Persidangan perkara
pembunuhan berencana dengan Terdakwa JKW beberapa jam lagi akan memasuki fase
baru. Penuntut Umum akan mendapat kesempatan membacakan surat tuntutan. Proses
jawab menjawab secara tertulis kembali terjadi. Bola panas itu akan bergulir
sebelum berhenti pada ketokan palu sang pengadil.
Banyak pelajaran dan hikmah
yang dapat dipetik dari persidangan yang benar-benar “terbuka” untuk umum itu.
Bak proses dan tata cara (hukum acara) maupun hal-hal yang merupakan substansi
materi perkara. Salah satu yang menjadi pokok bahasan ramai dikalangan
masyarakat dan akademis adalah berkaitan dengan motif atau motivasi
dilakukannya suatu tindak pidana
Perdebatan itu bermula dari
keterangan Prof. Edward Hiariej yang mengatakan bahwa ajaran yang mengharuskan
motif harus dibuktikan dalam suatu persidangan adalah ajaran yang sesat.
Siapapun yang berpendapat bahwa motif wajib dibuktikan dalam oleh Penuntut Umum
sebaiknya belajar kembali proses perumusan Pasal 340 KUHP (dulu Wetboek van
Straafrecht).
Gayung bersambut, meskipun
tidak berpijak pada suatu teori tertentu, Prof. Mudzakkir, Ahli yang dihadirkan
Penasihat Hukum berpendapat sebaliknya. Unsur ”dengan direncanakan terlebih
dahulu” mengandung pemahaman bahwa motif mutlak dibuktikan. Dengan tidak
membuktikan motif, maka unsur itu akan kehilangan makna;
Ahli yang pertama mengawali
pembuktian dengan niat. Niatlah yang menjadi garis pembatas mulainya upaya
membuktikan dakwaan. Sedangkan ahli yang kedua menarik pembuktian lebih ke
belakang dengan mencari suatu keadaan/kondisi yang kemudian melahirkan niat.
Keadaan atau kondisi itulah yang dimaksudkannya sebagai “motif”.
Akademisi Universitas
Indonesia Eva Achyani juga sempat menyinggung soal motif ini. Menurut beliau,
kalau perbuatan pidana atau tindak pidana merupakan domain para ahli hukum
pidana maka “motif” sesungguhnya merupakan ranah para kriminolog.
Ya, “motif” sesungguhnya
adalah diksi dalam kriminologi, suatu ilmu pengetahuan yang bertujuan
menyelidiki gejala kejahatan dalam arti seluas-luasnya, kata Bonger. Dengan
demikian, definisi dan pencarian motif tidak dapat dilakukan oleh para ahli
hukum pidana melainkan oleh para kriminolog yang dihadirkan di persidangan.
Alih-alih mencari motif perbuatan yang sesungguhnya dilakukan Terdakwa,
persidangan malah berkembang pada wilayah semantik yang membahas perlu tidaknya
motif dibuktikan.
Sebagai istilah dalam
kriminologi, penjelasan tentang “motif” harus ditelusuri pada
literatur-literatur kriminologi. Menurut Miethe dan McCorkle, perselisihan atau
konflik antara pribadi yang mengarah kepada pembunuhan dan penganiayaan umumnya
memiliki beberapa ciri, yaitu, pertama, berbagai perselisihan antarpribadi ini
seringkali memiliki sejarah yang panjang dan mungkin meledak menjadi kekerasan
di bawah kondisi tertentu. Kedua, para korban memainkan peranan yang aktif
dalam terciptanya perselisihan antar pribadi (Eko Hariyanto : 2014)
Luckenbill |
1. Langkah pembukaan dalam interaksi. Tahap ini
merupakan suatu peristiwa yang dilakukan oleh korban dan kemudian didefinisikan
oleh pelaku sebagai suatu serangan terhadap “harga diri” atau kehormatannya;
2.
Pelaku menafsirkan makna tindakan yang
dilakukan korban. Berlandaskan pada penafsiran tersebut kemudian pelaku membuat
rencana tindakan untuk melakukan pembalasan;
3.
Tindakan nyata yang dimulai pelaku dalam
merespon provokasi korban demi menyelamatkan harga diri atau kehormatannya.
Provokasi korban, baik berupa penghinaan maupun serangan fisik dapat
menimbulkan respon yang sangat beragam dari pelaku. Keberagaman respon dari
pelaku ini sangat dipengaruhi oleh interpretasi situasi yang terlintas dalam
benak pelaku dan rencana tindakan yang dirumuskannya kemudian;
4.
Korban berada dalam posisi yang problematik
dan penuh resiko, apakah berdiri tegak untuk menantang pelaku dan menunjukkan
karakternya ataukah meminta maaf, menghentikan kelakuannya ataukah melarikan
diri dan menarik kata-katanya;
5.
Pelaku dan korban tampak terlibat dalam
pertarungan setelah tahap sebelumnya mereka sepakat (eksplisit maupun implisit)
untuk menyelesaikan perselisihan diantara mereka dengan menggunakan kekerasan
fisik. Jadi,baik pelaku maupun korban sama-sama menyumbang kepada dan memiliki
andil dalam perkembangan interaksi yang amat penting tersebut;
6.
Tahapan penutup dimana ketika korban roboh,
pelaku melakukan salah satu dari ketiga tindakan yang menandai berakhirnya
interaksi, yaitu pelaku meninggalkan lokasi kejadian, pelaku secara sukarela
tinggal di lokasi kejadian menunggu polisi atau pelaku dipaksa tinggal menunggu
polisi oleh audiens; (Eko Hariyanto : 2014)
Tentu saja tahapan-tahapan
tersebut dapat disimpangi oleh pelaku. Dalam beberapa kasus, tahapan pertama
sampai ketiga terjadi lalu melompat ke tahap keenam. Keragaman variabel dapat
terjadi sehingga mematok satu varibel sebagai penyebab utama sesungguhnya hanya
membuat simplifikasi belaka;
Dalam praktek, motif selalu
menjadi bagian dari proses penggalian ada atau tidaknya perbuatan pidana. Motif
yang tidak terungkap dalam persidangan akan menguntungkan Penasihat Hukum yang
dapat menjadikannya sebagai daliluntuk membebaskan kliennya. Bagi Penuntut
Umum,motif yang tidak dapat dibuktikan dapat dikesampingkan dan selanjutnya
fokus pada perbuatan pidana yang dilakukan.
Namun demikian, ketika
motif terungkap, sisi Penuntut Umum dan Penasihat Hukum berbeda sikap dalam
memahaminya. Bagi Penasihat Hukum, motif yang telah mengemuka akan digunakan untuk
meringankan perbuatan pidana yang dilakukan kliennya. Sebaliknya bagi Penuntut
Umum, motif seringkali menjadi faktor yang dianggap tidak lebih penting
ketimbang membuktikan sikap batin dan kesempurnaan perbuatan.
Adakah perbuatan yang tidak
dilandasi motif ? Rasanya hampir tidak ada perbuatan pidana yang tidak memiliki
motif. Meskipun demikian, karena yang dipersalahkan dalam suatu hukum pidana adalah
perbuatan pelaku maka perbuatan si pelaku inilah yang dipakai untuk mencocokan
rumusan pasal yang didakwakan. Atas dasar itulah banyak pelaku yang
menyembunyikan motif/alasannya melakukan perbuatan pidana sehingga sampai
dengan berakhirnya persidangan, banyak motif yang tidak dapat diungkap.
Seorang pencuri yang
mencuri dengan alasan untuk memberi nafkah anaknya, dapat dengan mudah
menyembunyikan motifnya. Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim seringkali abai
menggali hal ini dan lebih membenarkan kuasa pikiran yang bertahta di otak
mereka masing-masing bahwa manusia adalah makhluk hedonis yang lebih
mementingkan kesenangan/hura-hura. Bahkan kalaupun kesenangan itu harus didanai
dengan uang hasil curian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar