Kamis dini hari tanggal 23 Februari 2012, puluhan orang melakukan penyerangan
bersenjata pada beberapa orang yang sedang melayat di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta.
Penyerangan tersebut mengakibatkan 2 orang tewas di tempat dan 4 orang luka
berat. Pelaku yang belakangan diketahui adalah warga dari Kampung Ambon
Cengkareng itu kemudian telah ditetapkan sebanyak 10 orang sebagai tersangka
meski kemungkinan masih akan bertambah. Kuat dugaan, motif penyerangan adalah
utang-piutang dalam transaksi narkoba. Narkoba merupakan bisnis utama di
kampung ambon meski tidak semua warganya terlibat. Beberapa kali Polisi dan BNN
melakukan razia di Kampung Ambon namun bisnis itu tetap eksis dan makin subur.
Warga Kampung Ambon yang dipersatukan oleh tujuan yang sama (sebagai pelaku
bisnis narkoba) telah memiliki sistem pertahanan sendiri dari pantauan penegak
hukum. Setiap anggota polisi akan ditolak sedang terhadap orang asing akan
dicurigai dan diawasi sampai kemudian dianggap sebagai pihak yang aman. Bagi
masyarakat Kampung Ambon, Udang-Undang narkotika atau psikotropika tidak berlaku di
Kampung mereka.
Apakah
kampung Ambon, suatu loophole (celah)
hukum di wilayah Indonesia ? Bagaimana
suatu wilayah dapat menerapkan aturan sendiri yang terpisah dari aturan negara
dan apakah kemudian hal itu akan dibiarkan oleh negara ?
Sejarah
Kampung Ambon di Cengkareng bermula dari kebijakan Gubernur DKI Jakarta, Ali
Sadikin, untuk memindahkan orang-orang Ambon yang menetap di kawasan Senen dan
Kwitang, Jakarta Pusat, ke pinggiran kota pada 1973. Dipilihlah lokasi di
Kelurahan Kedaung Kali Angke, Cengkareng. Lalu di lokasi itu dibangun Perumahan
Permata untuk menampung orang Ambon pindahan tersebut.
Sekarang diperkirakan ada 2.000 kepala keluarga.
Mereka menempati beberapa RT di Perumahan Permata. Pada 1990-an peredaran narkoba bermula meski masih kecil-kecilan. Tahun
berganti tahun, Kampung Ambon mengalami perubahan. Selain mayoritas penduduknya
dari Ambon, kini warganya telah bercampur baur dengan para pendatang dari
beragam etnis.
Transformasi
sebagian besar masyarakat Kampung Ambon menjadi pebisnis narkoba tidak berjalan
cepat. Terdapat rentang waktu yang panjang dengan berbagai kejadian yang
kemudian mengarahkan Kampung Ambon seperti yang sekarang dikenal.
Ada
tiga faktor yang dapat membawa pengaruh sehingga seseorang melakukan tindakan
kriminal. Yang pertama adalah pengaruh awal, seperti latar belakang dan
keturunan. Yang kedua adalah keadaan masa kini, dimana ia tinggal, apakah ia
memiliki pekerjaan dan adakah krisis dalam hidupnya. Sedangkan yang ketiga
adalah keadaan sesaat sebelum melakukan tindakan kriminal, apa yang ia rasakan,
apa yang ia pikirkan, apakah tindakannya berresiko, seberapa mudahnya ia
melakukan tindakan kriminal itu.[1]
Seseorang
tidak perlu memiliki ketiga faktor tersebut untuk melakukan tindakan kriminal.
Pada berbagai teori kriminal, seseorang cukup hanya memenuhi satu faktor untuk
kemudian melakukan perbuatan kriminal. Di Kampung Ambon, ketiga faktor tersebut
bersenyawa dan membentuk pribadi manusia pelaku kriminal. Pada faktor pertama,
warga diikat erat oleh kesamaan latar belakang, baik sebagai sesama orang
ambon/maluku atau latar belakang
penderitaan yang sama. Faktor kedua yang berperan menyatukan kelompok ini
adalah faktor ekonomi. Kesulitan mendapatkan pekerjaan dengan dasar pendidikan
yang hampir tidak ada menjadikan warga kampung Ambon bekerja sama menyiasati
beratnya hidup di ibukota. Demikian pula faktor ketiga, beban hidup yang berat
ditambah iming-iming keuntungan yang besar membuat bisnis narkoba menjadi salah
satu pilihan yang rasional bagi warga Kampung Ambon.
Di
Kampung Ambon, narkoba adalah sesuatu yang biasa. Kebiasaan menjumpai dan
memiliki barang haram tersebut menjadikan pikiran mereka “beradaptasi” sehingga
menganggap narkoba sebagai bagian dari diri mereka yang tidak melanggar hukum.
Tentu saja dalam kondisi demikian para tokoh-tokoh utama menjadi penguasa dalam
dunia tersebut (warlord) yang
berwenang menentukan salah benarnya seseorang dalam bisnis narkoba.
Dalam
khazanah hukum pidana, suatu perbuatan dikategorikan sebagai perbuatan jahat
(kriminal) dikarenakan dua hal, yang pertama dikenal sebagai mala in se atau dianggap jahat sejak
awal. Terhadap perbuatan yang masuk kategori ini, kerugian yang ditimbulkannya
sangat terasa karena langsung menyentuh kehidupan sehari-hari. Contoh dari
perbuatan ini adalah Pembunuhan, pencurian atau penganiayaan. Sedang yang kedua
dikenal sebagai mala in prohibita
atau dianggap sebagai perbuatan jahat sejak diatur secara resmi melalui suatu
bentuk perundang-undangan yang disahkan oleh otoritas yang berhak.
Baik
kejahatan yang dianggap jahat sejak awal ataupun jahat setelah dinyatakan oleh
Undang-Undang tetap tidak dapat ditolerir dalam sistem hukum nasional. Sistem
Hukum Nasional berlaku di seluruh wilayah nasional termasuk apa yang sedang
terjadi di Kampung Ambon. Tidak ada kekebalan hukum yang berlaku di tempat itu,
termasuk kalaupun di tempat tersebut di jaga (di beking) oleh sejumlah petugas
Polisi dan TNI. Aparat Penegak Hukum dapat masuk ke dalam wilayah manapun di
Kampung Ambon sebagaimana beberapa kali razia yang dilakukan petugas Polisi dan
BNN.
Sejatinya
masyarakat Kampung Ambon menyadari bahwa bisnis narkoba merupakan pekerjaan
yang dilarang oleh sistem perundang-undangan nasional. Oleh karenanya mereka
membentuk semacam sistem pertahanan diri yang berupaya melindungi kepentingan
dan bisnis mereka dari aparat penegak hukum atau masyarakat luar. Mekanisme
pertahanan diri itu secara tidak langsung membentuk Kampung Ambon seperti suatu
penjara imajiner. Oleh karenanya mendekati kompleksitas permasalahan sekaligus
solusi penegakan hukum di tempat itu harus dengan pendekatan pemahaman terhadap
dunia penjara.
Menurut
J. Dilulio, John sebagaimana dikutip A. Josias Simon R dan Thomas Sunaryo,
Realitas kehidupan di penjara tak terlihat nyata bagi orang awam, Donald Clemer
mengidentifikasi penjara sebagai lingkungan tertutup, sistem sosial para
narapidana. Gresham M Sykes mengatakan sistem sosial penghuni tidak sekedar
pengaturan penjaga penjara tapi juga pengaturan informal sebagai interaksi
bertemunya masalah-masalah dalam suatu lingkungan spesifik. Penjara adalah
masyarakat dalam masyarakat (society
within a society), menjadi dasar keberadaan penjara kecuali para penghuni
dijaga secara total terpisah satu dengan lainnya.[2]
Sistem
Pertahanan Diri yang mencirikan kampung Ambon (sebagaimana penjara) sebagai
lingkungan tertutup, harus dihadapi dengan pendekatan penegakan hukum. Langkah
petugas Polisi dan BNN melakukan razia narkoba patut didukung meski harus
dipahami bahwa langkah tersebut harus segera diikuti dengan pendekatan sosial.
Pada tataran penegakan hukum, sikap represif aparat harus dikedepankan sebagai
pembuka jalan dan terapi kejut bagi warga lainnya. Pada tingkatan itu harus
dihindari berbagai sikap kongkalikong atau kolusi dengan para pelaku bisnis
narkoba agar publik bisa percaya dan menghargai sikap para penegak hukum.
Upaya
represif aparat penegakan hukum sepatutnya dilakukan pada tokoh-tokoh utama
bisnis narkoba di Kampung Ambon sedangkan terhadap para warga yang lain dapat
dilakukan upaya rehabilitasi sekaligus sterilisasi agar narkoba tidak
terus-menerus menjadi bisnis.
Selanjutnya,
penegakan hukum itu harus segera diikuti dengan berbagai upaya lainnya yang
memastikan bahwa pelaku bisnis itu tidak kembali menekuni bisnis narkoba
tersebut. Menurut Barda Nawawi
Arief, upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan
kejahatan termasuk bidang “kebijakan kriminal”. Kebijakan kriminal ini pun
tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas yaitu kebijakan sosial yang
terdiri dari kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial dan
kebijakan/upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat.[3]
[1]
David J Cooke, Pamela J
Baldwin dan Jaqueline Howison, Psychology in Prisons, diterjemahkan oleh Hary
Tunggal, menyingkap Dunia Gelap Penjara, Gramedia Pustaka Utama, jakarta, 2008
[2]
A. Josias Simon R dan Thomas
Sunaryo, Studi Kebudayaan Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia, Lubuk Agung,
Bandung, 2011
[3]
Barda Nawawi Arief, Masalah
Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Pidana,
Kencana, Jakarta, 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar