Prof. Topo Santoso, pernah
menulis buku bagus tentang relasi Jaksa dan Polisi berjudul : “ Polisi dan Jaksa, keterpaduan atau
pergulatan”. Buku itu membahas sejumlah hal yang selama ini menjadi titik taut
yang mengulur dan menegang dalam koordinasi Kejaksaan dan Kepolisian.
Gbr oleh Allacronyms |
Salah satu hal yang mungkin belum
tercover dalam buku itu berkaitan dengan penyerahan Surat Pemberitahuan
Dimulainya Penyidikan (SPDP) dan Penyerahan Berkas Perkara. Dalam tradisi di Kepolisian
sebagaimana diatur dalam KUHAP, ketika penyidik mulai melakukan penyidikan
suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu
kepada penuntut umum (Pasal 109 ayat (1)).
Selanjutnya dalam hal penyidikan
selesai, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut
umum (Pasal 110 ayat (1)) untuk kemudian
diperiksa oleh Penuntut Umum dan bila berkas perkara tersebut belum lengkap
maka penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai
petunjuk untuk dilengkapi (Pasal 110 ayat (2))
Setelah lewat 14 hari sejak
pengembalian berkas beserta petunjuk dan Penyidik belum juga mengembalikan
berkas perkara maka penyidikan telah dianggap selesai dan Penuntut Umum meminta
agar berkas perkara diserahkan kembali;
Dalam praktek, upaya itu
seringkali tidak membuat Penyidik menyerahkan berkas perkara sehingga Penuntut
Umum mengeluarkan P-20 atau Pemberitahuan bahwa waktu perbaikan berkas
penyidikan telah selesai. Kalau P-20
inipun tidak membuat penyidik tergerak untuk menyerahkan berkas maka dalam
waktu 30 hari setelah pengiriman P-20, Penuntut Umum akan mengembalikan berkas
perkara kepada penyidik.
Nah, sampai disini mestinya tidak
ada masalah. Namun yang terjadi adalah Penyidik akan mengeluarkan SPDP baru
dengan nomor dan tanggal yang baru menyampaikan bahwa beberapa bulan lalu,
penyidik telah mulai melakukan penyidikan. Dari pengalaman yang terdahulu,
banyak Penuntut Umum ketika membandingkan berkas perkara (berdasar SPDP baru)
dengan petunjuk P-19 lama ternyata tidak ada perubahan sama sekali.
Saya pernah mencari tahu kepada beberapa
penyidik yang pernah melakukan hal serupa dan jawabannya sangat mencengangkan.
Menurut mereka, sikap dan pendapat Penuntut Umum seringkali tidak sama. Mereka
telah melakukan pemetaan ada Penuntut Umum yang teliti dan detail, namun juga
banyak Penuntut Umum yang percaya saja dengan berkas penyidik.
Pengiriman SPDP baru untuk
perkara yang pernah dikembalikan Penuntut Umum diharapkan oleh penyidik akan
jatuh ke tangan Penuntut Umum yang tidak detail sehingga berkas perkara dapat
segera dinyatakan lengkap alias di P-21. Kalau hal itu terjadi maka Penyidik
akan sangat girang karena terlepas dari kewajiban penghentian perkara;
Bagi Kejaksaan, hal itu mengesankan
bahwa ilmu dan sikap Penuntut Umum memang rawan berbeda dan mudah di
kotak-kotakkan. Maka yang terjadi adalah sesama Jaksa dapat dengan mudah
memberi penilaian berbeda terhadap suatu kasus meskipun pola pikir dan ilmu
yang dimiliki bersumber dari diklat yang sama.
Kejaksaan sebenarnya memiliki
penangkal di bagian Pra Penuntutan dengan mengaktifkan data base sistem
pencatatan kriminal atau dikenal sebagai statistik kriminal. Pegawai di bagian itu
harus memiliki data base rekam jejak pelaku kejahatan yang pernah ditangani
Kejaksaan sehingga ketika berkas perkara SPDP baru masuk, data itu langsung
diperhadapkan dengan sistem pencatatan yang ada.
Bilamana ditemukan berkas itu
ternyata baru tapi lama, maka Staf bidang Pratut tersebut melaporkan kepada
pimpinan. Bilamana Penuntut Umumnya telah ditunjuk maka Penuntut Umum baru itu
dengan mudah mengcopy ulang petunjuk dari berkas lama dan dikembalikan kepada
Penyidik. Skak mat !!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar