Selasa, 04 Oktober 2016

Motif dalam suatu Perbuatan Pidana



Persidangan perkara pembunuhan berencana dengan Terdakwa JKW beberapa jam lagi akan memasuki fase baru. Penuntut Umum akan mendapat kesempatan membacakan surat tuntutan. Proses jawab menjawab secara tertulis kembali terjadi. Bola panas itu akan bergulir sebelum berhenti pada ketokan palu sang pengadil.

Banyak pelajaran dan hikmah yang dapat dipetik dari persidangan yang benar-benar “terbuka” untuk umum itu. Bak proses dan tata cara (hukum acara) maupun hal-hal yang merupakan substansi materi perkara. Salah satu yang menjadi pokok bahasan ramai dikalangan masyarakat dan akademis adalah berkaitan dengan motif atau motivasi dilakukannya suatu tindak pidana

Perdebatan itu bermula dari keterangan Prof. Edward Hiariej yang mengatakan bahwa ajaran yang mengharuskan motif harus dibuktikan dalam suatu persidangan adalah ajaran yang sesat. Siapapun yang berpendapat bahwa motif wajib dibuktikan dalam oleh Penuntut Umum sebaiknya belajar kembali proses perumusan Pasal 340 KUHP (dulu Wetboek van Straafrecht).

Gayung bersambut, meskipun tidak berpijak pada suatu teori tertentu, Prof. Mudzakkir, Ahli yang dihadirkan Penasihat Hukum berpendapat sebaliknya. Unsur ”dengan direncanakan terlebih dahulu” mengandung pemahaman bahwa motif mutlak dibuktikan. Dengan tidak membuktikan motif, maka unsur itu akan kehilangan makna;

Ahli yang pertama mengawali pembuktian dengan niat. Niatlah yang menjadi garis pembatas mulainya upaya membuktikan dakwaan. Sedangkan ahli yang kedua menarik pembuktian lebih ke belakang dengan mencari suatu keadaan/kondisi yang kemudian melahirkan niat. Keadaan atau kondisi itulah yang dimaksudkannya sebagai “motif”.

Akademisi Universitas Indonesia Eva Achyani juga sempat menyinggung soal motif ini. Menurut beliau, kalau perbuatan pidana atau tindak pidana merupakan domain para ahli hukum pidana maka “motif” sesungguhnya merupakan ranah para kriminolog.

Ya, “motif” sesungguhnya adalah diksi dalam kriminologi, suatu ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan dalam arti seluas-luasnya, kata Bonger. Dengan demikian, definisi dan pencarian motif tidak dapat dilakukan oleh para ahli hukum pidana melainkan oleh para kriminolog yang dihadirkan di persidangan. Alih-alih mencari motif perbuatan yang sesungguhnya dilakukan Terdakwa, persidangan malah berkembang pada wilayah semantik yang membahas perlu tidaknya motif dibuktikan.

Sebagai istilah dalam kriminologi, penjelasan tentang “motif” harus ditelusuri pada literatur-literatur kriminologi. Menurut Miethe dan McCorkle, perselisihan atau konflik antara pribadi yang mengarah kepada pembunuhan dan penganiayaan umumnya memiliki beberapa ciri, yaitu, pertama, berbagai perselisihan antarpribadi ini seringkali memiliki sejarah yang panjang dan mungkin meledak menjadi kekerasan di bawah kondisi tertentu. Kedua, para korban memainkan peranan yang aktif dalam terciptanya perselisihan antar pribadi (Eko Hariyanto : 2014)

   
Luckenbill
Dalam sebuah riset, David F Luckenbill menemukan fakta bahwa peristiwa pembunuhan kriminal itu merupakan puncak dari interaksi yang kuat antara pelaku dan korban. Menurut Luckenbill, interaksi yang berakhir dengan pembunuhan itu umumnya melewati 6 tahapan yaitu : 
     1.    Langkah pembukaan dalam interaksi. Tahap ini merupakan suatu peristiwa yang dilakukan oleh korban dan kemudian didefinisikan oleh pelaku sebagai suatu serangan terhadap “harga diri” atau kehormatannya;
     2.    Pelaku menafsirkan makna tindakan yang dilakukan korban. Berlandaskan pada penafsiran tersebut kemudian pelaku membuat rencana tindakan untuk melakukan pembalasan;
     3.    Tindakan nyata yang dimulai pelaku dalam merespon provokasi korban demi menyelamatkan harga diri atau kehormatannya. Provokasi korban, baik berupa penghinaan maupun serangan fisik dapat menimbulkan respon yang sangat beragam dari pelaku. Keberagaman respon dari pelaku ini sangat dipengaruhi oleh interpretasi situasi yang terlintas dalam benak pelaku dan rencana tindakan yang dirumuskannya kemudian;
        4.    Korban berada dalam posisi yang problematik dan penuh resiko, apakah berdiri tegak untuk menantang pelaku dan menunjukkan karakternya ataukah meminta maaf, menghentikan kelakuannya ataukah melarikan diri dan menarik kata-katanya;
       5.    Pelaku dan korban tampak terlibat dalam pertarungan setelah tahap sebelumnya mereka sepakat (eksplisit maupun implisit) untuk menyelesaikan perselisihan diantara mereka dengan menggunakan kekerasan fisik. Jadi,baik pelaku maupun korban sama-sama menyumbang kepada dan memiliki andil dalam perkembangan interaksi yang amat penting tersebut;
       6.    Tahapan penutup dimana ketika korban roboh, pelaku melakukan salah satu dari ketiga tindakan yang menandai berakhirnya interaksi, yaitu pelaku meninggalkan lokasi kejadian, pelaku secara sukarela tinggal di lokasi kejadian menunggu polisi atau pelaku dipaksa tinggal menunggu polisi oleh audiens; (Eko Hariyanto : 2014)

Tentu saja tahapan-tahapan tersebut dapat disimpangi oleh pelaku. Dalam beberapa kasus, tahapan pertama sampai ketiga terjadi lalu melompat ke tahap keenam. Keragaman variabel dapat terjadi sehingga mematok satu varibel sebagai penyebab utama sesungguhnya hanya membuat simplifikasi belaka;

Dalam praktek, motif selalu menjadi bagian dari proses penggalian ada atau tidaknya perbuatan pidana. Motif yang tidak terungkap dalam persidangan akan menguntungkan Penasihat Hukum yang dapat menjadikannya sebagai daliluntuk membebaskan kliennya. Bagi Penuntut Umum,motif yang tidak dapat dibuktikan dapat dikesampingkan dan selanjutnya fokus pada perbuatan pidana yang dilakukan.

Namun demikian, ketika motif terungkap, sisi Penuntut Umum dan Penasihat Hukum berbeda sikap dalam memahaminya. Bagi Penasihat Hukum, motif yang telah mengemuka akan digunakan untuk meringankan perbuatan pidana yang dilakukan kliennya. Sebaliknya bagi Penuntut Umum, motif seringkali menjadi faktor yang dianggap tidak lebih penting ketimbang membuktikan sikap batin dan kesempurnaan perbuatan.

Adakah perbuatan yang tidak dilandasi motif ? Rasanya hampir tidak ada perbuatan pidana yang tidak memiliki motif. Meskipun demikian, karena yang dipersalahkan dalam suatu hukum pidana adalah perbuatan pelaku maka perbuatan si pelaku inilah yang dipakai untuk mencocokan rumusan pasal yang didakwakan. Atas dasar itulah banyak pelaku yang menyembunyikan motif/alasannya melakukan perbuatan pidana sehingga sampai dengan berakhirnya persidangan, banyak motif yang tidak dapat diungkap.

Seorang pencuri yang mencuri dengan alasan untuk memberi nafkah anaknya, dapat dengan mudah menyembunyikan motifnya. Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim seringkali abai menggali hal ini dan lebih membenarkan kuasa pikiran yang bertahta di otak mereka masing-masing bahwa manusia adalah makhluk hedonis yang lebih mementingkan kesenangan/hura-hura. Bahkan kalaupun kesenangan itu harus didanai dengan uang hasil curian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar