Jumat, 29 Juni 2012

Nenek Loeana, in absensia dan Keadilan yang Tertunda



foto : inilah.com/Dewa Putu Sumerta
Seorang nenek renta bernama Loeana Kanginnadhi (77) yang kini sakit keras, lumpuh dan masih di rawat di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar mencuri perhatian publik tanah air ketika hadir di persidangan PN Denpasar, Selasa 26 Juni 2012 sambil tetap berada di atas kasur kereta dorong. Penuntut Umum menolak bahwa pihaknya yang memaksakan Nenek Loeana hadir di persidangan sambil menunjuk pihak Penasihat Hukum yang melakukannya. Persidangan makin kompleks dengan hadirnya dua surat keterangan dokter yang isinya bertolak belakang serta dalih Pengacara Penggugat (Loeana adalah tergugat dalam kasus perdata) yang menuding adanya upaya memperlambat persidangan demi tujuan merugikan kliennya.

Kehadiran Nenek Loeana di persidangan pidana PN Denpasar menghangatkan kembali perdebatan di kalangan para ahli maupun pemerhati hukum tentang wajib tidaknya kehadiran seorang terdakwa di ruang persidangan. Aturan beracara pidana tidak menyebut secara tegas perihal tersebut sehingga kemudian menimbulkan banyak penafsiran dengan alasan-alasan yuridis yang logis.

Ketidakhadiran terdakwa dalam pemeriksaan yang seringkali disebut sebagai in absensia atau in absentia. Istilah ini berasal dari bahasa latin yang berarti “dengan ketidakhadiran”. Pertama kali merasuk dalam sistem perundang-undangan negara melalui Penetapan Presiden No. 11 Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, khususnya Pasal 11 ayat (1), “Apabila terdakwa setelah dua kali berturut-turut dipanggil secara sah tidak hadir di sidang, maka pengadilan berwenang mengadilinya di luar kehadirannya (in absensia)”. Secara terminologi, istilah ini diberi atribut makna oleh Abdurrahman Saleh (2008) sebagai konsep di mana terdakwa telah dipanggil secara sah dan tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang sah, sehingga pengadilan melaksanakan pemeriksaan di pengadilan tanpa kehadiran terdakwa.

Menurut Dwiyanto Prihartono (2003) terdapat setidaknya tiga kecenderungan pendapat tentang keabsahan sidang in absentia, yaitu :
1.    Yang menganggap bahwa pemeriksaan di Pengadilan memutlakkan hadirnya terdakwa. Pendapat ini berarti secara ekstrim menolak diberlakukannya praksis sidang in absentia. Kelompok ini mendasarkan pendapatnya pada pasal-pasal dalam KUHAP, diantaranya : Pasal 145 ayat (5), Pasal 154 ayat (5), Pasal 155 ayat (1), Pasal 196 ayat (1), Pasal 203 dan Pasal 205. Pemahaman sebagian ahli dan praktisi hukum atas pasal-pasal di atas, menyimpulkan bahwa tidak mungkin sebuah perkara diperiksa dan diadili tanpa kehadiran terdakwa. Bahkan para penyidik pun jelas akan mengalami kesulitan yang substansial dalam menyusun berita acara pemeriksaan. Karena bagaimana mungkin pemeriksaan dilakukan tanpa adanya obyek yang diperiksa.
2.    Yang membolehkan praktik pengadilan in absentia, bersandar pada : Pasal 213, Pasal 214 ayat (1) dan (2) KUHAP, Pasal 38 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi, Pasal 79 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Pasal 79 UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 45 Tahun 2009.
3.    Kelompok ketiga memandang perbedaan pandangan dua kelompok sebelumnya bukanlah untuk disikapi secara dikotomis-antagonistik. Bagi kalangan yang moderat ini, dua dalil hukum yang dikemukakan sama-sama merupakan produk hukum yang memiliki kekuatan hukum yang sama sehingga mempertemukan keduanya jauh lebih baik dibanding berdebat soal kekuatan masing-masing dalil tersebut.

Pendapat Dwiyanto Prihartono tersebut tidak harus dimaknai secara hitam putih karena persidangan in absensia adalah sesuatu yang dilakukan dalam keadaan-keadaan tertentu. Keadaan-keadaan tertentu itu dapat dilihat pada pasal-pasal yang sesungguhnya merupakan pengecualian dari asas bahwa terdakwa mutlak hadir di persidangan.

Kelemahan utama sistem perundang-undangan yang berkaitan dengan in absensia adalah tiadanya ketegasan dalam menyebut apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Yahya Harahap (2002) menyebutkan bahwa, “hukum tidak membenarkan proses peradilan in absentia dalam acara pemeriksaan biasa dan pemeriksaan acara singkat. Tanpa hadirnya terdakwa dalam persidangan, pemeriksaan perkara tidak dapat dilakukan. Itu sebabnya Pasal 154 KUHAP mengatur, bagaimana cara menghadirkan terdakwa dalam persidangan. Tata cara tersebut memperlihatkan tanpa hadirnya terdakwa dalam persidangan, pemeriksaan perkara tidak dapat dilakukan”.

Menariknya, Yahya Harahap menyebutkan pelarangan in absentia hanya berdasarkan penafsiran bahwa KUHAP mengatur tata cara menghadirkan terdakwa ke Pengadilan. Menjadi persoalan baru, kalau misalnya terdakwa yang tidak dapat hadir ke persidangan itu dikarenakan alasan yang patut/masuk akal dari sisi prosedur seperti sakit dalam jangka waktu lama, apakah dengan demikian juga perkaranya harus berhenti ? Perkara HM Soeharto yang tidak dapat dihadirkan ke pengadilan karena alasan yang masuk akal dapat menjadi pelajaran. Perkara itu tidak dapat dilanjutkan proses persidangannya (bahkan kemudian dihentikan) sehingga mengorbankan tujuan hukum yang paling asasi yaitu “keadilan” sekaligus meneguhkan tujuan hukum lain yaitu “kepastian hukum”.

Persoalannya kemudian menjadi dilematis ketika perkara yang ditunda/dihentikan itu merupakan perkara kunci yang berimplikasi pada gugatan perdata atau pada kasus-kasus lain yang berkaitan dan sedang menunggu giliran untuk dungkapkan. Apakah kasus-kasus tersebut juga dengan sendirinya harus ikut ditunda/berhenti ? Bagaimana dengan pandangan dari sisi pihak korban ? Apakah mereka akan sama tenangnya dengan keluarga terdakwa yang tersenyum karena perkaranya ditunda/dihentikan ?

Nampaknya harus ada terobosan hukum dalam proses beracara pidana umum. Satu hal yang juga tidak boleh luput dari perhatian adalah bahwa memberikan keterangan di depan pengadilan bagi seorang terdakwa, selain mengandung kewajiban juga terkandung hak. Dengan mengingkari kewajibannya memberikan keterangan, seorang terdakwa layak diancam hukuman baru yang berkaitan dengan tindakannya menunda atau menghalang-halangi persidangan. Sedangkan tindakannya yang tidak mau hadir di persidangan, secara tidak langsung merupakan penegasan bahwa ia (terdakwa) tidak bersedia menggunakan haknya sekaligus membenarkan keterangan saksi-saksi yang hadir di persidangan.

Aturan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi maupun UU pencucian uang serta UU Perikanan telah mengadopsi hal tersebut. Penyusun UU berdalih bahwa ketiganya adalah kejahatan yang khusus sehingga diperlukan suatu prosedur khusus pula dalam menanggulangi ketiga bentuk kejahatan tersebut. Salah satu preseden penting berkaitan dengan hal itu adalah dalam kasus Hisyam Al Waraq dan Rafat Ali Rivzi. Kedua terpidana Bank Century itu adalah contoh bagaimana suatu sistem in absentia dijalankan, sejak dari penyidikan, penuntutan dan persidangan. Sehingga bukan suatu hal yang asing kalau prosedur demikian hendak pula diterapkan dalam perkara pidum.  

Dengan melakukan terobosan hukum melakukan persidangan in absentia, Nenek Loeana tidak perlu hadir di persidangan atas alasan kesehatan sementara persidangan tetap berlangsung dan tidak berpretensi merugikan pihak-pihak lainnya sebagaimana yang ditudingkan Pengacara Penggugat.

Namun demikian, penegak hukum perlu diberikan sedikit penekanan bahwa perlakuan in absentia tidak boleh dilakukan secara sembarangan karena sangat rentan menimbulkan kesewenang-wenangan.


Selasa, 12 Juni 2012

Penguatan Kelembagaan dan Hukum menghadapi Konflik Etnis


“Mengurangi konflik harus dengan menguatkan kelembagaan dan hukum karena tanpa keduanya, warga akan kembali mengusung identitas dalam suatu kontestasi”


Kalimat dari Prof. Jacques Bertrand itu mengakhiri acara diskusi sekaligus bedah buku “Nasionalisme dan Konflik Etnis di Indonesia” yang diadakan di Gedung Widya Graha LIPI Jl. Gatot Subroto. Tidak ada gebyar berlebihan dalam diskusi itu, semua berjalan khusuk dan tenang menyiratkan keprihatinan peserta atas maraknya konflik etnis di Nusantara sejak akhir 1990-an.

Diskusi tertanggal 12 Juni 2012 itu berjalan menarik dengan penanggap DR. Muridan S. Widjojo (Peneliti LIPI) dan Sofyan Munawar Asgart (Organisasi DEMOS).

Penelitian yang dilakukan oleh Prof. Jacques Bertrand sejak tahun 1996 ini pada dasarnya menceritakan bahwa kekerasan etnis pada akhir 1990-an bisa dijelaskan antara lain dengan menganalisis model kebangsaan Indonesia dan pelembagannya selama masa Orde Baru Presiden Soeharto. Akhir 1990-an merupakan suatu titik simpang kritis dalam sejarah pasca-kemerdekaan Indonesia, dimana transformasi kelembagaan telah membuka saluran-saluran guna merundingkan kembali unsur-unsur model kebangsaan; peran islam dalam lembaga-lembaga politik, arti penting relatif dari pemerintah pusat dan daerah, akses dan representasi kelompok-kelompok etnis dalam lembaga-lembaga negara, serta definisi dan makna “bangsa” Indonesia. Transformasi kelembagaan periode ini merupakan salah satu dari tiga titik simpang penting yang telah mendefinisikan kembali model kebangsaan dan memodifikasi keseimbangan hambatan dan peluang perundingan ulang mengenai hubungan diantara kelompok-kelompok etnis (hal. 5)

Ketiga titik simpang itu, menurut Prof. Jacques adalah : pertama, periode pembentuksn model kebangsaan Indonesia ketika konsep mengenai bangsa Indonesia mulai terbentuk dan dilembagakan dalam suatu negara kesatuan pada 1950; kedua, periode reformasi kelembagaan dimulai sekitar 1957, dengan dicampakkannya lembaga-lembaga demokrasi liberal dan diganti dengan sistem kekuasaan otoriter yang terpusat dan kuat. Pada titik persimpangan ini, yang berakhir pada 1968, Presiden Soekarno dan penerusnya Soeharto menegaskan kembali prinsip-prinsip model kebangsaan yang dibangun pada 1950 tetapi melembagakannya secara berbeda. Karena bukan merupakan hasil kesepakatan luas, model tersebut kian dipaksakan oleh negara dibawah kekuasaan Orde Baru Soeharto. Akibatnya terbentuklah ketegangan yang tak bisa dipertahankan dengan kelompok-kelompok tersingkir atau yang menolak syarat-syarat inklusinya. Ketegangan itu mengakibatkan kerusuhan etnis, dengan tanda-tanda perubahan kelembagaan yang kian meningkat ketika kekuasaan Soeharto sampai pada tahun-tahun terakhirnya. Titik simpang yang ketiga dimulai dengan mundurnya Soeharto pada Mei 1998. Periode ketidakstabilan ini memperburuk ketegangan-ketegangan yang telah menumpuk selama tiga puluh tahun sebelumnya dan mengakibatkan pecahnya sejumlah konflik etnik (hal. 7-8)

Buku ini sangat menarik karena secara nyata menyuguhkan konflik-konflik etnis yang terjadi seperti konflik di Kalimantan, Maluku, Poso, Papua, Timor-timur dan Aceh. Pengalaman penulis yang langsung berinteraksi dengan kalangan akar rumput di daerah-daerah konflik menambah kekayaan khazanah buku ini.

Tidak hanya piawai membongkar masalah dan penyebab lahirnya konflik etnis, Prof. Jacques juga mampu menawarkan solusi mengatasi maraknya konflik etnis di Indonesia. Solusi itu adalah dengan memberikan otonomi khusus, dengan kondisi :
Pertama, unit-unit federal atau otonomi akan bisa berjalan dengan baik ketika batas-batas teritorial mereka bersesuaian dengan kelompok yang relatif homogen. Kedua, suatu lingkungan politik demokratis lebih kondusif bagi pemindahan kekuasaan politik yang berhasil. Demokrasi yang terbangun dengan baik bisa dengan lebih baik menjamin bahwa perundingan mengenai perubahan kelembagaan dilaksanakan sepenuhnya dan bahwa proses hukum bisa diakses untuk menyelesaikan pertikaian. Ketiga, terdapat peluang yang lebih baik untuk menurunkan ketegangan etnis ketika pembagian kekuasaan atau pemindahan kekuasaan antara pusat dan berbagai unit-unitnya jelas. Keempat, sebahian pakar berpendapat bahwa desentralisasi keuangan mungkin sama pentingnya dengan pemindahan kekuasaan politik. Kekuasaan politik tanpa kendali atas sumber-sumber keuangan bisa tak berarti apa-apa (hal. 303-304)

Meski menawarkan otonomi sebagai solusi, Prof. Jacques juga menyadari bahwa otonomi merupakan kebijakan yang berhasil untuk mengelola hubungan antara pusat dan daerah-daerah tetapi tidak cukup untuk menghilangkan gerakan etnonasionalisis di Aceh (meski saat ini lumayan berhasil-Pen) dan Papua. Sementara kekuasaan politik dan keuangan yang lebih terdesentralisasi akan menjawab banyak tuntutan di beberapa daerah, ia juga bisa mencegah pembentukan identifikasi etnis lebih jauh melawan pusat. Akan tetapi dalam kasus-kasus yang sudah ada, langkah-langkah harus diambil untuk mengurangi ancaman etnonasionalitas. Otonomi khusus hanya mengatasi keluhan-keluhan yang berdasarkan pada sentralisasi kekuasaan politik dan keuangan, tetapi tidak cukup untuk mengembalikan kepercayaan terhadap pusat. Ia menawarkan sedikit jaminan bahwa pusat tidak akan memaksakan lebih banyak sentralisasi setelah ia mengatasi kelemahan-kelemahannya, ia tidak menjawab tuntutan-tuntutan untuk mengurangi penindasan, dan ia tidak memberikan keadilan bagi pelanggaran hak-hak asasi manusia yang dilakukan di kedua daerah itu sebagai akibat kekuasaan orde baru (hal. 342)

Buku ini dikritik oleh para penanggap sebagai terlalu membuka ruang yang lebih longgar bagi penyebutan “konflik etnis”. Dalam buku ini, istilah itu mencakup berbagai konflik, termasuk konflik berlatar belakang agama, ras ataupun antar golongan. Selain itu, buku ini dianggap juga terlalu ambisius, menyederhanakan persoalan konflik di Indonesia kedalam suatu buku yang secara rril sesungguhnya dapat dipecah dalam dua atau tiga buku yang sama tebalnya. Selain itu, buku ini juga kurang mengeksplorasi penyebab lain dalam suatu konflik etnis seperti peran media, fundamentalisme pasar dan atau agama.

Terlepas dari berbagai kekurangan kecil diatas, buku ini telah menyuguhkan analisis yang cermat dan komprehensif karena berhasil mengurai benang kusut dimensi konflik dan refleksi kebangsaan para pihak secara simultan dalam dinamika historis yang terus berkembang.

Terima kasih Prof. Jacques Bertrand


Minggu, 10 Juni 2012

Hak Penyidik/Penuntut Umum yang diamputasi MK


Tanpa ribut-ribut dan terkesan sepi dari pemberitaan, para penyidik dan penuntut umum kembali diamputasi haknya oleh Mahkamah Konstitusi. Kali ini yang diamputasi adalah hak  untuk memintakan putusan akhir ke Pengadilan Tinggi atas penetapan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan sebagaimana dimaksud Pasal 83 ayat (2) KUHAP.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-IX/2011 tanggal 19 April 2012, yang selengkapnya dapat dibaca DISINI, mengandung beberapa pertimbangan, diantaranya :

1.    Menurut Mahkamah, Pasal 83 ayat (2) KUHAP bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena tidak mempersamakan kedudukan warga negara di dalam hukum dan pemerintahan serta tidak memberikan kepastian hukum yang adil. Dengan kata lain, Pasal 83 ayat (2) KUHAP tersebut memperlakukan secara berbeda antara tersangka/terdakwa di satu pihak dan penyidik serta penuntut umum di pihak lain dalam melakukan upaya hukum banding terhadap putusan praperadilan. Ketentuan demikian tidak sesuai dengan filosofi diadakannya lembaga praperadilan yang justru menjamin hak-hak tersangka/terdakwa sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia
2.    Menurut Mahkamah, untuk memperlakukan sama antara tersangka/terdakwa dan penyidik serta penuntut umum dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP tersebut terdapat dua alternatif yaitu :  (1) memberikan hak kepada tersangka/terdakwa untuk mengajukan permohonan banding; atau (2) menghapuskan hak penyidik dan penuntut umum untuk mengajukan permohonan banding
3.   Menurut Mahkamah, oleh karena filosofi diadakannya lembaga praperadilan sebagai peradilan yang cepat, untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap tersangka/terdakwa dan penyidik serta penuntut umum maka yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 adalah pemberian hak banding kepada penyidik dan penuntut umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP. Dengan meniadakan hak banding kepada kedua pihak dimaksud maka pengujian konstitusionalitas Pasal 83 ayat (2) KUHAP beralasan menurut hukum;

Disadari atau tidak, konsep KUHAP yang banyak digunakan saat ini banyak menguntungkan penegak hukum. Ini sesuai dengan kebijakan politik hukum nasional ketika KUHAP dibuat pada tahun 1981. Sistem hukum dan sistem politik negara pada saat itu masih dalam masa transisi. Pada saat itu, negara benar-benar berkuasa dan mengejahwantakan kuasa itu melalui serangkaian kewenangan yang bersifat supra di atas warga. Dalam konteks ini, penegak hukum banyak diberikan hak untuk menjalankan tatanan hukum sekaligus membuka ruang bagi penciptaan hukum dan ketertiban dalam masyarakat.

Salah satu hal menjadi contoh berkaitan dengan hal itu adalah pemberian hak pada penyidik atau penuntut umum untuk melakukan “banding” kepada Pengadilan Tinggi bilamana Hakim Pengadilan Negeri memutus tidak sahnya penyidikan/penuntutan. Hak yang sama tidak ditemukan pada tersangka, keluarga atau kuasanya.

Dari kaca mata sekarang, tentu saja hal itu tidak berimbang, oleh karenanya Mahkamah Konstitusi dengan putusannya telah menyeimbangkan pihak tersangka, keluarga atau kuasanya di satu sisi dengan penyidik/penuntut umum di sisi lain. Implikasi putusan Mahkamah Konstitusi ini adalah berkaitan dengan praperadilan yang langsung berkekuatan hukum sesaat setelah diucapkan.

Bagi penegak hukum, putusan MK ini adalah suatu katalisator untuk bekerja secara bertanggung jawab. Setiap pelaksanaan tugas harus senantiasa didasarkan pada argumentasi, fakta dan analisis yang kuat. Bukan saatnya lagi bekerja asal-asalan sekedar untuk memenuhi kewajiban sambil berharap adanya esprit de corps dari sesama penegak hukum. Ini sesuai dengan apa yang dituliskan oleh Michel De Montaigne, Penulis dan filsuf asal Prancis  pada pertengahan tahun 1500-an, “Siapa yang menegakkan pendapat dengan perintah dan keributan, dia memiliki argumentasi yang lemah

Selasa, 05 Juni 2012

Sosialisasi Kompilasi Hukum Acara Pidana Online



Sebagai sarana berbagi, berikut ini saya tuliskan catatan setelah mengikuti Sosialisasi Kompilasi Hukum Acara Pidana Online" pada hari Selasa tanggal 5 Juni 2012 bertempat di Sasana Pradata Kejaksaan Agung RI.

Acara yang berlangsung atas kerja sama Kejaksaan Agung, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Bank Dunia dan Kerajaan Belanda tersebut menghadirkan pembicara dari BPHN yaitu DR. Wicipto Setiadi, SH. MH (Kepala BPHN) dan RM Aminullah S.Kom, MSi (Staf BPHN) serta penanggap yaitu Bpk. Hamzah Tadja, SH. MH (Jampidum) dan Prof (jur) Andi Hamzah.

Inti acara ini menurut saya hanyalah memperkenalkan institusi BPHN melalui website baru BPHN sekaligus fitur baru sekelas media pencarian online khusus mengenai Hukum Acara Pidana DISINI.

Kelebihan media online khusus mengenai Hukum Acara Pidana versi BPHN ini adalah porsinya yang membagi setiap tahapan penanganan perkara pidana yang kemudian dilengkapi dengan padanan peraturan sebagaimana dalam KUHAP ataupun diluar KUHAP. Kelebihan lainnya adalah adanya link untuk setiap peraturan yang merujuk ke peraturan lain yang berkaitan.

Tentu saja situs tersebut juga punya beberapa kelemahan yaitu, penyebutan beberapa istilah/kategorisasi yang tidak dikenal dalam KUHAP (seperti pra persidangan, persidangan dan pasca persidangan). Hal lain berkaitan dengan minimnya keputusan instansi penegak hukum (SEMA, Kepja, PerKa) yang dimasukkan meski diakui hal itu juga menunjang keberhasilan pemberlakuan hukum acara pidana.

Jampidum Hamzah Tadja lebih banyak menyoroti “pemahaman hukum acara yang benar akan mewujudkan pengetahuan masyarakat terhadap ketentuan hukum acara pidana secara komprehensif dan aktual”. Dalam makalahnya disebutkan bahwa pesatnya perkembangan hukum acara pidana yang ditandai dengan banyaknya aturan mengenai hukum acara pidana tersebar di dalam berbagai peraturan perundang-undangan, memang dapat menyulitkan masyarakat yang ingin mengetahui dan memahami hukum acara secara komprehensif.

Lain lagi dengan Prof. Andi Hamzah yang lebih banyak menyoroti banyaknya sistem hukum administrasi yang memiliki sanksi pidana diatas satu tahun. Hukum pidana yang terserak pada berbagai peraturan di luar KUHAP bahkan menyusup masuk ke dalam hukum administrasi negara sudah tentu akan mengganggu proses kodifikasi hukum nasional. Keberadaan sistem legislasi hukum pidana tersebut telah menyimpang terlalu jauh dari kebiasaan internasional. Sudah terlalu banyak perundang-undangan pidana tersendiri yang isinya sebenarnya lestari (selamanya) disusun di luar KUHP (makalah hal. 5)
Pada akhir paparannya, Prof. Andi Hamzah memberi simpulan agar perundang-undangan pidana tersendiri di luar KUHP dipertahankan sementara menunggu lahirnya KUHP baru untuk dimasukkan ke dalamnya seperti negara-negara lain