Senin, 13 Februari 2012

Pencegahan Wayan Koster oleh KPK, Diskriminatif !


Putusan MK No. 40/PUU-IX/2011 tertanggal 8 Februari 2012 telah memutuskan bahwa kata “penyelidikan dan” yang tertera dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5216) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Putusan ini merupakan babak akhir dari serangkaian keresahan masyarakat yang kemudian mengajukan gugatan, melalui 6 orang advokat sebagai penggugat di Mahkamah Konstitusi. Alasan pengajuan gugatan ini sebagaimana termuat dalam putusan adalah :
-  Bahwa secara tegas dan jelas Pasal 16 ayat (1) huruf b UU Keimigrasian telah    memberikan ruang bagi penyelidik maupun penyidik untuk melanggar hak asasi para Pemohon, sebagaimana yang berbunyi:
“(1)  Pejabat Imigrasi menolak orang untuk keluar Wilayah Indonesia dalam hal orang tersebut:
b.  diperlukan untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan atas permintaan pejabat yang berwenang”.
Ketentuan tersebut di atas sangat membuka ruang dan peluang bagi lembaga lembaga penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk dengan mudahnya melarang hak asasi seseorang untuk bepergian dalam rangka melangsungkan hidup dan kehidupannya.
-    Apabila para Pemohon masih dalam proses penyelidikan namun sudah dilarang untuk bepergian, pejabat imigrasi menolak para Pemohon untuk keluar wilayah Indonesia atas permintaan penyelidik, di mana belum ditetapkan siapa yang menjadi Tersangka, hak konstitusional para Pemohon sebagaimana diatur dalam Pasal 28 huruf D ayat (1) jelas-jelas telah dilanggar. Praktik seperti ini terjadi dalam perkara atas nama M. Nazaruddin yang dicekal atas permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi, padahal terhadap M. Nazarudin belum ada perkara dan belum pernah dipanggil oleh KPK.
-   Bahwa dengan kewenangan yang diberikan oleh Pasal 16 ayat (1) huruf b tersebut      seorang    warga negara terbukti telah sangat dirugikan hak-hak konstitusionalnya yang seharusnya dilindungi, yaitu hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam Pasal 28 huruf D ayat (1) UUD 1945. Kerugian atas pelanggaran Hak Konstitusional atas berlakunya Pasal 16 ayat (1) huruf b tersebut juga berpotensi akan merugikan hak konstitusional para Pemohon dikemudian hari.
-     Para Pemohon sangat keberatan apabila masih dalam proses penyelidikan, seseorang sudah dapat ditolak atau pada intinya dilarang untuk berpergian keluar negeri. Karena tindakan tersebut adalah suatu bentuk perampasan kemerdekaan atau suatu bentuk upaya paksa. Penyelidikan sendiri sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 5 KUHAP yaitu: “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Sehingga berdasarkan bunyi pasal tersebut, adalah sangat prematur apabila masih dalam tingkat penyelidikan seseorang sudah dapat dikenakan upaya paksa. Bahwa adanya lembaga penyelidikan ratio legis nya adalah memperkecil adanya upaya paksa.

Pada bagian pertimbangan Putusan Hakim MK, disebutkan bahwa :
-    Dalam tahap penyelidikan belum ada kepastian disidik atau tidak disidik. Belum dilakukan pencarian dan pengumpulan bukti, baru tahap mengumpulkan informasi. Kalau dalam tahap penyidikan karena memang dilakukan pencarian dan pengumpulan bukti, wajar bila bisa dilakukan penolakan untuk berpergian keluar negeri, karena ada kemungkinan tersidik membawa bukti-bukti yang berkaitan dengan tindak pidana keluar negeri sehingga mempersulit penyidik melakukan pencarian dan pengumpulan bukti untuk membuat terang tentang pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya;
-      Menimbang bahwa Mahkamah berpendapat penyelidikan itu masih dalam tahapan yang dilakukan oleh penyelidik dalam rangka menentukan ada atau tidak adanya suatu tindak pidana dalam kasus tertentu dan untuk mencari buktibukti awal untuk menentukan siapa pelakunya. Oleh karena itu, penolakan terhadap seseorang untuk keluar wilayah Indonesia ketika statusnya belum pasti menjadi tersangka dalam suatu tindak pidana karena masih dalam tahap penyelidikan akan mudah dijadikan alasan untuk menghalangi gerak seseorang untuk keluar negeri. Lagipula dalam tahap penyelidikan, seseorang belum mengetahui apakah dirinya sedang dalam proses penyelidikan atau tidak dan proses penyelidikan itu tidak ada jangka waktu yang pasti sehingga tidak diketahui kapan harus berakhir. Mencegah seseorang untuk ke luar negeri dalam tahap tersebut dapat disalahgunakan untuk kepentingan di luar kepentingan penegakan hukum sehingga melanggar hak seseorang yang dijamin oleh konstitusi yaitu hak yang ditentukan dalam Pasal 28E UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”. Ketentuan a quo juga melanggar ketentuan konstitusi yang mewajibkan negara memberikan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;

Yang menarik dari keputusan tersebut adalah pendapat Hakim Akil Mochtar selaku Juru bicara MK melalui media bahwa proses pencegahan tidak terikat pada status seseorang. Tetapi yang paling penting adalah pencegahan baru boleh dilakukan setelah pada posisi penyidikan. "Orang bisa saja sebelum jadi tersangka diperiksa sebagai saksi. Yang penting sudah pada posisi penyidikan," kata mantan politisi Golkar ini. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa sejak keluarnya putusan MK tersebut maka semua penegak hukum, termasuk KPK tidak boleh lagi melakukan tindakan pencegahan ketika proses penyelidikan sedang berlangsung.
foto : Metro TV news.com
Pendapat Akil Mochtar ini sehari kemudian dibantah oleh Prof. Machfud MD selaku Ketua MK bahwa KPK tetap dapat melakukan pencegahan dengan alasan bahwa tindakan pencegahan pada tahap penyelidikan dinyatakan secara tegas dalam UU KPK sehingga berlakulah kemudian asas lex specialis.
Ada hal yang patut menjadi catatan sekaligus pertanyaan berkaitan dengan putusan dan komentar dari para hakim MK tersebut.
    1.     Putusan MK No. 40/PUU-IX/2011 tertanggal 8 Februari 2012 tersebut dilekatkan pada prosedur acara dalam hukum pidana dan bukan pada status seseorang. Dengan menentukan prosedur hukum acara sebagai basis dalam tindakan imigrasi maka sebenarnya MK telah membuka peluang bagi pihak lain (penegak hukum) untuk bersikap diskriminasi. Atas dasar Putusan ini, penegak hukum dapat melakukan tindakan pencegahan ketika proses penyidikan telah dimulai. Tidak ada batasan siapa saja yang tidak boleh dicegah pada tahap ini. Artinya, sepanjang seseorang berstatus saksi maka orang tersebut dapat dicegah keluar negeri. Sebagai contoh, dapat dilihat pada kasus Wayan Koster yang menjadi saksi dalam perkara wisma atlet. Tanpa penjelasan yang dapat dipahami oleh publik, Wayan Koster telah dicegah keluar negeri oleh KPK. Penjelasan itu penting agar kemudian publik dapat memahami limitasi atau batasan yang dijadikan pegangan oleh KPK dalam mencegah seseorang keluar negeri. Tanpa batasan atau aturan yang dijadikan rujukan perihal alasan pencegahan ke luar negeri, maka publik dapat pula mempertanyakan mengapa semua pihak yang menjadi saksi dalam perkara wisma atlet itu tidak dicegah keluar negeri ? Mengapa kemudian KPK tidak melakukan tindakan pencegahan yang sama terhadap para saksi seperti Yulianis, Oktarina, Mirwan Amir ? atau kepada Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng atau pihak lain yang disebut-sebut dalam BAP terdakwa Nazaruddin dan para saksi ?
        Inilah yang dimaksud dengan peluang untuk berbuat diskriminasi. Apalagi kalau   dipahami bahwa tidak setiap pemeriksaan di tahap penyidikan memiliki relevansi untuk kemudian dimasukkan keterangannya dalam berkas perkara. Boleh jadi pula, dengan niat tertentu, penyidik (lembaga apapun) memanggil seseorang untuk kemudian diperiksa lalu dikenakan tindakan pencegahan padahal orang yang sama tidak ada kaitannya dengan penyidikan ?
         Kalau MK mendalilkan bahwa tahap “penyelidikan” berciri belum ada kepastian disidik atau tidak disidik, maka alasan yang sama dapat analogikan pada posisi “saksi” yang juga belum ada kepastian akan disidik atau ditingkatkan menjadi tersangka.
       Pengenaan tindakan pencegahan pada seorang saksi adalah tindakan yang sangat melanggar HAM dan bertentangan dengan konstitusi Pasal 28E UUD 1945. Seseorang yang hanya karena terkait (belum tentu pula jadi tersangka) dengan sesuatu masalah lalu kehilangan hak untuk bepergian ke luar negeri. Suatu tindakan yang sangat aneh dan tidak masuk akal. Kalau dirunut kembali, hampir tidak ada upaya paksa dalam sistem hukum negara ini yang dapat dipaksakan pada seorang saksi selain keharusan untuk hadir apabila dipanggil. Itupun melalui tahap-tahapan yang manusiawi dan proses secara patut.
          Ada yang harus diperbaiki dari cara pandang MK dalam memandang masalah ini. Suatu aturan hukum seharusnya memiliki karakteristik seperti lex scripta (tertulis), lex certa (tegas/tidak dapat ditafsirkan) dan non retroaktif. Dengan merujuk pada proses beracara, MK membuka peluang suatu aturan dapat ditafsirkan secara berbeda dan mencirikan terpinggirnya kepastian hukum.
        Maka akan lebih arif apabila dalam putusannya, MK merujuk pada status seseorang sebagai tersangka yang dapat dikenakan tindakan pencegahan.
    2.   Terhadap dengan pendapat Prof. Machfud MD bahwa KPK masih dapat melakukan tindakan pencegahan atas dasar lex specialis juga menarik untuk dibahas. Putusan MK No. 40/PUU-IX/2011 tertanggal 8 Februari 2012 telah membatalkan kewenangan Institusi Imigrasi melakukan tindakan pencegahan pada tahap penyelidikan. Kalau kemudian KPK masih berwenang melakukan tindakan pencegahan, kemana kewenangan itu hendak diarahkan ? Apakah pihak Imigrasi dapat melaksanakan kehendak KPK atas dasar “perintah” ? Pendapat Prof. Machfud secara eksplisit telah menimbulkan “kerikuhan” hukum pada tataran pelaksanaan. Terhadap hal ini, MK seharusnya memberikan pendapat secara resmi bagaimana seharusnya kedua lembaga itu bersikap, atau setidaknya, lembaga-lembaga penegak hukum duduk bersama menentukan sikap yang kemudian dituangkan sebagai juklak atau juknis dalam pelaksanaannya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar