Rabu, 01 Februari 2012

Rasminah dan Ironi Pemahaman Hukum

Foto : Sindonews.com
Debat tentang prioritas tujuan hukum: keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, hampir tidak pernah berakhir, bahkan hingga hari ini. Setiap pilihan sangat kukuh dipertahankan penganutnya bahkan hingga dalil-dalil yang kokoh dan argumentatif. Setiap masa menyajikan suasana perdebatan yang berbeda dengan “pemenang” yang silih berganti pula. Sebagian besar teori-teori hukum yang lahir kemudian seakan menjadi penegasan panasnya perdebatan tersebut.
Demikian pula yang terjadi pada tataran empiris, berbagai kasus yang terjadi sesungguhnya menginduk pada debat tentang prioritas tujuan keadilan. Adalah ibu Rasminah yang belakangan ini menjadi pemicu bagi kalangan hukum dan masyarakat pemerhati hukum. Kalau diperhatikan lagi suasana batin media, maka akan terlihat bahwa sesungguhnya sedang tidak terjadi perdebatan melainkan “serangan sepihak” dari kalangan penasihat hukum ibu Rasminah, media dan kalangan pemerhati hukum.
Kasus posisinya sangat sederhana, ibu Rasminah diputus bersalah oleh Mahkamah Agung dan diharuskan menjalani pidana penjara selama 130 hari. Putusan itu lahir karena ia dinilai bersalah melakukan tindak pidana pencurian terhadap 6 buah piring milik majikannya ketika bekerja. Pada tingkat Pengadilan negeri, ibu Rasminah dibebaskan namun ketika Penuntut Umum mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, ia dinyatakan bersalah.
Apa yang menarik dari kasus ini hingga kemudian ramai menghiasi pemberitaan di media massa ? Pertama-tama, Rasminah datang dari kalangan  masyarakat kecil sebagaimana sebagian besar warga bangsa ini berasal. Kedua, ada kesan pertentangan yang coba di blow up oleh media antara kalangan masyarakat kecil yang tidak berpunya (diwakili oleh ibu rasminah) melawan masyarakat berpunya yang diwakili oleh sang majikan. Ketiga, timing kejadian ini memang pas ketika masyarakat belum lama dikejutkan oleh beberapa kasus serupa seperti pencurian kakao, semangka, pisang, dan karet.
Dengan mencermati posisi kasusnya serta maraknya pemberitaan di media, dapat disarikan beberapa hal :

1.  Sangat minim sekali perdebatan yang mencoba mengangkat soal substansi hukum (unsur-unsur delik) dalam kasus ibu Rasminah.
Pernyataan-pernyataan yang menyeruak adalah pernyataan yang mecoba mengedepankan keadaan ekonomi ibu Rasminah dan posisinya yang lemah karena ketidakpahaman terhadap hukum dan proses yang harus dijalaninya. Pada titik ini pertentangan tentang prioritas tujuan hukum mengemuka. Pengacara ibu Rasminah bahkan terang-terangan meminta agar dua anggota Majelis Hakin Agung yang mempersalahkan ibu Rasminah dipecat karena tidak memiliki nurani keadilan. Pendapat ini berkorelasi dengan tujuan hukum yaitu Keadilan. Konsepsi keadilan sendiri sebenarnya oleh sebagian orang dianggap sebagai konsepsi yang abstrak. Ia tidak terjamah oleh susunan kata-kata. Keadilan bagaikan angin, terasa namun tidak terraba. Keadilan kemudian dipersepsi secara berbeda oleh setiap orang. Karenanya sah-sah saja kalau setiap orang, dengan mengatasnamakan keadilan lalu menjustifikasi suatu perbuatan sebagai “adil” berdasarkan perspektifnya sendiri. Ketika persepsi itu hadir di depan hukum, para hakimpun kewalahan untuk menterjemahkannya dalam urutan huruf dan deretan intonasi yang bermakna. Sejalan dengan kewalahan para hakim itulah hingga kemudian pada beberapa putusan, hakim terkesan melakukan blunder dalam memaknai suatu persoalan. Ambil contoh ketika Majelis Hakim Konstitusi membatalkan kata “dapat” dalam penjelasan Pasal 2 UU Tipikor. Pada bagian pertimbangan disebutkan bahwa karena nilai-nilai kepatutan dan kepantasan itu dipersepsi secara beragam oleh masyarakat, maka dikhawatirkan akan menimbulkan kerancuan dan perbedaan pemahaman sehingga mengabaikan unsur kepastian hukum dan keadilan. Dengan menggunalan logika contrario atas pertimbangan hukum majelis hakim MK tersebut akan didapati bahwa keselarasan dan kesatuan pemahaman akan menimbulkan keadilan bagi masyarakat. Benarkah ? jawabannya juga sama absurdnya dengan pemahaman tentang keadilan itu sendiri.
Walaupun kemudian keadilan tidak dapat dipersepsi secara homogen, urut-urutan tangga untuk mencapainya dapat dikenali. Dalam konteks keadilan legalistik formal, tangga-tangga pada kasus ibu Rasminah dilalui dengan memahami substansi persoalan yang didakwakan melalui serangkaian unsur-unsur pasal. Dengan pemahaman terhadap korelasi unsur pasal dan perbuatan, dapat diketahui bagaimana konsepsi keadilan dijabarkan dalam kaitannya dengan peraturan negara dan hubungannya dengan pihak lain yang menjadi korban.
Harus pula dipahami bahwa “hukum” yang dilambangkan dengan Dewi Themis bermata tertutup, tidak dalam posisi melindungi orang kecil atau orang yang lemah secara ekonomis. Hukum berperan melindungi pihak yang benar, bahwa kemudian pihak yang benar datang dari kalangan orang kecil maka itu adalah dua hal yang berbeda. Perlindungan itu diberikan melalui tangan-tangan para hakim yang memutus perkaranya.
Sangat tidak fair kalau kemudian hakim dipersalahkan dengan alasan bahwa dalam sistem hukum yang morat marit seperti di Indonesia, kekuasaan terhadap nasib orang tidak boleh hanya diletakkan dalam tangan para hakim. Saat ini, paling tidak sampai saat ini, sistem inilah yang paling sedikit mudaratnya. Kalau kemudian hakim (yang nota bene terlatih dan berpendidikan) dipandang tidak boleh menentukan kebenaran dan kesalahan, lalu kepada siapa kita akan berpaling ? Sekali lagi, pernyataan ini harus dipahami dalam konteks penafsiran yang beragam tentang makna keadilan itu sendiri.

2. Beberapa kalangan mempersoalkan barang bukti yang dinilai sangat minim secara ekonomis.
Persoalan lain yang tidak kalah hebohnya adalah mengenai 6 (enam) buah piring yang menjadi barang bukti. Publik terlanjur memvonis betapa tidak berharganya jumlah 6 (enam) buah piring tersebut. Dalam beberapa kali tayangan media, ibu Rasminah terus-menerus mengungkapkan bagaimana proses perolehan keenam piring itu. Sayangnya, tidak ada satupun pihak yang mencermati pembelaan ibu Rasminah tersebut. Publik terlanjur membahas betapa barang buktinya sangat tidak layak bagi kasus tersebut hingga harus berujung ke pengadilan. Dari sisi ini, ibu Rasminah mungkin lebih paham bagaimana posisi barang bukti dalam suatu perkara ketimbang masyarakat yang sekedar melihat piring dari nilainya. Tahukah kita sebenarnya, berapa harga dan kondisi barang bukti yang menjadi muasal lahirnya sengketa ?
Dalam sistem perundang-undangan positif, barang bukti dalam kasus pencurian hanya dinilai dengan batas minimal Rp. 250.- diatas itu, maka suatu kejadian dapat berubah menjadi tindak pidana. Pembahasan tentang nilai ekonomis suatu barang sesungguhnya adalah pembahasan yang sangat tidak yuridis. Pembahasan itu tidak akan berkaitan secara langsung dengan terbukti atau tidaknya suatu perbuatan menurut hukum.  Ia baru akan menjadi penting ketika berbicara tentang berat ringannya suatu hukuman. Dengan terus-menerus menyerang sisi ekonomis barang bukti, maka sebenarnya persoalan yang jauh lebih substansial yaitu perbuatan “mengambil” telah dilupakan dan mutatis mutandis dianggap telah terbukti.

3.   Prosedur hukum telah dijalani dan saatnya semua pihak bersatu melaksanakan putusan hakim
Bagaimanapun, proses hukum secara formal telah terlewati. Babak kasasi dalam urut-urutan perjalanan suatu perkara adalah babak akhir. Kasasi mencirikan suatu perkara telah memiliki kekuatan hukum tetap. Kalau kemudian masih ada upaya hukum luar biasa seperti Peninjauan Kembali maka itu sifatnya tidak menunda pelaksanaan eksekusi.
Sekarang adalah saat bagi semua pihak untuk bersatu kembali dalam suatu pemahaman setelah tercerai berai dalam berbagai pemihakan. Putusan Hakim Agung pada tingkat kasasi laksana pedang pamungkas yang memutus rantai persoalan.
Kalau kemudian ada persoalan yang tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat (istilah ini juga absud karena tidak mempunyai parameter yang jelas) maka tugas para pemimpin dan wakil rakyatlah mendiskusikannya. Toh, hukum juga layaknya masyarakat yang selalu berputar dan mencari posisi yang pas dalam menengahi persoalan masyarakat.

Energi perdebatan yang tidak jelas muaranya harus diakhiri. Perdebatan sebaiknya diarahkan pada perbaikan tatanan hukum yang menurut Friedmann berpangkal pada tiga hal utama : substansi, struktur dan budaya hukum. Perdebatan yang sifatnya personal dapat mulai diarahkan menyentuh ketiga sistem Friedmann tersebut. Janganlah ketidakpahaman terhadap suatu persoalan menjadi ironi bagi upaya-upaya kita semua dalam mengedepankan penyelesaian persoalan melalui hukum. Sistem induktif yang bermula dari kasus Rasminah ini dapat menjadi pintu masuk bagi lahirnya suatu hal besar yang memayungi dan memberi “obat kuat” pada sistem hukum kita yang kurang dipercaya masyarakat. Tugas semua pihak untuk membuat “hukum” kita lebih berdaya. Tugas itu ada di pundak saya, anda dan kita semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar