“Pemberantasan Korupsi : Siti
Fadilah ditahan KPK”. Judul berita hr. KOMPAS edisi Selasa 25 Oktober 2016
akhirnya menjadi episode baru “drama” yang melibatkan SFS, Menteri Kesehatan
periode 2004-2009;
Kasus tersebut bermula dari Penyidikan
Maret 2013 oleh Mabes Polri yang menetapkan SFS sebagai tersangka pengadaan
alat kesehatan untuk kebutuhan antisipasi kondisiluar biasa masalah kesehatan
akibat bencana di Kemenkes. Setahun kemudian atau April 2014, perkara tersebut
dilimpahkan ke KPK dan pada 24 Oktober 2016 kemarin, SFS dikenakan tindakan
penahanan.
Kasus SFS ini mengajarkan beberapa
hal pada pemerhati hukum tanah air. Pertama, perkara ini memberikan contoh
bagaimana suatu perkara diambil alih oleh KPK. Perkara ini sebelumnya ditangani
oleh Mabes Polri dan berkas perkaranya sempat bolak-balik ke Kejaksaan namun
tidak kunjung di P-21.
Tentu saja kita berprasangka baik
bahwa bolak-baliknya berkas perkara itu karena ada unsur yuridis yang tidak
terpenuhi dalam proses koordinasi. Kalau kemudian KPK mengambil alih perkara,
itu memang dimungkinkan sesuai Pasal 8 ayat (2) UU No. 30 tahun 2002 tentang
KPK :
Dalam
melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Pemberantasan
Korupsi berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap
pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau
kejaksaan.
Sudah umum diketahui bahwa dalam
suatu institusi, kewenangan untuk melanjutkan atau menghentikan perkara selalu
berada di tangan pimpinan. Oleh karenanya, saya seringkali tersenyum kalau
menyaksikan pucuk pimpinan lembaga yang anggotanya sedang melaksanakan
penyidikan berucap, “kita serahkan pada penyidik” atau “tergantung bagaimana
alat bukti itu dianalisa oleh penyidik” atau bahkan “kewenangan penahanan ya
terserah pada penyidik”. Bagi orang yang paham, semua proses-proses itu selalu
bermuara pada pimpinan. Pimpinanlah yang memberikan kata putus, dilanjutkan
atau ditahan atau mungkin dihentikan perkaranya;
Pelajaran kedua yang penting
dalam kasus SFS ini adalah bagaimana nasib seorang warga negara terombang-ambing
menunggu kepastian hukum yang tidak jelas. Seseorang yang ditetapkan sebagai
tersangka akan mengalami perubahan ritme hidup. Rasa cemas, takut, gelisah,
kecewa, sedih atau khawatir bercampur jadi satu. Dalam konteks seperti itu,
kematian akan terasa sangat dekat. Itulah yang kemudian bermuara pada penyakit
mendadak, bahkan bunuh diri bagi mereka yang bingung atau tidak kuat iman.
Dalam perkara SFS, sejak
ditetapkan sebagai tersangka tahun 2013, beliau relatif menghilang dari
ruang-ruang publik. Seorang dokter cemerlang dengan latar belakang akademik
yang mengagumkan harus terpuruk dalam kesendirian karena bayang-bayang
tersangka yang dilekatkan pada sekujur tubuhnya.
Tanpa mencampuri proses formil
dan materil, penetapan tersangka bagi seseorang harus memiliki batas yang
tegas. Institusi penegak hukum tidak boleh menzalimi seseorang. Tidak seorangpun
harus dikekang kehidupannya dengan pelabelan apapun itu. Pada titik ini, saya
teringat puisi “NAMA” yang ditulis oleh KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) secara
singkat. “Pertama-tama mereka memberiku nama. Lalu dengan nama itu mereka
mengikat tangan dan kakiku”
Prosedur Standar Operasi (SOP)
pada lembaga-lembaga penegak hukum terutama KPK harus diperbaiki. Kita sayang
KPK tapi kita juga tidak ingin KPK menyiksa orang lain dalam penantian yang
tidak berkesudahan. Mungkin ke depan dapat diakomodir adanya penyidikan yang
tidak perlu berulang tahun. Karena KPK tidak mengenal SP3, penetapan tersangka
atau pengambilalihan kasus harus mempertimbangkan estimasi kemampuan dan waktu
yang diperlukan.
Foto : PosKotaNews |
Ada gurat kesedihan yang sangat
dalam pada wajah dan bibir SFS ketika digelandang keluar dari gedung KPK. Bayangkan
kalau ia ibu, saudara atau keluarga kita. Dengan emosi dan gemetar ia berkata :
“Yah, akhirnya setelah lima tahun mengejar-ngejar saya, dia berhasil walaupun
dengan satu hal yang sangat tidak adil”
Siapakah “dia” ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar