foto-foto : REUTER |
Pagelaran Piala Eropa 2012 di
Polandia-Ukraina menyisakan sejumlah persoalan mendasar yang harus segera disikapi
oleh para pejabat pemerintah dan otoritas sepak bola eropa, khususnya yang
berkaitan dengan kerusuhan oleh suporter. Kerusuhan di Piala Eropa 2012 boleh
jadi adalah kerusuhan yang variatif dari segi kuantitas dan kualitas. Mulai
dari bentrok sesama suporter, suporter melawan aparat keamanan, penemuan
simbol-simbol neo nazi, rasisme hingga perusakan fasilitas publik. Orang lain
mungkin dengan gampang berdalih bahwa kerusuhan suporter adalah suatu faktor
pengiring dari hingar bingar sepakbola manapun. Mungkin juga dengan kalimat
bahwa kerusuhan bisa terjadi kapanpun dalam jagat sepak bola, tanpa direkayasa
atau dikehendaki.
Namun, persoalannya tidak sesederhana
itu. Di Eropa, benua yang konon dianggap sebagai benuanya orang terpelajar,
melakukan suatu kekerasan atau kejahatan adalah sesuatu yang dianggap diluar
kebiasaan. Apalagi kalau kejahatan itu dilakukan terhadap pemerintah sebagai
simbol-simbol negara. Bahkan yang tidak kalah mengenaskan, kejahatan itu
dilakukan untuk dan atas nama sesuatu yang dikenal sebagai sejarah kelam eropa
(holocaust). Berbagai persoalan itu
memantik rasa ingin tahu tentang apa yang sedang terjadi di belahan benua biru
tersebut dan bagaimana menjelaskan persoalan itu dari sisi hukum dan ketertiban
masyarakat (law and order).
Menariknya, kekerasan yang
terjadi selama Euro 2012 selalu terjadi
ketika suporter sedang berada berkumpul dalam jumlah besar (massa). Dalam kondisi demikian sebenarnya berlakulah
apa yang disebut sebagai mentalitas kerumunan (crowd mentality). Menurut
James B. Rule, kekerasan sebagai produk irasional adalah kondisi tercerabutnya
perilaku dari tatanan normatif yang sering terjadi dalam situasi kerumunan.
Situasi kerumunan melahirkan mentalitas kerumunan (crowd mentality) yang mendorong para individu di dalamnya
berperilaku liar hewaniah, tanpa kendali dan merebaknya isu-isu yang tidak
jelas dalam kerumunan (Novri Susan, 2012). Mentalitas kerumunan memaksa orang
untuk berbuat “nekat” dan mengabaikan nilai-nilai pengikat ketertiban (norma).
Dalam kondisi demikian, massa menanggalkan norma kepantasan, kesusilaan, agama
ataupun hukum. Secara psikoligi, orang-orang akan menggunakan pemikiran yang
dicirikan oleh semangat keberanian yang bersesuaian dengan politik identitas.
Identitas merupakan pendefinisian
terhadap diri dan kelompok yang direpresentasikan melalui beragam bahasa
simbolis seperti pakaian, kesenian, kata-kata, nama dan bendera yang selalu
dimaknai adiluhung. Bahasa simbolis tersebut memiliki sifat dasar sosial dalam
bentuk ingin diakui (recognized) dan
sekaligus dipertahankan (defended).
Franke Wilmer dalam The Social
Construction of Man, State and War menyebut sifat-sifat bahasa simbolis
dari identitas tersebutlah yang mampu menciptakan kerentanan konflik (conflict vulnerability). Pada kondisi
yang mana berbagai sifat bahasa simbolis identitas beredar, berbagai kelompok
dan sistem sosial seharusnya mampu mengakomodasi secara kreatif jika tidak ingin
terjebak pada konflik kekerasan (Novri Susan, 2012).
Euro 2012 merupakan wadah
pertemuan berbagai kelompok masyarakat yang berusaha meneguhkan identitas
negara atau kelompok. Peneguhan identitas tersebut pada gilirannya akan
berimpitan dengan kelompok lain yang juga ingin menegaskan kepentingan diri.
Dalam kondisi demikian, pertikaian hampir mungkin terjadi sehingga langkah yang
paling dapat dilakukan oleh pihak berkepentingan (negara/pemerintah setempat)
bukanlah memisahkan tempat setiap kelompok (walaupun hal ini juga dimungkinkan)
melainkan dengan mengarahkan bahasa-bahasa simbol tersebut agar berada dalam
keadaan sejajar dan tidak dalam kondisi berlawanan. Pada posisi sejajar,
bahasa-bahasa simbol tersebut akan berkolaborasi, saling meneguhkan dan saling
mempererat posisi. Bahasa yang digunakan adalah bahasa persatuan, bahasa sepak
bola dan bahasa kemenangan bersama. Sebaliknya kalau bahasa-bahasa simbol
tersebut diposisikan saling berhadapan maka yang akan terjadi adalah pola
“pertandingan”, kontestasi, menang-kalah dan saling meniadakan. Pada titik itu
maka konflik akan mengemuka, membesar dan boleh jadi akan melibatkan banyak
pihak.
Sosialisasi kemudian menjadi kata
kunci yang memegang peranan penting. Pemberitahuan sedini mungkin prosedur
penanganan konflik terhadap para suporter akan menciptakan perkiraan-perkiraan terhadap
sejauh mana langkah yang akan diambil. Pemberitahuan itu juga akan mengeliminir
sikap protes atau pembangkangan terhadap perlakuan penegak hukum.
Pola kuratif yang dikembangkan
oleh negara sebagai padanan pola preventif biasanya berwujud tindakan represif.
Dengan tindakan represif, para pelaku dipaksa untuk mengakui monopoli
penggunaan upaya paksa oleh negara. Oleh karenanya, kita menyaksikan adanya
penangkapan, deportasi ataupun penahanan terhadap pelaku-pelaku kekerasan.
Penegakan hukum pidana itu juga diimbangi oleh prosedur beracara yang cepat dan
tidak berbelit-belit. Mekanisme deportasi, pencekalan atau penangkapan yang
berujung pengadilan biasanya dilakukan dengan hanya berdasar kesaksian penegak
hukum atau rekaman video. Dengan alat bukti minimal, putusan dapat segera dijatuhkan
sehingga penegak hukum dapat segera mengalihkan energinya untuk mengurusi
hal-hal lain yang tidak kalah pentingnya.
Dari sisi aturan sepak bola, komite
etik UEFA yang bersidang biasanya segera menjatuhkan sanksi berupa denda kepada
lembaga sepakbola negara asal pelaku. Bahkan pada tingkat hukuman yang lebih
berat, negara asal pelaku mendapat hukuman pengurangan poin pada kompetisi
UEFA. Disini, suporter diberi pelajaran bahwa kesalahan yang mereka lakukan
dapat berimbas pada tiadanya kesempatan untuk melihat tim kesayangannya tampil
pada kompetisi UEFA selanjutnya. Ini merupakan pukulan berat bagi para
suporter. Dengan tindakan ini diharapkan agar kompetisi sport itu menjadi
kompetisi yang sportif dan tereliminasi dari nilai-nilai konflik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar