Senin, 14 Agustus 2017

In House Training Penanganan TP Satwa Liar yang dilindungi

Foto : FB Hany Adhy Astuti
Tanggal 7 – 10 Agustus 2017 kemarin, saya bersama seorang kawan ditugaskan oleh pimpinan untuk mengikuti kegiatan In House Training di Hotel Ayaartha Malioboro Jogja. Kegiatan tersebut diselenggarakan oleh Satgas SDA Kejaksaan Agung bekerjasama dengan Wildlife Conservation Society – Indonesia Program (WCS).  Peserta yang diundang datang dari beberapa Kejaksaan Negeri di wilayah Jawa Tengah dan DI Yogyakarta serta  dari Bareksrim Polri;

In House Training yang mengambil tema “Peningkatan Kapasitas Penuntut Umum dalam Penanganan Tindak Pidana Satwa Liar yang dilindungi” menghadirkan pembicara dari Jakarta, yaitu dari instansi seperti WCS, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Direktur TPUL Kejaksaan Agung, Tipiter Mabes Polri, PPATK, Bea Cukai, Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Satgas SDA Kejaksaan Agung, Hakim (Pengadilan) Balitbang Bioteknologi KKLH  dan UGM

Pelatihan yang berlangsung dari pagi sampai sore hari itu banyak dipenuhi dengan pemaparan, pemutaran film, studi/bedah kasus dan diskusi. Perdagangan satwa liar dan beberapa tindak pidana yang terkait dipaparkan dari berbagai sisi.

Peraturan terhadap Tindak pidana Satwa Liar yang dilindungi tersebar dalam berbagai peraturan per-UU-an seperti : UU No. 5/1990 tentang KSDA hayati dan Ekosistemnya, PP No. 68/1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam, Keppres No. 4/1993 tentang Satwa dan Bunga Nasional, PP No. 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, PP No. 8/ 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar dan beberapa keputusan Menteri

Secara materil, penyebab terjadinya TP perdagangan satwa yang dilindungi misalnya untuk kegemaran/hobby, untuk obat-obatan, untuk gengsi atau status sosial,  untuk mitos/budaya atau demi alasan ekonomi/mendatangkan keuntungan yang besar;

Dari sisi hukum acara, penanganan terhadap Tindak pidana Satwa Liar akan banyak bergantung pada keterangan ahli. Di lapangan, barang bukti dapat saja hanya berupa potongan/ bagian hewan, baik yang masih berbentuk makhluk hidup ataupun telah berubah bentuk. Pemeriksaan laboratorium akan sangat menentukan apakah barang bukti tersebut adalah bagian dari hewan yang dilindungi atau hanya merupakan tiruan.

Di persidangan, keterangan ahli akan memicu perdebatan tentang dua hal, pertama soal kapabilitas dan kredibilitas ahli, dan kedua soal urut-urutan prosedur atau SOP ketika ahli melakukan pemeriksaan. Dalam putusan dengan terdakwa  Antasari, Majelis Hakim terbagi dua dalam menyikapi keterangan ahli. Majelis Hakim mayoritas berpendapat bahwa keterangan ahli tidak mengikat pertimbangan hakim sehingga Hakim boleh mengesampingkan keterangan ahli. Pendapat berbeda (dissenting opinion) datang dari Prof. Surya Jaya yang berpendapat sebaliknya bahwa terhadap ilmu pengetahuan yang Hakim tidak memiliki pengetahuan atasnya, Keterangan Ahli mengikat putusan sehingga karenanya, Hakim harus mempertimbangkan dan tidak boleh mengesampingkan hal itu.

Satu hal yang menjadi sorotan dalam pelatihan tersebut adalah berkaitan dengan rendahnya tuntutan Jaksa dan vonis Hakim dalam beberapa kasus.  Menurut pemateri dan juga panitia, rendahnya pidana tersebut disebabkan oleh masih minimnya perhatian terhadap akibat kerusakan ekosistim/ lingkungan di kalangan penegak hukum. Masih banyak penegak hukum yang berpandangan bahwa kerusakan yang terjadi bersifat tidak langsung dan bersifat parsial karena hanya melibatkan pelaku-pelaku dengan jumlah barang bukti kecil dan tidak pula menarik perhatian masyarakat;

Hal lain yang menarik adalah semua perkara yang terkait dengan penanganan TP satwa liar yang dilindungi, perikanan, lingkungan hidup adalah Perkara penting yang pengendalian rentutnya sampai ke Kejaksaan Agung

Rendahnya tuntutan dan vonis di dunia peradilan menumbuhkan usulan dari beberapa personil WCS agar mengefektifkan penuntutan dengan menggunakan Pasal-pasal yang memiliki ancaman pidana maksimal-minimal dalam UU.

Pendapat demikian menurut saya agak kurang tepat. Tuntutan dan vonis tidak boleh didasarkan pada pilihan hukuman yang berat dan menafikan aturan lainnya yang lebih tepat. Dalam pandangan saya, Tuntutan dan vonis  harus berdasar pada fakta perbuatan yang dilakukan pelaku. Soal berat atau ringannya pemidanaan lebih berkaitan dengan kesamaan pandangan antara Penuntut Umum dan Hakim. Kesepakatan untuk melihat TP terhadap satwa liar yang dilindungi sebagai usaha untuk menjaga kelestarian alam dan mewariskan lingkungan yang baik dan sehat terhadap anak-anak kita kelak;

Minggu, 13 Agustus 2017

Maaf, Anda Tidak Lolos Seleksi

Hidup tidak melulu berisi pencapaian-pencapaian. Hidup tidak hanya berputar pada soal kesuksesan. Hidup juga berisi sederet kegagalan yang menyesakkan dada. Yaa, hidup juga adalah serangkaian kekecewaan yang pedih

Beberapa waktu lalu saya mencoba mengikuti seleksi program pasca sarjana (S3) di UGM. Di almamater Pak Jokowi itu saya harus menghadapi serangkaian tes seleksi. Mulai dari pendaftaran, upload dokumen (termasuk rekomendasi dosen/atasan), tes tertulis sampai pada wawancara dengan Pak Dekan

Saya menghadapi seleksi dengan hati gembira. Sejak awal, saya meyakini bahwa seleksi ini harus dihadapi dengan optimis dan tenang. Saya tipe orang yang percaya bahwa rencana Tuhan untuk mendaftarkan saya di UGM adalah rencana terbaik.

Maka mulailah saya mengikuti tes seleksi. Pada bagian awal saya telah mengikuti tes potensi akademik dan semacam tes Toefl . Saya berhasil melewati passing grade yang harus dipersyaratkan. Saya juga menyerahkan proposal disertasi dengan tema pengarusutamaan sistem peradilan pidana dalam penyelesaian konflik sosial .

Dalam sesi ujian tulis, saya merasa bahwa saya mampu menjawab dengan baik beberapa soal teori, asas dan filsafat hukum. Teori tentang staatgrundsnorm, beda utulitarian versi Bentham, Mills dan Jhering ataupun soal ultra petita dalam hukum acara. Ketika menjalani proses wawancara, saya menjelaskan dengan gamblang bahwa ada sponsor perusahaan besar di belakang saya yang siap membantu pendanaan kuliah. Saya memang agak tercekat terhadap dua pertanyaan Pak Dekan. Yang pertama tentang bagaimana kalau lulus seleksi dan Kantor mengadakan mutasi keluar Jogja sedangkan yang kedua, apakah proposal disertasi sudah dikonsultasikan kepada para guru besar ?

Terhadap kedua pertanyaan itu, saya memang agak lambat merespon. Walaupun waktu wawancara saya paling singkat (mungkin sudah dicoret ketika proses wawancara itu). Maaf, Anda Tidak Lolos Seleksi. Saya harus menerima takdir tidak mampu memenuhi kualifikasi yang dipersyaratkan oleh UGM.

Apakah kemudian saya kecewa ? Ya, saya memang kecewa pada awalnya. Tapi kemudian saya kembali 100 %. Bagi saya, sepanjang segalanya telah dilakukan secara maksimal, Tuhan pasti akan memilihkan yang terbaik buat kita. Tuhan tidak memberi yang kita inginkan, Tuhan memberi yang kita butuhkan. Dibalik ini semua saya percaya ada rencana lain yang Tuhan siapkan untuk saya

Mungkin memang ini jalan terbaik. Beasiswa yang sudah di tangan pun harus hangus karenanya. Tapi gak apa-apa. Bukankah ketika Tuhan menutup satu pintu, pada saat yang bersamaan, Ia juga membuka pintu-pintu yang lain ?


Selamat jalan Program S3. Terima kasih telah mewarnai jalan hidupku selama beberapa waktu

Senin, 31 Juli 2017

Surat kepada Kawan perihal Bang Ipul

Sleman, 01 Agustus 2017

Kepada Kawan

di-

Mana saja berada


Kawan,

Hendak kukisahkan padamu tentang hikayat seorang manusia selebritis bernama Saiful Jamil. Insan ini sedemikian menarik perhatian sehingga ucapannya, nyanyiannya, tertawanya, kisah hidupnya bahkan kisah kasusnya pun menjadi daya tarik.

Kemarin Senin (31 Juni 2017) pada saat ulang tahun, Saiful jamil ini menjalani putusan di PN Tipikor Jakarta. Amboi, Kawan, dia mendapat hadiah ultah berupa pidana penjara selama 3 (tiga) tahun. Belum lagi ditambah hukumannya yang tempo hari selama 5 tahun, makin berlama-lamalah ia dalam terungku.

Tapi bukan itu saja yang hendak kuwartakan padamu Kawan. Kasus Bang Ipul (demikian orang lebih suka memanggilnya) terakhir ini menyeret pula nama Rochadi, Panitera Pengganti di PN Jakarta Utara. Bang Ipul dipersalahkan menyuap panitera Rochadi sejumlah Rp. 250 juta agar mengurangi rencana hukumannya yang akan diputus oleh Majelis Hakim dalam kasus pencabulan (jangan kaget membaca kata ini kawan)

Rupanya, kawan-kawan kita di Kuningan sudah menyadap (bukan menyadap karet seperti yang biasa kita lakukan dulu waktu kecil di tanah borneo), rencana ini. Bang Ipul akhirnya dibawa ke PN Tipikor, didakwa dan dituntut dengan Pasal 5 ayat (1) huruf b UU Tipikor. Sedangkan Rochadi kawan bersepakatnya itu dikenakan Pasal 5 ayat (2) UU Tipikor;

Mari kita urut ke belakang Kawan, sekaligus hendak kuminta pula pendapatmu. Dalam putusan Rochadi, Hakim berpendapat bahwa Rochadi tidak terbukti meneruskan uang itu pada Majelis Hakim. Bahwa Rochadi menerima uang Bang Ipul, fakta persidangan membenarkannya. Tapi dari tangan Rochadi, uang itu nampaknya berhenti karena tidak ada komunikasi dengan Hakim perihal uang tersebut;

Menurut dikau kawan, Rochadi ini telah menipu Bang Ipul ataukan menerima suap ? Kalau suap, apalah pula kewenangan atau kualifikasinya sehingga menerima uang itu ? Pasal 5 ayat (2) UU Tipikor ini kan hanya untuk pegawai negeri yang menerima sesuatu, berhubungan atau bertentangan dengan kewajibannya. Apalah pula kewajiban Panitera Pengganti yang justeru bukan Panitera Pengganti dalam kasus Bang Ipul ? Bolehkah kita bersepakat menyuap pada orang yang sebenarnya tidak punya kualifikasi ? Rochadi ini kan hanya mengaku-ngaku bisa membantu mengurangi vonis atau menjembatani Majelis Hakim agar membebaskan Bang Ipul. Malangnya pula nasib Bang Ipul. Ia tidak tahu kalau Rochadi ini sebenarnya cuman menerima uang trus dipakai atau disimpannya sendiri.

Nah, disinilah pendapatmu sangat penting bagiku kawan, apakah unsur menipunya Rochadi lebih besar ketimbang unsur menerima suapnya ? Apakah bohongnya Rochadi menjadi pemenuhan unsur menipu ataukah menjadi modus menerima suap ? Apakah Bang Ipul yang bicaranya selalu religius itu sedang tertipu ataukah sedang menyuap ? Baiknya dibawa kemana perkaranya ? PN jakarta Utarakah atau PN Tipikor ?

Kawan, engkau lebih tau soal-soal ini. Berilah aku pencerahan. Mumet rasanya kepalaku dengan soal-soalan ini.

Tolong aku Kawan,

Sahabatmu


Senin, 24 Juli 2017

Lomba Karya Tulis Ilmiah dalam rangka Ulang Tahun Kejaksaan 2017

Pernahkah anda mengikuti sebuah lomba karya tulis ? Beberapa waktu yang lalu, saya mencoba mengikutinya. Lomba yang saya ikuti itu adalah Lomba Karya Tulis dalam rangka Hari Bhakti Adhyaksa (HBA) ke-57. Panitia pelaksananya adalah Panitia HBA di Kejaksaan Agung;

Pertama kalinya mengetahui lomba tersebut  dari WA yang dikirim oleh seorang sahabat di Kendari, Sultra. Sahabat itu bernama Noni Herawati (terimakasih buatmu). Ia berpikir bahwa saya adalah orang yang tepat untuk mengikuti lomba itu (meskipun saya malah berpikir sebaliknya). Sejak awal, saya merasa kurang berminat. Terbayang rumit dan kompleksnya mengikuti suatu lomba mulai dari persiapan sampai presentasi. Namun kawan ini, setiap hari mengirim SMS, WA bahkan menelepon berusaha membangkitkan semangat untuk ikut.

Entah mungkin tersulut semangatnya atau merasa terteror (hehehe), saya lalu membulatkan tekat untuk ikut. Pertama-tama, saya harus menentukan topik. Kejaksaan Agung menentukan beberapa tema besar dan bagian pesertalah yang harus menentukan topik. Soal topik ini, agak lama prosesnya karena saya memandang tulisan nantinya tidak sekedar berpola deskriptif layaknya skripsi. Tulisan ini harus sekelas tesis karena mencoba mencari selisih antara das sollen dan das sein sekaligus memberikan rekomendasi solusi yang layak. Selain itu juga harus menawarkan gagasan baru yang orisinil.  Tulisan juga harus memiliki basis teori yang kuat sebagai pisau analisis yang tajam ketika membedah persoalan;

Saya akhirnya menemukan topik yang pas setelah melakukan brainstorming dengan beberapa kawan di bidang Datun Kejari Sleman. Belum puas, saya mengkonsultasikan topik tersebut ke Wakil Ketua PN Sleman yang lama berkecimpung menjadi Hakim Tipikor Jakarta dan Kajari Sleman. Setelah mendapat lampu hijau dari kedua beliau itu, saya merasa siap memulai penjelajahan intelektual;

Saya lalu menetapkan schedule sebagai awal persiapan. Saya mempersiapkan membaca literatur untuk pengayaan materi selama 4 hari sebelum kemudian mulai menulis selama 3 hari. Saya bersyukur memiliki kebiasaan membeli dan membaca buku sejak mahasiswa sehingga untuk literatur saya tinggal mengeluarkan buku-buku itu dari dalam lemari buku. Saya juga melengkapi diri dengan menjelajahi dunia internet dan beberapa jurnal varia peradilan (saya beruntung memiliki koleksi lengkap setelah membeli puluhan buku dari seorang hakim yang pindah tugas). Merasa belum cukup, saya juga mendatangi beberapa toko buku di jogja untuk menelusuri topik yang saya maksud;

Ketika waktu untuk menulis tiba, hambatan mulai muncul. Penyakit Maag yang saya akrabi sejak mahasiswa kambuh. Saya berjuang menganalisis sambil merangkainya dalam tulisan di tengah-tengah rasa pusing, mual dan sesekali muntah. Hambatan lain muncul, Kantor memberikan amanat untuk menjadi JPU dalam proses ekstradisi warga Afganistan yang diminta oleh Pemerintah Australia. Beruntung saya memiliki Kasi Pidum (Trims bos) yang cowboy juga sehingga proses pengurusan dokumen dan segala macam administrasi serta pengendalian keadaan lapangan berjalan dengan lancar. Terhadap soal-soal ini saya juga bersyukur dikaruniai dan dibantu kawan-kawan biro hukum Kejagung yang ulet dan trengginas (trims Mas Reza dan Mbak Fiyu)

Setelah menyelesaikan tulisan plus kerjaan kantor, saya mengirim tulisan. Tulisan itu berjudul,  Peningkatan Penanganan Perkara Kejaksaan Dalam Pemberantasan Korupsi (Studi Penyelesaian Kelebihan Nilai Aset Terpidana Dalam Pembayaran Uang Pengganti).

Dasar tulisan ini sederhana, literatur yang ada hanya menunjukkan bagaimana cara dan proses eksekusi uang pengganti dalam perkara tipikor ketika Terpidana tidak memiliki harta benda yang mencukupi. Saya membalik logika itu. Bagaimana kalau aset terpidana yang pernah disita penyidik (misalnya berupa tanah atau properti) ternyata mengalami lonjakan nilai ketika hendak dilakukan pelelangan ? Apakah kelebihannya harus dikembalikan ? Aturannya mana ? Kalau dikembalikan, apakah negara tidak dirugikan, mengingat dengan harga yang sama, Negara tidak akan mampu membeli nilai yang sama dengan ketika barang itu disita ?

Beberapa waktu kemudian saya dikabari oleh Kabag TU Puslitbang yang menjadi panitia agar segera ke Jakarta untuk melakukan presentasi di hadapan Jaksa Agung, Wakil Jaksa Agung dan Para JAM serta Prof. Indriyanto dan Prof Hikmahanto dari UI. Saya cukup excited sekaligus was-was karena harus mulai membaca dan mempersiapkan presentasi, mengingat harus dilakukan dihadapan para petinggi Kejaksaan.

Tepat pada hari Rabu tanggal 19 Juli 2017, saya sudah berada di Sasana Pradata Kejaksaan Agung RI untuk melakukan presentasi. Saya mendapat giliran kedua untuk maju. Agak tegang ketika memulai pemaparan walaupun kemudian lebih rileks pada pertengahan dan malah berapi-api pada bagian akhir. Saya diuntungkan oleh situasi bahwa basis teori tentang Economic Analysis of Law yang saya gunakan sedang menjadi trend di Amerika dan hal itu dipahami dengan sangat baik oleh Prof. Indriyanto. Bahkan dalam review, Prof. Indriyanto juga menambahkan kebaruan informasi terkait tema yang saya ambil. Beliau juga menambahkan untuk memperkuat metodologi dan tidak terlalu banyak berkutat pada teori.

Saya menerima berbagai saran tersebut mengingat pola deduktif yang saya tuangkan dalam tulisan ternyata hanya terbaca pada bagian umum ketika presentasi. Saya hanya mencadangkan waktu sedikit ketika harus mengupas soal penerapan teori dalam pelaksanaan penanganan perkara di Sleman sekaligus menganalisis suatu putusan hakim banding terkait tema yang saya angkat.

Saya bersyukur bahwa review Prof. Indriyanto telah membantu memperkaya tulisan saya. Saya bersyukur dibantu oleh teman-teman yang hebat dalam menyelesaikan tulisan dan pekerjaan saya. Saya bersyukur teman-teman yang lebih ahli di Kejaksaan tidak ikut mengirimkan tulisannya. Saya bersyukur ada hadiah Rp. 15 juta yang akhirnya jatuh ke tangan saya. Saya bersyukur. Terimakasih Tuhan. You are too good to me

Dirgahayu Kejaksaan RI

Sleman, 25 Juli 2017



Senin, 19 Juni 2017

Tiga kali ikut Tes Potensi Akademik

Beberapa waktu lalu saya mengikuti tiga buah tes Potensi Akademik guna memenuhi hasrat melanjutkan studi. Tes yang pertama, sekitar akhir Tahun 2016 di sebuah kampus negeri di tanah Makassar. Tes kedua adalah tes PAPS yang diselenggarakan Fak. Psikologi UGM dan yang ketiga, penyelenggaranya adalah Bapennas kerjasama Pasca Sarjana UGM. Tes kedua dan ketiga dilakukan pada akhir Maret 2017 dan awal April 2017;

Seperti halnya kalau menjalani ujian sebelum-sebelumnya, saya selalu mengalami rasa inferior/ rendah diri. Saya berusaha hadir lebih pagi (saya senang hadir jauh lebih cepat), kemudian mengambil jarak agak jauh dari tempat tes karena tidak tahan mendengar diskusi dari para calon peserta. Peserta yang dengan semangat berdiskusi mengenai prediksi/asumsi soal yang akan keluar hanya akan membuat saya gagal fokus karena ekspektasi saya tentang kehebatan mereka (di daerah saya disebut “kejagoan”)

Di Makassar, saya hadir lebih pagi kemudian mencoba memetakan para peserta tes yang berkumpul di depan ruangan. Beberapa Kajari, Para Kasi, Rekan Jaksa di Badiklat atau beberapa kawan yang pernah sama-sama bertugas di suatu tempat adalah calon-calon saingan. Penyakit lama saya mulai kambuh. Saya begitu rendah diri, membayangkan posisi saya di tengah orang-orang yang saya belum kenal dan hanya pernah mendengar cerita-cerita tentang “kejagoan” mereka.

Rekan saya yang pernah kuliah bareng di Jakarta mencoba membesarkan jiwa saya, “santai saja bro, boleh jadi cerita-cerita kehebatan mereka banyak di bumbu-bumbui” Kita kerjakan saja seikhlasnya. Soal hasil terserah yang di atas.”

Ketika soal dibagikan, saya mulai merasakan beratnya tekanan itu. Soal yang sulit ditingkah waktu yang terbatas mengalihkan perhatian saya dari hal-hal lain. Saya tenggelam dalam soal. Agak rumit namun semua soal dapat saya selesaikan. Soal matematika yang sering menjadi momok bagi sebagian kalangan, saya kerjakan dengan cepat. Kadang-kadang saya membalik metodenya dari deduktif menjadi induktif. Saya diuntungkan model soal yang pilihan ganda sehingga hanya ada lima kemungkinan jawaban (soal jawaban terrentang dari a sampai e). Dengan cara membolak-balik model jawaban itu, saya berhasil menyelesaikan soal pada waktunya.

Setelah menunggu selama beberapa waktu, nilai jawaban dikeluarkan oleh pihak Badiklat Kejaksaan. Ajaibnya, nilai saya termasuk salah satu peringkat yang tinggi dari seluruh peserta. Karena tidak ada nilai yang ditunjukkan, saya Cuma mengira-ngira bahwa nilai tinggi itu karena saingannya nilai rendah dan sama sekali bukan karena “kepintaran”. Saya tidak habis pikir, sudah pasti ini keberuntungan atau orang jawa menyebutnya “bejo”.

Beralih ke tes PAPS yang diadakan di Jogja, saya juga merasakan hal yang sama. Rasa inferior dan ekspektasi meninggi karena para peserta adalah anak-anak muda yang jauh di bawah umur saya. Di sini tidak ada pembedaan antara calon peserta S2 ataupun S3.  Satu-satunya pembedaan hanya pada lembar jawaban yang mencantumkan kode 2  atau 3.

Kesulitan dalam mengerjakan soal relatif sama dengan di Makassar. Banyak bagian yang sulit bahkan sama sekali tidak paham meski juga banyak yang mudah dan tidak perlu pemikiran. Soal matematika juga tidak terlalu sulit meskipun selalu ada celah untuk menyederhanakan perhitungan. Satu-satunya  halangan berarti ketika menjawab adalah pada bulatan-bulatan jawaban yang harus dihitamkan. Bentuknya yang kecil lama-lama menjadi kabur karena pandangan mata tidak beralih ke tempat lain.

Seminggu kemudian muncul hasilnya, skor saya untuk kemampuan verbal adalah 583, kemampuan kualitatif 683 dan kemampuan penalaran adalah 600. Total keseluruhan skor adalah 656. Saya mensyukuri nilai ini karena di usia yang tidak muda lagi masih dapat melampaui angka 600. Menurut info kawan-kawan, skor yang diperlukan untuk mendaftar program S3 adalah 550.

Beralih Tes TPA yang dilakukan pihak Bapennas dan Pasca Sarjana UGM, saya ikut saja karena telah membayar meskipun nilai skor PAPS sudah dapat dipakai untuk mendaftar. Pada hari H, saya mencoba mengerjakan soal-soal yang diberikan. Ternyata soalnya luar biasa sulit. Saya memperkirakan soal-soal itu memiliki tingkat kesulitan yang dua kali lebih sulit ketimbang di Makassar dan PAPS. Soal Kemampuan Kualitatif atau matematika yang terdiri dari 90 soal hanya mampu saya kerjakan (benar-benar!) sekitar 30 soal. Sisanya lagi saya bulatin jawabannya tanpa melihat soal (hehehe).

Setelah selesai secara keseluruhan, saya menikmati nasi kotak yang disediakan panitia tanpa rasa enak sama sekali karena masih kesal, tidak puas dengan kemampuan saya mengerjakan soal. Saya melampiaskan kekesalan saya dengan menulis status di facebook dengan kata-kata dalam dialek manado, “...rasa-rasa mau picah ini kapala”. Dalam hati saya membatin, kemungkinan skor saya adalah 400-an, dan kalaupun dapat skor 500, itu sudah bagaikan mukjizat.

Hari ini nilai dikeluarkan oleh Pasca Sarjana UGM, dan ternyata skor kemampuan verbal saya adalah 69,68, kemampuan kualitatif 40,03 dan kemampuan penalaran adalah 67,86. Skor keseluruhan 592,50. What ?????? It’s absolutely miracle. Thanks to Allah, Alhamdulillah


Selamat datang kembali...Blogku

Beberapa bulan lalu, Blog ini sempat di hack orang.

Saya tidak mengerti alasan dibaliknya, karena blog ini hanya sekedar ruang untuk mengeluarkan pikiran yang sumpek berjubel dalam kepala

Sempat beberapa waktu saya tidak bisa menginput blog ini

Ada rasa sedih

Hari ini saya iseng-iseng membukanya dan ternyata blog ini telah kembali

Saya memaafkan anda yang telah meng-hack blog ini

Terima kasih telah mengembalikannya

Selasa, 31 Januari 2017

Focus Group Discussion di FH-UAJY



Selasa 31 Januari 2017, Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Yogyakarta (FHUAJY) menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) berkaitan dengan pengembangan kurikulum berbasis KKNI pada program Magister Ilmu Hukum UAJY 

Diskusi yang dihadiri para Dosen program studi Magister Ilmu Hukum UAJY juga diikuti oleh pimpinan instansi pengguna lulusan Fakultas Hukum/ Magister Ilmu Hukum UAJY seperti Kejaksaan, Kepolisian, Hakim dan Imigrasi;

Pada bagian awal, pihak kampus menjelaskan tentang KKNI atau Kurikulum Kualifikasi Nasional Indonesia. KKNI merupakan kerangka penjenjangan kualifikasi sumber daya manusia Indonesia yang menyandingkan, menyetarakan dan mengintegrasikan sektor pendidikan dengan sektor pelatihan dan pengalaman kerja dalam suatu skema pengakuan kemampuan kerja yang disesuaikan dengan struktur di berbagai sektor pekerjaan.

Magister Ilmu Hukum UAJY membawahi 4 konsentrasi yaitu konsentrasi bisnis, pertanahan, litigasi dan ketatanegaraan. Setiap program memiliki mata kuliah wajib dan mata kuliah pilihan di luar tesis.

Lazimnya dalam kondisi demikian, mencari titik keseimbangan antara mata kuliah yang sifatnya teoretik dan praktik menjadi persoalan krusial. Pihak kampus dimanapun yang menyelenggarakan program magister seringkali kewalahan mencari dan memasukkan materi perkuliahan yang pas. Kekurangan tenaga pengajar berkualifikasi atau literatur yang tepat juga menyumbang kendala dalampenyusunan program kurikulum

Oleh karenanya, kesediaan pihak kampus UAJY menyelenggarakan FGD dengan mengundang instansi luar menjadi langkah penting dalam menyelenggarakan program perkuliahan yang mengakomodasi kurikulum KKNI;

Dari penjelasan tentang mata kuliah wajib dan mata kuliah pilihan, peserta FGD kemudian menyampaikan masukan yang bertujuan memperkaya kurikulum.

Perwakilan Pengadilan Negeri Sleman terlebih dahulu memberikan pendapat agar materi penyelesaian sengketa diluar persidangan dimasukkan dalam kurikulum. Penyelesaian dengan cara Mediasi menjadi penting karena kurangnya mediator bersertifikat yang tersedia. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan menjadi landasan penting penyelesaian sengketa;

Perwakilan Polda DIY kemudian menyampaikan perlunya materi tentang Sistem Peradilan Pidana Anak/SPPA diakomodir. SPPA pada beberapa tahun terakhir mengalami perkembangan signifikan terutama berkaitan dengan proses beracara yang menempatkan anak sebagai subyek ketika berhadapan dengan hukum. Selain itu, Perwakilan Polda DIY juga menyinggung tentang akses kelompok Difabel yang belum mendapat tempat dalam proses penegakan hukum.

Pihak Imigrasi Kanwil Kemenkumham DIY juga menyampaikan perkembangan terbaru di beberapakampus lain yang telah memasukkan materi tentang Hukum Keimigrasian dan Hukum Kependudukan dalam materi program Pasca Sarjana.

K. Bertens
Terakhir dari Kejaksaan Negeri Sleman menyampaikan tentang pentingnya keterkaitan antara dunia praktek dengan dunia kampus. Pada konsentrasi litigasi atau sistem peradilan pidana, mata kuliah teori hukum dan filsafat hukum perlu dimasukkan dalam kurikulum. Dalam leaflet yang dibagikan, terdapat mata kuliah Etika birokrasi yang diusulkan pihak kampus sebagai mata kuliah pilihan. Hal ini sebenarnya agak disayangkan karena filsafat etika yang menjadi basis kuliah etika birokrasi diinsiasi  oleh Prof. Karl Bertens, seorang tokoh nasional yang datang dari dunia kampus Atmajaya.

Terakhir yang juga penting untuk dipelajari di bangku akademik dan berpengaruh dalam dunia kerja adalah mata kuliah kriminologi. Mata kuliah ini belum ada dalam rencana kurikulum. Kejaksaan Negeri Sleman mengusulkan mata kuliah ini karena mata kuliah ini memberikan bekal bagi para mahasiswa dalam memahami penyebab terjadinya kriminal (faktor-faktor kriminogen). Dalam kriminologi juga disinggung tentang unsur psikis yang menjurus ke Psikologi hukum. Pemahaman tentang Psikologi sangat berperan dalam dunia praktik khususnya ketika berhadapan dengan para tahanan atau Terdakwa.

Pada bagian akhir, terjadi dialog yang intens antara para Dosen dengan para Praktisi tentang berbagai hal. Jurang antara dunia akademik dan dunia praktik penegakan hukum coba didekatkan. Semua itu dilakukan demi para mahasiswa mampu melanjutkan kehidupan dengan baik pasca perkuliahan. Selamat.