Pernahkah anda mengikuti sebuah
lomba karya tulis ? Beberapa waktu yang lalu, saya mencoba mengikutinya. Lomba
yang saya ikuti itu adalah Lomba Karya Tulis dalam rangka Hari Bhakti Adhyaksa (HBA)
ke-57. Panitia pelaksananya adalah Panitia HBA di Kejaksaan Agung;
Pertama kalinya mengetahui lomba
tersebut dari WA yang dikirim oleh
seorang sahabat di Kendari, Sultra. Sahabat itu bernama Noni Herawati
(terimakasih buatmu). Ia berpikir bahwa saya adalah orang yang tepat untuk
mengikuti lomba itu (meskipun saya malah berpikir sebaliknya). Sejak awal, saya
merasa kurang berminat. Terbayang rumit dan kompleksnya mengikuti suatu lomba
mulai dari persiapan sampai presentasi. Namun kawan ini, setiap hari mengirim
SMS, WA bahkan menelepon berusaha membangkitkan semangat untuk ikut.
Entah mungkin tersulut semangatnya
atau merasa terteror (hehehe), saya lalu membulatkan tekat untuk ikut. Pertama-tama,
saya harus menentukan topik. Kejaksaan Agung menentukan beberapa tema besar dan
bagian pesertalah yang harus menentukan topik. Soal topik ini, agak lama
prosesnya karena saya memandang tulisan nantinya tidak sekedar berpola
deskriptif layaknya skripsi. Tulisan ini harus sekelas tesis karena mencoba
mencari selisih antara das sollen dan das sein sekaligus memberikan rekomendasi
solusi yang layak. Selain itu juga harus menawarkan gagasan baru yang orisinil.
Tulisan juga harus memiliki basis teori
yang kuat sebagai pisau analisis yang tajam ketika membedah persoalan;
Saya akhirnya menemukan topik
yang pas setelah melakukan brainstorming dengan beberapa kawan di bidang Datun Kejari
Sleman. Belum puas, saya mengkonsultasikan topik tersebut ke Wakil Ketua PN
Sleman yang lama berkecimpung menjadi Hakim Tipikor Jakarta dan Kajari Sleman.
Setelah mendapat lampu hijau dari kedua beliau itu, saya merasa siap memulai
penjelajahan intelektual;
Saya lalu menetapkan schedule
sebagai awal persiapan. Saya mempersiapkan membaca literatur untuk pengayaan materi
selama 4 hari sebelum kemudian mulai menulis selama 3 hari. Saya bersyukur
memiliki kebiasaan membeli dan membaca buku sejak mahasiswa sehingga untuk
literatur saya tinggal mengeluarkan buku-buku itu dari dalam lemari buku. Saya
juga melengkapi diri dengan menjelajahi dunia internet dan beberapa jurnal
varia peradilan (saya beruntung memiliki koleksi lengkap setelah membeli
puluhan buku dari seorang hakim yang pindah tugas). Merasa belum cukup, saya
juga mendatangi beberapa toko buku di jogja untuk menelusuri topik yang saya maksud;
Ketika waktu untuk menulis tiba, hambatan
mulai muncul. Penyakit Maag yang saya akrabi sejak mahasiswa kambuh. Saya
berjuang menganalisis sambil merangkainya dalam tulisan di tengah-tengah rasa
pusing, mual dan sesekali muntah. Hambatan lain muncul, Kantor memberikan
amanat untuk menjadi JPU dalam proses ekstradisi warga Afganistan yang diminta
oleh Pemerintah Australia. Beruntung saya memiliki Kasi Pidum (Trims bos) yang
cowboy juga sehingga proses pengurusan dokumen dan segala macam administrasi serta
pengendalian keadaan lapangan berjalan dengan lancar. Terhadap soal-soal ini
saya juga bersyukur dikaruniai dan dibantu kawan-kawan biro hukum Kejagung yang
ulet dan trengginas (trims Mas Reza dan Mbak Fiyu)
Setelah menyelesaikan tulisan
plus kerjaan kantor, saya mengirim tulisan. Tulisan itu berjudul, Peningkatan
Penanganan Perkara Kejaksaan Dalam Pemberantasan Korupsi (Studi Penyelesaian
Kelebihan Nilai Aset Terpidana Dalam Pembayaran Uang Pengganti).
Dasar
tulisan ini sederhana, literatur yang ada hanya menunjukkan bagaimana cara dan
proses eksekusi uang pengganti dalam perkara tipikor ketika Terpidana tidak
memiliki harta benda yang mencukupi. Saya membalik logika itu. Bagaimana kalau
aset terpidana yang pernah disita penyidik (misalnya berupa tanah atau
properti) ternyata mengalami lonjakan nilai ketika hendak dilakukan pelelangan
? Apakah kelebihannya harus dikembalikan ? Aturannya mana ? Kalau dikembalikan,
apakah negara tidak dirugikan, mengingat dengan harga yang sama, Negara tidak
akan mampu membeli nilai yang sama dengan ketika barang itu disita ?
Beberapa
waktu kemudian saya dikabari oleh Kabag TU Puslitbang yang menjadi panitia agar
segera ke Jakarta untuk melakukan presentasi di hadapan Jaksa Agung, Wakil
Jaksa Agung dan Para JAM serta Prof. Indriyanto dan Prof Hikmahanto dari UI.
Saya cukup excited sekaligus was-was karena harus mulai membaca dan
mempersiapkan presentasi, mengingat harus dilakukan dihadapan para petinggi
Kejaksaan.
Tepat
pada hari Rabu tanggal 19 Juli 2017, saya sudah berada di Sasana Pradata
Kejaksaan Agung RI untuk melakukan presentasi. Saya mendapat giliran kedua
untuk maju. Agak tegang ketika memulai pemaparan walaupun kemudian lebih rileks
pada pertengahan dan malah berapi-api pada bagian akhir. Saya diuntungkan oleh
situasi bahwa basis teori tentang Economic Analysis of Law yang saya gunakan
sedang menjadi trend di Amerika dan hal itu dipahami dengan sangat baik oleh
Prof. Indriyanto. Bahkan dalam review, Prof. Indriyanto juga menambahkan
kebaruan informasi terkait tema yang saya ambil. Beliau juga menambahkan untuk
memperkuat metodologi dan tidak terlalu banyak berkutat pada teori.
Saya
menerima berbagai saran tersebut mengingat pola deduktif yang saya tuangkan
dalam tulisan ternyata hanya terbaca pada bagian umum ketika presentasi. Saya
hanya mencadangkan waktu sedikit ketika harus mengupas soal penerapan teori
dalam pelaksanaan penanganan perkara di Sleman sekaligus menganalisis suatu putusan
hakim banding terkait tema yang saya angkat.
Saya
bersyukur bahwa review Prof. Indriyanto telah membantu memperkaya tulisan saya.
Saya bersyukur dibantu oleh teman-teman yang hebat dalam menyelesaikan tulisan
dan pekerjaan saya. Saya bersyukur teman-teman yang lebih ahli di Kejaksaan
tidak ikut mengirimkan tulisannya. Saya bersyukur ada hadiah Rp. 15 juta yang akhirnya
jatuh ke tangan saya. Saya bersyukur. Terimakasih Tuhan. You are too good to me
Dirgahayu
Kejaksaan RI
Sleman,
25 Juli 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar