Senin, 16 Juli 2012

Lembaga Penegak Hukum Ad hoc dalam Sorotan


Hoegeng, Lopa, Suprapto dan Oemar Seno Adjie
Hari ini (16/7) Kejaksaan Agung mengadakan seminar "Eksistensi Lembaga Penegak Hukum ad hoc ditinjau dari Sistem Peradilan Pidana," yang dirangkaikan dengan peluncuran buku : Prof. Dr. Baharuddin Lopa, SH: "Pendekar Hukum dan Keadilan Indonesia" bertempat di Hotel Bidakara Jakarta Selatan. Ada dua hal terpisah yang menjadi menarik berkaitan dengan seminar dan peluncuran buku tersebut. Pertama adalah Kejaksaan Agung mulai “gerah” dengan sepak terjang lembaga ad hoc yang mulai menunjukkan pengaruh dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Sedangkan yang kedua adalah adanya “krisis” tokoh panutan dalam lingkaran penegak hukum khususnya Kejaksaan RI.

1. Eksistensi lembaga penegak hukum ad hoc.

Keberadaan lembaga-lembaga penegak hukum di Indonesia seperti Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH), Komisi Yudisial (KY), Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Komisi Kejaksaan (KK) atau Ombudsman RI (ORI) didasarkan secara yuridis pada aturan perundang-undangan yang berbeda. Kalau KPK didasarkan pada UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dan KY dengan UU No. 18 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial serta UU No. 37 tahun 2008 tentang Ombudsman RI, maka Satgas PMH, Kompolnas serta KK didasarkan pada Keputusan atau Peraturan Presiden. Satgas PMH dengan Keppres 37/2009, Kompolnas dengan Peraturan Presiden No. 17 Tahun 2011 serta KK melalui Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2011.

Dari dasar hukum tersebut terlihat kegamangan Pemerintah dalam membentuk lembaga-lembaga ad hoc sekaligus membuktikan betapa tidak jelasnya desain institusi sebagai benteng utama penegakan hukum. Diantara beberapa lembaga hukum ad hoc tersebut, hanya Satgas Pemberantasan Mafia Hukum yang tidak diperpanjang lagi dan dilebur ke dalam Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4).

Keberadaan lembaga-lembaga hukum ad hoc tersebut ternyata mendapat tempat di hati masyarakat sehingga diakui atau tidak semakin memperburuk citra lembaga-lembaga konvensional yang lebih dulu lahir. Dalam beberapa hal, sepak terjang lembaga-lembaga ad hoc tersebut bersentuhan dengan tugas dan kewenangan lembaga-lembaga konvensional sehingga melahirkan persepsi yang berbeda pada masyarakat. Ambil contoh ketika kasus Bibit-Chandra menghiasi pemberitaan di media massa. Lembaga Konvensional (Kepolisian-Kejaksaan) masih terjebak pada logika-logika hukum normatif untuk menyelesaikan persoalan sedangkan Tim 8 bentukan Presiden bersikukuh menggunakan logika sosio yuridis untuk menghadapinya. Ternyata masyarakat lebih memilih model pendekatan sosio yuridis yang digunakan Tim 8 untuk menyelesaikan persoalan. Dukungan publik itu masih diperparah oleh ketidakkonsistenan Kejaksaan yang lebih dulu memilih menggunakan Surat Keterangan Penghentian Penuntutan (SKPP) sebelum kemudian menggunakan Hak Deponeering (istilah yang tepat seharusnya Seponeering). Rentetan kasus itu semakin menenggelamkan citra lembaga konvensional di mata publik.

“Perseteruan” lembaga konvesional dengan lembaga ad hoc juga nampak dari sepak terjang KPK dibandingkan dengan lembaga Kepolisian-Kejaksaan. Dari sisi Laporan Keuangan, selama beberapa tahun berturut-turut, KPK selalu mendapatkan predikat Wajar Tanpa Pengecualian. Bandingkan dengan lembaga konvensional sejenis yang selalu mendapatkan predikat disclaimer dan baru tahun terakhir ini mendapatkan Wajar Dengan Pengecualian. Belum lagi kalau dilihat dari sisi sepak terjang penanganan kasus. Lembaga-lembaga ad hoc yang selama ini terpelihara citra dan integritasnya di mata publik selalu terkesan garang dimata media dan mendapat apresiasi positif. Sementara lembaga-lembaga konvensional pada posisi yang sama malah mendapat nilai sebelah mata. Kesan yang muncul adalah kalau KPK yang melakukan pemeriksaan, saksi atau tersangka sudah dicitrakan bersalah oleh publik, sebaliknya kalau diperiksa oleh Polisi dan Jaksa, saksi dan tersangka itu dikesankan sedang dizalimi oleh Polisi-Jaksa.

Sayangnya, kebijakan lembaga konvensional selama ini cenderung menganggap lembaga ad hoc sebagai “saingan” dalam pengertian yang negatif sehingga kebijakan yang muncul adalah Politik kontestasi dan bukan kebijakan keterpaduan. Dalam Politik Kontestasi, secara internal ditanamkan sugesti bahwa “mereka” berbeda dengan “kita”, bahwa “kita” lebih bersih daripada “mereka”,  bahwa sumber daya dan teknologi “kita lebih maju dari “mereka”, bahwa penangkapan anggota “kita” oleh “mereka” bukan karena kesalahan melainkan oleh penjebakan dan kesan mencari-cari alasan. Sedangkan secara eksternal bisa berwujud penanganan kasus oleh “kita” hanya untuk melindungi kepentingan “kita” sendiri.

Pemerintah juga punya andil besar dalam memupuk Politik Kontestasi berkembang dan menyeruak di tengah-tengah lembaga penegak hukum. Pemerintah menyediakan insentif berbeda terhadap hal yang sama. Penyidik dan Jaksa di lembaga konvensional mungkin saja melakukan pekerjaan dengan tingkat kesulitan yang sama. Bahkan dalam beberapa hal resiko yang dihadapi lebih besar. Namun pola kesejahteraan yang diperlakukan tetap saja berbeda. Seorang Penyidik dengan pangkat Ipda atau Jaksa dengan pangkat III/a bergaji kurang dari lima juta rupiah. Bandingkan dengan pangkat yang sama di KPK dapat membawa pulang gaji (take home pay) di atas lima belas juta rupiah. Belum lagi dari sisi kewenangan. KPK tidak terikat dengan rahasia Bank, izin pemeriksaan/penahanan pejabat bahkan berhak memeriksa siapapun tanpa kecuali. Secara bertahap, pola kesejahteraan dan kewenangan yang sama juga harus mulai diberikan pada lembaga-lembaga konvensional agar perbandingan institusi yang dilakukan masyarakat mengesankan perbandingan apple to apple dan tidak sekedar apple to banana.

Politik kontestasi seperti itu harus segera diakhiri, baik oleh Pemerintah maupun oleh lembaga konvensional dan ad hoc itu sendiri. Penting untuk dipahami bahwa musuh bersama adalah korupsi, bukan sesama lembaga pemberantas korupsi. Energi untuk “fight” sesama lembaga penegak hukum harus diarahkan pada pemberantasan tindak pidana secara terintegrasi dan saling mendukung.

2.  Krisis tokoh panutan

Ketiadaan tokoh yang dapat menjadi teladan bagi institusi penegak hukum di negeri ini bukan hanya monopoli suatu institusi tertentu. Kepolisian, Kejaksaan ataupun Peradilan mengalami krisis tokoh yang dapat diteladani. Sampai saat ini di Kepolisian hanya mantan Kapolri Hoegeng Imam Santoso yang ramai diperbincangkan dan dibahas. Demikian pula di Kejaksaan, profil mantan Jaksa Agung yang selalu diwariskan keteladanannya secara turun-temurun hanya mantan Jaksa Agung Suprapto dan Baharuddin Lopa. Demikian pula di Mahkamah Agung yang relatif sering dibahas hanya Prof. Oemar Seno Adjie.

Jalinan kisah tokoh-tokoh yang menjadi panutan itu dipintal oleh benang yang sama. Kesederhanaan, keteguhan pendirian menolak intervensi dan pembenahan institusi tanpa kompromi adalah hal-hal yang menjadi kenangan abadi. Para tokoh itu tidak silau oleh limpahan harta atau godaan nafsu hedonis lainnya. Bahkan pada konteks yang lebih dalam, mereka juga tidak tergiur oleh kekuasaan. Para tokoh itu lebih memilih mewariskan nama besar sebagai ladang pengabdian ketimbang gunungan harta dan sederet jabatan.

Krisis tokoh seperti ini mengindikasikan kerinduan masyarakat pada sosok-sosok penegak hukum yang berintegritas. Masyarakat sudah jenuh dengan sajian drama yang diulas media tentang berbagai permainan kongkalikong antara penegak hukum dengan para pencari keadilan. Sementara di lain sisi, masyarakat belum menemukan tokoh sekaliber mereka yang gigih dan konsen pada upaya penegakan hukum.

Krisis tokoh teladan ini sebenarnya menyisakan lubang dalam sejarah penegakan hukum negeri. Upaya untuk menunjukkan jati diri sebagai tokoh yang bisa dijadikan panutan juga terbuka bagi setiap pelaku penegak hukum. Kesempatan harus dimanfaatkan sebaik mungkin oleh para penegak hukum. Keteladanan itu harus resisten dengan sikap hedonis ataupun penghambaan terhadap kekuasaan. Bahkan juga harus dibarengi dengan keberanian yang selalu siap menjadi martir demi nama baik institusi yang terinternalisasi menjadi falsafah hidup. Kalau nilai-nilai itu kemudian mengkristal dalam diri seorang hamba hukum maka bolehlah kita berharap lahirnya Hoegeng muda, Suprapto muda, Lopa muda atau Oemar Seno Adjie muda.


5 komentar:

  1. saya sepakat kalau persoalan beda perlakuan dari pemerintah terhadap lembaga ad hoc dibandingkan lembaga konvensional menimbulkan kecemburuan bagi lembaga konvnsional namun sayang sekali hal itu digunakan oleh "oknum" lembaga konvensional sebagai kambing hitam atas capaian kinerjanya bukan sebaliknya dijadikan sebagai "cambuk" untuk bisa berlari cepat sehingga bisa tampil didepan dengan muka tegak. apa gunanya sibuk mengkaji dan mencari kekurangan orang lain sementara lupa menoleh kekurangan sendiri, ibarat kata pepatah "kalau ingin cahaya terang perbanyaklah lilinnya dan jangan mematikan lilin orang lain".
    kita semua berdoa agar muncul nantinya orang-orang yang "riil" mewarisi semangat almarhum pak lopa dan pak suprapto dan bukan orang-orang yang "bertopeng" pak lopa tapi tingkah lakunya beda tipis dengan preman pasar... insyaallah satu saat pak ismet akan jadi salah satu dari penerus itu..amin.

    BalasHapus
  2. selalu suka baca tulisan Bung Ismet :D

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. Bung, sebenarnya siapa saja sih yang disebut Lembaga Penegak Hukum? Apakah ada dasar hukum atau teori yang menjelaskan definisi dari Lembaga Penegak Hukum?

    BalasHapus
  5. sepertinya ada baiknya kita pahami dulu undang2, ad/art negara ini sebelum berkomentar. biar komentar kita terdengar masuk akal dan bisa di realisasikan. negara pintar harus memiliki masyarakat yg pintar juga. yuk teman2 kita benahi diri dulu dalam2..

    BalasHapus