perintah pada Dan Pasopati yang akan menjalankan tugasnya mengambil para jenderal.
3.    Organisasi G 30 S yang malam itu mulai digerakkan adalah sebagai berikut :
-       Central Komando (Cenko) adalah pimpinan tertinggi gerakan yang diketuai oleh terdakwa dan beranggotakan eks Kolonel Latief, eks Mayor Sujono, Sam dan Pono.
-       Anggota-anggota Cenko mempunyai tugas eks Kolonel Latief urusan Pasukan dan Teritorial, eks Mayor Sujono urusan Basis dan Logistik, Sam dan Pono urusan Politik dan Massa.
-       Cenko membawahkan tiga pasukan yaitu Pasukan Pasopati dipimpin Dul Arief, Pasukan Bimasakti dipimpin oleh eks Kapten Suradi, Pasukan Pringgodani dipimpin oleh eks Mayor Sujono dengan wakilnya eks Mayor Gatot Sukresno.
4.    Pengepungan dan penyerangan bersenjata terhadap rumah-rumah Menteri Koordinator Pertahanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata, Meneteri Panglima Angkatan Darat dan beberapa perwira-perwira tinggi Angkatan Darat dan berhasil membunuh YM Menteri Panglima Angkatan Darat Jenderal A. Yani, Jenderal Pandjaitan dan Jenderal Harjono serta menculik Jenderal S. Parman, Jenderal Suprapto, Jenderal Sutojo, Kapten P. Tendean (Ajudan Menteri Koordinator Pertahanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata)
5.    Oleh pasukan Bimasakti telah dilakukan penguasaan atas obyek-obyek vital antara lain RRI Pusat Jakarta dan Kantor Telekomunikasi Gambir dan penempatan pasukan di sekitar Istana Merdeka.
6.    Pada tanggal 1 Oktober 1965 melalui RRI yang telah mereka kuasai telah diumumkan/disiarkan pengumuman yang isinya tentang penangkapan terhadap para jenderal dan penyelamatan PYM Presiden.
7.    Pada tanggal 1 Oktober 1965 terdakwa dalam kedudukannya sebagai Dan G 30 S telah menandatangani Dekrit No. 1 tentang Pembentukan Dewan Revolusi Indonesia, yang mana pada hari itu juga telah disiarkan melalui RRI yang telah mereka kuasai.
8.    Pada tanggal 1 Oktober 1965 terdakwa dalam kedudukannya sebagai Dan G 30 S telah menandatangani Keputusan No. 1 tentang Susunan Dewan Revolusi dan Keputusan No. 2 tentang Penurunan dan Kenaikan Pangkat, yang mana kedua keputusan itu pada hari itu juga telah disiarkan melalui RRI yang telah mereka kuasai.

Sedangkan fakta-fakta hukum berkaitan dengan terdakwa adalah :
1.    Pada tanggal 30 September 1965 malam, terdakwa mengadakan pemeriksaan atas persiapan pasukan-pasukan di Basis Lubang Buaya
2.    Telah menunjuk Dul Arief sebagai Dan Pasopati
3.    Telah memerintahkan untuk mengadakan penyelidikan terhadap sasaran yang ditentukan
4.    Telah memberikan perintah-perintah pada Dan Pasopati yang akan menjalankan tugasnya mengambil para jenderal
5.    Telah menerima laporan dari Dul Arief tentang hasil tugas pasukan Pasopati (pengambilan para jenderal)
6.    Telah menerima laporan dari Latief tentang penyelesaian para Jenderal yang telah diambil
7.    Telah menerima laporan dari delegasi yang ditugaskan menghadap PYM Presiden
8.    Telah menandatangani Dekrit No. 1 dan Keputusan No. 1 dan 2, yang kemudian disiarkan melalui RRI

Setelah seluruh pemeriksaan berakhir dan Oditur telah membacakan tuntutannya serta terdakwa mengajukan pembelaan, Majelis Hakim lalu menjatuhkan putusan sebagai berikut :
-       Menetapkan terdakwa bersalah melakukan kejahatan-kejahatan :
1.    Makar (aanslag) dengan niat untuk menggulingkan Pemerintah Republik Indonesia yang sah
2.    Pemberontakan dengan mengangkat senjata terhadap kekuasaan pemerintah yang sudah berdiri di Indonesia
3.    Permufakatan jahat (samen spanning) untuk melakukan makar dengan niat untuk menggulingkan Pemerintah Republik Indonesia yang sah dan untuk melakukan pemberontakan dengan cara melawan atau menyerang dengan senjata kepada kekuasaan yang telah berdiri di Negara Republik Indonesia
4.    Dengan sengaja menggerakkan orang lain melakukan pembunuhan yang direncanakan dengan jalan memberikan keterangan-keterangan dan memberi kesempatan serta ikhtiar (middelen)
-       Menghukum terdakwa karena kejahatan-kejahatan itu dengan :
                    HUKUMAN MATI
-       Memerintahkan supaya barang-barang bukti semuanya dirampas untuk negara
-       Biaya-biaya dalam perkara ini dibebankan pada negara.

Demikian putusan Mahkamah Militer Luar Biasa dengan ketua Letkol Soedjono Wirjohatmodjo, SH dan hakim-hakim anggota : Letkol Udara Zaidun Bakti, AKBP Drs. Kemal Mahisa, SH, Mayor (P) Hasan basjari, SH dan Mayor TIT Soegondho Kartanegara.

Selasa, 29 November 2011

Surat Dakwaan Perkara Tindak Pidana Pemberantasan dan Pencucian Uang

Ketika seorang penuntut umum melimpahkan perkara (tentu saja bersama surat dakwaan) ke pengadilan, tentunya ia telah merasa yakin akan mampu mebuktikan dakwaannya di depan Hakim.
Keharusan meneliti berkas perkara dari penyidik dan kesanggupan menyusun surat dakwaan adalah dua tugas utama seorang penuntut umum. Adagium yang paling penting dalam suatu proses pembentukan jaksa sering dinyatakan dengan kalimat “Jaksa/penuntut umum adalah ahli-ahli pembuktian yang siap mempertanggungjawabkan penanganan perkara di depan Hakim, penasihat hukum dan juga publik. Keharusan untuk membuktikan suatu perkara di depan persidangan adalah tugas utama sorang penuntut umum. Untk itu, ia harus senantiasa berpegang pada alat-alat bukti sesuai dengan mekanisme pembuktian yang dianut oleh sistem peradilan pidana yaitu Negative wettelijke system. Bagi seorang penuntut umum, keberadaan alat-alat bukti bagaikan senjata dan peluru seorang prajurit ketika hendak memasuki arena pertempuran.
Meskipun Pasal 140 KUHAP tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan berkas perkara telah lengkap, bagi kalangan penuntut umum, hal itu dimaknai telah tercukupinya semua alat-alat bukti yang selanjutnya akan dipaparkan di depan persidangan.
Alat-alat bukti itu sesuai dengan pasal 184 KUHAP secara berturut-turut adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat-surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Posisi atau urut-urutan tersebut melambangkan kekuatan pembuktian. Dalam hal terjadi pertentangan antara alat-alat bukti, maka alat bukti dengan urutan teratas dapat dimaknai lebih kuat ketimbang yang berada di bawahnya. Berdasarkan sistem pembuktian negatif (Negative wettelijke stelsel), sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 183 KUHAP, penjatuhan pidana barulah dapat dilakukan apabila terdapat sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, Hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana telah terjadi dan terdakwalah sebagai pelakunya.
Apa pentingnya surat dakwaan ? menurut Osman Simanjuntak, surat dakwaan memiliki tiga fungsi, yaitu fungsi bagi penuntut umum, fungsi bagi Hakim dan fungsi bagi terdakwa.. Bagi penuntut umum, surat dakwaan sebagai objek (materi) yang diperdebatkan di sidang pengadilan melalui pemeriksaan tentang sejauh mana kebenarannya. Bagi hakim,  surat dakwaan menjadi bahan pemeriksaan di persidangan yang akan memberikan corak dan warna terhadap putusannya. Sedangkan bagi terdakwa, surat dakwaan merupakan dasar dan bahan pembelaan terhadap dirinya dalam pemeriksaan di persidangan.
Sifat pentingnya penyiapan alat-alat bukti sebagai dasar dalam penyusunan surat dakwaan, dewasa ini telah direduksi oleh beberapa ketentuan dalam kaidah perundang-undangan pidana sendiri. Salah satunya adalah melalui sistem Pembalikan beban pembuktian ((Omkering van het Bewijslat atau Reversal Burden of Proof). Istilah ini sering disalahkaprahi oleh sebagian orang (bahkan oleh beberapa ahli hukum pidana sendiri) sebagai sistem pembuktian terbalik.
Dalam mekanisme pembuktian konvensional, kewajiban pembuktian berada di tangan penuntut umum sebagaimana prinsip siapa yang mendalilkan harus membuktikan. Dalam mekanisme Pembalikan beban pembuktian, maka terdakwa diberikan kewajiban untuk melakukan upaya pembuktian terhadap apa yang didakwakan oleh penuntut umum.  Prinsip ini sebenarnya tidak dapat dipergunakan secara serampangan karena sesungguhnya bertentangan prinsip “non self incrimination” atau dengan Pasal 189 ayat (3) KUHAP : “keterangan terdakwa hanya dapat dipergunakan terhadap dirinya sendiri”.
Menariknya, prinsip ini telah diadopsi oleh UU Tindak pidana korupsi melalui  Pasal 12 B ayat (1) berbunyi: “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: (a) yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi ; (b) yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.”
Demikian pula UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,  Pasal 77 : Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Pasal 78 (1) Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). (2) Terdakwa membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup.
Prinsip Pembalikan beban pembuktian dalam kaitannya dengan penyusunan surat dakwaan, menimbulkan persepsi negatif bagi sebagian kalangan penuntut umum. Persepsi itu adalah tidak menyempurnakan pembuktian pada tahap penyidikan atau penuntutan dengan alasan bahwa penyempurnaan akan di lakukan di depan persidangan ketika terdakwa memberikan keterangan tentang asal-usul harta kekayaannya. Hal ini sebenarnya adalah suatu blunder, karena bagaimanapun UU memberikan dasar bagi terdakwa untuk menjelaskan asal-usul harta kekayaannya, penuntut umum tetap harus menyempurnakan pembuktiannya untuk mengantisipasi bilamana terdakwa ternyata memiliki alasan-alasan yang logis.
Sejatinya, penerapan prinsip Pembalikan beban pembuktian masih merupakan pranata baru dalam sistem hukum acara pidana. Oleh karenanya menarik untuk dicermati doktrin atau pandangan ahli terkait hal ini. Ahli seperti Yenti Garnasih (Doktor pertama yang mengkaji masalah Pencucian uang di Indonesia) berpendapat bahwa dalam perkara tindak pidana pencucian uang, untuk memulai pemeriksaan tidak diperlukan bukti terlebih dahulu. Dalam kasus Bahasyim, berarti penyidik menduga atau curiga dugaan tindak pidana pencucian uang sebagaimana laporan hasil analisis Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Menindaklanjuti penyidikan penyidik, penuntut umum meyakini ada tindak pidana pencucian uang sehingga dituangkan dalam surat dakwaan.
Bila pendapat Dr. Yenti Garnasih ini dijadikan pegangan, secara tidak sadar sebenarnya para penuntut umum telah mengorbankan hal yang paling essensil dalam penyusunan surat dakwaan yaitu upaya menyempurnakan pembuktian sebelum perkara dilimpahkan ke pengadilan. Kalau logika ahli itu ditarik mundur ke belakang, maka penyidikan sesungguhnya telah bergeser dari domainnya sebagaimana dinyatakan dalam KUHAP sebagai “ upaya mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang TP yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Lebih jauh, pola piker demikian akan sangat berbahaya karena rentan penyalahgunaan wewenang oleh penyidik. Betapa tidak, penyidik dapat saja menangkap dan menahan orang tanpa alat-alat bukti yang cukup selanjutnya meneruskan kepada penuntut umum agar diajukan ke pengadilan. Penyidik dapat berdalih bahwa pengajuan/penyempurnaan alat-alat bukti akan dilakukan di depan hakim melalui mekanisme Pembalikan beban pembuktian.
Dari sisi hukum acara pidana formil, pelaksanaan prinsip Pembalikan beban pembuktian juga masih dapat diperdebatkan. Apakah prinsip tersebut akan dilaksanakan sebelum pemeriksaan saksi-saksi yang diajukan penuntut umum, setelahnya atau diselang-seling ? Ataukah diajukan ketika pemeriksaan terdakwa dilakukan ? Kalau dilakukan ketika proses pemeriksaan terdakwa, apakah setelahnya penuntut umum masih diberikan hak untuk menghadirkan saksi guna mengcounter keterangan terdakwa ? Ataukah ada formalitas khusus yang diberikan kepada penuntut umum untuk melakukan tindakan lain ketika proses pemeriksaan sedang berlangsung ? (misalnya memeriksakan surat-surat yang berkaitan dengan pembuktian dari terdakwa pada Laboratorium forensik). Bagaimana pula dengan perbuatan pidana yang didakwakan ? Apakah uraian dakwaan dapat didasarkan pada kecurigaan atau ketidakmampuan penyidik/penuntut umum melakukan penelusuran harta kekayaan terdakwa ? Masihlah banyak persoalan yang kelak akan berkaitan dengan hukum acara pidana terhadap persoalan ini, dan tentu saja tidak boleh semata-mata hanya diserahkan pada kebijaksanaan hakim di ruangan sidang. Tetap harus ada petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis tentang pelaksanaan prinsip ini di tingkat lapangan.

Rabu, 23 November 2011

Isu seputar Penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang

Penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dalam UU No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang diatur dalam Bab VIII bagian Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di sidang pengadilan, khususnya pada bagian kedua mengenai Penyidikan, pasal 74 dan 75.
Pasal 74 selengkapnya berbunyi :
Penyidikan tindak pidana Pencucian Uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan perundang-undangan,kecuali ditentukan lain menurut Undang-Undang ini.
Penjelasan Pasal 74 ini adalah :
Yang dimaksud dengan “penyidik tindak pidana asal” adalah pejabat dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
Penyidik tindak pidana asal dapat melakukan penyidikan tindak pidana Pencucian Uang apabila menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana Pencucian Uang saat melakukan penyidikan tindak pidana asal sesuai kewenangannya.
Sedangkan Pasal 75 adalah :
Dalam hal penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana Pencucian Uang dan tindak pidana asal, penyidik menggabungkan penyidikan tindak pidana asal dengan penyidikan tindak pidana Pencucian Uang dan memberitahukannya kepada PPATK.
Pasal 75 ini tidak diberi penjelasan lagi oleh pembuat UU alias cukup jelas.
Penyidikan tindak pidana pencucian ini sekarang sedang ramai diperdebatkan dalam kaitannya dengan penyidikan tindak pidana asal.
Sebagian kalangan berpendapat bahwa penyidikan tindak pidana pencucian uang dapat dilakukan meskipun tindak pidana asalnya belum pernah dilakukan. Ini didasari oleh argumen bahwa banyak tindak pidana asal yang terjadi di waktu lampau, dilakukan di luar wilayah Indonesia ataupun alasan kurangnya alat bukti yang diperoleh.
Pendapat dan argumen ini disandarkan pada penjelasan umum UU No. 8 Tahun 2010, yang menyebutkan : Dalam perkembangannya, tindak pidana Pencucian Uang semakin kompleks, melintasi batas-batas yurisdiksi negara, dan menggunakan modus yang semakin variatif, memanfaatkan lembaga di luar sistem keuangan, bahkan telah merambah ke berbagai sektor.
Berbagai dalil tersebut sangat rasional dan cukup dapat dipahami. Sebagai contoh,  tindak pidana pencucian uang dapat terjadi melalui transfer dana ke Indonesia setelah pelaku tindak pidana asal (pedagang narkotik kolombia) melakukan bisnis narkotik di Kolombia. Oleh counter part mereka di Indonesia, uang tersebut dapat saja dipergunakan untuk bisnis property dalam wilayah yurisdiksi Indonesia. Tentu saja, penyidik tidak dapat menunggu terlaksananya penyidikan dalam kasus narkotik untuk dapat melakukan penyidikan TPPU. Kendala yurisdiksi dan asas nasionalitas dalam relasi hubungan internasional akan menjadi isu utama. Untuk maksud demikian maka penyidikan TPPU dilakukan atas dasar Pasal 69 UU PPTPPU : “Untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana Pencucian Uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya”. Oleh sebagian kalangan, bahkan oleh orang yang berada di Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) sebagaimana pernah terlibat diskusi, pasal ini dimaknai sesuai dengan contoh di atas. Artinya, penyidikan tindak pidana asal bukan prasyarat mutlak terselenggaranya penyidikan TPPU yang legal.
Pandangan ini juga memberi jawaban terkait dengan Pasal 75 UU PPTPPU, dalam hal penyidikan tindak pidana asal dan penyidikan TPPU tidak berjalan sesuai dengan rencana. Misalnya, setelah dilakukan penyidikan lanjutan ditemukan bahwa ternyata perkara tindak pidana asalnya sangat minim bukti. Dalam kondisi demikian, penyidikan TPPU dapat terus berlangsung hingga ke persidangan.
Pendapat lain yang tidak kalah kuatnya adalah pendapat yang menyatakan bahwa penyidikan TPPU mutlak baru dapat dilakukan setelah penyidikan tindak pidana asalnya berjalan. Pendapat ini besar kemungkinan didasari oleh penafsiran gramatikal Penjelasan Pasal 74 UU PPTPPU. Dalam penjelasan pasal tersebut, terdapat dua anak kalimat yang dihubungkan oleh kata penghubung “apabila”. Ini mengindikasikan bahwa anak kalimat pertama (Penyidik tindak pidana asal dapat melakukan penyidikan tindak pidana Pencucian Uang) baru dapat dilakukan setelah anak kalimat kedua (menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana Pencucian Uang saat melakukan penyidikan tindak pidana asal sesuai kewenangannya) dilakukan. Artinya, anak kalimat pertama tidak boleh berdiri sendiri terlepas dari anak kalimat kedua. Dengan demikian, penyidikan tindak pidana pencucian uang tidak boleh (mutlak) dilaksanakan apabila penyidikan tindak  pidana asalnya belum dilakukan. Lalu apa yang dapat dijadikan patokan bahwa penyidikan TPPU sudah dapat mulai dilakukan ? Jawabnya adalah ketika penyidik tindak pidana asal menemukan bukti permulaan yang cukup. Mengingat tahap ketika penyidik tindak pidana asal menemukan bukti permulaan yang cukup adalah tahapan yang sangat abstrak dan subyektif maka tahap itu dapat ditarik ketika Surat Perintah Penyidikan (tindak pidana asal) dibuat. Artinya, penyidikan TPPU tidak boleh mendahului tanggal Surat Perintah Penyidikan tindak pidana asal. Penentuan tapal batas ketika Sprindik/SP Sidik TP asal dibuat, dapat dibenarkan oleh KUHAP yang mendefinisikan suatu penyidikan sebagai “serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam UU ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang TP yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Dengan keluarnya Sprindik/SP Sidik perkara TPPU setelah tanggal Sprindik/SP Sidik tindak pidana asal maka semua pihak dapat berbaik sangka bahwa dalam rentang waktu tersebut, penyidik telah bekerja keras dan ternyata menemukan ada bukti permulaan yang cukup kasus TPPU.
Tidak ada penjelasan yang tegas dalam UU tentang “bukti permulaan yang cukup”. Istilah ini dapat ditemukan pada Pasal 1 butir 14 KUHAP tentang tersangka dan istilah hampir sama dapat ditemukan pada Pasal 17 KUHAP tentang perintah penangkapan. Dalam bagian penjelasan Pasal 1 angka 17 KUHAP disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “bukti permulaan yang cukup” ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14.  Yahya Harahap menjelaskan bahwa untuk memahami pasal-pasal tersebut, sebaiknya kata “permulaan” dihilangkan sehingga kalimat dalam Pasal 17 KUHAP berbunyi : diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup. Jika seperti ini, pengertian dan penerapannya lebih pasti. Dan kalau tidak salah tangkap, pengertian yang dirumuskan dalam pasal itu hampir sama dengan pengertian yang terdapat pada hukum acara pidana Amerika, yang menegaskan bahwa untuk melakukan tindakan penangkapan atau penahanan, harus didasarkan atas affidavit and testimony, yakni harus didasarkan pada adanya bukti dan kesaksian. Menurut PAF Lamintang dan Theo Lamintang, kalimat “bukti permulaan yang cukup” dalam rumusan Pasal 17 KUHAP harus diartikan sebagai bukti-bukti minimal berupa alat-alat bukti seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yang dapat menjamin bahwa penyidik tidak akan menjadi terpaksa untuk menghentikan penyidikannya terhadap seseorang yang disangka melakukan suatu tindak pidana, setelah terhadap orang tersebut dilakukan penangkapan
Terhadap Pasal 69 UU PPTPPU, pandangan kelompok ini menyatakan bahwa pengertian kata  “tidak wajib dibuktikan” adalah tidak harus ada putusan hakim tentang perkara dalam tindak pidana asal. Artinya, perkara tindak pidana asal ataupun perkara TPPU-nya dapat saling mendahului maju ke persidangan, atau bahkan dapat diajukan secara bersama-sama melalui satu surat dakwaan. Pendapat ini masih bersesuaian dengan premis awal bahwa penyidikan tindak pidana asal dan penyidikan TPPU adalah dua hal yang terpisah meskipun ada prasyarat yang mempersatukan, yaitu penyidikan TP asal harus lebih dahulu. Kalau kemudian timbul persoalan bahwa terbuka kemungkinan perkara TP asal melemah karena kurangnya alat bukti, tetap tidak menghalangi majunya perkara TPPU ke persidangan (dengan catatan, perkara TP asal belum di SP3-kan) maka dapat diantisipasi dengan melanjutkan perkara TPPU ke persidangan dan putusan hakim kemudian menjadi salah satu alat bukti dalam perkara TP asal. Ini serupa dengan analogi, seorang ibu yang melahirkan seorang anak. Setelah dewasa dan telah memiliki hidupnya sendiri, si anak kembali untuk membantu ibunya menjalani hidup hingga ke penghujung takdirnya.
Demikian pula dengan maksud Pasal 75 UU PPTPPU yang masih sejalan dengan pandangan kelompok ini. Pasal 75 menekankan adanya bukti permulaan yang cukup perkara TPPU dan TP asal. Dimanakah dapat diperoleh bukti permulaan yang cukup itu ? tentu saja pada proses penyidikan. Proses penyidikan tentu saja harus diawali oleh lahirnya Sprindik/SP Sidik. Tanpa Sprindik/SP Sidik TP asal maka penyidikan akan mengarah pada apa yang disebut di negara-negara common law sebagai “fruit of the poisoneous tree”. Doktrin ini mengajarkan bahwa melakukan sesuatu yang baik dengan cara yang salah tidak dapat diterima. Doktrin ini menjadi satu aturan yang disebut the exclutionary rule. Menurut Gordon van Kessel, “exclusionary rules are a police control mechanism rather than an integral part of the adversary system”. Dengan demikian, Pasal 75 ini sebenarnya bermaksud menggabungkan dua surat perintah penyidikan yang masing-masing berdasar pada bukti permulaan yang cukup. Untuk penggabungan itu, penyidik lalu memberitahukannya kepada PPATK.