Jumat, 13 Januari 2012

Statistik Kriminal : Pasukan Penyapu Kejahatan yang Terlupakan


Setiap orang dewasa pernah melakukan perbuatan melanggar hukum. Tidak ada pengecualian tentang hal ini. Baik pelanggaran hukum yang berskala besar ataupun yang remeh temeh seperti tidak mengenakan helm, berbohong, mengambil barang orang lain atau memfitnah. Tentu saja tidak setiap pelanggaran itu harus berujung pada proses peradilan. Inilah yang dimaksud dengan arti “sistem peradilan pidana” menurut Prof. Mardjono Reksodiputro. Menurut Beliau, sistem peradilan pidana adalah upaya menanggulangi kejahatan dalam batas-batas yang dapat ditoleransi oleh masyarakat. Pelanggaran-pelanggaran kecil tersebut masuk dalam kategori “dapat ditoleransi” sehingga seluruhnya tidak perlu masuk ke dalam sistem peradilan pidana.


Seberapa banyak terjadi pelanggaran hukum dalam masyarakat ? Adakah manfaatnya, mengetahui jumlah pelanggaran kejahatan dalam masyarakat ? Bagaimana suatu wilayah hukum dikatakan marak kejahatan ?  Untuk pertanyaan-pertanyaan seperti inilah pasca perang dunia kedua berkembang suatu disiplin ilmu yang bernama kriminologi atau lebih spesifik lagi, ilmu statistik kriminologi.
Secara etimologis, statistik kriminologi adalah simbiosis antara ilmu statistik dan ilmu kriminal. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa, kalau ilmu statistik berkaitan dengan pengukuran dan pencatatan, ilmu kriminologi berbicara tentang penyebab/motif dan pelaku kejahatan. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa ilmu statistik kriminal adalah ilmu yang membahas pengukuran dan pencatatan keadaan kriminalitas/kejahatan dalam masyarakat. Definisi ini sesungguhnya sangat sumir, meskipun sudah cukup dijadikan sebagai patokan untuk menelisik lebih jauh/lebih dalam ilmu statistik kriminal.
Sesuai dengan sifat ilmu ini yang hanya melakukan perekaman data kejahatan dalam masyarakat harus pula dipahami bahwa pendekatan kualitatif belaka memiliki sejumlah keterbatasan. Hal ini telah disadari sejak awal oleh beberapa pakar kriminologi dunia seperti Edwin H. Sutherland dan Donald R. Cressey yang menyebutkan ketidakmungkinan secara pasti menetapkan kejahatan dalam suatu wilayah atau waktu tertentu.


Lalu, apakah dengan demikian ilmu ini dapat dikesampingkan begitu saja ? jawabnya tidak. Sajian data dalam statistik kriminal dapat dipergunakan sebagai batas minimal dalam mengukur tingkat kejahatan. Artinya, data statistik kriminal yang terrekam dapat dijadikan sebagai data awal atau data permulaan. Data yang sebenarnya tentu saja lebih dari itu. Basis perekaman dalam Statistik kriminal diperoleh dari pencatatan oleh petugas-petugas yang berwenang, baik karena mengetahui dengan sendirinya, melalui media ataupun karena pelaporan oleh masyarakat. Pencatatan ini hanya merupakan ukuran terhadap sebagian kejahatan yang terjadi dalam masyarakat mengingat banyaknya kejahatan/pelanggaran hukum yang tidak dilaporkan oleh masyarakat.
Menurut Prof. Mardjono Reksodiputro,  mekanisme pencatatan dan pelaporan masyarakat ini sangat tergantung pada dua hal, yaitu : (1) Sifat dari kejahatan yang bersangkutan. Tidak semua kejahatan dirasakan sama beratnya oleh masyarakat. Tergantung kepada berat ringannya pengukuran masyarakat terhadap sesuatu kejahatan. Dari situ dapat diramalkan kemauan atau keseganan masyarakat melaporkan suatu kejahatan yang diketahuinya terjadi, dan (2) kesungguhan daripada usaha menegakkan hukum. Pencatatan sangat bergantung pada petugas-petugas pencatat, frekwensi operasi penindakan kejahatan ataupun pemahaman petugas terhadap kejahatan yang terjadi.
Angka yang menunjukkan kesenjangan antara kejahatan yang terjadi dalam masyarakat dan hasil perekaman data dalam statistik kriminal kemudian disebut sebagai “the dark number” atau “hidden criminality”. Jumlah ini sangat tidak pasti karena merupakan hasil pengurangan dari data yang tidak diketahui pula.


Menurut penelitian Steven Box dalam Power, Crime and Mystification sebagaimana dikutip Rd. Muhammad Ikhsan, ada beberapa sebab sehingga korban tidak melaporkan peristiwa pidana yang dialaminya :
1)  Korban mengetahui bahwa ia menjadi korban kejahatan tetapi tidak bersedia melapor, karena menganggap polisi tidak efisien atau tidak akan mempedulikan laporannya. Selain itu mungkin, menganggap bahwa peristiwa itu merupakan urusan pribadi karena si korban akan menyelesaikannya langsung di luar pengadilan dengan si pelaku secara extra judicial. Ataupun juga si korban merasa malu dan tidak bersedia menjadi saksi di hadapan polisi maupun di pengadilan, lantaran “aib” dalam kejahatan kesusilaan atau mengalami penipuan karena kebodohannya. Kasus seorang pria hidung belang yang menjadi korban penipuan oleh PSK di kompleks pelacuran dapat menjadi contoh sebab tiadanya laporan tindak penipuan terakhir ini.
2)   korban tidak mengetahui bahwa ia telah menjadi korban suatu peristiwa kejahatan. Di sini sebagai contoh dalam kasus penipuan yang dilakukan dalam skenario kejahatan yang rapi dan canggih.
3)   korban yang sifatnya abstrak dan karena itu sukar diidentifikasi secara khusus dan jelas, misal pada masyarakat konsumen pembeli bahan pangan yang mengandung formalin.
4)   korban mengalami kejahatan sedangkan ia sendiri terlibat dalam kejahatan itu. Dalam sudut pandang viktimologi hal ini acap disebut dengan kejahatan tanpa korban. Contohnya di sini adalah pengguna narkoba yang sakau dan pelaku homo seksualitas.
5)    secara resmi tidak timbul korban, karena adanya kewenangan “diskresi kepolisian” untuk menentukan peristiwa apa dan yang mana sajakah merupakan kejahatan. Satu dan lain hal ini menyangkut kebijakan aplikatif penegakan hukum di lapangan.  


Untuk menjembatani angka yang tercatat dalam perekaman data ataupun the dark number, ilmu statistik kriminal menyediakan angka yang disebut “rate” atau angka perimbangan. Angka perimbangan menyatakan besarnya frekwensi dari kejahatan yang dicatat tersebut dalam kaitannya dengan jumlah penduduk (general population). Angka-angka ini lalu dibandingkan dengan angka yang lain selama periode yang sama pada waktu sebelumnya atau bahkan dibandingkan dengan daerah lain. Hasil perbandingan kemudian dikenal sebagai “crude rates” (angka pertimbangan kasar). Agar statistik kriminal ini makin mendekati angka yang senyatanya maka crude rates ini harus diolah kembali dengan memperhitungkan perbedaan-perbedaan dan perubahan-perubahan dalam struktur masyarakat, termasuk menurut jenis kelamin dan umur. Berdasar asumsi bahwa terdapat suatu hubungan yang tetap (costant) antara data yang tercatat dengan jumlah kejahatan yang sebenarnya, maka hasil “rate” ini lalu dijadikan acuan untuk menilai adanya peningkatan atau penurunan kuantitas maupun kualitas kejahatan dalam suatu wilayah.
Sistem hukum Amerika Serikat menyusun suatu indeks kejahatan (index crime) yang terdiri dari 7 (tujuh) macam kejahatan untuk mengukur fluktuasi marak atau tidaknya kejahatan keseluruhan (total crime) yang terjadi, yaitu : pembunuhan kriminal (criminal homicide), perkosaan (forcible rape), perampokan (robbery), penganiayaan berat (aggavated assault), pencurian dengan pembongkaran (burglary), pencurian selain mobil  diatas US $ 50 (larceny), pencurian mobil (auto theft). Amerika Serikat hanya menyusun ketujuh jenis kejahatan tersebut sebagai sarana pengukuran karena menilai bahwa kejahatan-kejahatan tersebut sangat dekat dengan keseharian warganya serta sangat menusuk perasaan psikologis warga ketika mengalaminya.


Meskipun ada kelemahan dalam sistem perekaman data statistik kriminal, metode ini sampai saat ini masih dianggap sebagai yang terbaik dalam sistem peradilan pidana. Media perekaman data yang biasanya dilakukan oleh institusi-institusi peradilan pidana (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan) merupakan satu-satunya data yang dapat dijadikan panduan dalam hal : (1) menjelaskan bagaimana sebaran dan kualitas kejahatan yang terjadi dalam masyarakat pada suatu kurun waktu ataupun wilayah hukum tertentu,  (2) dengan basis perekaman data yang jelas dapat diketahui bagaimana pola penganggaran, persiapan pebijakan, pengambilan tindakan ataupun evaluasi terhadap langkah penegakan hukum, (3) menjadi data bagi pihak lain untuk mengetahui bagaimana pola kesadaran hukum ataupun persepsi terhadap hukum dalam lingkungan masyarakat.
Penggunaan ilmu statistik kriminal dalam dunia penegakan hukum Indonesia sampai saat ini masih sangat minim. Banyak yang belum memahami fungsi ataupun kegunaannya. Padahal suatu sistem perekaman data statistik kriminal yang baik dapat menjadi instrumen penting bagi penegak hukum dalam menanggulangi kejahatan. Di kalangan penyidik ada adagium, bahwa seuatu kejahatan (bagaimanapun rapinya) pastilah meninggalkan suatu jejak atau tanda tangan. Menurut informasi dari beberapa kawan penyidik, penggunaan ilmu statistik kriminal dalam beberapa kasus telah menghasilkan pengungkapan kejahatan, mulai dari kejahatan jalanan seperti pencurian kendaraan hingga kejahatan “white collar” berupa sindikat pemalsuan dokumen kredit fiktif. Bahkan kasus besar (rahasia !!!) yang sekarang sedang ditangani oleh Mabes Polri dan Kejaksaan Agung atas dukungan PPATK juga dibongkar berdasarkan pemanfaatan ilmu statistik kriminal.
Dengan basis pencatatan yang baik, jejak kejahatan dapat dipilah dan disimpan untuk kemudian dipergunakan ketika terjadi kejahatan lain untuk mengetahui apakah dilakukan oleh pihak yang sama atau bersumber dari ilmu kejahatan yang sama.


Keberadaan statistik kriminal jika dianalogikan dengan komposisi pasukan perang pasukan Gengis Khan identik dengan pasukan ketiga atau penyapu, setelah pasukan pertama, pasukan pembuka (pasukan buser) dan pasukan kedua atau pasukan penghancur (pasukan penyidik). Semoga keberadaannya tidak terlupakan dan hanya menjadi sekedar pemanis cerita bagi dunia penegakan hukum kita.



Semangat !!!

2 komentar: