Pemerintah seringkali memiliki pandangan yang berbeda dengan pilihan masyarakat.
Dalam
perkara-perkara besar, sistem hukum pidana negara-negara common law (Amerika Serikat, Inggris dan negara-negara commonwealth) mengharuskan adanya sistem
Jury. Sistem ini menyerahkan
keputusan bersalah atau tidaknya terdakwa pada
sekelompok Jury yang dipilih dari
masyarakat awam. Pemilihan Jury
dilakukan secara acak meski kemudian diserahkan penentuannya pada pihak
Terdakwa/Penasihat Hukumnya dan Jaksa setempat. Selanjutnya para Jury dikumpulkan pada suatu tempat dan
disterilisasi dari berbagai informasi media ataupun komunikasi dengan pihak
luar hingga perkara tersebut selesai. Pada proses itu, posisi Hakim pasif dan
hanya menentukan berat ringannya hukuman (kalau para Jury berpendapat bahwa terdakwa bersalah) serta membebaskan (kalau
menurut Jury, terdakwa tidak
bersalah)
Mengapa
negara-negara common law menggunakan
mekanisme Jury dalam sistem peradilan
pidananya ? Karena mereka berpandangan bahwa hukum identik dengan
harmoni. Setiap pelanggaran hukum hakekatnya merusak tatanan harmoni sosial yang telah terbangun.
Oleh karenanya, yang mengetahui dan berwenang memberikan penilaian bahwa pintalan kain harmoni telah
terkoyak haruslah dari masyarakat itu sendiri. Aparatur yang menerima gaji dari
negara tidak boleh mengintervensi dan memberikan hasil pada proses ini.
Bagi masyarakat negara-negara common law, hukum (pidana) adalah sesuatu yang
dekat dengan keseharian mereka. Ia ada dan hadir setiap saat, mencirikan dan
mengatasi persoalan masyarakat. Bagi mereka, logika hukum tidak berjalan linear
sebagaimana termaktub dalam teks-teks hukum yang lusuh dan berdebu di
perpustakaan. Hukum punya logika sendiri yang kadang berkelok-kelok mengikuti
kontur persepsi masyarakat. Masyarakat juga membutuhkan kecepatan dan ketepatan
dalam merespons suatu persoalan demi untuk menegaskan bahwa hukum itu ada.
Prosedur formil yang berbelit-belit oleh masyarakat sering dianggap sebagai
kelemahan dan kelambanan yang diartikan sebagai ketiadaan hukum. Logika
ketiadaan hukum dapat memaksa masyarakat
mengambil langkah sendiri yang drastis dan seringkali malah menyalahi hukum
Pemerintah
negara-negara tersebut
menyadari
bahwa apa yang dipikirkan dan dipahami oleh pemerintah belum tentu sama dengan
apa yang diinginkan oleh masyarakat. Betapapun pemerintah diawaki oleh
orang-orang ahli dan cerdas, masyarakat berjalan sesuai dengan hukum-hukumnya
sendiri. Pemerintah hanya sampai pada
tahap mengikuti jejak keinginan dan harapan masyarakat.
Bagaimana dengan Indonesia ?
Sistem Peradilan Pidana Indonesia
cenderung tidak mengakui eksistensi masyarakat. Dalam sistem yang dianut bangsa
ini, masyarakat, negara atau bahkan si korban dalam suatu tindak pidana telah
diwakili oleh Penuntut Umum. Kata “diwakili” ini dimaknai secara nyata sebagai
mengambil alih seluruh kondisi, keadaan atau bahkan keinginan secara
keseluruhan.
Disini sesungguhnya terdapat anomali.
Penuntut Umum yang mengambil alih seluruh kondisi, keadaan atau bahkan
keinginan masyarakat, negara atau bahkan si korban secara keseluruhan lalu
menyesuaikan perbuatan terdakwa dengan pasal-pasal yang terdapat dalam kitab
perundang-undangan. Sedangkan apa yang menjadi harapan atau keinginan
negara/masyarakat atau bahkan korban tidak pernah dipertanyakan lagi. Ketika
saksi korban memberikan keterangan di depan peradilan pun, keinginan dan
harapan yang dikemukakan hanya menjadi pemanis persidangan tanpa relevansi dengan
pemidanaan ataupun penjatuhan hukuman.
Mekanisme persidangan pidana yang
hanya berpijak pada upaya pembuktian kesalahan terdakwa dan pemidanaannya
cenderung mengabaikan peran korban, harapan dan keinginannya di masa datang.
Pada beberapa contoh di pengadilan ditemukan banyak kejadian memilukan yang
dialami korban. Misalnya dalam suatu kasus pembunuhan, negara/peradilan tidak
memperhitungkan bagaimana kelanjutan hidup dari isteri korban dan anak-anaknya
setelah sang suami meninggal secara mengenaskan. Negara hanya berpikir
bagaimana menjatuhkan hukuman seberat-beratnya bagi terdakwa.
Pada titik ini sebenarnya terjadi
perbedaan pemahaman yang tajam antara masyarakat dan negara. Perbedaan
pemahaman ini juga memperlihatkan betapa konsep keadilan yang dianut negara
berbeda dengan konsep keadilan yang dipahami masyarakat. Bagi negara, keadilan
diukur dan diletakkan dalam kerangka persesuaian dengan pasal-pasal aturan
perundang-undangan. Keadilan lalu menjadi sangat tinggi dan susah dijangkau
oleh masyarakat awam. Keadilan seakan hanya menjadi milik orang cerdik pandai
dan orang berharta banyak. Masyarakat umum yang menempati porsi terbesar jumlah
penduduk negara hanya mampu berharap “dewi keadilan” datang dan menyambangi
persoalan sehari-hari mereka.
Foto : SumbaNews |
Perbedaan pemahaman itu juga nampak
pada beberapa kasus kolosal yang melibatkan masyarakat umum dan kelompok kecil
masyarakat yang di back up oleh negara. Contoh yang paling transparan berkaitan
dengan hal ini adalah dalam kasus pendudukan pelabuhan Bima.
Pemerintah
melalui Polisi melihat insiden pendudukan pelabuhan Bima oleh rakyat sebagai “sebab” sedangkan
masyarakat melihat pendudukan tersebut
sebagai “Akibat”. Bagi
Pemerintah, pendudukan itu merupakan hal yang terpisah dengan SK Bupati tentang izin eksplorasi pertambangan. Perbedaannya, masyarakat
menilai pendudukan itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SK Bupati.
Pemahaman
terhadap persoalan yang berbeda seringkali menghasilkan akhir yang berbeda.
Demikian pula, perbedaan pemahaman ini menimbulkan konsekuensi pilihan metode
penyelesaian. Bagi pemerintah atau polisi, pilihan yang paling rasional sesuai
aturan hukum bernegara adalah mengakhiri pendudukan itu, apapun resikonya tanpa
memikirkan soal SK Bupati. Sebaliknya bagi masyarakat, model penyelesaiannya
adalah dengan mencabut SK Bupati tentang
izin eksplorasi pertambangan. Pencabutan SK itu dianggap akan mengakhiri
pendudukan karena masyarakat merasa puas keinginan mereka telah terwujud...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapuskapan Indonesia pakai sistem Juri?
BalasHapus