Senin, 30 April 2012

KPK Menzalimi Angelina Sondakh


Sesuai dangan teori perundang-undangan, suatu aturan yang diberlakukan sebagai bagian dari sistem hukum harus memenuhi 3 kriteria, yaitu Lex Scripta (tertulis), lex Stricta (tegas dan tidak membuka ruang penafsiran) serta not retroactive (tidak berlaku surut). Aturan itu diakui secara internasional dan dianggap sebagai sesuatu yang benar sampai saat ini. Bahwa sistem hukum membuka pengecualian dalam beberapa hal seperti diakuinya konvensi atau kebiasaan, juga merupakan sesuatu yang diakui.

Dalam upaya mempertahankan hukum pidana, Indonesia mempergunakan prosedur beracara yang berpedoman pada aturan tertulis yaitu UU No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Seluruh prosedur beracara dalam khazanah hukum pidana mengacu kepada KUHAP sepanjang tidak diatur secara khusus. Tentu saja aturan beracara tersebut dituangkan secara tertulis agar setiap masyarakat mengetahui secara persis, mengukur langkah-langkah yang akan dilakukan sekaligus menyesuaikan apa yang hendak dilakukannya dalam ruang hukum acara pidana.

Dalam hukum acara pidana (KUHAP) yang dianut sistem hukum Indonesia, tidak disebutkan sejak kapan seseorang dinyatakan sebagai tersangka. Dalam artian, KUHAP tidak menyebutkan pada dokumen apa seseorang dijadikan sebagai tersangka. KUHAP hanya mengatur bahwa tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 14 KUHAP). Inilah yang sering menimbulkan pertanyaan dari mereka-mereka yang dinyatakan sebagai tersangka bahwa mereka belum menerima pemberitahuan telah ditetapkan sebagai tersangka. Ketiadaan surat/dokumen pemberitahuan ini dikarenakan dalam KUHAP memang tidak ada surat/dokumen yang harus dikeluarkan mengenai penetapan tersangka sekaligus dikirimkan pada tersangka.

Dalam praktek, seseorang diketahui sebagai tersangka sejak terbitnya Surat Perintah Penyidikan (Sprin Dik) atau ketika Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) diumumkan ke publik. Sebenarnya Surat Perintah Penyidikan tidak mengharuskan adanya nama tersangka di dalamnya. Penyidikan adalah  serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 angka 2 KUHAP). Dari pengertian penyidikan itu, sebuah Sprin Dik tidak boleh mencantumkan nama tersangka. Nama tersangka baru diperoleh ketika bukti-bukti telah terkumpul, sedangkan bukti-bukti itu harus diperoleh secara pro justitia atau diperoleh atas dasar Surat Perintah Penyidikan.

Kasus Angelina Sondakh

Ketua KPK pada Februari 2012 telah mengadakan jumpa pers yang menyatakan bahwa Angelina Sondakh telah ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara yang berkaitan dengan Wisma Atlet Sea Games Palembang. Dalam laman Vivanews sebagaimana dapat dibaca DISINI, nampak bahwa Surat Perintah Penyidikan terhadap Angelina Sondakh tertanggal 19 April 2012. Apa yang dapat dibaca dari berita ini ?

Dari berita tersebut nampak bahwa KPK telah melakukan pendzaliman terhadap Angelina Sondakh. Sejak bulan Februari hingga April, Angelina Sondakh telah berjalan kemana-mana dengan membawa label tersangka di atas kepalanya. Secara hukum, dia tidak bebas beraktivitas, apalagi status cekal pun ditimpakan padanya. Demikian pula kawan-kawan atau pihak-pihak yang hendak membuat hubungan hukum, pasti mengurungkan niat mengingat statusnya sebagai tersangka. Secara sosial, dapat dibayangkan rasa malu yang harus diterimanya karena publik terlanjur mencapnya sebagai orang yang bersalah. Howard Becker, seorang Kriminolog yang mengemukakan Teori Labelling mengungkapkan bahwa seseorang yang dianggap melakukan perbuatan menyimpang lalu mendapat cap/label dari pihak lain/masyarakat, akan mengalami stigma dan kalau itu terus berlanjut, orang tersebut akan menerima atau terbiasa dengan cap/label tersebut.

Publik tidak pernah tahu, atas dasar apa Ketua KPK mengumumkan status tersangka bagi Angelina Sondakh. Kalau status tersangka itu didasarkan pada bukti permulaan yang cukup sebagaimana Pasal 1 angka 14 KUHAP, sudah pasti, bukti permulaan itu diperoleh sebelum adanya surat perintah penyidikan. Kalau diperoleh sebelum adanya surat perintah penyidikan, maka sudah pasti pula bukti-bukti itu diperoleh tidak secara pro justisia. Logika ini kalau diteruskan akan sampai pada kesimpulan bahwa surat dakwaan disusun atas berkas perkara yang tidak sah karena didasarkan pada alat-alat bukti yang tidak pro justisia.

Dalam UU, tidak ada penjelasan yang tegas tentang “bukti permulaan yang cukup”. Istilah ini dapat ditemukan pada Pasal 1 butir 14 KUHAP tentang tersangka dan istilah hampir sama dapat ditemukan pada Pasal 17 KUHAP tentang perintah penangkapan. Dalam bagian penjelasan Pasal 1 angka 17 KUHAP disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “bukti permulaan yang cukup” ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14.  Yahya Harahap menjelaskan bahwa untuk memahami pasal-pasal tersebut, sebaiknya kata “permulaan” dihilangkan sehingga kalimat dalam Pasal 17 KUHAP berbunyi : diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup. Jika seperti ini, pengertian dan penerapannya lebih pasti. Dan kalau tidak salah tangkap, pengertian yang dirumuskan dalam pasal itu hampir sama dengan pengertian yang terdapat pada hukum acara pidana Amerika, yang menegaskan bahwa untuk melakukan tindakan penangkapan atau penahanan, harus didasarkan atas affidavit and testimony, yakni harus didasarkan pada adanya bukti dan kesaksian. Menurut PAF Lamintang dan Theo Lamintang, kalimat “bukti permulaan yang cukup” dalam rumusan Pasal 17 KUHAP harus diartikan sebagai bukti-bukti minimal berupa alat-alat bukti seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yang dapat menjamin bahwa penyidik tidak akan menjadi terpaksa untuk menghentikan penyidikannya terhadap seseorang yang disangka melakukan suatu tindak pidana, setelah terhadap orang tersebut dilakukan penangkapan.

Pelanggaran oleh KPK terhadap Angelina Sondakh juga telah mereduksi hak Angelina untuk segera mendapat pemeriksaan sebagaimana Pasal 50 ayat (1) KUHAP : “ tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik...”. Penjelasan Pasal ini adalah : “ Diberikannya hak kepada tersangka atau terdakwa dalam pasal ini adalah untuk menjauhkan kemungkinan terkatung-katungnya nasib seseorang yang disangka melakukan tindak pidana terutama mereka yang tidak dikenakan tindakan penahanan, jangan sampai lama tidak mendapat pemeriksaan sehingga dirasakan tidak adanya kepastian hukum, adanya perlakuan sewenang-wenang dan tidak wajar. Selain itu juga untuk mewujudkan peradilan yang dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.”

Pada konteks ini, sebenarnya KPK telah melanggar HAM karena merampas kemerdekaan Angelina untuk hidup bebas tanpa perlakuan yang diskriminatif sebagaimana Pasal 28 I UUD 1945 : (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. (2) Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.

Kita semua mendukung KPK, oleh karenanya koreksi maupun kritik harus senantiasa dilakukan agar KPK tidak keluar dari rel kebenaran dan orang-orang yang terlibat di dalamnya tidak pula berlaku sewenang-wenang yang mengatasnamakan lembaga super body tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar