Minggu, 21 Juli 2013

Quo Vadis Korps Adhyaksa ?

(Refleksi Hari Bhakti Adhyaksa Ke- 53, Tanggal 22 Juli 2013)
  
Tahun 2013 Kejaksaan memasuki usia ke 53 tahun. Suatu usia yang lama, mapan dan menjanjikan banyak hal yang dapat dilakukan. Perjalanan usia dan harapan di masa yang akan datang tercermin sebagaimana Tema Hari Bhakti Kejaksaan tahun ini yaitu “Melalui Hari Bhkati Adhyaksa tahun 2013, mari kita terus tingkatkan integritas moral dalam rangka pemulihan kepercayaan masyarakat”.  Dari tema tersebut setidaknya dapat ditarik dua hal yang dapat dijadikan sebagai bahan renungan. Yang pertama berkaitan dengan integritas moral personil kejaksaan, dan yang kedua adalah pemulihan kepercayaan masyarakat.

Beban Masa Lalu
Dalam Press Release Transparansi Internasional Indonesia (TII) tanggal 5 Desember 2012, tentang Corruption Perception Index (CPI) tahun 2012, Indonesia berada pada posisi 32 pada urutan 118 dari 176 yang disurvey. Yang menarik adalah salah satu saran TII berkaitan dengan peningkatan posisi Indonesia adalah berkaitan dengan dorongan agar Kemandirian dan kredibilitas kejaksaan, kepolisian dan pengadilan dalam menangani kasus tindak pidana korupsi terus ditingkatkan.
Survey terbaru dari Indonesia Legal Rountable (ILR) berkaitan dengan Indeks Presepsi Negara Hukum pada 31 Mei 2013 menempatkan Indonesia pada angka 4,53. Survei ini berkaitan dengan pandangan masyarakat mengenai lima poin prinsip negara hukum. Lima prinsip dimaksud adalah pemerintah berdasarkan hukum; independensi kekuasaan kehakiman; penghormatan, pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia; akses terhadap keadilan; dan peraturan yang terbuka dan jelas.
Survey lain yang juga baru saja dirilis datang dari Lembaga Transparency Internasional Indonesia  pada 8 Juli 2013 yang menempatkan kelembagaan pemerintah "Kepolisian, Parlemen, dan Peradilan di Indonesia sebagai pelaku praktek korupsi tertinggi. Menurut informasi Sekjen TII, Dadang Trisasongko kepada penulis, Kejaksaan dalam survey tersebut dianggap sebagai bagian dari lembaga peradilan.
Kedua survey tersebut menunjukkan betapa rendahnya persepsi positif publik terhadap lembaga penegakan hukum. Lembaga Penegakan Hukum masih dianggap sebagai lembaga yang tidak terbuka terhadap perubahan, mempertahankan paradigma lama yang berorientasi kekuasaan dan menempatkan publik lebih sebagai obyek ketimbang subyek.
Ketidakmandirian Kejaksaan sebagai lembaga penegakan hukum juga menjadi salah satu “titik lemah” Kejaksaan. Dengan posisi sebagai anggota eksekutif, Kejaksaan menjadi lembaga penegak hukum pemerintah dan bukan penegak hukum negara. Konsekwensinya, Kejaksaan kemudian memiliki cara pandang yang sangat “pemerintah sentris”.  Persoalan penegakan hukum kemudian terreduksi hanya menjadi sekedar persoalan keamanan dan ketertiban, jauh dari logika keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Di negeri Belanda sebagai sumber dari berbagai peraturan pidana Indonesia, Jaksa Agung selain memimpin institusi Kejaksaan juga bertindak sebagai pejabat pada Mahkamah Agung (Hoofd Officer van Justitie Hoge Raad). Pemisahan lembaga Kejaksaan dari struktur eksekutif menjadikan Kejaksaan di negeri Belanda sedemikian kuat dan berwibawa. Hal itu tercermin pada “keberanian” Kejaksaan untuk memperkarakan semua pihak yang diduga bersalah apapun posisi jabatan dan karir politiknya.
Terkait dengan kredibilitas, Kejaksaan tentu tidak terlepas dari persepsi negatif. Masa lalu Kejaksaan tidaklah selalu tergores dengan tinta emas. Banyak hal yang dilakukan Kejaksaan justru dicatat oleh masyarakat dengan tinta merah. Pada beberapa penanganan perkara yang menonjol, Kejaksaan justru memperlihatkan sikap yang bertolak belakang dari harapan publik. Perkara kakao mbok minah, nenek loeana, rasyid rajasa menjadi contoh bagaimana persepsi keadilan versi kejaksaan berbenturan dengan persepsi keadilan masyarakat.
Persepsi negatif masyarakat tersebut juga diperparah dengan posisi Kejaksaan yang lebih memposisikan diri sebagai lembaga kuratif dalam membasmi pelanggaran hukum. Posisi tersebut tidak salah karena memang ditegaskan dalam UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan, meski juga tidak sepenuhnya tepat. Dengan posisi tersebut, Kejaksaan menampakkan diri sebagai institusi yang sangar, kaku dan tidak bersahabat. Kejaksaan hadir di depan warga dengan “pedang” yang siap menebas dan memotong. Benak publik kemudian merekonstruksi peran Kejaksaan hanya sebagai lembaga penuntut dan eksekusi yang tidak menyenangkan dan merampas kemerdekaan “anak-anaknya”.
Padahal Kejaksaan juga memiliki peran lain yang tidak kalah pentingnya. Peran preventif yang selama ini terkesan terlupakan harus mulai di angkat ke permukaan dan dikenalkan di tengah-tengah masyarakat. Pencegahan pelanggaran hukum terutama dalam penanganan perkara korupsi harus menjadi prioritas yang sama pentingnya dengan aspek penindakan.
Dalam peran pencegahan, Kejaksaan hadir menampakkan senyum, sikap welas asih dan pembimbingan yang membahagiakan. Orientasi pelayanan harus dikedepankan dan menempatkan warga sebagai sharing partner yang setara. Anggapan “presumption of gulity” yang hadir dalam benak para penegak hukum setiap kali menangani perkara harus dikesampingkan guna memulihkan kepercayaan masyarakat.

Prospek ke depan
Dengan berbagai persoalan masa lalu yang membebani langkah Kejaksaan, maka di masa datang boleh jadi peran Kejaksaan akan semakin berkurang. Kewenangannya mungkin saja akan semakin dipreteli seiring dengan meningkatnya peran lembaga penegak hukum lain seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada beberapa titik, peran KPK (meski hanya sebagai lembaga ad hoc) yang semakin besar menggerus kepercayaan masyarakat terhadap Kejaksaan.
Satu-satunya langkah yang dapat diambil Kejaksaan guna mengukuhkan eksistensinya adalah dengan mereformasi diri tidak hanya pada tataran birokrasi semata. Friedman dalam bukunya “Legal Theory” menunjukkan dua hal penting lain diluar perombakan struktur yaitu berkaitan dengan substansi dan kultur. Substansi meliputi aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Sedangkan Kultur berkaitan dengan sikap manusia terhadap hukum (kepercayaan), nilai, pemikiran, serta harapannya
Institusi dan personil Kejaksaan harus kembali pada nilai-nilai dasar yang menempatkan hukum dalam ruang sosial yang tidak rigid. Masyarakat terus-menerus mengalami transformasi, sehingga hukum meski tertatih-tatih juga harus mengejar setiap peristiwa (het recht hink achter de feiten aan). Dahulu Hakim sering dianggap sebagai corong undang-undang (la bouche des lois) tetapi nampaknya saat ini, adagium itu lebih tepat dinisbahkan kepada para jaksa. Para Hakim sudah melangkah maju dengan menjadikan harapan publik sebagai salah satu pertimbangan putusan sedangkan para jaksa masih tertinggal, berkutat pada berbagai peraturan dan petunjuk pimpinan. Sedikit banyak, hal ini berkaitan dengan posisi para hakim sebagai kekuasaan yang merdeka dan bebas intervensi.
Pada sisi kinerja, Kejaksaan di masa datang juga harus menunjukkan diri sebagai institusi yang liat dan alot dalam memerangi tindak pidana. Terkhusus pada tindak pidana korupsi, Kejaksaan tidak boleh kalah dengan para koruptor. Kado spesial tahun ini yang menunjukkan bahwa Kejaksaan masih dapat diharapkan sebagai lembaga penegakkan hukum yang berwibawa adalah terbuktinya di persidangan kasus Chevron dan kasus IM2 Indosat. Ini perkembangan yang menggembirakan dan menumbuhkan harapan baru, di tengah apatisme publik yang memandang sinis langkah Kejaksaan melimpahkan kedua perkara tersebut ke pengadilan.
Demikian pula, berkaitan dengan anggaran institusi, Kejaksaan harus terus menerus mengedepankan prinsip akuntabilitas dan keterbukaan dalam setiap pengelolaan keuangan. Anggaran dan pertanggungjawabannya harus dipahami dan diketahui oleh seluruh personil yang mendedikasikan tenaga dan pikirannya bagi kemajuan institusi.
Terakhir, semoga ekspektasi dan pengharapan publik terhadap kemajuan dan kewibawaan institusi menjadi katalisator lahirnya Kejaksaan yang mandiri dan berwibawa.

Selamat Hari Bhakti Adhyaksa ke- 53.
Kita basmi kemungkaran, Kebatilan dan Kejahatan