Foto : Sindonews.com |
Debat tentang prioritas tujuan hukum: keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum, hampir tidak pernah berakhir, bahkan hingga
hari ini. Setiap pilihan sangat kukuh dipertahankan penganutnya bahkan hingga
dalil-dalil yang kokoh dan argumentatif. Setiap masa menyajikan suasana
perdebatan yang berbeda dengan “pemenang” yang silih berganti pula. Sebagian
besar teori-teori hukum yang lahir kemudian seakan menjadi penegasan panasnya
perdebatan tersebut.
Demikian pula yang terjadi pada tataran empiris,
berbagai kasus yang terjadi sesungguhnya menginduk pada debat tentang prioritas
tujuan keadilan. Adalah ibu Rasminah yang belakangan ini menjadi pemicu bagi
kalangan hukum dan masyarakat pemerhati hukum. Kalau diperhatikan lagi suasana batin
media, maka akan terlihat bahwa sesungguhnya sedang tidak terjadi perdebatan
melainkan “serangan sepihak” dari kalangan penasihat hukum ibu Rasminah, media
dan kalangan pemerhati hukum.
Kasus posisinya sangat sederhana, ibu Rasminah diputus
bersalah oleh Mahkamah Agung dan diharuskan menjalani pidana penjara selama 130
hari. Putusan itu lahir karena ia dinilai bersalah melakukan tindak pidana
pencurian terhadap 6 buah piring milik majikannya ketika bekerja. Pada tingkat
Pengadilan negeri, ibu Rasminah dibebaskan namun ketika Penuntut Umum
mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, ia dinyatakan bersalah.
Apa yang menarik dari kasus ini hingga kemudian ramai
menghiasi pemberitaan di media massa ? Pertama-tama, Rasminah datang dari
kalangan masyarakat kecil sebagaimana
sebagian besar warga bangsa ini berasal. Kedua, ada kesan pertentangan yang
coba di blow up oleh media antara
kalangan masyarakat kecil yang tidak berpunya (diwakili oleh ibu rasminah)
melawan masyarakat berpunya yang diwakili oleh sang majikan. Ketiga, timing kejadian ini memang pas ketika
masyarakat belum lama dikejutkan oleh beberapa kasus serupa seperti pencurian
kakao, semangka, pisang, dan karet.
Dengan mencermati posisi kasusnya serta maraknya
pemberitaan di media, dapat disarikan beberapa hal :
1. Sangat
minim sekali perdebatan yang mencoba mengangkat soal substansi hukum
(unsur-unsur delik) dalam kasus ibu Rasminah.
Pernyataan-pernyataan yang
menyeruak adalah pernyataan yang mecoba mengedepankan keadaan ekonomi ibu
Rasminah dan posisinya yang lemah karena ketidakpahaman terhadap hukum dan
proses yang harus dijalaninya. Pada titik ini pertentangan tentang prioritas
tujuan hukum mengemuka. Pengacara ibu Rasminah bahkan terang-terangan meminta
agar dua anggota Majelis Hakin Agung yang mempersalahkan ibu Rasminah dipecat
karena tidak memiliki nurani keadilan. Pendapat ini berkorelasi dengan tujuan
hukum yaitu Keadilan. Konsepsi keadilan sendiri sebenarnya oleh sebagian orang
dianggap sebagai konsepsi yang abstrak. Ia tidak terjamah oleh susunan
kata-kata. Keadilan bagaikan angin, terasa namun tidak terraba. Keadilan
kemudian dipersepsi secara berbeda oleh setiap orang. Karenanya sah-sah saja
kalau setiap orang, dengan mengatasnamakan keadilan lalu menjustifikasi suatu
perbuatan sebagai “adil” berdasarkan perspektifnya sendiri. Ketika persepsi itu
hadir di depan hukum, para hakimpun kewalahan untuk menterjemahkannya dalam
urutan huruf dan deretan intonasi yang bermakna. Sejalan dengan kewalahan para
hakim itulah hingga kemudian pada beberapa putusan, hakim terkesan melakukan
blunder dalam memaknai suatu persoalan. Ambil contoh ketika Majelis Hakim
Konstitusi membatalkan kata “dapat” dalam penjelasan Pasal 2 UU Tipikor. Pada
bagian pertimbangan disebutkan bahwa karena nilai-nilai kepatutan dan kepantasan
itu dipersepsi secara beragam oleh masyarakat, maka dikhawatirkan akan
menimbulkan kerancuan dan perbedaan pemahaman sehingga mengabaikan unsur
kepastian hukum dan keadilan. Dengan menggunalan logika contrario atas pertimbangan hukum majelis hakim MK tersebut akan
didapati bahwa keselarasan dan kesatuan pemahaman akan menimbulkan keadilan
bagi masyarakat. Benarkah ? jawabannya juga sama absurdnya dengan pemahaman
tentang keadilan itu sendiri.
Walaupun kemudian keadilan
tidak dapat dipersepsi secara homogen, urut-urutan tangga untuk mencapainya
dapat dikenali. Dalam konteks keadilan legalistik formal, tangga-tangga pada
kasus ibu Rasminah dilalui dengan memahami substansi persoalan yang didakwakan
melalui serangkaian unsur-unsur pasal. Dengan pemahaman terhadap korelasi unsur
pasal dan perbuatan, dapat diketahui bagaimana konsepsi keadilan dijabarkan
dalam kaitannya dengan peraturan negara dan hubungannya dengan pihak lain yang
menjadi korban.
Harus
pula dipahami bahwa “hukum” yang dilambangkan dengan Dewi Themis bermata
tertutup, tidak dalam posisi melindungi orang kecil atau orang yang lemah
secara ekonomis. Hukum berperan melindungi pihak yang benar, bahwa kemudian
pihak yang benar datang dari kalangan orang kecil maka itu adalah dua hal yang
berbeda. Perlindungan itu diberikan melalui tangan-tangan para hakim yang
memutus perkaranya.
Sangat
tidak fair kalau kemudian hakim dipersalahkan dengan alasan bahwa dalam sistem
hukum yang morat marit seperti di Indonesia, kekuasaan terhadap nasib orang
tidak boleh hanya diletakkan dalam tangan para hakim. Saat ini, paling tidak
sampai saat ini, sistem inilah yang paling sedikit mudaratnya. Kalau kemudian
hakim (yang nota bene terlatih dan berpendidikan) dipandang tidak boleh
menentukan kebenaran dan kesalahan, lalu kepada siapa kita akan berpaling ?
Sekali lagi, pernyataan ini harus dipahami dalam konteks penafsiran yang
beragam tentang makna keadilan itu sendiri.
2. Beberapa
kalangan mempersoalkan barang bukti yang dinilai sangat minim secara ekonomis.
Persoalan
lain yang tidak kalah hebohnya adalah mengenai 6 (enam) buah piring yang
menjadi barang bukti. Publik terlanjur memvonis betapa tidak berharganya jumlah
6 (enam) buah piring tersebut. Dalam beberapa kali tayangan media, ibu Rasminah
terus-menerus mengungkapkan bagaimana proses perolehan keenam piring itu.
Sayangnya, tidak ada satupun pihak yang mencermati pembelaan ibu Rasminah
tersebut. Publik terlanjur membahas betapa barang buktinya sangat tidak layak
bagi kasus tersebut hingga harus berujung ke pengadilan. Dari sisi ini, ibu
Rasminah mungkin lebih paham bagaimana posisi barang bukti dalam suatu perkara
ketimbang masyarakat yang sekedar melihat piring dari nilainya. Tahukah kita
sebenarnya, berapa harga dan kondisi barang bukti yang menjadi muasal lahirnya
sengketa ?
Dalam
sistem perundang-undangan positif, barang bukti dalam kasus pencurian hanya
dinilai dengan batas minimal Rp. 250.- diatas itu, maka suatu kejadian dapat
berubah menjadi tindak pidana. Pembahasan tentang nilai ekonomis suatu barang
sesungguhnya adalah pembahasan yang sangat tidak yuridis. Pembahasan itu tidak
akan berkaitan secara langsung dengan terbukti atau tidaknya suatu perbuatan
menurut hukum. Ia baru akan menjadi
penting ketika berbicara tentang berat ringannya suatu hukuman. Dengan
terus-menerus menyerang sisi ekonomis barang bukti, maka sebenarnya persoalan
yang jauh lebih substansial yaitu perbuatan “mengambil” telah dilupakan dan
mutatis mutandis dianggap telah terbukti.
3. Prosedur
hukum telah dijalani dan saatnya semua pihak bersatu melaksanakan putusan hakim
Bagaimanapun,
proses hukum secara formal telah terlewati. Babak kasasi dalam urut-urutan
perjalanan suatu perkara adalah babak akhir. Kasasi mencirikan suatu perkara
telah memiliki kekuatan hukum tetap. Kalau kemudian masih ada upaya hukum luar
biasa seperti Peninjauan Kembali maka itu sifatnya tidak menunda pelaksanaan
eksekusi.
Sekarang
adalah saat bagi semua pihak untuk bersatu kembali dalam suatu pemahaman
setelah tercerai berai dalam berbagai pemihakan. Putusan Hakim Agung pada
tingkat kasasi laksana pedang pamungkas yang memutus rantai persoalan.
Kalau
kemudian ada persoalan yang tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat (istilah
ini juga absud karena tidak mempunyai parameter yang jelas) maka tugas para
pemimpin dan wakil rakyatlah mendiskusikannya. Toh, hukum juga layaknya
masyarakat yang selalu berputar dan mencari posisi yang pas dalam menengahi
persoalan masyarakat.
Energi
perdebatan yang tidak jelas muaranya harus diakhiri. Perdebatan sebaiknya
diarahkan pada perbaikan tatanan hukum yang menurut Friedmann berpangkal pada
tiga hal utama : substansi, struktur dan budaya hukum. Perdebatan yang sifatnya
personal dapat mulai diarahkan menyentuh ketiga sistem Friedmann tersebut.
Janganlah ketidakpahaman terhadap suatu persoalan menjadi ironi bagi
upaya-upaya kita semua dalam mengedepankan penyelesaian persoalan melalui
hukum. Sistem induktif yang bermula dari kasus Rasminah ini dapat menjadi pintu
masuk bagi lahirnya suatu hal besar yang memayungi dan memberi “obat kuat” pada
sistem hukum kita yang kurang dipercaya masyarakat. Tugas semua pihak untuk
membuat “hukum” kita lebih berdaya. Tugas itu ada di pundak saya, anda dan kita
semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar