Selasa, 23 Agustus 2011

SAHABAT AZHARI DAN REFORMASI BIROKRASI

Saya seringkali melakukan wisata intelektual melalui kunjungan ke toko-toko buku. Hal ini biasa saya lakukan sejak masa mahasiswa. Ada kepuasan tersendiri memandang tumpukan buku di rak yang tersedia sambil membaca judul buku yang memang sengaja dipampangkan. Terkadang senyum melihat judul buku-buku itu, terkadang pula meraih lalu membaca bagian pengantar yang sering diletakkan pada sampul belakang.
Minggu lalu wisata intelektual itu kembali saya lakukan ke beberapa toko buku besar dalam wilayah Jogjakarta. Pada sebuah toko buku di jalan Kaliurang, saya menemukan sebuah buku berjudul “Mereformasi birokrasi publik Indonesia : Studi perbandingan intervensi pejabat politik terhadap pejabat birokrasi di Indonesia dan Malaysia.” Sebenarnya tema-tema seperti ini bukan tema yang terlalu menarik bagi saya. Hanya saja ada suatu hal yang membuat buku ini berbeda. Buku ini ditulis oleh seorang sahabat saya yaitu Dr. Azhari, S.STP. M.Si, Rektor Universitas 19 November Kolaka. Sahabat ini juga baru usai menunaikan tugasnya mencalonkan diri sebagai calon Bupati Buton (meskipun dinyatakan kalah oleh KPU dan “pertarungan” berpindah ke MK).
Dahulu ketika berada di Kolaka, kami adalah sebagian kecil warga Kolaka yang dipersatukan oleh kesamaan kultur dan etnis Buton. Setiap bertemu, kami selalu menyempatkan diri ngobrol dalam bahasa buton (pogau wolio) sembari mengingat daerah asal kami yang terpisahkan laut dan gunung dengan Kolaka. Dalam berbagai pertemuan itu, Azhari sering bercerita tentang tema-tema birokrasi yang menjadi bahasan dalam penyusunan disertasi tingkat doktoralnya di UGM. Ternyata kemudian disertasi kawan saya itu diterbitkan oleh Pustaka Pelajar pada Januari 2011 dengan judul sebagaimana saya sebutkan di atas.
Buku ini langsung “menohok” ketika membaca pengantar pada bagian belakang cover yang mengutip koran Kendari Pos beberapa waktu setelah Nur Alam menjabat Gubernur Sultra : “…Sapu bersih. Itulah kata yang pantas untuk menggambarkan perombakan kabinet yang dilakukan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam, SE, kemarin. Tak hanya mengubah sebagian tetapi Nur Alam melakukan perombakan total. Alhasil, seluruh pejabat Eselon II era Gubernur Ali Mazi sebanyak 85 orang dinonjobkan SK Gubernur No. 89/2008…”.
Meskipun Azhari adalah kandidat yang pernah berkompetisi melawan Nur Alam pada panggung pilkada Propinsi Sultra (meskipun juga kalah), kutipan koran Kendari Pos di atas saya yakin jauh dari kesan parsial yang belakangan ini merasuk dalam kalangan cendekiawan Kampus. Azhari sebenarnya sedang menghadirkan sesuatu yang sering terjadi di tengah-tengah kita. Hal ini sangat lekat dengan keseharian birokrasi di daerah kita. Terkadang kita menyadari hal itu meski kemudian kita dengan segera pula melupakannya. Kesalahan-kesalahan demikian seringkali menguap tanpa solusi.
Buku ini kemudian menjadi menarik karena berusaha menjelaskan bagaimana suatu intervensi terhadap birokrasi oleh seorang pejabat politik dilakukan. Seorang pejabat publik yang bersumber dari partai politik tanpa pengalaman apapun dalam dunia birokrasi tiba-tiba duduk sebagai penguasa tertinggi dunia pemerintahan di daerah. Bisa dibayangkan kalau seseorang yang tidak pernah menghirup hawa birokrasi atau meminum air perasan kepegawaian daerah ujug-ujug menjadi pimpinan pada level teratas.
Yang terjadi kemudian adalah “sapu bersih”. Mekanisme mutasi, promosi dan degradasi ditentukan oleh faktor like dan dislike. Baperjakat lalu menjadi sekedar simbol bahwa penilaian telah dilakukan meski penilaian sebenarnya dilakukan di ujung telunjuk sang pemimpin.
Menurut Azhari, berbagai persoalan birokrasi yang terjadi di Indonesia, khususnya di Prop. Sultra tidak terlepas dari tiga persoalan mendasar yang melingkupinya, yaitu Sistem Politik, Budaya birokrasi dan Manajemen Birokrasi.
Padahal sebenarnya kalau kita mau belajar, birokrasi di beberapa negara telah memberikan pelajaran mahal betapa pengelolaan manajemen pemerintahan yang lebih berorientasi sentralistik pada top leadernya memberikan sumbangsih nyata ketidakpercayaan masyarakat atas kerja-kerja pelayanan publik. Sebagaimana Lord Acton pernah berujar : “Power tends to corrpt, absolut power corrupt absolutely”. (Kekekuasaan cenderung untuk korup, kekuasaan absolut, pastilah korup)
Idealnya, setiap pemimpin meneladani mantan Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy yang pernah berujar : “My loyalty to my party ends where my loyalty to my country begins”. (kesetiaanku pada partai berakhir ketika kesetiaanku pada negara bermula).
Satu hal yang bagi saya menjadi kelemahan dari buku ini adalah kurangnya eksploitasi terhadap kutipan “sapu bersih” dari koran Kendari Pos yang sengaja diletakkan pada cover belakang untuk memantik keingintahuan pembaca. Dalam konteks politik lokal Sultra, bagaimana relasi antara daratan dan kepulauan dapat merasuk ke dalam sendi-sendi birokrasi dan memutus dengan kejam karir kepegawaian seseorang yang dibangun bertahun-tahun sebelumnya.
Terlepas dari kelebihan dan kekurangan buku ini, kawan saya Azhari telah memberikan sumbangsih nyata pada bangsa ini termasuk pada Prop. Sultra. Sumbangsih ini akan terekam jelas hingga tahun-tahun mendatang. Bahkan boleh jadi jejak penalaran seperti ini akan lebih dikenang dan diingat orang ketimbang sekedar menjadi Gubernur atau Bupati namun minim prestasi.
Terhadap sumbangan pemikiran yang sangat bernilai ini, saya mengucapkan Selamat buat kawan saya Dr. Azhari, S.STP. M.Si.

Senin, 22 Agustus 2011

METODE PERINGATAN PROKLAMASI YANG UNIK DI KAMPUNG KAMI


Bagaimana anda atau lingkungan anda meresapi nilai-nilai proklamasi yang diikrarkan 66 tahun yang lalu ? Mungkin anda akan menjawab dengan mengadakan upacara bendera setiap tanggal 17 Agustus, perlombaan panjat pinang atau sederet kegiatan massal lainnya. Sah-sah saja, toh setiap orang punya cara sendiri-sendiri memperingati dan memaknai hari bersejarah dalam kehidupan bernegara kita itu.
Namun, dari sekian cara atau kegiatan yang rutin dan biasa dilaksanakan tersebut, di tempat saya memperoleh Kartu Tanda Penduduk di Dusun Watuadeg Desa Wukirsari Kec. Cangkringan daerah kawasan merapi ada hal yang unik. Keunikan itu baru saya jumpai kemarin ketika penduduk setempat melaksanakan kenduren dalam rangka selikuran (CMIIW) untuk memperingati malam kemulyaan lailatul Qadr. Kenduren merupakan media atau sarana warga dalam mengungkapkan berbagai rasa pada sang Pencipta. Ada kenduren sebagai syukuran atas suatu kenikmatan atau kebahagiaan ada pula kenduren dalam arti permohonan tolak bala atau ungkapan rasa kesedihan. Rasanya sedikit unik bagi saya yang lahir dan dibesarkan di pedalaman Sulawesi (Pulau Buton) bahwa ungkapan kesedihan diekspresikan dengan saling berbagi bahan makanan pada tetangga sekitar dan (tentu saja) doa bersama
Lazimnya dalam setiap kenduren, disediakan bahan makanan sehari-hari dalam sebuah wadah. Bedanya, kalau dalam kenduren yang lain, wadah berisi makanan itu disediakan sang empunya hajat, dalam kenduren selikuran, bahan makanan disediakan oleh setiap warga. Setiap rumah tangga kebagian membawa sebuah wadah berisi makanan yang selanjutnya diantarkan ke rumah Ketua RT.
Nah, keunikan yang saya maksud adalah ketika mengantarkan bahan makanan, para warga yang sebagian besar  adalah petani kebanyakan membawa dua wadah berisi makanan. Dari hasil tanya-tanya kepada para tetangga (dengan pemahaman bahasa jawa yang masih minim), saya mendapat jawaban mencengangkan. Kalau satu wadah tersebut dimaksudkan untuk tradisi selikuran, maka wadah yang satu lagi adalah untuk memperingati 17 Agustusan atawa hari proklamasi.
Dalam pembacaan doa yang dipimpin oleh seorang pemuda alumni pesantren setempat (mas Jono), terselip doa yang dinukil dari Surat Al Qadr dan doa agar tanah Indonesia menjadi tanah yang “gemah ripa loh jinawi”. Permohonan pada sang Maha Pemberi itu kemudian diakhiri dengan surat Al Fatihah dan salam-salaman para peserta kenduren. Selanjutnya masing-masing pulang dengan membawa wadah makanan yang dibawanya kembali ke rumah
Sebagai orang seberang, tradisi itu sangat menarik perhatian saya. Selama ini saya menyaksikan peringatan Proklamasi lebih banyak dilaksanakan secara struktural yang dikomandoi pemerintah. Berbagai kegiatan dilaksanakan dengan sokongan dana dari anggaran pemerintah atau hasil penarikan dana dari warga setempat. Kegiatan lebih banyak dilaksanakan secara hura-hura, massal dan minim nilai-nilai edukasi. Kegiatan-kegiatan itu bahkan mulai terkesan sebagai rutinitas yang membosankan.
Namun disini, tempat dimana gunung merapi berdiri dengan gagah, saya mendapat pelajaran dan hikmah yang sangat dalam. Warga berusaha menginternalisasikan nilai-nilai proklamasi dalam suatu doa dan perenungan yang sakral. Warga Cangkringan melakukannya dalam sunyi, tenang, damai dan penuh makna. Jauh dari hingar bingar kepentingan politik, pencitraan atau kesan yang wah.

RAMADHAN TIDAK SINGGAH DI KAMPUNG SAYA


Apakah anda merindukan suasana Ramadhan seperti penggambaran Anang dalam lagunya “suasana di kota santri” ? Jika jawaban anda, YA, maka anda sependapat dengan saya.
Saya dibesarkan di kota Baubau Prop. Sulawesi Tenggara. Pada zaman saya mulai belajar mendefenisikan sesuatu (sekitar masa-masa SMP), saya menyadari diri berada dalam suasana yang sangat menyenangkan. Pada bulan Ramadhan seperti ini, aktivitas sehari-hari berlangsung di seputaran mesjid. Mulai dari mengaji, berzikir, berdiskusi, menyiapkan buka bersama hingga tidurpun seringkali di dalam mesjid Nurul Abidin, belakang Kantor Depag Baubau. Kami para remaja mesjid yang mengendalikan seluruh kegiatan di mesjid, mulai dari persiapan buka puasa, hingga protokol dan doa diantara shalat tarawih. Meski bukan kota santri, suasana sosial masyarakat pada saat itu juga sangat menyenangkan. Warga sangat menghormati bulan suci ini. Kita mungkin saja akan berdebat soal teknis-teknis penghormatan, namun pada saat itu, suasana ramadhan terasa sangat kental melingkupi perjalanan kehidupan masyarakat Baubau.
Hal-hal itu terasa hingga kini. Saya selalu menyandingkan penghormatan terhadap bulan suci ini dengan suasana batin saya pada akhir tahun 1980-an tersebut. Rasanya suasana masa lalu itu tidak akan terulang kembali, bahkan ketika pulang kampung sejenak merasakan awal puasa. Terasa ada yang hilang walau tak berwujud. Suasana yang kental penuh religi menyambut kedatangan bulan suci pergi entah kemana. Saya bahkan bertanya dalam hati, adakah Ramadhan singgah secara sosiologis di kampung saya ?
Tentu saja memperbandingkan kehidupan masa lalu dan masa sekarang tidaklah setara. Ada banyak faktor yang mempengaruhinya. Mulai dari perilaku hidup konsumtif, rasa individu yang menegak hingga hal-hal yang sederhana seperti menjamurnya sarana hiburan yang merasuk ke ruang-ruang privat.  Tetapi tak apalah sekali-sekali subyektifitas menyeruak di tengah perasaan, untuk menyenangkan diri sekaligus menyadarkan bahwa kita masih manusia dan belum jadi malaikat.
Perlahan-lahan tapi pasti Kota Baubau berevolusi mengadopsi kebiasaan kota-kota besar. Di Jakarta, penghormatan terhadap bulan Ramadhan berlangsung setengah hati. Tempat makan, restoran atau café-café lainnya tetap beroperasi walaupun di depannya terpasang spanduk mengucapkan selamat menjalankan ibadah puasa. Orang yang berlalu lalang sambil merokok atau duduk makan minum di pinggir jalan sudah pemandangan yang biasa. Rasa malu karena tidak berpuasa sudah lenyap digantikan alasan mengejar hidup yang lebih baik. Kualitas hidup kemudian ditentukan oleh seberapa banyak seseorang memiliki lembaran-lembaran alat tukar. Bahkan untuk itu, rasa sosial dalam beragama ditempatkan pada antrian baris terakhir.
Saya sedih. Saya memang bukan orang yang sungguh taat dalam beragama walaupun saya juga bukan representasi kalangan pendosa. Saya hanya merindukan suasana tenang dan nyaman seperti di kampung saya dulu. Meski sangat sadar bahwa hal itu tidak mungkin lagi.

KUTUKAN RUH SEPAKBOLA TERHADAP ARGENTINA



Argentina adalah tim bertabur bintang. Siapa yang tidak kenal nama-nama seperti Messi, Tevez, Higuain, Aguero, Mascherano, Zanetti atau Milito ? Kesebelasan apapun yang berhadapan dengan Argentina akan berpikir seribu kali dalam merumuskan strategi yang tepat menghadapinya. Copa America 2011 seakan menjadi panggung untuk menahbiskan nama-nama besar pemain Argentina sebagai seniman bola dunia.
Tapi apa yang terjadi ? Fakta kerapkali berbeda dengan apa yang diinginkan. Dalam dua pertandingan awal, Argentina seperti membentur tembok tebal. Para pemain yang selama ini dibangga-banggakan suporternya ternyata hanya menjadi macan kertas. Pergerakan, pengambilan posisi, penyerangan ataupun pertahanan tidak mencirikan kalau semua pemainnya adalah pemain papan atas dunia di liga-liga bergengsi. Sebelum menghadapi Argentina, Pelatih Kolombia Hernan Dario Gomez sesumbar secara lantang dengan mengatakan bahwa Argentina tidak bermain sebagai sebuah sistem yang kolektif.
Bagaimana memaknai keadaan ini ?
‘Sistem” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan yang membentuk suatu totalitas pengertian dari sudut pandangan teori, asas dan ketentuan hukum.
Meminjam teori Talcott Parson tentang Fungsionalisme Struktural, tim dengan nama besar seperti Argentina di Copa America 2011 ini tidak memiliki empat imperatif fungsional yang diperlukan (atau menjadi ciri) seluruh sistem yang kolektif (setidaknya dalam 2 partai awal). Yang pertama adalah proses Adaptasi. Tim Argentina harus mengatasi kebutuhan situasional yang datang dari luar. Ia harus beradaptasi dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan dengan kebutuhan-kebutuhannya. Tim lain tentu telah mengevaluasi berbagai keistimewaan tim Argentina. Sayangnya, Argentina yang merasa lebih “hebat” ketimbang tim lain kemudian memainkan pola standar dan monoton yang telah lama dianalisis tim-tim lawan. Sistem penyerangan yang dipraktekkan tim Argentina ternyata malah menkjadi bumerang karena ketidakmampuan mereka menembus gawang lawan. Parahnya lagi, Argentina seperti terkungkung oleh pola permainannya sendiri. Dalam konteks ini, sabda Rinus Michels sang pencipta metode penyerangan ala total football menemukan pembenaran, “tidak ada taktik yang benar-benar sempurna. Semua tergantung pada bagaimana reaksi di lapangan dan menemukan counter tactic yang tepat untuk diterapkan”.
Imperatif Fungsional kedua adalah pencapaian tujuan (Goal attainment). Tim Argentina sebagai sebuah kesatuan yang bersifat kolektif seharusnya mendefinisikan diri dalam upaya mencapai tujuan utamanya yaitu mengakhiri dominasi Brazil di lingkup regional Amerika Selatan. Seluruh tim harus menanamkan dengan kuat sugesti diri bahwa mereka sedang menciptakan sejarah yang akan dikenang sebagai kebangkitan generasi baru pasca generasi Maradona, Mario Kempes, Batista, Ruggeri ataupun Valdano.
Bagian ketiga dari Fungsional ala Parson adalah integrasi (Integration). Integrasi antara sesama pemain, antara pemain dengan taktik pelatih Sergio Batista ataupun antara pemain dengan espektasi publik yang demikian besar. Keberhasilan tim dalam mengelola nama-nama besar pemain akan menjadi parameter sejauh mana proses adaptasi itu akan menghasilkan sesuatu yang dahsyat. Terlihat betapa canggungnya Messi mendapat posisi sebagai target man, atau Tevez yang kewalahan harus mencari bola ke lapangan tengah. Proses adaptasi adalah dasar dalam mengatur pemain bintang dimanapun. Seluruh persoalan ego, kebintangan ataupun prestasi pribadi harus diletakkan di luar lapangan dan tidak ikut masuk dalam arena permainan. Pemain harus menampilkan diri sebagai kolektivitas yang sama dan tidak terbedakan. Barang siapa yang membawa individualisme dalam lapangan, maka ia akan berhadapan dengan esensi dasar sepakbola sebagai semua permainan tim yang mengandalkan kebersamaan. Pemain individualis akan dikutuk oleh ruh sepakbola hanya akan mendapat penghargaan semu dan dianggap gagal sebagai anak bangsa.
Fungsionalisme Parsonian yang terakhir adalah latensi (Latency) atau pemeliharaan pola. Suatu tim manapun harus mematenkan pola dasar permainan tim yang mengedepankan kebersamaan dalam permainan. Pola dasar yang digunakan harus terus-menerus disempurnakan dengan berbagai metode, taktik yang berkembang dalam permainan.
Dengan pendekatan ala Talcott Parson ini, dengan mudah disadari mengapa Argentina tidak berdaya menghadapi tim-tim semenjana seperti Bolivia atau Kolombia. Juga memperjelas pemahaman kita mengapa Argentina menang besar melawan Kostarika. Akan tetapi, ujian sebenarnya hadir ketika minggu nanti Argentina berhadapan dengan tim besar seperti Uruguay. Tim Uruguay juga memiliki problem yang sama dengan Argentina. Oleh karenanya, hanya tim dengan kesiapan mental dan keahlian memahami filsafat sepakbola yang akan memetik keuntungan dari pertemuan. Last but not least… tidak boleh dinafikan peran dewi keberuntungan.
Selamat menunggu partai Argentina vs Uruguay. May the best team win…


PENGALAMAN HOROR NAIK KERETA API

 

Pernahkah kawan naik kereta api di indonesia untuk rute yang jauh ? kalau belum, sebaiknya cobalah sekali-sekali, terutama di akhir pekan. Kawan akan bertemu dengan miniatur pengelolaan negara yang serba kacau dan semrawut. Saya mengalaminya jumat 8 Juli 2011 kemarin. Hasilnya ? saya benar-benar merinding dan menjadi horor berkepanjangan. Mau tahu kisahnya ?
Karena suatu urusan yang sangat mendesak, saya mendadak harus menggunakan angkutan kereta api ke Jogja. Saya memilih kelas bisnis mengingat kelas ini berada di pertengahan kenyamanan antara kelas ekonomi (kereta dengan nama Progo) dan kelas eksekutif (kereta Taksaka).
Berdasar info dari seorang teman, loket penjualan karcis kereta senja utama Jogja pada hari keberangkatan akan dibuka pada jam 16.00 wib. Dengan semangat 45 saya sudah berada di seputaran stasiun senen ketika jarum jam menunjuk pukul 15.00 wib. Harapan saya, dengan hadir sejam lebih awal, kemungkinan memperoleh tiket dapat lebih besar. Sesampai di depan loket 15, saya terperangah, antrian sudah mengular sekitar 6 meter. Parahnya lagi khusus loket 15 ternyata ada dua barisan pengantri, sementara di loket lain (untuk kereta lain pula) hanya satu barisan.
Saya mengambil posisi walaupun hati mulai miris. Harapan muncul ketika seorang perwira polisi yang bertugas menjaga keamanan mendatangi barisan depan loket 15. Sebait pertanyaan tentang jumlah barisan antrian segera dilontarkan meski terkesan tidak serius. Massa yang mulai ramai menjawab sekenanya tanpa kesan serius pula. Pak polisi hanya terdiam dan berdiri tanpa tindakan apa-apa.
Loket kemudian dibuka pukul 15.30. Namun sayangnya, tepat ketika giliran saya berada di depan loket, petugas loket (yang seorang wanita cantik) dengan dingin dan tanpa ekspresi memberitahukan bahwa kursi telah habis. Saya ternganga dan merutuki kesialan sore itu. Apa boleh buat, keputusan harus segera diambil secara cepat sementara dibelakang, orang ramai mulai berteriak-teriak ketika menyadari kursi telah penuh.
Saya memutuskan mengambil tiket dengan tulisan kapital besar di kanan tengah, “TANPA_TMP_DUDUK. Inkosistensi PT. Kereta Api (PT. KA) mulai nampak disini. Dari pengeras suara diberitahukan bahwa tiket hanya akan dijual sampai pada batas 150 % dari jumlah kursi. Artinya ada 33,3 % dari total penumpang yang tidak memiliki kursi dan bebas menentukan pilihan hendak duduk dimanapun. Ya, dimanapun…karena memang tidak disediakan tempat buat mereka.
Tepat pukul 17.00 wib, saya telah berada kembali di stasiun senen. Saya melirik jam tangan, dan menyadari masih tersisa setengah jam sebelum kereta benar2 bertolak. Dengan pikiran yang bingung, saya menyusuri stasiun hingga sampai ke ujung utara. Mata tiba-tiba melihat sebarisan gerbong yang sedang parkir sekitar 100 meter dari tempat saya berdiri. Dari hasil bertanya pada penjual asongan, saya tahu kalau kereta itu adalah kereta yang akan saya tumpangi. Dan lagi, sebagian penumpang yang tidak memiliki nomor kursi seperti saya sudah mulai menaiki kereta itu. Sayapun tidak mau ketinggalan untuk naik lebih dulu. Sesampai di kereta, saya bingung, semua daerah yang bukan kursi telah terisi penuh. Dengan berat hati, saya ikutan menggelar koran yang baru dibeli tepat di bordes dekat sambungan gerbong. Dua orang penumpang lain seperti saya ikut-ikutan menggelar koran di seberang tempat duduk saya, tepat di depan toilet.
Ketika akhirnya kereta mulai menaikkan penumpang di stasiun senen, pilihan saya naik lebih dulu terbukti. Beberapa penumpang yang tidak memiliki nomor kursi hanya bisa berdiri diantara sambungan gerbong. Untuk berdiri saja mereka sudah bersyukur karena untuk duduk rasanya hampir tidak mungkin. Kelelahan, saya mencoba untuk tidur walaupun dengan posisi meringkuk seperti pistol akibat himpitan penumpang lain yang merangsek mengambil sebagian lokasi gelaran koran saya.
Kereta semakin bertambah padat ketika berhenti di stasiun jatinegara. Sementara saya sudah tidak bisa bergerak oleh himpitan penumpang lain. Gejolak perasaan antara kasihan, jengkel dan geli bercampur aduk menutup bibir dan mulut. Saya tersenyum melirik ke tulisan PT. KA di dinding atas kepala saya, “BORDES BUKAN TEMPAT PENUMPANG”. Kata BORDES diberikan penekanan dengan warna merah. Ah, bodo amat.
Saya tidak habis pikir, dengan kebijakan PT. KA yang memberikan harga sama antara penumpang yang duduk di kursi dengan penumpang yang tidak jelas tempat duduknya. Seharusnya kalau mau fair, penumpang tanpa kursi harus diberikan potongan harga sebagai tanda permohonan maaf atas ketidaknyamanan pelayanan.    PT. KA juga sangat aneh karena tidak memberikan tempat secara khusus pada mereka yang memiliki tiket tanpa kursi. Para penumpang itu dibiarkan menggeletak kesana kemari tanpa perhatian. Nampaknya, PT. KA menganggap orang-orang tersebut hanya sebagai deretan angka-angka yang menambah penghasilan dan bukan sebagai kesatuan jiwa dan raga yang juga memiliki nurani kemanusiaan.
Masih banyak lagi kesemrawutan yang saya alami, mulai dari petugas pemeriksa karcis yang langsung mengutip uang dari penumpang tanpa karcis lalu memasukkan ke kantongnya. Belum lagi pedagang kaki lima yang rasanya dipelihara oleh para pegawai PT. KA (karena mereka naik mulai stasiun senen hingga sampai di jogja). Atau kereta berhenti tiba-tiba dan diam dalam jangka waktu lama tanpa pemberitahuan pada penumpang. Sungguh terlalu banyak kesemrawutan di bawah dan di atas kereta. Malam itu benar-benar horor buat saya…entah sampai kapan berakhir…