Selasa, 03 Juli 2012

Konflik dan Rusuh di Euro 2012


foto-foto : REUTER

Pagelaran Piala Eropa 2012 di Polandia-Ukraina menyisakan sejumlah persoalan mendasar yang harus segera disikapi oleh para pejabat pemerintah dan otoritas sepak bola eropa, khususnya yang berkaitan dengan kerusuhan oleh suporter. Kerusuhan di Piala Eropa 2012 boleh jadi adalah kerusuhan yang variatif dari segi kuantitas dan kualitas. Mulai dari bentrok sesama suporter, suporter melawan aparat keamanan, penemuan simbol-simbol neo nazi, rasisme hingga perusakan fasilitas publik. Orang lain mungkin dengan gampang berdalih bahwa kerusuhan suporter adalah suatu faktor pengiring dari hingar bingar sepakbola manapun. Mungkin juga dengan kalimat bahwa kerusuhan bisa terjadi kapanpun dalam jagat sepak bola, tanpa direkayasa atau dikehendaki.

Namun, persoalannya tidak sesederhana itu. Di Eropa, benua yang konon dianggap sebagai benuanya orang terpelajar, melakukan suatu kekerasan atau kejahatan adalah sesuatu yang dianggap diluar kebiasaan. Apalagi kalau kejahatan itu dilakukan terhadap pemerintah sebagai simbol-simbol negara. Bahkan yang tidak kalah mengenaskan, kejahatan itu dilakukan untuk dan atas nama sesuatu yang dikenal sebagai sejarah kelam eropa (holocaust). Berbagai persoalan itu memantik rasa ingin tahu tentang apa yang sedang terjadi di belahan benua biru tersebut dan bagaimana menjelaskan persoalan itu dari sisi hukum dan ketertiban masyarakat (law and order).

Menariknya, kekerasan yang terjadi selama Euro 2012 selalu terjadi  ketika suporter sedang berada berkumpul dalam jumlah besar (massa).  Dalam kondisi demikian sebenarnya berlakulah apa yang disebut sebagai mentalitas kerumunan (crowd mentality).  Menurut James B. Rule, kekerasan sebagai produk irasional adalah kondisi tercerabutnya perilaku dari tatanan normatif yang sering terjadi dalam situasi kerumunan. Situasi kerumunan melahirkan mentalitas kerumunan (crowd mentality) yang mendorong para individu di dalamnya berperilaku liar hewaniah, tanpa kendali dan merebaknya isu-isu yang tidak jelas dalam kerumunan (Novri Susan, 2012). Mentalitas kerumunan memaksa orang untuk berbuat “nekat” dan mengabaikan nilai-nilai pengikat ketertiban (norma). Dalam kondisi demikian, massa menanggalkan norma kepantasan, kesusilaan, agama ataupun hukum. Secara psikoligi, orang-orang akan menggunakan pemikiran yang dicirikan oleh semangat keberanian yang bersesuaian dengan politik identitas.

Identitas merupakan pendefinisian terhadap diri dan kelompok yang direpresentasikan melalui beragam bahasa simbolis seperti pakaian, kesenian, kata-kata, nama dan bendera yang selalu dimaknai adiluhung. Bahasa simbolis tersebut memiliki sifat dasar sosial dalam bentuk ingin diakui (recognized) dan sekaligus dipertahankan (defended). Franke Wilmer dalam The Social Construction of Man, State and War menyebut sifat-sifat bahasa simbolis dari identitas tersebutlah yang mampu menciptakan kerentanan konflik (conflict vulnerability). Pada kondisi yang mana berbagai sifat bahasa simbolis identitas beredar, berbagai kelompok dan sistem sosial seharusnya mampu mengakomodasi secara kreatif jika tidak ingin terjebak pada konflik kekerasan (Novri Susan, 2012).

Euro 2012 merupakan wadah pertemuan berbagai kelompok masyarakat yang berusaha meneguhkan identitas negara atau kelompok. Peneguhan identitas tersebut pada gilirannya akan berimpitan dengan kelompok lain yang juga ingin menegaskan kepentingan diri. Dalam kondisi demikian, pertikaian hampir mungkin terjadi sehingga langkah yang paling dapat dilakukan oleh pihak berkepentingan (negara/pemerintah setempat) bukanlah memisahkan tempat setiap kelompok (walaupun hal ini juga dimungkinkan) melainkan dengan mengarahkan bahasa-bahasa simbol tersebut agar berada dalam keadaan sejajar dan tidak dalam kondisi berlawanan. Pada posisi sejajar, bahasa-bahasa simbol tersebut akan berkolaborasi, saling meneguhkan dan saling mempererat posisi. Bahasa yang digunakan adalah bahasa persatuan, bahasa sepak bola dan bahasa kemenangan bersama. Sebaliknya kalau bahasa-bahasa simbol tersebut diposisikan saling berhadapan maka yang akan terjadi adalah pola “pertandingan”, kontestasi, menang-kalah dan saling meniadakan. Pada titik itu maka konflik akan mengemuka, membesar dan boleh jadi akan melibatkan banyak pihak.

Sosialisasi kemudian menjadi kata kunci yang memegang peranan penting. Pemberitahuan sedini mungkin prosedur penanganan konflik terhadap para suporter akan menciptakan perkiraan-perkiraan terhadap sejauh mana langkah yang akan diambil. Pemberitahuan itu juga akan mengeliminir sikap protes atau pembangkangan terhadap perlakuan penegak hukum.

Pola kuratif yang dikembangkan oleh negara sebagai padanan pola preventif biasanya berwujud tindakan represif. Dengan tindakan represif, para pelaku dipaksa untuk mengakui monopoli penggunaan upaya paksa oleh negara. Oleh karenanya, kita menyaksikan adanya penangkapan, deportasi ataupun penahanan terhadap pelaku-pelaku kekerasan. Penegakan hukum pidana itu juga diimbangi oleh prosedur beracara yang cepat dan tidak berbelit-belit. Mekanisme deportasi, pencekalan atau penangkapan yang berujung pengadilan biasanya dilakukan dengan hanya berdasar kesaksian penegak hukum atau rekaman video. Dengan alat bukti minimal, putusan dapat segera dijatuhkan sehingga penegak hukum dapat segera mengalihkan energinya untuk mengurusi hal-hal lain yang tidak kalah pentingnya.

Dari sisi aturan sepak bola, komite etik UEFA yang bersidang biasanya segera menjatuhkan sanksi berupa denda kepada lembaga sepakbola negara asal pelaku. Bahkan pada tingkat hukuman yang lebih berat, negara asal pelaku mendapat hukuman pengurangan poin pada kompetisi UEFA. Disini, suporter diberi pelajaran bahwa kesalahan yang mereka lakukan dapat berimbas pada tiadanya kesempatan untuk melihat tim kesayangannya tampil pada kompetisi UEFA selanjutnya. Ini merupakan pukulan berat bagi para suporter. Dengan tindakan ini diharapkan agar kompetisi sport itu menjadi kompetisi yang sportif dan tereliminasi dari nilai-nilai konflik.
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar