Kamis, 09 Februari 2012

Penyalahgunaan Kewenangan oleh Penegak Hukum


Penegak hukum memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan pemolisian sebagai “senjata” dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari. Tindakan pemolisian itu dapat berwujud tindakan pemeriksaan, penangkapan, penahanan, penyitaan dan penggeledahan. Pada lingkup yang lebih luas, tindakan itu mencakup pula tindakan pencekalan dan penangkalan. Dalam KUHAP, tindakan pemolisian (minus pencekalan dan penangkalan yang diatur dalam UU No. 6 tahun 2011 tentang Imigrasi) tersebut dilakukan oleh Penyidik dan atau penyelidik (atas perintah penyidik). Kewenangan melakukan tindakan pemolisian adalah satu-satunya pembeda antara penegak hukum dengan institusi lain dalam khazanah eksekutif negara.
Meskipun merupakan bagian dari kewenangan penegak hukum, tindakan pemolisian tidak dapat dilakukan secara serampangan karena berkaitan dengan hak-hak asasi manusia/warga negara. Setiap tindakan pemolisian harus dilakukan atas dasar yang logis dan sesuai dengan aturan perundang-undangan yang ada. Dalam pertimbangan putusan hakim pada praperadilan kasus sisminbakum dengan tersangka Romli Atmasasmita, Majelis Hakim mendalilkan bahwa setiap tindakan pemolisian selain harus memenuhi ketentuan perundang-undangan, juga harus memiliki alasan rasional yang obyektif dan diterima akal sehat. Tindakan pemolisian tidak boleh didasarkan pada faktor like dan dislike yang cenderung subyektif dan tidak memiliki parameter yang jelas. Intinya, kewenangan yang dilakukan secara serampangan dan tidak terkontrol akan menghasilkan tindakan yang sewenang-wenang.
Kapan suatu tindakan pemolisian dapat dilakukan terhadap seseorang ?  Apakah ada batasan atau limitasi yang mengawali atau mengakhiri suatu tindakan pemolisian ? Apakah tindakan pemolisian yang sewenang-wenang dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan atau pelanggaran ? Hal-hal menarik ini sampai sekarang masih merupakan wilayah abu-abu yang membingkai kebingungan masyarakat dalam memahaminya.
Suati tindakan pemolisian erat kaitannya dengan upaya paksa. Dalam pelaksanaan tindakan upaya paksa, penyidik memiliki alasan pembenar sehingga tuduhan pelanggaran HAM dapat dikesampingkan.
Kalau diperhatikan dengan seksama, setiap bentuk upaya paksa dalam tindakan pemolisian seperti penangkapan, penahanan, penyitaan dan penggeledahan selalu didahului dengan kata-kata “tindakan penyidik”. Ini memberikan pesan bahwa tindakan tersebut hanya dapat dilakukan oleh penyidik dan tindakan tersebut dilakukan dalam kerangka penyidikan. Tentu saja dalam konteks ini, dasar dari suatu penyidikan adalah surat perintah penyidikan. Dalam surat perintah penyidikan, terkandung maksud untuk mencari serta mengumpulkan bukti guna membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Kalau penyitaan dilakukan terhadap benda yang berkaitan dengan tersangka, maka tindakan penangkapan, penahanan dan penggeledahan dilakukan dalam kaitannya dengan diri tersangka. Hanya saja, yang secara tegas menyebut “tersangka” adalah tindakan penahanan (Pasal 20 KUHAP) sedangkan tindakan penangkapan dan penggeledahan tidak secara khusus menyebut tersangka. Meskipun demikian, karena didahului dengan kata-kata “tindakan penyidik” maka upaya paksa tersebut harus dipahami dalam kerangka pengumpulan bukti sebagaimana dimaksud oleh “penyidikan”.
Dalam konteks upaya paksa ini, ada dua peraturan yang secara tegas membolehkan adanya upaya paksa meskipun tahapan penanganannya belum sampai ke tahap penyidikan. Kedua peraturan itu ada dalam Undang-undang tindak pidana pencucian uang dan undang-undang imigrasi.
Dalam UU TP Pencucian Uang, dibolehkan adanya upaya penundaan transaksi dan pemblokiran harta kekayaan. Kedua tindakan tersebut tentu saja termasuk tindakan pelanggaran terhadap HAM. Ini merupakan pelanggaran terhadap konstitusi khususnya Pasal 28A UUD 1945, yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk mempertahankan hidup dan kehidupan”. Dapat dibayangkan betapa bingungnya seseorang yang tidak paham apa kesalahannya tiba-tiba transaksi keuangannya dihentikan atau harta kekayaannya di blokir.
Mungkin karena menyadari bahwa pelaksanaan kedua hal tersebut sangat urgen dan berkaitan dengan nilai ekonomis yang mudah berubah dalam hitungan detik serta agar tidak frontal menentang perlindungan hak asasi manusia, sejak awal pembentuk undang-undang menetapkan limitasi waktu. Terhadap penundaan transaksi hanya diberi waktu 5 hari sedangkan terhadap pemblokiran disediakan waktu 30 hari. Setelah jangka waktu tersebut maka pemblokiran harus segera dibatalkan demi hukum.
Upaya paksa lain sebelum tahap penyidikan dapat ditemukan dalam UU No. 6 tahun 2011 tentang Imigrasi terdapat dalam pasal 16 ayat (1) b yang berbunyi : “Pejabat Imigrasi menolak orang untuk keluar Wilayah Indonesia dalam hal orang tersebut: ... (b) diperlukan untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan atas permintaan pejabat yang berwenang”. 
Terhadap hal ini, Mahkamah Konstitusi telah membatalkan kata “penyelidikan dan” dengan pertimbangan :
Mahkamah berpendapat penyelidikan itu masih dalam tahapan yang dilakukan oleh penyelidik dalam rangka menentukan ada atau tidak adanya suatu tindak pidana dalam kasus tertentu dan untuk mencari buktibukti awal untuk menentukan siapa pelakunya. Oleh karena itu, penolakan terhadap seseorang untuk keluar wilayah Indonesia ketika statusnya belum pasti menjadi tersangka dalam suatu tindak pidana karena masih dalam tahap penyelidikan akan mudah dijadikan alasan untuk menghalangi gerak seseorang untuk keluar negeri. Lagipula dalam tahap penyelidikan, seseorang belum mengetahui apakah dirinya sedang dalam proses penyelidikan atau tidak dan proses penyelidikan itu tidak ada jangka waktu yang pasti sehingga tidak diketahui kapan harus berakhir. Mencegah seseorang untuk ke luar negeri dalam tahap tersebut dapat disalahgunakan untuk kepentingan di luar kepentingan penegakan hukum sehingga melanggar hak seseorang yang dijamin oleh konstitusi yaitu hak yang ditentukan dalam Pasal 28E UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”. Ketentuan a quo juga melanggar ketentuan konstitusi yang mewajibkan negara memberikan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945”.
Putusan Nomor 40/PUU-IX/2011 yang dikeluarkan tanggal 8 Februari 2012 tersebut merupakan angin segar bagi para pemerhati Hak Asasi Manusia karena dengan demikian dapat mengeliminir upaya kesewenang-wenangan penegak hukum dalam melakukan upaya paksa berupa pencegahan warga negara Indonesia ke luar negeri.
Sampul buku karya OC. Kaligis
Tentu belum lepas dari ingatan kita betapa dahulu pencekalan terhadap Anggoro Wijoyo dan Joko S. Candra oleh KPK menjadi polemik yang berkepanjangan hingga berujung pada penetapan Candra M. Hamzah dan Bibit Samad Riyanto, dua pimpinan KPK menjadi tersangka oleh Kepolisian. Kedua pimpinan KPK tersebut menandatangani surat pencekalan terhadap Anggoro Wijoyo dan Joko S. Candra di tengah kuatnya harapan publik atas pelaksanaan UU yang mengamanatkan kepemimpinan KPK bersifat kolektif kolegial.
Dalam aturan perundang-undangan yang berlaku, tidak ada aturan yang secara khusus mengatur dan memberikan sanksi terhadap seorang penegak hukum yang menyalahgunakan kewenangannya. Aturan tentang penyalahgunaan kewenangan yang selama ini dikenal masyarakat hanya berkaitan bilamana timbul kerugian keuangan negara sebagaimana diatur dalam UU Tipikor. Sedangkan dalam hal tidak ada kerugian negara, atau hanya merugikan orang secara individual/kelompok, maka aturannya malah tidak jelas. Dalam hal penahanan yang dilakukan secara sewenang-wenang, paling jauh hanya dapat dikenakan Pasal 328 atau Pasal 333 tentang Perampasan Kemerdekaan.
Negara memang menyediakan mekanisme praperadilan, namun output praperadilan hanya merujuk secara khusus pada korban/penggugat. Tidak ada hukuman secara pidana yang dapat dikenakan pada penegak hukum meski secara terang-terangan telah terjadi penyalahgunaan kewenangan yang berakibat merugikan orang lain.
Dari sisi aturan, negara ini tertinggal, padahal dalam Deklarasi tentang Prinsip-prinsip dasar keadilan bagi korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan sesuai Resolusi Majelis Umum PBB No. 40/43 tanggal 29 Nopember 1985, disebutkan bahwa Korban adalah orang yang secara individual atau kolektif menderita kerugian, termasuk luka fisik atau mental, penderitaan emosional, kehilangan ekonomi atau pelanggaran terhadap pokok-pokok hak dasar mereka, melalui perbuatan-perbuatan atau kelalaian yang meskipun belum dianggap pelanggaran undang-undang pidana nasional namun diakui secara internasional berkaitan dengan norma-norma hak asasi manusia.
Dari Deklarasi Majelis Umum tersebut nampak bahwa siapapun (termasuk penegak hukum) tidak dapat berlindung dibalik topeng kewenangannya untuk menyakiti atau merugikan orang lain karena perilaku tersebut telah digolongkan sebagai kejahatan terhadap hak asasi manusia.
Mungkin sudah waktunya Negara menyediakan mekanisme pidana sebagai sistem untuk menjaga agar para penegak hukum tidak terus-menerus memproduksi kesewenang-wenangan dalam menjalankan kewenangannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar