Senin, 24 Oktober 2016

SFS dan SOP yang abai



“Pemberantasan Korupsi : Siti Fadilah ditahan KPK”. Judul berita hr. KOMPAS edisi Selasa 25 Oktober 2016 akhirnya menjadi episode baru “drama” yang melibatkan SFS, Menteri Kesehatan periode 2004-2009;

Kasus tersebut bermula dari Penyidikan Maret 2013 oleh Mabes Polri yang menetapkan SFS sebagai tersangka pengadaan alat kesehatan untuk kebutuhan antisipasi kondisiluar biasa masalah kesehatan akibat bencana di Kemenkes. Setahun kemudian atau April 2014, perkara tersebut dilimpahkan ke KPK dan pada 24 Oktober 2016 kemarin, SFS dikenakan tindakan penahanan.

Kasus SFS ini mengajarkan beberapa hal pada pemerhati hukum tanah air. Pertama, perkara ini memberikan contoh bagaimana suatu perkara diambil alih oleh KPK. Perkara ini sebelumnya ditangani oleh Mabes Polri dan berkas perkaranya sempat bolak-balik ke Kejaksaan namun tidak kunjung di P-21.

Tentu saja kita berprasangka baik bahwa bolak-baliknya berkas perkara itu karena ada unsur yuridis yang tidak terpenuhi dalam proses koordinasi. Kalau kemudian KPK mengambil alih perkara, itu memang dimungkinkan sesuai Pasal 8 ayat (2) UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK :

Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.

Sudah umum diketahui bahwa dalam suatu institusi, kewenangan untuk melanjutkan atau menghentikan perkara selalu berada di tangan pimpinan. Oleh karenanya, saya seringkali tersenyum kalau menyaksikan pucuk pimpinan lembaga yang anggotanya sedang melaksanakan penyidikan berucap, “kita serahkan pada penyidik” atau “tergantung bagaimana alat bukti itu dianalisa oleh penyidik” atau bahkan “kewenangan penahanan ya terserah pada penyidik”. Bagi orang yang paham, semua proses-proses itu selalu bermuara pada pimpinan. Pimpinanlah yang memberikan kata putus, dilanjutkan atau ditahan atau mungkin dihentikan perkaranya;

Pelajaran kedua yang penting dalam kasus SFS ini adalah bagaimana nasib seorang warga negara terombang-ambing menunggu kepastian hukum yang tidak jelas. Seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka akan mengalami perubahan ritme hidup. Rasa cemas, takut, gelisah, kecewa, sedih atau khawatir bercampur jadi satu. Dalam konteks seperti itu, kematian akan terasa sangat dekat. Itulah yang kemudian bermuara pada penyakit mendadak, bahkan bunuh diri bagi mereka yang bingung atau tidak kuat iman.

Dalam perkara SFS, sejak ditetapkan sebagai tersangka tahun 2013, beliau relatif menghilang dari ruang-ruang publik. Seorang dokter cemerlang dengan latar belakang akademik yang mengagumkan harus terpuruk dalam kesendirian karena bayang-bayang tersangka yang dilekatkan pada sekujur tubuhnya.

Tanpa mencampuri proses formil dan materil, penetapan tersangka bagi seseorang harus memiliki batas yang tegas. Institusi penegak hukum tidak boleh menzalimi seseorang. Tidak seorangpun harus dikekang kehidupannya dengan pelabelan apapun itu. Pada titik ini, saya teringat puisi “NAMA” yang ditulis oleh KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) secara singkat. “Pertama-tama mereka memberiku nama. Lalu dengan nama itu mereka mengikat tangan dan kakiku”

Prosedur Standar Operasi (SOP) pada lembaga-lembaga penegak hukum terutama KPK harus diperbaiki. Kita sayang KPK tapi kita juga tidak ingin KPK menyiksa orang lain dalam penantian yang tidak berkesudahan. Mungkin ke depan dapat diakomodir adanya penyidikan yang tidak perlu berulang tahun. Karena KPK tidak mengenal SP3, penetapan tersangka atau pengambilalihan kasus harus mempertimbangkan estimasi kemampuan dan waktu yang diperlukan.

Foto : PosKotaNews
Ada gurat kesedihan yang sangat dalam pada wajah dan bibir SFS ketika digelandang keluar dari gedung KPK. Bayangkan kalau ia ibu, saudara atau keluarga kita. Dengan emosi dan gemetar ia berkata : “Yah, akhirnya setelah lima tahun mengejar-ngejar saya, dia berhasil walaupun dengan satu hal yang sangat tidak adil”

Siapakah “dia”  ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar