Rabu, 15 Februari 2012

Tahan Angelina Sondakh yang memberi keterangan palsu !


Luar biasa Angelina Sondakh !! Profesi sebagai artis telah menjadikannya seorang yang handal dalam bersandiwara. Bagi orang-orang sepertinya, akting bukanlah suatu kegiatan, hobby apalagi pekerjaan. Akting adalah diri mereka sendiri, bersetara dengan keberadaan darah dan daging yang membungkus tubuh artifisialnya. 

Hari ini kemampuan berolah peran ditunjukkannya dengan gegap gempita di Pengadilan Tipikor Jakarta. Berkedudukan sebagai saksi, setiap pertanyaan Majelis Hakim, Jaksa/Penuntut Umum atau bahkan Terdakwa Nazaruddin sendiri lebih banyak dijawabnya dengan tidak tahu, lupa atau tidak ingat. Entah siapa yang telah mengajarinya bersilat lidah sehingga mampu memutar balik kenyataan sekaligus mengingkari semua apa yang telah dikemukakannya sebagaimana tercatat dalam BAP.

Keterangan yang paling mendapat sorotan publik adalah pengingkaran Angelina Sondakh terhadap kegemarannya menggunakan HP merk Blackberry. Dengan tegas ia membantah pernah berkomunikasi dengan Mindo Rosalina Manulang via BBM pada tahun 2009. Sayangnya (atau sialnya!!!), Wartawan dengan mudah menunjukkan kebiasaannya melalui foto sedang menggunakan HP merk tersebut sejak tahun 2009.

Sepintas Angelina Sondakh telah memenangkan “pertempurannya” hari ini. Ia meninggalkan Pengadilan Tipikor dengan membawa keberhasilan telah mengalahkan Hakim, Penuntut Umum atau bahkan publik yang menyaksikan proses persidangan. Apakah dengan demikian ia telah menyelesaikan segala sesuatunya ?

Tidak. Kapak peperangan baru saja digali. Ia akan menghadapi sinisme publik yang memandangnya dengan marah. Orang banyak akan mudah tersentuh dengan posisinya yang baru saja ditinggal suami. Sebagian Publik sangat bersimpati karena menganggapnya sebagai bagian yang dikorbankan demi menjaga citra suatu kelompok. Namun yang terjadi hari ini telah mengubah segalanya. Masyarakat akan berbalik mencercanya. Hukuman sosiologis akan menimpanya mulai hari ini. Publik di negara ini sangat alergi terhadap seorang pembohong, apalagi kalau kebohongan itu dilakukan secara kasat mata di depan publik dan di depan hukum.

Persoalan berbohong di depan hukum ini dapat menjadi batu sandungan bagi Angelina Sondakh. Sebagai saksi tentu saja ia disumpah sebelum memberikan keterangan. Oleh karenanya, semua keterangan yang diberikan di depan Hakim disebut sebagai keterangan di atas sumpah. Sistem hukum kita menganggap perbuatan berbohong di depan sidang sebagai tindak pidana. Secara tegas dinyatakan dalam Pasal 242 KUHP :

(1)   Barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(2)   Jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Dengan menggunakan Pasal tersebut, Penyidik Polri dapat segera turun tangan melakukan penyelidikan sekaligus dengan segera meningkatkannya ke penyidikan. Tindak pidana memberikan keterangan palsu di bawah sumpah tergolong kategori tindak pidana yang berat sehingga ancamannya berada di atas 5 tahun. Konsekuensi sebagai tindak pidana berat ini menjadikannya dapat dilakukan tindakan penahanan sebagaimana tertulis dalam KUHAP Pasal 21.

Dengan memberikan keterangan palsu di atas sumpah, Angelina Sondakh telah dengan sengaja memandang remeh Pengadilan dan perangkat-perangkatnya. Ia tidak lagi menghormati ruang sidang pengadilan sebagai tempat orang mencari keadilan. Dan yang lebih mengenaskan bagi publik,  Angelina Sondakh telah berusaha menelikung keadilan tepat di tengah ruang pengadilan.



Sekarang bola panasnya berada pada penyidik Polri. Mekanisme perundang-undangan secara materil maupun formil telah menyediakan sarana untuk melakukan penanganan sebagai suatu perkara yang mandiri dan terlepas dari statusnya sebagai tersangka korupsi oleh KPK. Publik pun dapat memberikan kontribusi melalui tekanan-tekanan agar Polisi berani melakukan pemeriksaan dan tidak takut dengan posisi atau perkoncoan yang dimiliki Angelina Sondakh.

Senin, 13 Februari 2012

Pencegahan Wayan Koster oleh KPK, Diskriminatif !


Putusan MK No. 40/PUU-IX/2011 tertanggal 8 Februari 2012 telah memutuskan bahwa kata “penyelidikan dan” yang tertera dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5216) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Putusan ini merupakan babak akhir dari serangkaian keresahan masyarakat yang kemudian mengajukan gugatan, melalui 6 orang advokat sebagai penggugat di Mahkamah Konstitusi. Alasan pengajuan gugatan ini sebagaimana termuat dalam putusan adalah :
-  Bahwa secara tegas dan jelas Pasal 16 ayat (1) huruf b UU Keimigrasian telah    memberikan ruang bagi penyelidik maupun penyidik untuk melanggar hak asasi para Pemohon, sebagaimana yang berbunyi:
“(1)  Pejabat Imigrasi menolak orang untuk keluar Wilayah Indonesia dalam hal orang tersebut:
b.  diperlukan untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan atas permintaan pejabat yang berwenang”.
Ketentuan tersebut di atas sangat membuka ruang dan peluang bagi lembaga lembaga penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk dengan mudahnya melarang hak asasi seseorang untuk bepergian dalam rangka melangsungkan hidup dan kehidupannya.
-    Apabila para Pemohon masih dalam proses penyelidikan namun sudah dilarang untuk bepergian, pejabat imigrasi menolak para Pemohon untuk keluar wilayah Indonesia atas permintaan penyelidik, di mana belum ditetapkan siapa yang menjadi Tersangka, hak konstitusional para Pemohon sebagaimana diatur dalam Pasal 28 huruf D ayat (1) jelas-jelas telah dilanggar. Praktik seperti ini terjadi dalam perkara atas nama M. Nazaruddin yang dicekal atas permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi, padahal terhadap M. Nazarudin belum ada perkara dan belum pernah dipanggil oleh KPK.
-   Bahwa dengan kewenangan yang diberikan oleh Pasal 16 ayat (1) huruf b tersebut      seorang    warga negara terbukti telah sangat dirugikan hak-hak konstitusionalnya yang seharusnya dilindungi, yaitu hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam Pasal 28 huruf D ayat (1) UUD 1945. Kerugian atas pelanggaran Hak Konstitusional atas berlakunya Pasal 16 ayat (1) huruf b tersebut juga berpotensi akan merugikan hak konstitusional para Pemohon dikemudian hari.
-     Para Pemohon sangat keberatan apabila masih dalam proses penyelidikan, seseorang sudah dapat ditolak atau pada intinya dilarang untuk berpergian keluar negeri. Karena tindakan tersebut adalah suatu bentuk perampasan kemerdekaan atau suatu bentuk upaya paksa. Penyelidikan sendiri sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 5 KUHAP yaitu: “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Sehingga berdasarkan bunyi pasal tersebut, adalah sangat prematur apabila masih dalam tingkat penyelidikan seseorang sudah dapat dikenakan upaya paksa. Bahwa adanya lembaga penyelidikan ratio legis nya adalah memperkecil adanya upaya paksa.

Pada bagian pertimbangan Putusan Hakim MK, disebutkan bahwa :
-    Dalam tahap penyelidikan belum ada kepastian disidik atau tidak disidik. Belum dilakukan pencarian dan pengumpulan bukti, baru tahap mengumpulkan informasi. Kalau dalam tahap penyidikan karena memang dilakukan pencarian dan pengumpulan bukti, wajar bila bisa dilakukan penolakan untuk berpergian keluar negeri, karena ada kemungkinan tersidik membawa bukti-bukti yang berkaitan dengan tindak pidana keluar negeri sehingga mempersulit penyidik melakukan pencarian dan pengumpulan bukti untuk membuat terang tentang pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya;
-      Menimbang bahwa Mahkamah berpendapat penyelidikan itu masih dalam tahapan yang dilakukan oleh penyelidik dalam rangka menentukan ada atau tidak adanya suatu tindak pidana dalam kasus tertentu dan untuk mencari buktibukti awal untuk menentukan siapa pelakunya. Oleh karena itu, penolakan terhadap seseorang untuk keluar wilayah Indonesia ketika statusnya belum pasti menjadi tersangka dalam suatu tindak pidana karena masih dalam tahap penyelidikan akan mudah dijadikan alasan untuk menghalangi gerak seseorang untuk keluar negeri. Lagipula dalam tahap penyelidikan, seseorang belum mengetahui apakah dirinya sedang dalam proses penyelidikan atau tidak dan proses penyelidikan itu tidak ada jangka waktu yang pasti sehingga tidak diketahui kapan harus berakhir. Mencegah seseorang untuk ke luar negeri dalam tahap tersebut dapat disalahgunakan untuk kepentingan di luar kepentingan penegakan hukum sehingga melanggar hak seseorang yang dijamin oleh konstitusi yaitu hak yang ditentukan dalam Pasal 28E UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”. Ketentuan a quo juga melanggar ketentuan konstitusi yang mewajibkan negara memberikan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;

Yang menarik dari keputusan tersebut adalah pendapat Hakim Akil Mochtar selaku Juru bicara MK melalui media bahwa proses pencegahan tidak terikat pada status seseorang. Tetapi yang paling penting adalah pencegahan baru boleh dilakukan setelah pada posisi penyidikan. "Orang bisa saja sebelum jadi tersangka diperiksa sebagai saksi. Yang penting sudah pada posisi penyidikan," kata mantan politisi Golkar ini. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa sejak keluarnya putusan MK tersebut maka semua penegak hukum, termasuk KPK tidak boleh lagi melakukan tindakan pencegahan ketika proses penyelidikan sedang berlangsung.
foto : Metro TV news.com
Pendapat Akil Mochtar ini sehari kemudian dibantah oleh Prof. Machfud MD selaku Ketua MK bahwa KPK tetap dapat melakukan pencegahan dengan alasan bahwa tindakan pencegahan pada tahap penyelidikan dinyatakan secara tegas dalam UU KPK sehingga berlakulah kemudian asas lex specialis.
Ada hal yang patut menjadi catatan sekaligus pertanyaan berkaitan dengan putusan dan komentar dari para hakim MK tersebut.
    1.     Putusan MK No. 40/PUU-IX/2011 tertanggal 8 Februari 2012 tersebut dilekatkan pada prosedur acara dalam hukum pidana dan bukan pada status seseorang. Dengan menentukan prosedur hukum acara sebagai basis dalam tindakan imigrasi maka sebenarnya MK telah membuka peluang bagi pihak lain (penegak hukum) untuk bersikap diskriminasi. Atas dasar Putusan ini, penegak hukum dapat melakukan tindakan pencegahan ketika proses penyidikan telah dimulai. Tidak ada batasan siapa saja yang tidak boleh dicegah pada tahap ini. Artinya, sepanjang seseorang berstatus saksi maka orang tersebut dapat dicegah keluar negeri. Sebagai contoh, dapat dilihat pada kasus Wayan Koster yang menjadi saksi dalam perkara wisma atlet. Tanpa penjelasan yang dapat dipahami oleh publik, Wayan Koster telah dicegah keluar negeri oleh KPK. Penjelasan itu penting agar kemudian publik dapat memahami limitasi atau batasan yang dijadikan pegangan oleh KPK dalam mencegah seseorang keluar negeri. Tanpa batasan atau aturan yang dijadikan rujukan perihal alasan pencegahan ke luar negeri, maka publik dapat pula mempertanyakan mengapa semua pihak yang menjadi saksi dalam perkara wisma atlet itu tidak dicegah keluar negeri ? Mengapa kemudian KPK tidak melakukan tindakan pencegahan yang sama terhadap para saksi seperti Yulianis, Oktarina, Mirwan Amir ? atau kepada Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng atau pihak lain yang disebut-sebut dalam BAP terdakwa Nazaruddin dan para saksi ?
        Inilah yang dimaksud dengan peluang untuk berbuat diskriminasi. Apalagi kalau   dipahami bahwa tidak setiap pemeriksaan di tahap penyidikan memiliki relevansi untuk kemudian dimasukkan keterangannya dalam berkas perkara. Boleh jadi pula, dengan niat tertentu, penyidik (lembaga apapun) memanggil seseorang untuk kemudian diperiksa lalu dikenakan tindakan pencegahan padahal orang yang sama tidak ada kaitannya dengan penyidikan ?
         Kalau MK mendalilkan bahwa tahap “penyelidikan” berciri belum ada kepastian disidik atau tidak disidik, maka alasan yang sama dapat analogikan pada posisi “saksi” yang juga belum ada kepastian akan disidik atau ditingkatkan menjadi tersangka.
       Pengenaan tindakan pencegahan pada seorang saksi adalah tindakan yang sangat melanggar HAM dan bertentangan dengan konstitusi Pasal 28E UUD 1945. Seseorang yang hanya karena terkait (belum tentu pula jadi tersangka) dengan sesuatu masalah lalu kehilangan hak untuk bepergian ke luar negeri. Suatu tindakan yang sangat aneh dan tidak masuk akal. Kalau dirunut kembali, hampir tidak ada upaya paksa dalam sistem hukum negara ini yang dapat dipaksakan pada seorang saksi selain keharusan untuk hadir apabila dipanggil. Itupun melalui tahap-tahapan yang manusiawi dan proses secara patut.
          Ada yang harus diperbaiki dari cara pandang MK dalam memandang masalah ini. Suatu aturan hukum seharusnya memiliki karakteristik seperti lex scripta (tertulis), lex certa (tegas/tidak dapat ditafsirkan) dan non retroaktif. Dengan merujuk pada proses beracara, MK membuka peluang suatu aturan dapat ditafsirkan secara berbeda dan mencirikan terpinggirnya kepastian hukum.
        Maka akan lebih arif apabila dalam putusannya, MK merujuk pada status seseorang sebagai tersangka yang dapat dikenakan tindakan pencegahan.
    2.   Terhadap dengan pendapat Prof. Machfud MD bahwa KPK masih dapat melakukan tindakan pencegahan atas dasar lex specialis juga menarik untuk dibahas. Putusan MK No. 40/PUU-IX/2011 tertanggal 8 Februari 2012 telah membatalkan kewenangan Institusi Imigrasi melakukan tindakan pencegahan pada tahap penyelidikan. Kalau kemudian KPK masih berwenang melakukan tindakan pencegahan, kemana kewenangan itu hendak diarahkan ? Apakah pihak Imigrasi dapat melaksanakan kehendak KPK atas dasar “perintah” ? Pendapat Prof. Machfud secara eksplisit telah menimbulkan “kerikuhan” hukum pada tataran pelaksanaan. Terhadap hal ini, MK seharusnya memberikan pendapat secara resmi bagaimana seharusnya kedua lembaga itu bersikap, atau setidaknya, lembaga-lembaga penegak hukum duduk bersama menentukan sikap yang kemudian dituangkan sebagai juklak atau juknis dalam pelaksanaannya.


Kamis, 09 Februari 2012

Penyalahgunaan Kewenangan oleh Penegak Hukum


Penegak hukum memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan pemolisian sebagai “senjata” dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari. Tindakan pemolisian itu dapat berwujud tindakan pemeriksaan, penangkapan, penahanan, penyitaan dan penggeledahan. Pada lingkup yang lebih luas, tindakan itu mencakup pula tindakan pencekalan dan penangkalan. Dalam KUHAP, tindakan pemolisian (minus pencekalan dan penangkalan yang diatur dalam UU No. 6 tahun 2011 tentang Imigrasi) tersebut dilakukan oleh Penyidik dan atau penyelidik (atas perintah penyidik). Kewenangan melakukan tindakan pemolisian adalah satu-satunya pembeda antara penegak hukum dengan institusi lain dalam khazanah eksekutif negara.
Meskipun merupakan bagian dari kewenangan penegak hukum, tindakan pemolisian tidak dapat dilakukan secara serampangan karena berkaitan dengan hak-hak asasi manusia/warga negara. Setiap tindakan pemolisian harus dilakukan atas dasar yang logis dan sesuai dengan aturan perundang-undangan yang ada. Dalam pertimbangan putusan hakim pada praperadilan kasus sisminbakum dengan tersangka Romli Atmasasmita, Majelis Hakim mendalilkan bahwa setiap tindakan pemolisian selain harus memenuhi ketentuan perundang-undangan, juga harus memiliki alasan rasional yang obyektif dan diterima akal sehat. Tindakan pemolisian tidak boleh didasarkan pada faktor like dan dislike yang cenderung subyektif dan tidak memiliki parameter yang jelas. Intinya, kewenangan yang dilakukan secara serampangan dan tidak terkontrol akan menghasilkan tindakan yang sewenang-wenang.
Kapan suatu tindakan pemolisian dapat dilakukan terhadap seseorang ?  Apakah ada batasan atau limitasi yang mengawali atau mengakhiri suatu tindakan pemolisian ? Apakah tindakan pemolisian yang sewenang-wenang dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan atau pelanggaran ? Hal-hal menarik ini sampai sekarang masih merupakan wilayah abu-abu yang membingkai kebingungan masyarakat dalam memahaminya.
Suati tindakan pemolisian erat kaitannya dengan upaya paksa. Dalam pelaksanaan tindakan upaya paksa, penyidik memiliki alasan pembenar sehingga tuduhan pelanggaran HAM dapat dikesampingkan.
Kalau diperhatikan dengan seksama, setiap bentuk upaya paksa dalam tindakan pemolisian seperti penangkapan, penahanan, penyitaan dan penggeledahan selalu didahului dengan kata-kata “tindakan penyidik”. Ini memberikan pesan bahwa tindakan tersebut hanya dapat dilakukan oleh penyidik dan tindakan tersebut dilakukan dalam kerangka penyidikan. Tentu saja dalam konteks ini, dasar dari suatu penyidikan adalah surat perintah penyidikan. Dalam surat perintah penyidikan, terkandung maksud untuk mencari serta mengumpulkan bukti guna membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Kalau penyitaan dilakukan terhadap benda yang berkaitan dengan tersangka, maka tindakan penangkapan, penahanan dan penggeledahan dilakukan dalam kaitannya dengan diri tersangka. Hanya saja, yang secara tegas menyebut “tersangka” adalah tindakan penahanan (Pasal 20 KUHAP) sedangkan tindakan penangkapan dan penggeledahan tidak secara khusus menyebut tersangka. Meskipun demikian, karena didahului dengan kata-kata “tindakan penyidik” maka upaya paksa tersebut harus dipahami dalam kerangka pengumpulan bukti sebagaimana dimaksud oleh “penyidikan”.
Dalam konteks upaya paksa ini, ada dua peraturan yang secara tegas membolehkan adanya upaya paksa meskipun tahapan penanganannya belum sampai ke tahap penyidikan. Kedua peraturan itu ada dalam Undang-undang tindak pidana pencucian uang dan undang-undang imigrasi.
Dalam UU TP Pencucian Uang, dibolehkan adanya upaya penundaan transaksi dan pemblokiran harta kekayaan. Kedua tindakan tersebut tentu saja termasuk tindakan pelanggaran terhadap HAM. Ini merupakan pelanggaran terhadap konstitusi khususnya Pasal 28A UUD 1945, yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk mempertahankan hidup dan kehidupan”. Dapat dibayangkan betapa bingungnya seseorang yang tidak paham apa kesalahannya tiba-tiba transaksi keuangannya dihentikan atau harta kekayaannya di blokir.
Mungkin karena menyadari bahwa pelaksanaan kedua hal tersebut sangat urgen dan berkaitan dengan nilai ekonomis yang mudah berubah dalam hitungan detik serta agar tidak frontal menentang perlindungan hak asasi manusia, sejak awal pembentuk undang-undang menetapkan limitasi waktu. Terhadap penundaan transaksi hanya diberi waktu 5 hari sedangkan terhadap pemblokiran disediakan waktu 30 hari. Setelah jangka waktu tersebut maka pemblokiran harus segera dibatalkan demi hukum.
Upaya paksa lain sebelum tahap penyidikan dapat ditemukan dalam UU No. 6 tahun 2011 tentang Imigrasi terdapat dalam pasal 16 ayat (1) b yang berbunyi : “Pejabat Imigrasi menolak orang untuk keluar Wilayah Indonesia dalam hal orang tersebut: ... (b) diperlukan untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan atas permintaan pejabat yang berwenang”. 
Terhadap hal ini, Mahkamah Konstitusi telah membatalkan kata “penyelidikan dan” dengan pertimbangan :
Mahkamah berpendapat penyelidikan itu masih dalam tahapan yang dilakukan oleh penyelidik dalam rangka menentukan ada atau tidak adanya suatu tindak pidana dalam kasus tertentu dan untuk mencari buktibukti awal untuk menentukan siapa pelakunya. Oleh karena itu, penolakan terhadap seseorang untuk keluar wilayah Indonesia ketika statusnya belum pasti menjadi tersangka dalam suatu tindak pidana karena masih dalam tahap penyelidikan akan mudah dijadikan alasan untuk menghalangi gerak seseorang untuk keluar negeri. Lagipula dalam tahap penyelidikan, seseorang belum mengetahui apakah dirinya sedang dalam proses penyelidikan atau tidak dan proses penyelidikan itu tidak ada jangka waktu yang pasti sehingga tidak diketahui kapan harus berakhir. Mencegah seseorang untuk ke luar negeri dalam tahap tersebut dapat disalahgunakan untuk kepentingan di luar kepentingan penegakan hukum sehingga melanggar hak seseorang yang dijamin oleh konstitusi yaitu hak yang ditentukan dalam Pasal 28E UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”. Ketentuan a quo juga melanggar ketentuan konstitusi yang mewajibkan negara memberikan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945”.
Putusan Nomor 40/PUU-IX/2011 yang dikeluarkan tanggal 8 Februari 2012 tersebut merupakan angin segar bagi para pemerhati Hak Asasi Manusia karena dengan demikian dapat mengeliminir upaya kesewenang-wenangan penegak hukum dalam melakukan upaya paksa berupa pencegahan warga negara Indonesia ke luar negeri.
Sampul buku karya OC. Kaligis
Tentu belum lepas dari ingatan kita betapa dahulu pencekalan terhadap Anggoro Wijoyo dan Joko S. Candra oleh KPK menjadi polemik yang berkepanjangan hingga berujung pada penetapan Candra M. Hamzah dan Bibit Samad Riyanto, dua pimpinan KPK menjadi tersangka oleh Kepolisian. Kedua pimpinan KPK tersebut menandatangani surat pencekalan terhadap Anggoro Wijoyo dan Joko S. Candra di tengah kuatnya harapan publik atas pelaksanaan UU yang mengamanatkan kepemimpinan KPK bersifat kolektif kolegial.
Dalam aturan perundang-undangan yang berlaku, tidak ada aturan yang secara khusus mengatur dan memberikan sanksi terhadap seorang penegak hukum yang menyalahgunakan kewenangannya. Aturan tentang penyalahgunaan kewenangan yang selama ini dikenal masyarakat hanya berkaitan bilamana timbul kerugian keuangan negara sebagaimana diatur dalam UU Tipikor. Sedangkan dalam hal tidak ada kerugian negara, atau hanya merugikan orang secara individual/kelompok, maka aturannya malah tidak jelas. Dalam hal penahanan yang dilakukan secara sewenang-wenang, paling jauh hanya dapat dikenakan Pasal 328 atau Pasal 333 tentang Perampasan Kemerdekaan.
Negara memang menyediakan mekanisme praperadilan, namun output praperadilan hanya merujuk secara khusus pada korban/penggugat. Tidak ada hukuman secara pidana yang dapat dikenakan pada penegak hukum meski secara terang-terangan telah terjadi penyalahgunaan kewenangan yang berakibat merugikan orang lain.
Dari sisi aturan, negara ini tertinggal, padahal dalam Deklarasi tentang Prinsip-prinsip dasar keadilan bagi korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan sesuai Resolusi Majelis Umum PBB No. 40/43 tanggal 29 Nopember 1985, disebutkan bahwa Korban adalah orang yang secara individual atau kolektif menderita kerugian, termasuk luka fisik atau mental, penderitaan emosional, kehilangan ekonomi atau pelanggaran terhadap pokok-pokok hak dasar mereka, melalui perbuatan-perbuatan atau kelalaian yang meskipun belum dianggap pelanggaran undang-undang pidana nasional namun diakui secara internasional berkaitan dengan norma-norma hak asasi manusia.
Dari Deklarasi Majelis Umum tersebut nampak bahwa siapapun (termasuk penegak hukum) tidak dapat berlindung dibalik topeng kewenangannya untuk menyakiti atau merugikan orang lain karena perilaku tersebut telah digolongkan sebagai kejahatan terhadap hak asasi manusia.
Mungkin sudah waktunya Negara menyediakan mekanisme pidana sebagai sistem untuk menjaga agar para penegak hukum tidak terus-menerus memproduksi kesewenang-wenangan dalam menjalankan kewenangannya.

Rabu, 01 Februari 2012

Rasminah dan Ironi Pemahaman Hukum

Foto : Sindonews.com
Debat tentang prioritas tujuan hukum: keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, hampir tidak pernah berakhir, bahkan hingga hari ini. Setiap pilihan sangat kukuh dipertahankan penganutnya bahkan hingga dalil-dalil yang kokoh dan argumentatif. Setiap masa menyajikan suasana perdebatan yang berbeda dengan “pemenang” yang silih berganti pula. Sebagian besar teori-teori hukum yang lahir kemudian seakan menjadi penegasan panasnya perdebatan tersebut.
Demikian pula yang terjadi pada tataran empiris, berbagai kasus yang terjadi sesungguhnya menginduk pada debat tentang prioritas tujuan keadilan. Adalah ibu Rasminah yang belakangan ini menjadi pemicu bagi kalangan hukum dan masyarakat pemerhati hukum. Kalau diperhatikan lagi suasana batin media, maka akan terlihat bahwa sesungguhnya sedang tidak terjadi perdebatan melainkan “serangan sepihak” dari kalangan penasihat hukum ibu Rasminah, media dan kalangan pemerhati hukum.
Kasus posisinya sangat sederhana, ibu Rasminah diputus bersalah oleh Mahkamah Agung dan diharuskan menjalani pidana penjara selama 130 hari. Putusan itu lahir karena ia dinilai bersalah melakukan tindak pidana pencurian terhadap 6 buah piring milik majikannya ketika bekerja. Pada tingkat Pengadilan negeri, ibu Rasminah dibebaskan namun ketika Penuntut Umum mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, ia dinyatakan bersalah.
Apa yang menarik dari kasus ini hingga kemudian ramai menghiasi pemberitaan di media massa ? Pertama-tama, Rasminah datang dari kalangan  masyarakat kecil sebagaimana sebagian besar warga bangsa ini berasal. Kedua, ada kesan pertentangan yang coba di blow up oleh media antara kalangan masyarakat kecil yang tidak berpunya (diwakili oleh ibu rasminah) melawan masyarakat berpunya yang diwakili oleh sang majikan. Ketiga, timing kejadian ini memang pas ketika masyarakat belum lama dikejutkan oleh beberapa kasus serupa seperti pencurian kakao, semangka, pisang, dan karet.
Dengan mencermati posisi kasusnya serta maraknya pemberitaan di media, dapat disarikan beberapa hal :

1.  Sangat minim sekali perdebatan yang mencoba mengangkat soal substansi hukum (unsur-unsur delik) dalam kasus ibu Rasminah.
Pernyataan-pernyataan yang menyeruak adalah pernyataan yang mecoba mengedepankan keadaan ekonomi ibu Rasminah dan posisinya yang lemah karena ketidakpahaman terhadap hukum dan proses yang harus dijalaninya. Pada titik ini pertentangan tentang prioritas tujuan hukum mengemuka. Pengacara ibu Rasminah bahkan terang-terangan meminta agar dua anggota Majelis Hakin Agung yang mempersalahkan ibu Rasminah dipecat karena tidak memiliki nurani keadilan. Pendapat ini berkorelasi dengan tujuan hukum yaitu Keadilan. Konsepsi keadilan sendiri sebenarnya oleh sebagian orang dianggap sebagai konsepsi yang abstrak. Ia tidak terjamah oleh susunan kata-kata. Keadilan bagaikan angin, terasa namun tidak terraba. Keadilan kemudian dipersepsi secara berbeda oleh setiap orang. Karenanya sah-sah saja kalau setiap orang, dengan mengatasnamakan keadilan lalu menjustifikasi suatu perbuatan sebagai “adil” berdasarkan perspektifnya sendiri. Ketika persepsi itu hadir di depan hukum, para hakimpun kewalahan untuk menterjemahkannya dalam urutan huruf dan deretan intonasi yang bermakna. Sejalan dengan kewalahan para hakim itulah hingga kemudian pada beberapa putusan, hakim terkesan melakukan blunder dalam memaknai suatu persoalan. Ambil contoh ketika Majelis Hakim Konstitusi membatalkan kata “dapat” dalam penjelasan Pasal 2 UU Tipikor. Pada bagian pertimbangan disebutkan bahwa karena nilai-nilai kepatutan dan kepantasan itu dipersepsi secara beragam oleh masyarakat, maka dikhawatirkan akan menimbulkan kerancuan dan perbedaan pemahaman sehingga mengabaikan unsur kepastian hukum dan keadilan. Dengan menggunalan logika contrario atas pertimbangan hukum majelis hakim MK tersebut akan didapati bahwa keselarasan dan kesatuan pemahaman akan menimbulkan keadilan bagi masyarakat. Benarkah ? jawabannya juga sama absurdnya dengan pemahaman tentang keadilan itu sendiri.
Walaupun kemudian keadilan tidak dapat dipersepsi secara homogen, urut-urutan tangga untuk mencapainya dapat dikenali. Dalam konteks keadilan legalistik formal, tangga-tangga pada kasus ibu Rasminah dilalui dengan memahami substansi persoalan yang didakwakan melalui serangkaian unsur-unsur pasal. Dengan pemahaman terhadap korelasi unsur pasal dan perbuatan, dapat diketahui bagaimana konsepsi keadilan dijabarkan dalam kaitannya dengan peraturan negara dan hubungannya dengan pihak lain yang menjadi korban.
Harus pula dipahami bahwa “hukum” yang dilambangkan dengan Dewi Themis bermata tertutup, tidak dalam posisi melindungi orang kecil atau orang yang lemah secara ekonomis. Hukum berperan melindungi pihak yang benar, bahwa kemudian pihak yang benar datang dari kalangan orang kecil maka itu adalah dua hal yang berbeda. Perlindungan itu diberikan melalui tangan-tangan para hakim yang memutus perkaranya.
Sangat tidak fair kalau kemudian hakim dipersalahkan dengan alasan bahwa dalam sistem hukum yang morat marit seperti di Indonesia, kekuasaan terhadap nasib orang tidak boleh hanya diletakkan dalam tangan para hakim. Saat ini, paling tidak sampai saat ini, sistem inilah yang paling sedikit mudaratnya. Kalau kemudian hakim (yang nota bene terlatih dan berpendidikan) dipandang tidak boleh menentukan kebenaran dan kesalahan, lalu kepada siapa kita akan berpaling ? Sekali lagi, pernyataan ini harus dipahami dalam konteks penafsiran yang beragam tentang makna keadilan itu sendiri.

2. Beberapa kalangan mempersoalkan barang bukti yang dinilai sangat minim secara ekonomis.
Persoalan lain yang tidak kalah hebohnya adalah mengenai 6 (enam) buah piring yang menjadi barang bukti. Publik terlanjur memvonis betapa tidak berharganya jumlah 6 (enam) buah piring tersebut. Dalam beberapa kali tayangan media, ibu Rasminah terus-menerus mengungkapkan bagaimana proses perolehan keenam piring itu. Sayangnya, tidak ada satupun pihak yang mencermati pembelaan ibu Rasminah tersebut. Publik terlanjur membahas betapa barang buktinya sangat tidak layak bagi kasus tersebut hingga harus berujung ke pengadilan. Dari sisi ini, ibu Rasminah mungkin lebih paham bagaimana posisi barang bukti dalam suatu perkara ketimbang masyarakat yang sekedar melihat piring dari nilainya. Tahukah kita sebenarnya, berapa harga dan kondisi barang bukti yang menjadi muasal lahirnya sengketa ?
Dalam sistem perundang-undangan positif, barang bukti dalam kasus pencurian hanya dinilai dengan batas minimal Rp. 250.- diatas itu, maka suatu kejadian dapat berubah menjadi tindak pidana. Pembahasan tentang nilai ekonomis suatu barang sesungguhnya adalah pembahasan yang sangat tidak yuridis. Pembahasan itu tidak akan berkaitan secara langsung dengan terbukti atau tidaknya suatu perbuatan menurut hukum.  Ia baru akan menjadi penting ketika berbicara tentang berat ringannya suatu hukuman. Dengan terus-menerus menyerang sisi ekonomis barang bukti, maka sebenarnya persoalan yang jauh lebih substansial yaitu perbuatan “mengambil” telah dilupakan dan mutatis mutandis dianggap telah terbukti.

3.   Prosedur hukum telah dijalani dan saatnya semua pihak bersatu melaksanakan putusan hakim
Bagaimanapun, proses hukum secara formal telah terlewati. Babak kasasi dalam urut-urutan perjalanan suatu perkara adalah babak akhir. Kasasi mencirikan suatu perkara telah memiliki kekuatan hukum tetap. Kalau kemudian masih ada upaya hukum luar biasa seperti Peninjauan Kembali maka itu sifatnya tidak menunda pelaksanaan eksekusi.
Sekarang adalah saat bagi semua pihak untuk bersatu kembali dalam suatu pemahaman setelah tercerai berai dalam berbagai pemihakan. Putusan Hakim Agung pada tingkat kasasi laksana pedang pamungkas yang memutus rantai persoalan.
Kalau kemudian ada persoalan yang tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat (istilah ini juga absud karena tidak mempunyai parameter yang jelas) maka tugas para pemimpin dan wakil rakyatlah mendiskusikannya. Toh, hukum juga layaknya masyarakat yang selalu berputar dan mencari posisi yang pas dalam menengahi persoalan masyarakat.

Energi perdebatan yang tidak jelas muaranya harus diakhiri. Perdebatan sebaiknya diarahkan pada perbaikan tatanan hukum yang menurut Friedmann berpangkal pada tiga hal utama : substansi, struktur dan budaya hukum. Perdebatan yang sifatnya personal dapat mulai diarahkan menyentuh ketiga sistem Friedmann tersebut. Janganlah ketidakpahaman terhadap suatu persoalan menjadi ironi bagi upaya-upaya kita semua dalam mengedepankan penyelesaian persoalan melalui hukum. Sistem induktif yang bermula dari kasus Rasminah ini dapat menjadi pintu masuk bagi lahirnya suatu hal besar yang memayungi dan memberi “obat kuat” pada sistem hukum kita yang kurang dipercaya masyarakat. Tugas semua pihak untuk membuat “hukum” kita lebih berdaya. Tugas itu ada di pundak saya, anda dan kita semua.