Selasa, 10 Juli 2012

Pembantaran : Keseriusan atau Akal-Akalan Penyidik ?


Pada semua tingkatan penanganan perkara, penegak hukum seringkali melakukan penahanan. Penahanan tersebut dilaksanakan karena adanya keadaan-keadaan sebagaimana termaktub dalam Pasal 21 KUHAP : “Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana”. Syarat ini kemudian dikenal sebagai syarat subyektif. Syarat ini mengandung makna sebagai pertimbangan penegak hukum yang dilihat berdasarkan cara pandang dan subyektifitas semata-mata. Syarat ini sebenarnya sangat tidak adil dilihat dari sisi tersangka atau terdakwa karena tidak memberikan tempat atau ruang pembelaan bagi tersangka/terdakwa yang tidak menghendaki proses penahanan.
Dalam suatu proses penahanan, tidak dapat dihindari adanya kondisi-kondisi tertentu pada kesehatan tersangka/terdakwa yang mengharuskan adanya suatu tindakan pengobatan medis di dalam maupun di luar rumah tahanan. Anehnya, KUHAP tidak memberikan pengaturan secara tegas tentang hal ini. Pengaturan yang berkaitan dengan kepentingan medis hanya ada di Pasal 58 KUHAP : “Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan baik yang ada hubungannya dengan proses perkara maupun tidak”.
Tidak adanya satu klausul yang berkaitan dengan pembantaran penahanan dalam KUHAP membuat instansi penegak hukum harus berkreasi sendiri dengan memasukkannya dalam aturan perundang-undangan di institusinya masing-masing. Dari Mahkamah Agung kemudian lahir Surat Edaran (SEMA) No. 1 Tahun 1989 tentang Pembantaran (Stuiting) Tenggang Waktu Penahanan bagi Terdakwa yang dirawat Nginap di Rumah Sakit di Luar Rumah Tahanan Negara atas Izin Instansi yang Berwenang Menahan.
Pada angka 3 SEMA No. 1 Tahun 1989 disebutkan bahwa “Pada hakikatnya apabila terdakwa karena sakit yang dideritanya benar-benar memerlukan perawatan-nginap di rumah sakit, ia dalam keadaan tidak ditahanpun akan menjalani perawatan yang sama. Hal ini berarti bahwa bagi terdakwa yang benar-benar sakit, tidak ada tujuan tertentu yang dihubungkan dengan perhitungan tenggang waktu penahanan yang secara ketat diatur dalam KUHAP, kecuali sebagai suatu hal terpaksa dijalani yang  bisa berakibat hilangnya suatu hak, kesempatan dan sebagainya”.  Serta angka 5 yang menyebutkan “dengan demikian berarti bahwa setiap perawatan yang menginap di rumah sakit di luar Rumah Tahanan Negara atas izin instansi yang  berwenang menahan, tenggang waktu penahanannya dibantar (gestuit), pembantaran mana dihitung sejak tanggal terdakwa secara nyata dirawat-nginap di rumah sakit yang dapat dibuktikan dengan surat keterangan dari Kepala Rumah Sakit di tempat mana terdakwa dirawat”.
Dari SEMA tersebut dapat ditarik benang merah bahwa setiap pembantaran yang mensyaratkan tersangka/terdakwa harus dirawat inap di rumah sakit, dikecualikan dari perhitungan masa penahanan. Masa Penahanan baru dapat diperhitungkan kembali ketika tersangka/terdakwa tersebut telah mengakhiri masa perawatan yang ditandai dengan adanya surat keterangan dokter.
Pihak Kepolisian sebagai pihak yang paling sering bersentuhan dengan hal ini juga memiliki payung hukum berupa Peraturan kapolri Nomor : 12 Tahun 2009 tanggal 30 Oktober 2009, khususnya pada Paragraf 7  tentang Pembantaran Penahanan, Pasal 92 dan 93, yang pada intinya menyebut bahwa Dalam hal tahanan yang karena kondisi kesehatannya membutuhkan perawatan yang intensif dan/atau rawat inap di rumah sakit, dapat dilakukan pembantaran.
Selama ini, proses tersebut tidak menjadi masalah dilapangan. Beberapa masalah kecil yang hadir dilapangan dapat diselesaikan dengan pendekatan kebersamaan antara penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim dan Rutan/Lapas) dan pihak terkait seperti Rumah sakit dan Dokter. Beberapa masalah birokrasi administrasi biasanya diselesaikan dengan saling percaya antar penegak hukum agar tahanan yang sakit tidak harus menunggu prosedur yang berbelit-belit sebelum ke rumah sakit. Demikian pula soal penjagaan, pengawalan atau pemantauan selama di rumah sakit yang melibatkan para penegak hukum dan pihak Dokter/Rumah sakit.
Masyarakat ataupun para ahli hukum sesungguhnya tidak menyadari bahwa persoalan pembantaran ini sangat rentan disalahgunakan oleh penegak hukum. Kasus terakhir yang menghentak semua pihak adalah adanya seorang tersangka yang telah sembuh dari sakit (menurut keterangan dokter pribadinya) namun oleh penegak hukum masih terus dibantarkan dengan dasar surat keterangan sakit dari dokter Rumah Sakit Polri.
Memahami persoalan demikian, harus didahului pemahaman adanya persoalan waktu yang membatasi setiap bentuk penahanan. Dalam konteks Penahanan di tingkat penyidikan, seorang tersangka maksimal dapat ditahan selama 120 hari (20 hari oleh penyidik, 40 hari oleh penuntut umum, dan 30 hari yang dapat diperpanjang 30 hari kembali oleh Hakim, vide Pasal 24 dan 29 KUHAP).
Pada biasanya, seorang tersangka yang telah menjalani penahanan selama 120 hari akan segera bebas demi hukum dari penahanan. Selama ini tidak ada masalah berkaitan dengan hal itu. Persoalan baru muncul ketika Penyidik dan Penuntut Umum tidak menemukan kesepakatan dalam melengkapi berkas perkara. Apa yang menjadi kehendak penuntut umum seringkali tidak sesuai dengan kehendak penyidik dalam melengkapi pembuktian. Akhirnya berkas bolak-balik antara penyidik dan penuntut umum. Berkas demikian tentu saja akan mempengaruhi proses penahanan. Bagi tersangka yang memiliki kemampuan untuk melarikan diri, menghilangkan barang bukti/alat bukti atau mengulangi tindak pidana tentu saja akan sangat riskan bila harus dilepaskan kembali ke masyarakat. Polisi biasanya terjebak antara melepaskan pelaku (karena batas waktu penahanan telah dilampaui) atau mempertahankan pelaku (dengan alasan perkara akan segera dinyatakan lengkap oleh Penuntut Umum). Dalam kondisi demikian, penegak hukum yang kebingungan mudah saja melakukan perbuatan yang melampaui kewenangannya antara lain dengan merekayasa catatan rekam medis pelaku bekerjasama dengan Dokter.
Tentu saja semua pihak paham bahwa dalam ilmu pasti kedokteran seringkali terjadi banyak ketidakpastian. Seorang pasien dengan tekanan darah tinggi dapat dinilai berbeda oleh lebih dari seorang dokter terkait dapat tidaknya diajukan ke depan persidangan sebagai tersangka. Menilai suatu catatan kesehatan sangat rentan “dibaca” secara berbeda oleh para petugas medis. Dalam konteks itu, menggiring suatu catatan rekam medis ke arah yang dikehendaki penegak hukum sangat mungkin dilakukan.
Ketakutan Polisi melepaskan orang-orang yang telah mencapai batas maksimal penahanan, biasanya didasari oleh dua hal :
1.       Polisi merasa sangat kesulitan ketika melakukan proses penangkapan karena yang bersangkutan memiliki semacam “power” untuk merintangi upaya penangkapan itu
2.       Polisi telah “main mata” dengan keluarga korban agar pelaku mendapat hukuman yang berat
Bentrok Blowfish, Foto : Kompas
Tentu saja kedua hal itu itu tidak diharapkan terjadi pada Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kalau saja Polisi merasa kesulitan dalam melakukan penangkapan terhadap seseorang, itu menandakan bahwa Kepolisian telah membiarkan seseorang atau suatu pihak berposisi di atas hukum. Tindakan itu sangat fatal karena satu-satunya pihak yang bersifat supra atas hukum hanya negara. Itupun dilakukan atas dasar aturan yang dibuatnya sendiri. Jadi kalau ada orang lain yang mencoba menyaingi negara maka orang tersebut diposisikan sebagai “melawan” negara dan harus dikenakan tindakan kuratif yudisial secara terukur.
Sebaliknya kalau ada penegak hukum yang “main mata” dengan keluarga korban agar mempersulit posisi pelaku atau mengarahkan pelaku mendapat hukuman yang berat maka hal itu merupakan lonceng kematian penegak hukum. Tidak boleh ada suatu proses peradilan yang bergerak di atas rel perasaan atau emosi sekelompok orang. Peradilan harus berada di atas rel kebenaran dan keadilan. Apa yang benar dan salah harus terkatakan dengan sendirinya melalui serangkaian fakta yang dapat dibuktikan di depan sidang. Peradilan harus menghukum pihak yang bersalah walau pada sisi yang lain juga harus “tega” membebaskan orang yang tidak bersalah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar