Minggu, 04 September 2016

Pelajaran Para Terpidana



Saya mengoleksi setidaknya 3 (tiga) buah buku bagus tentang para pejabat yang kemudian menjadi Nara Pidana. Ketiganya menceritakan hal-hal menarik yang berkaitan dengan alasan atau penyebab mereka harus masuk bui. Dari judulnya saja sudah terlihat seperti apa refleksi mereka terhadap kehidupan di belakang;

Buku pertama berjudul “Cermin Miranda : Cerita dari Rutan KPK”. Dari judulnya saja kita sudah bisa menebak siapa yang menjadi topik pembicaraan. Ya, dia adalah Miranda Swaray Goeltom, mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia yang terjerat kasus cek pelawat. Penyidikan dan penuntutannya dilaksanakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Buku yang ditulis oleh Rustika Herlambang ini adalah salah satu favorit saya. Kisah didalamnya mengisahkan penuturan langsung Miranda dengan menggunakan frasa orang pertama tunggal. Isi buku ini tidak hanya bercerita kebenaran perkara versi Miranda, melainkan lebih banyak mengulas sisi kepribadian, perasaan dan harapan-harapan Miranda. Pembaca akan diajak masuk, bersimpati dan berempati terhadap kehidupan seorang Miranda.  

Terhadap perkaranya, Miranda menulis : Adalah kenyataan bahwa ada cek pelawat..., Adalah kenyataan aku dicalonkan sebagai salah satu calon DGS BI, Adalah kenyataan aku diundang dan mengundang bertemu dengan dua fraksi DPR RI..., Adalah kenyataan bahwa aku mengikuti fit and proper test..., Adalah kenyataan bahwa aku terpilih secara mayoritas, Adalah kenyataan bahwa aku adalah calon yang paling senior....Namuun, fakta-fakta tersebut tidaklah serta merta dapat menjadikan aku bersalah dalam perkara ini (hal. 369)

Buku kedua adalah sebabak kehidupan mantan bankir Bank Mandiri, Edward Cornelis William Neloe atau lebih dikenal sebagai ECW Neloe. Buku yang berjudul “Pemberian Kredit Bank menjadi Tindak Pidana Korupsi” ini hakekatnya merupakan skripsi Neloe ketika menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Bung Karno tahun 2012. Apresiasi tinggi patut diberikan kepada Neloe yang setelah menghadapi perkaranya dipengadilan, memutuskan untuk mengangkatnya kembali dalam suatu kajian akademis dalam bentuk skripsi sehingga setiap orang dapat dengan mudah membaca, menganalisis dan berpendapat.

Sekedar informasi, perkara Neloe disidik dan dilakukan oleh penuntutannya oleh Penyidik dan Penuntut Umum pada Kejaksaan. Di Peradilan tingkat pertama, Neloe diputus bebas namun Penuntut Umum mengajukan upaya hukum kasasi dan di tingkat MA tersebut, Neloe diputus bersalah.

Dalam buku itu, Neloe mengajukan pertanyaan penelitian tentang pertanggungjawaban pengurus apabila terjadi kredit macet serta proses kriminalisasi dalam suatu pemberian kredit dalam aspek perdata sehingga menjadi tindak pidana. Menurut Neloe, pertanggungjawaban pengurus apabila terjadi kredit macet menurut hukum perdata dan UU Perseroan Terbatas adalah tanggung jawab, tetapi jika kerugian yang timbul adalah karena kesalahannya maka tanggung jawab direksi sampai pada harta kekayaan pribadi masing-masing direksi secara tanggung renteng, bukan tanggung jawab pidana korupsi (hal. 225)

Tentu saja analisis yang dikemukakan Neloe adalah versi Neloe sendiri. Namun demikian sebagai bahan bacaan untuk memperkaya pemahaman tentang kredit macet yang beralih menjadi tindak pidana korupsi, buku ini layak masuk kategori “recommended”

Buku terakhir yang juga sangat menarik adalah buku yang berjudul, “Hukum Tanpa Takaran : Penjara korupsi bagi Korban Penipuan”. Buku ini ditulis oleh seorang Hotasi Nababan, mantan Direktur Merpati Nusantara Airlines (MNA). Buku ini sangat menarik karena secara gamblang menceritakan pengalaman pribadi penulisnya ketika perkara ini mulai timbul dan kemudian meledak. Ada bagian yang sangat menarik ketika Hotasi mengungkapkan bahwa terhadap perkaranya ini, setidaknya tiga lembaga pernah menyatakan “clear” dan tidak ada unsur tipikornya.  Ketiga lembaga itu adalah KPK, Bareskrim Polri dan BPK. Anehnya ketika tim Pidsus Kejagung turun, ditemukan unsur tindak pidana korupsinya.

Dari judul buku itu, Hotasi mengungkapkan betapa hukum adalah sesuatu yang dapat dirasakan, baikoleh masyarakat maupun pihak terkait. Hukum seharusnya dapat ditakar. Hotasi juga mengungkapkan pesan-pesannya kepada Presiden Jokowi, yaitu : Jangan biarkan kriminalisasi keputusan BUMN, Stop kewenangan Jaksa, Jangan mencari pencitraan dalam pemberantasan korupsi, Pemisahan aset BUMN dari negara, Kendalikan penegak hukum, Teladan tolak korupsi dan Hukum bukan alat kekuasaan (hal. 261-264).

Ketiga mantan pejabat publik tersebut adalah orang-orang hebat yang tersandung perkara. Secara pribadi mereka adalah putra-putri terbaik bagi diri dan keluarganya. Kita yang tidak mengikuti persidangan mungkin saja tidak dapat memilah siapa yang benar dan siapa yang salah. Tetapi sebagai bahan pembelajaran, karya ketiga orang tersebut dapat memperluas wawasan sembari memperhalus nurani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar