Pada semua tingkatan penanganan
perkara, penegak hukum seringkali melakukan penahanan. Penahanan tersebut
dilaksanakan karena adanya keadaan-keadaan sebagaimana termaktub dalam Pasal 21
KUHAP : “Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang
tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan
bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa
tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang
bukti dan atau mengulangi tindak pidana”. Syarat ini kemudian dikenal sebagai
syarat subyektif. Syarat ini mengandung makna sebagai pertimbangan penegak
hukum yang dilihat berdasarkan cara pandang dan subyektifitas
semata-mata. Syarat ini sebenarnya sangat tidak adil dilihat dari sisi
tersangka atau terdakwa karena tidak memberikan tempat atau ruang pembelaan
bagi tersangka/terdakwa yang tidak menghendaki proses penahanan.
Dalam suatu proses penahanan, tidak
dapat dihindari adanya kondisi-kondisi tertentu pada kesehatan tersangka/terdakwa
yang mengharuskan adanya suatu tindakan pengobatan medis di dalam maupun di
luar rumah tahanan. Anehnya, KUHAP tidak memberikan pengaturan secara tegas
tentang hal ini. Pengaturan yang berkaitan dengan kepentingan medis hanya ada
di Pasal 58 KUHAP : “Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak
menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan
kesehatan baik yang ada hubungannya dengan proses perkara maupun tidak”.
Tidak adanya satu klausul yang
berkaitan dengan pembantaran penahanan dalam KUHAP membuat instansi penegak
hukum harus berkreasi sendiri dengan memasukkannya dalam aturan
perundang-undangan di institusinya masing-masing. Dari Mahkamah Agung kemudian
lahir Surat Edaran (SEMA) No. 1 Tahun 1989 tentang Pembantaran (Stuiting) Tenggang Waktu Penahanan bagi
Terdakwa yang dirawat Nginap di Rumah Sakit di Luar Rumah Tahanan Negara atas
Izin Instansi yang Berwenang Menahan.
Pada angka 3 SEMA No. 1 Tahun 1989
disebutkan bahwa “Pada hakikatnya apabila terdakwa karena sakit yang
dideritanya benar-benar memerlukan perawatan-nginap di rumah sakit, ia dalam
keadaan tidak ditahanpun akan menjalani perawatan yang sama. Hal ini berarti
bahwa bagi terdakwa yang benar-benar sakit, tidak ada tujuan tertentu yang
dihubungkan dengan perhitungan tenggang waktu penahanan yang secara ketat
diatur dalam KUHAP, kecuali sebagai suatu hal terpaksa dijalani yang bisa berakibat hilangnya suatu hak,
kesempatan dan sebagainya”. Serta angka
5 yang menyebutkan “dengan demikian berarti bahwa setiap perawatan yang
menginap di rumah sakit di luar Rumah Tahanan Negara atas izin instansi
yang berwenang menahan, tenggang waktu penahanannya
dibantar (gestuit), pembantaran mana dihitung sejak tanggal terdakwa secara
nyata dirawat-nginap di rumah sakit yang dapat dibuktikan dengan surat
keterangan dari Kepala Rumah Sakit di tempat mana terdakwa dirawat”.
Dari SEMA tersebut dapat ditarik
benang merah bahwa setiap pembantaran yang mensyaratkan tersangka/terdakwa
harus dirawat inap di rumah sakit, dikecualikan dari perhitungan masa penahanan.
Masa Penahanan baru dapat diperhitungkan kembali ketika tersangka/terdakwa
tersebut telah mengakhiri masa perawatan yang ditandai dengan adanya surat
keterangan dokter.
Pihak Kepolisian sebagai pihak yang
paling sering bersentuhan dengan hal ini juga memiliki payung hukum berupa
Peraturan kapolri Nomor : 12 Tahun 2009 tanggal 30 Oktober 2009, khususnya pada
Paragraf 7 tentang Pembantaran
Penahanan, Pasal 92 dan 93, yang pada intinya menyebut bahwa Dalam hal tahanan
yang karena kondisi kesehatannya membutuhkan perawatan yang intensif dan/atau
rawat inap di rumah sakit, dapat dilakukan pembantaran.
Selama ini, proses tersebut tidak
menjadi masalah dilapangan. Beberapa masalah kecil yang hadir dilapangan dapat
diselesaikan dengan pendekatan kebersamaan antara penegak hukum (Polisi, Jaksa,
Hakim dan Rutan/Lapas) dan pihak terkait seperti Rumah sakit dan Dokter. Beberapa
masalah birokrasi administrasi biasanya diselesaikan dengan saling percaya
antar penegak hukum agar tahanan yang sakit tidak harus menunggu prosedur yang
berbelit-belit sebelum ke rumah sakit. Demikian pula soal penjagaan, pengawalan
atau pemantauan selama di rumah sakit yang melibatkan para penegak hukum dan
pihak Dokter/Rumah sakit.
Masyarakat ataupun para ahli hukum
sesungguhnya tidak menyadari bahwa persoalan pembantaran ini sangat rentan
disalahgunakan oleh penegak hukum. Kasus terakhir yang menghentak semua pihak
adalah adanya seorang tersangka yang telah sembuh dari sakit (menurut
keterangan dokter pribadinya) namun oleh penegak hukum masih terus dibantarkan
dengan dasar surat keterangan sakit dari dokter Rumah Sakit Polri.
Memahami persoalan demikian, harus didahului
pemahaman adanya persoalan waktu yang membatasi setiap bentuk penahanan. Dalam
konteks Penahanan di tingkat penyidikan, seorang tersangka maksimal dapat
ditahan selama 120 hari (20 hari oleh penyidik, 40 hari oleh penuntut umum, dan
30 hari yang dapat diperpanjang 30 hari kembali oleh Hakim, vide Pasal 24 dan
29 KUHAP).
Pada biasanya, seorang tersangka yang
telah menjalani penahanan selama 120 hari akan segera bebas demi hukum dari penahanan.
Selama ini tidak ada masalah berkaitan dengan hal itu. Persoalan baru muncul
ketika Penyidik dan Penuntut Umum tidak menemukan kesepakatan dalam melengkapi
berkas perkara. Apa yang menjadi kehendak penuntut umum seringkali tidak sesuai
dengan kehendak penyidik dalam melengkapi pembuktian. Akhirnya berkas
bolak-balik antara penyidik dan penuntut umum. Berkas demikian tentu saja akan
mempengaruhi proses penahanan. Bagi tersangka yang memiliki kemampuan untuk
melarikan diri, menghilangkan barang bukti/alat bukti atau mengulangi tindak
pidana tentu saja akan sangat riskan bila harus dilepaskan kembali ke
masyarakat. Polisi biasanya terjebak antara melepaskan pelaku (karena batas
waktu penahanan telah dilampaui) atau mempertahankan pelaku (dengan alasan
perkara akan segera dinyatakan lengkap oleh Penuntut Umum). Dalam kondisi
demikian, penegak hukum yang kebingungan mudah saja melakukan perbuatan yang
melampaui kewenangannya antara lain dengan merekayasa catatan rekam medis
pelaku bekerjasama dengan Dokter.
Tentu saja semua pihak paham bahwa
dalam ilmu pasti kedokteran seringkali terjadi banyak ketidakpastian. Seorang
pasien dengan tekanan darah tinggi dapat dinilai berbeda oleh lebih dari
seorang dokter terkait dapat tidaknya diajukan ke depan persidangan sebagai
tersangka. Menilai suatu catatan kesehatan sangat rentan “dibaca” secara
berbeda oleh para petugas medis. Dalam konteks itu, menggiring suatu catatan
rekam medis ke arah yang dikehendaki penegak hukum sangat mungkin dilakukan.
Ketakutan Polisi melepaskan
orang-orang yang telah mencapai batas maksimal penahanan, biasanya didasari
oleh dua hal :
1. Polisi
merasa sangat kesulitan ketika melakukan proses penangkapan karena yang
bersangkutan memiliki semacam “power” untuk merintangi upaya penangkapan itu
2. Polisi telah
“main mata” dengan keluarga korban agar pelaku mendapat hukuman yang berat
Bentrok Blowfish, Foto : Kompas |
Tentu saja kedua hal itu itu tidak
diharapkan terjadi pada Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kalau saja Polisi
merasa kesulitan dalam melakukan penangkapan terhadap seseorang, itu menandakan
bahwa Kepolisian telah membiarkan seseorang atau suatu pihak berposisi di atas
hukum. Tindakan itu sangat fatal karena satu-satunya pihak yang bersifat supra atas hukum hanya negara. Itupun dilakukan atas dasar aturan yang dibuatnya
sendiri. Jadi kalau ada orang lain yang mencoba menyaingi negara maka orang
tersebut diposisikan sebagai “melawan” negara dan harus dikenakan tindakan
kuratif yudisial secara terukur.
Sebaliknya kalau ada penegak hukum yang
“main mata” dengan keluarga korban agar mempersulit posisi pelaku atau
mengarahkan pelaku mendapat hukuman yang berat maka hal itu merupakan lonceng
kematian penegak hukum. Tidak boleh ada suatu proses peradilan yang bergerak di
atas rel perasaan atau emosi sekelompok orang. Peradilan harus berada di atas
rel kebenaran dan keadilan. Apa yang benar dan salah harus terkatakan dengan
sendirinya melalui serangkaian fakta yang dapat dibuktikan di depan sidang.
Peradilan harus menghukum pihak yang bersalah walau pada sisi yang lain juga
harus “tega” membebaskan orang yang tidak bersalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar