Sabtu, 22 Februari 2014

Silang Sengkarut Penahanan Terhadap Saksi


Said Faisal (foto : tempo.co)
Said Faisal, Ajudan mantan Gubernur Riau Rusli Zainal akhirnya dikenakan status sebagai tersangka dan menjalani pemeriksaan perdana sekaligus mulai menjalani penahanan pada Jumat 21 Februari 2014. Penetapan tersangka itu dilakukan beberapa waktu setelah Said Faisal memberikan keterangan sebagai saksi dalam perkara mantan bosnya di Pengadilan Tipikor Riau pada hari Rabu tanggal 5 Februari 2014.
Menurut salah satu Penuntut Umum (sebagaimana dikutip dari Hr. Kompas), Said Faisal memberikan keterangan yang menyangkali penerimaan uang Rp. 500 juta dari Lukman. Pengingkaran itu bertentangan dengan keterangan Lukman. Said tetap mengingkari penerimaan uang itu, termasuk adanya rekaman pembicaraan telepon dirinya dengan Lukman. Rekaman pembicaraan telepon Lukman dengan Said berisi seputar pemberian uang Rp. 500 juta kepada Rusli Zainal.

Penetapan tersangka sekaligus penahanan terhadap seorang saksi yang memberikan keterangan tidak benar di ruang sidang merupakan babak baru dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi. Terobosan dengan menjadikan tersangka terhadap saksi yang memberikan keterangan palsu di depan persidangan merupakan suatu lampu kuning bagi para saksi yang (meminjam bahasa Busyro Muqoddas) menjadi hamba atasan dan bukan hamba Allah.

Selama ini, perlakuan terhadap saksi yang memberikan keterangan tidak benar dalam ruang persidangan hanya terungkap dalam wacana dan seolah berakhir di media massa. Hakim dan Penuntut Umum hanya dapat berkeluh kesah dalam laporan yang ditujukan kepada pimpinannya. Sesekali debat dan pembicaraan seputar saksi yang berdusta di pengadilan menyeruak dalam ruang publik untuk kemudian hilang dan menyelusup di emperan hati publik menunggu peluang melintasnya perhatian.

Ihwal berbohongnya saksi dalam proses penegakan hukum sebenarnya bukan tidak pernah dipikirkan oleh pembuat Undang-Undang. Pasal 22 UU Pemberantasan Tipikor No 31 tahun 1999 menyebutkan bahwa, “Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”. Perbuatan materiil dalam pasal itu bersifat comisionis dan ommisionis atau bersifat melakukan atau tidak melakukan.

Sesuai penafsiran gramatikal, pembuat UU sesungguhnya telah sadar sejak awal bahwa proses penegakan hukum dalam perkara tindak pidana korupsi akan senantiasa berhadapan dengan saksi yang diam, tidak bersedia memberikan keterangan yang diperlukan atau bahkan memberikan keterangan yang tidak sebenarnya. Dari sisi pemidanaan, pembuat UU mengkategorikan perbuatan pidana dalam pasal itu sebagai pidana yang berat karena ancamannya di atas 5 (ima) tahun dan karenanya harus didampingi Penasihat Hukum dalam setiap proses pemeriksaan.

Spirit Pasal 22 UU Pemberantasan Tipikor No 31 tahun 1999 juga berkorelasi dengan Pasal 242 KUHP, “ (1) Barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. (2) Jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. (3) Disamakan dengan sumpah adalah janji atau penguatan diharuskan menurut aturan- aturan umum atau yang menjadi pengganti sumpah.

Dengan aturan yang sedemikian tegas seperti itu, menjadi pertanyaan, mengapa proses hukum terhadap saksi yang memberikan keterangan palsu selama ini tidak pernah dilakukan ? Jawaban terhadap pertanyaan ini menurut saya, paling tidak karena empat hal.

Pertama, Penegak Hukum berpandangan bahwa memberikan keterangan sebagai saksi adalah hak dan bukan kewajiban. Oleh karena sebagai hak,  ia tidak memiliki konsekuensi perbuatan. Akibatnya lahir pandangan bahwa pemberian keterangan palsu tidak memberikan akibat secara signifikan pada proses pembuktian kesalahan terdakwa. Ini jelas pandangan yang keliru. Dalam Pasal 224 KUHP secara tegas dinyatakan bahwa memberikan keterangan sebagai saksi adalah suatu kewajiban yang memiliki konsekuensi berupa sanksi apabila tidak dilaksanakan. Penegak Hukum juga banyak melakukan tindakan permisif dengan lebih banyak bersimpati dan berempati pada saksi yang tidak hadir pada setiap tahapan penanganan perkara. Sikap seperti ini sedikit banyak menggelinding dan berefek pada saksi-saksi dalam perkara lain yang menganganggap kehadiran dalam proses penyidikan, penuntutan dan persidangan adalah tindakan fakultatif.

Kedua, lemahnya pembuktian terhadap saksi yang memberikan keterangan palsu. Ketika memberikan keterangan palsu di depan persidangan, Penuntut Umum sudah harus mulai memikirkan dengan alat bukti apa tindakan itu harus di proses hukum. Alat bukti yang dapat digunakan tentu saja adalah komparasi keterangan itu dengan keterangan saksi-saksi lain. Dalam beberapa hal, suatu kesaksian hanya didukung oleh sedikit saksi sehingga ketika komparasi harus dilakukan, kesaksian-kesaksian itu hanya dianggap sebagai keterangan yang berdiri sendiri. Penegak hukum yang sering “memata-matai” tentu dengan mudah menunjukkan bukti rekaman (taping) atau sadapan (intersepsi). Namun bagi penegak hukum lain yang sering berkutat “membangkitkan mayat/keterangan zaman lampau”, komparasi itu tak terpemanai sulitnya.

Ketiga, penegak hukum terkonsentrasi menangani perkara pokok. Di tengah-tengah tumpukan pekerjaan, Penegak Hukum cenderung mengesampingkan perkara-perkara accessoir yang berimpilikasi mengganggu penanganan perkara pokoknya. Hitungan-hitungan matematis berupa kerugian waktu, kemungkinan harus merefresh memori untuk kemudian menjadi saksi juga menjadi penghalang untuk menyeriusi saksi yang memberikan keterangan palsu. Apalagi kalau kemudian timbul anggapan bahwa penanganan perkara pokoknya tidak akan terganggu karena berlimpahnya alat-alat bukti lain yang dapat digunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa.

Keempat, kegamangan dalam menentukan proses beracara. UU Pemberantasan Tipikor No 31 tahun 1999 tidak menyebutkan bagaimana proses beracara itu dilakukan. Bagi sebagian orang, prosesnya akan tunduk pada proses biasa sebagaimana penanganan perkara tindak pidana korupsi yang lain melalui serangkaian upaya penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Penanganannya juga setali tiga uang dengan Pasal 21 tentang upaya merintangi proses penanganan perkara. Padahal masalah sesungguhnya yang nyata-nyata terjadi karena silang sengkarut aturan akan timbul kalau berkaitan dengan proses penanganan terhadap sangkaan keterangan palsu sebagaimana Pasal 174 KUHAP. Dalam Pasal itu disebutkan :
(1)  Apabila keterangan saksi di sidang disangka palsu, hakim ketua sidang memperingatkan dengan sungguh-sungguh kepadanya supaya memberikan keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap memberikan keterangan palsu.
(2)   Apabila saksi tetap pada keterangannya itu, hakim ketua sidang karena jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat memberi perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah palsu.
(3)  Dalam hal yang demikian oleh panitera segera dibuat berita acara pemeriksaan sidang yang memuat keterangan saksi dengan menyebutkan alasan persangkaan, bahwa keterangan saksi itu adalah palsu dan berita acara tersebut ditandatangani oleh hakim ketua sidang serta panitera dan segera diserahkan kapada penuntut umum untuk diselesaikan menurut ketentuan undang-undang ini.
(4)  Jika perlu hakim ketua sidang menangguhkan sidang dalam perkara semula sampai pemeriksaan perkara pidana terhadap saksi itu selesai.

Penjelasan Pasal 174 KUHAP hanya menyebutkan cukup jelas. Untuk itu ada baiknya apabila pasal tersebut ditafsirkan berdasarkan doktrin ataupun metode penafsiran gramatikal serta rasional.  Dalam ayat (2) Pasal 174 tersebut dikatakan bahwa apabila saksi tetap pada keterangannya, Hakim Ketua dapat memerintahkan untuk dilakukan Penahanan. Tidak jelas, apakah penaahanan yang dimaksud disitu dilakukan berdasarkan Penetapan Hakim atau atas dasar Surat Perintah Penyidikan (sesaat setelah persidangan dan saksi digelandang ke kantor penyidik). Demikian pula dengan ayat (3), berita acara pemeriksaan sidang setelah ditandatangani Hakim Ketua dan Panitera lalu diserahkan kepada Penuntut Umum. Juga tidak jelas, apakah Berita Acara Pemeriksaan sidang tersebut harus diserahkan kepada Penyidik melalui Penuntut Umum ataukah memang Penuntut Umum itulah yang dimaksud.

Penilaian terhadap keterangan seorang saksi yang diduga memberikan keterangan palsu sangat penting berkaitan dengan pemeriksaan perkara pokoknya. Tanpa bermaksud mendahului putusan hakim, tidak tertutup kemungkinan keterangan saksi yang diduga berbohong itulah yang benar. Oleh karenanya, penilaian terhadap keterangan saksi tersebut akan mempengaruhi jalannya perkara pokoknya. Boleh jadi atas dasar itu, lahir ayat (4) yang menyebutkan adanya kemungkinan penangguhan sidang perkara pokok hingga perkara pidana terhadap saksi itu selesai. Penangguhan itu juga akan berakibat pada masa penahanan dalam persidangan sekaligus hilangnya suasana batin pemeriksaan perkara.

Jika dilakukan rekonstruksi terhadap Pasal 174 tersebut maka boleh jadi proses acaranya menjadi demikian : Terhadap saksi yang diduga memberikan keterangan palsu setelah diperingatkan oleh Majelis Hakim, dapat dikenakan penahanan oleh Penuntut Umum berdasarkan pada surat Penetapan Hakim. Majelis Hakim juga sekaligus menunda persidangan perkara pokoknya sebelum kejelasan tentang kebohongan saksi itu diselesaikan melalui suatu persidangan tersendiri. Selanjutnya,  Hakim Ketua dan Panitera menandatangani berita acara pemeriksaan sidang untuk diserahkan kepada Penuntut Umum. Penuntut Umum tidak perlu menyerahkan kepada penyidik karena tidak ada jangka waktu yang jelas dalam KUHAP, lamanya penahanan berdasar penetapan hakim. Juga agar proses pemeriksaannya tidak berlarut-larut melalui pengumpulan alat bukti yang bertele-tele.  

Atas dasar  Berita Acara Pemeriksaan Sidang, Penuntut Umum kemudian menyusun catatan penuntut umum untuk kemudian diajukan melalui prosedur acara pemeriksaan singkat/APS. Mengapa  APS yang dipilih ? karena metode pemeriksaan akan dilakukan secara komparasi sehingga akan mudah dilakukan penilaian. Juga untuk mempercepat proses pemeriksaan agar perkara pokoknya segera mendapat kejelasan. Putusan dalam perkara singkat tersebut meski belum inkracht akan digunakan sebagai petunjuk dalam penyelesaian perkara pokoknya.

Dengan pola penyelesaian seperti itu tentu saja dua hal terselesaikan dengan segera yaitu, pertama, saksi yang berbohong di persidangan dapat diproses serta diberi putusan ,dan kedua, persidangan perkara pokoknya mendapat petunjuk/kejelasan dalam proses pembuktian sehingga majelis Hakim dapat lebih yakin dalam menjalankan tugasnya memutus perkara.

Pendapat ini juga sesuai dengan pendapat Yahya Harahap yang lebih mementingkan model penyelesaian secara substantif/materiil lebih didahulukan ketimbang menjalani prosedur formal yang berbelit-belit.
Tapi, apapun model penyelesaian yang digunakan, Penegak Hukum tetap harus mengedepankan asas praduga tak bersalah bagi siapapun juga.

Cangkringan, kaki  Gunung Merapi, DIY, 22 Februari 2014





Rabu, 19 Februari 2014

Eksaminasi Publik perkara Bioremediasi PT. Chevron di Jogjakarta

Tidak ada aturan yang melarang suatu eksaminasi terhadap penanganan perkara, apalagi kalau eksaminasi itu dilakukan publik. Meskipun menurut kebiasaan, eksaminasi dilakukan setelah suatu putusan berkekuatan hukum tetap, tidak ada larangan pula kalau itu dilakukan dalam proses persidangan. Secara etika, eksaminasi dilakukan setelah tidak ada upaya hukum lain dengan maksud agar Majelis Hakim yang mengadili perkara tersebut tidak diintervensi kegiatan ekstra judisial dalam memutus sesuatu secara judisial.

Pengertian eksaminasi putusan dalam kaitan dengan penanganan perkara sendiri beragam meskipun dapat ditarik benang merah sebagai suatu bentuk pengawasan dan pemeriksaan terhadap sebuah putusan pengadilan dalam kaitannya dengan aturan perundang-undangan.

Atas dasar pemahaman seperti itulah, diselenggarakan acara dengan tema “Eksaminasi Publik Putusan Pengadilan Perkara Pelanggaran Undang-Undang Lingkungan Hidup sebagai Tindak Pidana Korupsi dalam kasus PT. Chevron Pacific Indonesia”. Judul eksaminasi yang sangat provokatif menggiring para peserta untuk memiliki pemahaman awal sesuai kehendak Panitia, meskipun kemudian disanggah bahwa Panitia tidak bermaksud demikian.

Peserta Eksaminasi Publik yang diundang, datang dari berbagai latar belakang, mulai dari Hakim/mantan Hakim, Jaksa, Polisi, Pengacara, Akademisi, Pihak PT. Chevron Pacific Indonesia/PT. CPI dan Tim Pengacara dari PT. CPI

Sayangnya (atau sialnya), putusan pengadilan dalam perkara yang hendak dieksaminasi itu hanya dibagikan secara terbatas pada para eksaminator sebanyak 6 orang yang bertugas melakukan eksaminasi dan memaparkan hasilnya di depan peserta. M. Hakim Nasution, SH. LLM : Tinjauan Aspek-aspek Kontrak Bagi Hasil, Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, SH. MH : Perizinan Pengelolaa Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) oleh PT. Chevron Pacific Indonesia, Dr. Arief Setiawan, SH. MH : Eksaminasi Putusan Perkara Pidana No. 81, 82 dan 85/Pid. B/tpk/PN.Jkt.Pst an. Terdakwa Herland Bin Ompo, Widodo dan Ir. Ricky Prematury, Dipl. MM, Dr. Mudzakkir, SH. MH : Eksaminasi Publik terhadap Putusan Pengadilan dalam perkara Pelanggaran Undang-Undang Lingkungan Hidup sebagai perkara Tindak Pidana Korupsi dalam Kasus PT. Chevron Pacific Indonesia, Dr. Chairul Huda, SH. MH : Perbuatan melawan hukum dalam tindak pidana korupsi yang bersumber dari hubungan hukum kontrak dalam bentuk Production Sharing Contract  (PSC), Prof.  Dr. Edward O.S Hiariej, SH. MH : Hukum Acara Pidana dalam praktek penegakan hukum Tindak Pidana Korupsi dalam kaitannya dengan perkara bioremediasi;

Tentu saja diskusi lebih banyak berlangsung searah. Selain karena belum pernah membaca putusan, peserta juga hanya disuguhi materi yang dicuplik dari putusan. Putusan salah satu perkara baru dibagikan pada hari kedua ketika agenda acara berlanjut dengan diskusi sesama peserta. Diskusi ini juga agak janggal karena di”embel-embeli” maksud untuk memberikan sumbang saran pada eksaminator sebelum eksaminator memaparkan hasil kesimpulan.

Seorang peserta yang juga seorang pengacara ternama di Jogja dalam perbincangan secara tertutup berseloroh dengan mengatakan bahwa kegiatan tersebut dilakukan atas “sponsor” PT. Chevron Pacific Indonesia untuk menggalang opini publik/akademisi, mendukung para terdakwa sekaligus mempersiapkan materi kasasi dalam perkara tersebut. Bahkan ketika seorang penanya menanyakan hal senada, tidak juga ada tanggapan dari panitia.

Pemilihan eksaminator sejak awal juga menunjukkan adanya “pemihakan” panitia kegiatan. Dalam acara itu hadir 3 orang eksaminator yang pernah memberikan keterangan sebagai ahli dalam persidangan perkara bioremediasi yaitu M. Hakim Nasution, SH. LLM, Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, SH. MH dan Prof.  Dr. Edward O.S Hiariej, SH. MH;

Jalanya kegiatan eksaminasi publik tersebut didominasi oleh pandangan yang menyalahkan Penyidik, diantaranya : bahwa perkara ini dipaksakan karena pelapornya adalah orang yang pernah kalah dalam proses pelelangan, perkara bioremediasi seharusnya lebih tepat menggunakan UU Lingkungan atau bahkan masuk perkara perdata dan administrasi ketimbang dipaksakan sebagai perkara tindak pidana korupsi.

Eksaminator juga menyalahkan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor yang mengambil pertimbangan putusan dari sisi yang memberatkan terdakwa dan mengesampingkan alat-alat bukti yang meringankan terdakwa.


Dalam kegiatan tersebut, sebagian besar peserta dari kalangan Hakim, Jaksa, Polisi dan Pengacara mempertanyakan independensi penyelenggara mulai dari pemilihan judul hingga komposisi eksaminator. Sebagian peserta juga mempertanyakan materi eksaminasi yang saat ini sedang dalam proses persidangan dan belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

                                                       Cangkringan, kaki gunung merapi DIY, 20 Feb 2014

Senin, 10 Februari 2014

Dari Tiada Corby Tanpa Pertanggungjawaban Pidana


foto : yustisi.com
Pembicaraan tentang Schapelle Leigh Corby beberapa hari ini begitu memenuhi ruang-ruang publik. Pro dan kontra mengenai pembebasan bersyaratnya begitu massif merasuk hingga ke kamar tidur warga. Mulai dari pejabat tinggi hingga rakyat jelata memperbincangkan dara asal negeri jiran di selatan itu. Materi pembahasan juga begitu beragam mulai dari sisi kemanusiaan, hubungan antar negara, kecantikan dan sikap terhadap para pengguna narkoba.
Bagi saya, Corby tidak sekedar perempuan berparas cantik yang dengan senyumnya membuat hubungan Indonesia dan Australia ketar-ketir. Corby juga bukan sekedar wanita muda yang menjadi kembang LP Kerobokan Denpasar. Corby ketika dalam persidangan di PN Denpasar adalah perlambang betapa ruwet dan kompleksnya dunia hukum pidana. Bahkan Corby juga menjadi materi perbandingan sistem hukum acara pidana antar dunia hukum pidana Indonesia dan Australia.
Sebagaimana diketahui bersama, Indonesia dan Australia memiliki dua sistem hukum yang berbeda. Kalau Indonesia menganut sistem civil law (eropa kontinental), Australia memilih pijakan common law (anglo saxon). Sistem hukum kita (utamanya penegakan hukum terhadap narkotika) menganut prinsip crime control sedangkan Australia yang menjunjung tinggi hak asasi seseorang lebih memilih pendekatan due process. Implikasi pendekatan ini adalah bahwa negara kita lebih mendahulukan pola-pola penanganan perkara yang cepat, represif dan cenderung mengesampingkan hak asasi seseorang, berkebalikan dengan sistem hukum Australia yang memilih sistem berbeda.
Perbedaan dari sisi hukum acara tersebut menjadi bara yang terus menyala melalui penolakan masyarakat Australia terhadap sistem peradilan yang mengadili Corby. Pers Australia terus menyiramkan bensin ke tengah publik Australia melalui pemberitaan-pemberitaan tentang sistem peradilan yang korup, berat sebelah dan jauh dari rasa keadilan. Perdebatan tertulis antara Penuntut Umum dan Penasihat Hukum dipandang sebagai sandiwara yang telah disusun skenarionya. Maka kasus Corby kemudian dipahami publik Australia sebagai perkara dimana raksasa kasar yang tidak berperikemanusiaan hendak memangsa seorang putri kecil yang tidak bersalah.
Ketika Corby ditangkap pada 8 Oktober 2004, jagat hukum kita tersentak. Ternyata mekanisme pembuktian perbuatan pidana yang selama ini kita jalankan, memiliki celah hukum yag sedemikian menganga. Selama ini, pembuktian perbuatan dalam suatu perkara Narkotika merujuk kepada teori monistis yang sebenarnya sudah tidak up to date. Teori Monistis adalah teori yang menggabungkan perbuatan materiil dengan pertanggungjawaban pidana. Pada teori ini, pertanggungjawaban pidana dilihat dalam kaitannya dengan perbuatan materiil. Dengan adanya kesalahan, maka proses persidangan segera bergerak menuju kepada pemidanaan. Model inilah kemudian yang masyhur dalam dunia teori hukum sebagai “Tiada pidana tanpa kesalahan”. Dalam perkara Corby, pertanggungjawaban pidana dianggap telah terpenuhi dengan adanya perbuatan materiil berupa temuan ganja seberat 4,1 kg netto dalam tas bogie board miliknya. Pandangan yang dianut oleh Penuntut Umum dan diamini oleh Judex factie maupun Judex juris ini berimplikasi pada tidak perlunya dibuktikan bagaimana dan dengan modus seperti apa, barang bukti berupa ganja tersebut masuk ke dalam tas Corby. Pandangan tersebut juga menutupi celah-celah yang mungkin saja terjadi seperti adanya pihak lain yang memasukkan ganja ke dalam tas Corby atau yang sekarang marak dikenal sebagai dugaan rekayasa kasus (lihat putusan MA terbaru).
foto : nefosnews.com
Lawan dari teori Monistis adalah teori Dualistis yaitu teori yang secara tegas memisahkan perbuatan pidana dari pertanggungjawaban pidana. Dalam teori ini, ketika seseorang terbukti melakukan perbuatan materiil, tidak serta merta pelakunya langsung dijatuhi pidana/hukuman. Harus ada benang merah yang menghubungkan antara perbuatan materiil tersebut (actus reus) dengan sikap batin (mens rea) yang menjelaskan lahirnya “kesalahan”. Teori Dualistis juga menjelaskan bahwa seseorang yang telah terbukti melakukan kesalahan masih harus diteliti kembali apakah orang tersebut memiliki pertanggungjawaban pidana atau mempunyai alasan untuk melakukannya sebelum kemudian bergerak menuju “pidana”. Perbuatan pidana kemudian dipahami tidak sekedar mencocoki rumusan sebagaimana tertera dalam undang-undang namun lebih jauh dari itu juga harus mampu menjelaskan adanya alasan yang rasional mengapa perbuatan itu kemudian dilakukan.
Melakukan suatu tindak pidana, tidak selalu berarti pembuatnya bersalah atas hal itu. Untuk dapat mempertanggung-jawabkan seseorang dalam hukum pidana diperlukan syarat-syarat untuk dapat mengenakan pidana terhadapnya, Selain telah melakukan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana hanya dapat dituntut ketika tindak pidana dilakukan dengan kesalahan dan penentuan adanya kesalahan dan pertanggung jawaban pidana, tidak hanya ditentukan dari terpenuhinya seluruh isi rumusan tindak pidana. (Dr. Chairul Huda, SH, MH., Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan menuju kepada Tiada Pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan, Jakarta, Kencana 2006).
Dalam perkara Corby, Penuntut Umum dan juga Majelis Hakim setelah mendapati adanya perbuatan material berupa penyimpanan ganja dalam tas Corby, harus bergerak menuju ke alasan dan modus mengapa ganja tersebut berada dalam tas. Hal-hal ini akan banyak bergantung pada proses penyidikan. Ketika penyidikan berlangsung, penyidik harus mampu menyusun konstruksi kejadian yang rasional dan didukung alat-alat bukti yang menjelaskan motif dan modus yang dilakukan Corby ketika meletakkan ganja dalam tasnya. Konstruksi itu akan diambil alih oleh Penuntut Umum dalam menjelaskan ke hadapan persidangan dan di depan publik.
Tanpa membuktikan adanya motif dan modus dalam suatu perbuatan pidana maka penegakan hukum hanya akan bergantung pada operasi tangkap tangan yang rawan akan rekayasa.
 Cangkringan, kaki gunung merapi DIY, 10 Feb 2014