Tradisi ritual Sifon adalah tradisi
sunatan untuk laki-laki dewasa (telah berkeluarga) yang dalam proses
penyembuhannya harus melakukan hubungan badan dengan perempuan tertentu yang bukan
istri atau anggota keluarga dekat. Tradisi ritual ini muncul dan berkembang
sampai sekarang (kendatipun sudah hampir punah dan dilakukan dengan
sembunyi-sembunyi) di daerah Timor Barat terutama di suku Atoni Meto dan Dawan
Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), suku Malaka di Kabupaten Timor Tengah
Utara dan beberapa daerah di kabupaten Belu. Beberapa tempat ini termasuk
bagian wilayah dari propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Ritual sifon biasanya
dilakukan pada setiap musim panen. Tujuannya adalah untuk membersihkan diri
dari berbagai macam penyakit, juga membersihkan diri dari noda dosa dan
pengaruh bala setan dan secara biologis dimaksudkan untuk menambah kejantanan
dan keperkasaan seorang pria dewasa. Tradisi ini juga dimaksudkan untuk
mendinginkan proses sunatan yang menurut dukun dan pelakunya memiliki hawa
panas. Ritual dilakukan dengan menggunakan sebilah sembilu atau pisau. Tetapi
proses penyembuhan yang sesungguhnya adalah Sifon itu sendiri. Yakni ketika
dalam keadaan luka yang masih belum sembuh total, si pasien harus melakukan
hubungan badan dengan perempuan tertentu, yang telah disediakan oleh Ahelet
(dukun sunat) atau yang dipersiapkan sendiri oleh si pasien.
Bagaimana melihat ritual sifon dari kaca mata yuridis ? Apakah sifon merupakan suatu pelanggaran
hukum ? bagaimana penegak hukum menyikapi tradisi Sifon
yang dipercaya dan diyakini masyarakat sebagai adat turun-temurun ?
Pembahasan tentang Tradisi Sifon akan lebih tepat kalau
dilihat dari berbagai aspek, mulai dari aspek sosiologi, antropologi, historis,
kesehatan atau hukum. Pembahasan secara komprehensif tersebut dimaksudkan agar
pemahaman yang diperoleh lebih menyeluruh dan tidak terkesan memvonis atau
secara serampangan menyalahkan sesuatu yang berlangsung turun-temurun.
Oleh karena tidak mungkin salah satu pihak melakukan
pembedahan masalah secara keseluruhan, maka pembahasan secara parsial tetap
dimungkinkan oleh orang-perorang guna memberikan sumbangsih terhadap suatu
desain besar pemahaman terhadap persoalan.
Dari sisi hukum atau yuridis, tradisi sifon layak
dikategorikan sebagai perbuatan yang berkaitan dengan kesusilaan. Bab tentang
kesusilaan diatur dalam KUHP Bab XIV mulai dari Pasal 281.
Pertama kali yang harus dipahami berkaitan dengan tindak
pidana kesusilaan sebagaimana dalam KUHP adalah bahwa terhadap suatu perbuatan
kesusilaan yang dilakukan oleh dua orang dewasa berbeda jenis kelamin dalam
keadaan suka sama suka, maka sistem hukum pidana yang kita anut tidak
menganggapnya sebagai perbuatan pidana. Ini merupakan peninggalan hukum barat
yang sangat menjunjung tinggi kebebasan individu sebagaimana kemudian kita
adopsi dalam KUHP. Dalam sistem hukum barat dikenal adagium “hukum berhenti
tepat di pintu kamar tidur” yang mengandung makna bahwa perbuatan kesusilaan
sepanjang dilakukan tanpa paksaan, tekanan atau ancaman tidak boleh
diintervensi oleh hukum negara.
Perbuatan dua orang dewasa dalam kondisi suka sama suka tersebut
menjadi persoalan hukum kalau kemudian salah satu pihak telah berkeluarga
(nikah) dan pasangannya yang resmi menolak atau tidak menerima perbuatan
tersebut. Dalam keadaan demikian, perbuatan kedua pihak tersebut masuk kategori
perzinahan (overspel). Tentu saja untuk mempermudah proses penanganan secara
hukum, keberatan atau penolakan seorang pasangan resmi tersebut dapat dilakukan
secara tertulis pada penegak hukum.
Pada tradisi sifon, istri pelaku ritual sifon adalah orang
yang berpikiran bahwa perbuatan suaminya adalah perbuatan yang diperintahkan
adat. Oleh karenanya dalam ritual sifon, tidak ada penolakan dari pihak istri
terhadap apa yang akan dilakukan suaminya. Bahkan pihak istri (sebagaimana
pemahaman seluruh klan suku) beranggapan bahwa perbuatan suaminya dilakukan
semata-mata untuk kesehatan, perlindungan dari bala dan kejantanan. Tanpa ada
penolakan atau pengaduan dari isteri maka pada bagian ini tidak terjadi apa yang
dinamakan perbuatan pidana.
Perbuatan pidana yang mungkin terjadi dalam tradisi Sifon
adalah dalam proses penyediaan wanita untuk pasangan bersetubuh seorang pelaku
Sifon. Kalau kemudian wanita yang hendak disetubuhi tersebut tidak bersedia
lalu kemudian terjadi paksaan, tekanan atau ancaman (baik fisik maupun psikis)
maka terjadilah perbuatan pidana yang diklasifikasi sebagai perkosaan atau
setidaknya pencabulan. Menurut seorang kawan yang cukup paham dengan tradisi
Sifon, saat ini sudah sulit mencari wanita yang bersedia dijadikan sebagai
pasangan bersetubuh dalam ritual Sifon. Para wanita dalam klan suku menolak
dikarenakan kepercayaan bahwa setelah bersetubuh dalam ritual Sifon, mereka
akan memperoleh penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Oleh karenanya menjelang
musim panen ketika tradisi ini dilakukan, para wanita enggan keluar rumah.
Dalam kondisi demikian, sangat mungkin terjadi upaya paksa dengan tekanan atau
ancaman agar para wanita bersedia menjadi pasangan bersetubuh. Pada bagian ini,
tanpa pengaduan dari si korban pun penegak hukum harus turun tangan menangani
perkara ini sebagai perbuatan pidana.
Berdasarkan penggambaran-penggambaran demikian, sepanjang
dilakukan sesuai dengan adat dan kebiasaan turun temurun maka ritual sifon bukanlah
perbuatan yang dikategorikan sebagai perbuatan pidana dari kaca mata hukum nasional.
Perbuatan pidana baru muncul ketika terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap
ketentuan adat yang berimplikasi pelanggaran terhadap hukum nasional.
Penegak hukum yang menjaga sisi ketertiban masyarakat baru
akan masuk kalau terjadi indikasi pelanggaran pidana. Sepanjang tidak ada
indikasi, maka yang dikedepankan adalah upaya-upaya preventif agar pelanggaran
hukum tidak terjadi.
Entah kalau tradisi Sifon ini dilihat dari sisi agama atau
kesehatan…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar