Jumat, 27 April 2012

Di Kampung ini tidak berlaku Hukum Nasional !



Kamis dini hari tanggal 23 Februari 2012, puluhan orang melakukan penyerangan bersenjata pada beberapa orang yang sedang melayat di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. Penyerangan tersebut mengakibatkan 2 orang tewas di tempat dan 4 orang luka berat. Pelaku yang belakangan diketahui adalah warga dari Kampung Ambon Cengkareng itu kemudian telah ditetapkan sebanyak 10 orang sebagai tersangka meski kemungkinan masih akan bertambah. Kuat dugaan, motif penyerangan adalah utang-piutang dalam transaksi narkoba. Narkoba merupakan bisnis utama di kampung ambon meski tidak semua warganya terlibat. Beberapa kali Polisi dan BNN melakukan razia di Kampung Ambon namun bisnis itu tetap eksis dan makin subur. Warga Kampung Ambon yang dipersatukan oleh tujuan yang sama (sebagai pelaku bisnis narkoba) telah memiliki sistem pertahanan sendiri dari pantauan penegak hukum. Setiap anggota polisi akan ditolak sedang terhadap orang asing akan dicurigai dan diawasi sampai kemudian dianggap sebagai pihak yang aman. Bagi masyarakat Kampung Ambon, Udang-Undang narkotika atau psikotropika tidak berlaku di Kampung mereka.

Apakah kampung Ambon, suatu loophole (celah) hukum di wilayah Indonesia ?  Bagaimana suatu wilayah dapat menerapkan aturan sendiri yang terpisah dari aturan negara dan apakah kemudian hal itu akan dibiarkan oleh negara ?

Sejarah Kampung Ambon di Cengkareng bermula dari kebijakan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, untuk memindahkan orang-orang Ambon yang menetap di kawasan Senen dan Kwitang, Jakarta Pusat, ke pinggiran kota pada 1973. Dipilihlah lokasi di Kelurahan Kedaung Kali Angke, Cengkareng. Lalu di lokasi itu dibangun Perumahan Permata untuk menampung orang Ambon pindahan tersebut.


Sekarang diperkirakan ada 2.000 kepala keluarga. Mereka menempati beberapa RT di Perumahan Permata. Pada 1990-an peredaran narkoba bermula meski masih kecil-kecilan. Tahun berganti tahun, Kampung Ambon mengalami perubahan. Selain mayoritas penduduknya dari Ambon, kini warganya telah bercampur baur dengan para pendatang dari beragam etnis.



Transformasi sebagian besar masyarakat Kampung Ambon menjadi pebisnis narkoba tidak berjalan cepat. Terdapat rentang waktu yang panjang dengan berbagai kejadian yang kemudian mengarahkan Kampung Ambon seperti yang sekarang dikenal.

Ada tiga faktor yang dapat membawa pengaruh sehingga seseorang melakukan tindakan kriminal. Yang pertama adalah pengaruh awal, seperti latar belakang dan keturunan. Yang kedua adalah keadaan masa kini, dimana ia tinggal, apakah ia memiliki pekerjaan dan adakah krisis dalam hidupnya. Sedangkan yang ketiga adalah keadaan sesaat sebelum melakukan tindakan kriminal, apa yang ia rasakan, apa yang ia pikirkan, apakah tindakannya berresiko, seberapa mudahnya ia melakukan tindakan kriminal itu.[1]

Seseorang tidak perlu memiliki ketiga faktor tersebut untuk melakukan tindakan kriminal. Pada berbagai teori kriminal, seseorang cukup hanya memenuhi satu faktor untuk kemudian melakukan perbuatan kriminal. Di Kampung Ambon, ketiga faktor tersebut bersenyawa dan membentuk pribadi manusia pelaku kriminal. Pada faktor pertama, warga diikat erat oleh kesamaan latar belakang, baik sebagai sesama orang ambon/maluku  atau latar belakang penderitaan yang sama. Faktor kedua yang berperan menyatukan kelompok ini adalah faktor ekonomi. Kesulitan mendapatkan pekerjaan dengan dasar pendidikan yang hampir tidak ada menjadikan warga kampung Ambon bekerja sama menyiasati beratnya hidup di ibukota. Demikian pula faktor ketiga, beban hidup yang berat ditambah iming-iming keuntungan yang besar membuat bisnis narkoba menjadi salah satu pilihan yang rasional bagi warga Kampung Ambon.

Di Kampung Ambon, narkoba adalah sesuatu yang biasa. Kebiasaan menjumpai dan memiliki barang haram tersebut menjadikan pikiran mereka “beradaptasi” sehingga menganggap narkoba sebagai bagian dari diri mereka yang tidak melanggar hukum. Tentu saja dalam kondisi demikian para tokoh-tokoh utama menjadi penguasa dalam dunia tersebut (warlord) yang berwenang menentukan salah benarnya seseorang dalam bisnis narkoba.
Dalam khazanah hukum pidana, suatu perbuatan dikategorikan sebagai perbuatan jahat (kriminal) dikarenakan dua hal, yang pertama dikenal sebagai mala in se atau dianggap jahat sejak awal. Terhadap perbuatan yang masuk kategori ini, kerugian yang ditimbulkannya sangat terasa karena langsung menyentuh kehidupan sehari-hari. Contoh dari perbuatan ini adalah Pembunuhan, pencurian atau penganiayaan. Sedang yang kedua dikenal sebagai mala in prohibita atau dianggap sebagai perbuatan jahat sejak diatur secara resmi melalui suatu bentuk perundang-undangan yang disahkan oleh otoritas yang berhak.
Baik kejahatan yang dianggap jahat sejak awal ataupun jahat setelah dinyatakan oleh Undang-Undang tetap tidak dapat ditolerir dalam sistem hukum nasional. Sistem Hukum Nasional berlaku di seluruh wilayah nasional termasuk apa yang sedang terjadi di Kampung Ambon. Tidak ada kekebalan hukum yang berlaku di tempat itu, termasuk kalaupun di tempat tersebut di jaga (di beking) oleh sejumlah petugas Polisi dan TNI. Aparat Penegak Hukum dapat masuk ke dalam wilayah manapun di Kampung Ambon sebagaimana beberapa kali razia yang dilakukan petugas Polisi dan BNN.

Sejatinya masyarakat Kampung Ambon menyadari bahwa bisnis narkoba merupakan pekerjaan yang dilarang oleh sistem perundang-undangan nasional. Oleh karenanya mereka membentuk semacam sistem pertahanan diri yang berupaya melindungi kepentingan dan bisnis mereka dari aparat penegak hukum atau masyarakat luar. Mekanisme pertahanan diri itu secara tidak langsung membentuk Kampung Ambon seperti suatu penjara imajiner. Oleh karenanya mendekati kompleksitas permasalahan sekaligus solusi penegakan hukum di tempat itu harus dengan pendekatan pemahaman terhadap dunia penjara.

Menurut J. Dilulio, John sebagaimana dikutip A. Josias Simon R dan Thomas Sunaryo, Realitas kehidupan di penjara tak terlihat nyata bagi orang awam, Donald Clemer mengidentifikasi penjara sebagai lingkungan tertutup, sistem sosial para narapidana. Gresham M Sykes mengatakan sistem sosial penghuni tidak sekedar pengaturan penjaga penjara tapi juga pengaturan informal sebagai interaksi bertemunya masalah-masalah dalam suatu lingkungan spesifik. Penjara adalah masyarakat dalam masyarakat (society within a society), menjadi dasar keberadaan penjara kecuali para penghuni dijaga secara total terpisah satu dengan lainnya.[2]

Sistem Pertahanan Diri yang mencirikan kampung Ambon (sebagaimana penjara) sebagai lingkungan tertutup, harus dihadapi dengan pendekatan penegakan hukum. Langkah petugas Polisi dan BNN melakukan razia narkoba patut didukung meski harus dipahami bahwa langkah tersebut harus segera diikuti dengan pendekatan sosial. Pada tataran penegakan hukum, sikap represif aparat harus dikedepankan sebagai pembuka jalan dan terapi kejut bagi warga lainnya. Pada tingkatan itu harus dihindari berbagai sikap kongkalikong atau kolusi dengan para pelaku bisnis narkoba agar publik bisa percaya dan menghargai sikap para penegak hukum.

Upaya represif aparat penegakan hukum sepatutnya dilakukan pada tokoh-tokoh utama bisnis narkoba di Kampung Ambon sedangkan terhadap para warga yang lain dapat dilakukan upaya rehabilitasi sekaligus sterilisasi agar narkoba tidak terus-menerus menjadi bisnis.

Selanjutnya, penegakan hukum itu harus segera diikuti dengan berbagai upaya lainnya yang memastikan bahwa pelaku bisnis itu tidak kembali menekuni bisnis narkoba tersebut. Menurut Barda Nawawi Arief, upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan termasuk bidang “kebijakan kriminal”. Kebijakan kriminal ini pun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas yaitu kebijakan sosial yang terdiri dari kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial dan kebijakan/upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat.[3]

  
[1] David J Cooke, Pamela J Baldwin dan Jaqueline Howison, Psychology in Prisons, diterjemahkan oleh Hary Tunggal, menyingkap Dunia Gelap Penjara, Gramedia Pustaka Utama, jakarta, 2008
[2] A. Josias Simon R dan Thomas Sunaryo, Studi Kebudayaan Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia, Lubuk Agung, Bandung, 2011
[3] Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Pidana, Kencana, Jakarta, 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar