Sewaktu masih bersekolah di SD, saya sering membuka
buku-buku sejarah milik ayah saya. Saya membacanya dengan antusias sebagaimana
saya biasa membaca buku-buku cerita yang dipinjamkan ibu dari perpustakaan
sekolah. Salah satu kisah yang sangat membekas dalam ingatan (bahkan hingga
saat ini) ketika membaca buku-buku bapak adalah kisah tentang Pieter Erberveld,
seorang pemberontak VOC zaman penjajahan Belanda. Nama itu kembali teringat ketika seorang dosen
di kampus Salemba menyinggung tentang hukuman Pecah Kulit yang pernah
diberlakukan VOC di Batavia.
Setelah sekian lama berlalu, ingatan tentang Pieter
Erberveld muncul lagi dan memaksakan lahirnya tulisan ini. Pieter Erberveld,
menurut peneliti Jepang Mayumi Yamamoto dalam tulisannya Spell of the Rebell,
Monumental Apprehensions : Japanese Discourses on Pieter Erberveld, dilahirkan
sekitar 300 tahun lalu dari seorang ayah Jerman dan Ibu Thailand. Sebagai orang
keturunan Eropa dan Asia, Erberveld sangat dekat dengan masyarakat pribumi.
Setelah kematian ayahnya, ia menerima warisan berupa tanah dalam jumlah yang
sangat luas. Tanah ini kemudian disita oleh VOC (perusahaan dagang hindia Belanda) dengan alasan ketiadaan dokumen hingga kemudian menjadi bibit
kebencian Erberveld pada VOC. Pieter Erberveld dan koleganya dari Jawa lalu
mengupayakan suatu pemberontakan untuk menghabisi orang-orang Belanda dari Batavia.
Rencana tersebut bocor dan mereka ditangkap lalu dieksekusi.
Cerita tentang Erberveld tidak berakhir dengan
eksekusi. Justru metode eksekusi yang mendirikan bulu roma itu menjadi cerita
horor yang melampaui waktu-waktu setelahnya. Dalam beberapa literatur, metode
eksekusi Erberveld dilakukan dengan Pecah Kulit yaitu mengikat kedua tangan dan
kedua kakinya lalu ditarik oleh empat ekor kuda pada posisi yang saling
berlawanan arah. Tubuh Erberveld lalu memecah menjadi empat bagian. Hukuman itu
kemudian dikenal sebagai
hukuman pecah kulit sebagaimana nama tempat dilaksanakan eksekusi tersebut
yaitu Kampung Pecah Kulit (oleh sebagian orang, nama pecah kulit diasosiasikan
dengan pekerjaan sebagian warganya yang memecah/menyamak kulit hewan). Setelah
tubuhnya memecah, kepalanya dipenggal dan ditancapkan pada sebatang tombak yang
diletakkan di atas sebuah tembok bertulis dua bahasa, yaitu bahasa Belanda dan
Jawa.
Menurut Arsip Perpustakaan Nasional RI pada bagian
Koleksi Bersejarah Batavia, hukuman mati untuk terdakwa lain (seluruhnya
berjumlah 19 orang) Dilakukan dengan cara yang sangat sadis yaitu “punggung diikat pada sebuah kayu salib, tangan
kanan dibacok sampai putus, lengan dijepit, daging kaki dan dada dicungkil
keluar. Tubuh lalu dibelah dari bawah ke atas. Jantung dikeluarkan dan
dilemparkan ke wajah mereka. Kepala dipancung, badan-badan dipotong-potong lalu
disebarakan di sekitar rumah kediaman mereka. Kepala mereka ditancapkan pada
sebuah tonggak di sebuah tempat di luar kota menurut keputusan pemerintah.
Maksudnya agar menjadi makanan burung-burung!"
Dua bahasa pada tembok tempat tombak dengan kepala
ditancapkan itu, kalau diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia berbunyi : ““Sebagai
kenang-kenangan yang menjijikan atas dihukumnya sang pengkhianat Pieter
Erberveld. Karena itu dipermaklumkan kepada siapapun, mulai sekarang tidak
diperkenankan untuk membangun dengan kayu, meletakan batu bata dan menanam apapun
di tempat ini dan sekitarnya. Batavia, 14 April 1722”
Perbuatan Pieter
Erberveld dan koleganya dari Jawa itu rupanya dianggap sebagai kesalahan yang
sangat berat oleh pihak Belanda sehingga model eksekusi yang sangat sadis lalu
dipilih sebagai cara menghakimi Erberveld dkk.
Masih menurut Arsip Perpustakaan Nasional RI pada bagian Koleksi
Bersejarah Batavia, dalam perjalanan sejarah, tahun 1920-an, seorang ilmuwan
Belanda Prof.
Molsbergen menemukan banyak ketidakwajaran dalam proses pengadilan itu. Perkara
penghianatan yang tergolong criman leasae
majestatis - kejahatan terhadap yang dipermuliakan.- seharusnya diadili
oleh Raad van Justitie, bukan oleh collage van heemraden. Pelaksanaan
hukuman mati tidak boleh disembarang tempat, tetapi harus di tempat yang biasa
di pakai oleh raad van Justitie. Para terdakwa tidak diberi pembela. Harta
milik para terdakwa tidak hanya disita separoh sebagaimana keputusan yang
dijatuhkan, tetapi seluruhnya.
Criman leasae
majestatis adalah
kejahatan makar yang ditujukan terhadap raja atau ratu Belanda. Pada zaman
perang kemerdekaan, kejahatan yang (masih) terdapat dalam Pasal 104, 106,
107,108,110 KUHP sering digunakan untuk menindas para pahlawan Indonesia. Oleh
VOC, pasal-pasal makar ditafsirkan sebagai perbuatan yang ditujukan untuk
menggulingkan kekuasaan VOC di Indonesia. Kejahatan makar adalah kejahatan yang
tergolong berat sehingga setiap percobaannya pun sampai-sampai disamakan dengan
perbuatan makar secara keseluruhan. Oleh karenanya menjadi aneh kalau kemudian,
kejahatan makar yang dituduhkan pada Erberveld malah diadili di College van Heemraden atau semacam dewan yang
mengurusi kepemilikan tanah, pembangunan, infrastruktur dan bertanggung jawab atas
keamanan publik kawasan. Nampak bahwa perkara Erberveld adalah
perkara yang sesungguhnya bukan kejahatan atas latar belakang ideologi
melainkan kejahatan yang berkaitan dengan agraria atau infrastruktur di kota
Batavia. Ini nampak jelas ketika VOC melakukan penyitaan terhadap seluruh harta
benda Erberveld dari putusan yang seharusnya hanya dilakukan terhadap
setengahnya. Oleh karenanya, pidana mati tidak tepat dilakukan terhadap
Erberveld dan para koleganya.
Bahwa
VOC melakukan peradilan hingga eksekusi yang sedemikian sadis terhadap
Erberveld kemungkinan besar (ini asumsi saya atas data yang bersumber dari VOC!)
karena Erberveld dianggap telah “menyerang” VOC dari sisi yang selama
berdirinya sangat dijaga dengan ketat melalui serangkaian konflik dan peperangan. Erberveld menyerang sisi ekonomi dari VOC, suatu
tindakan yang pada masa itu belum pernah dilakukan oleh siapapun kecuali oleh kekuatan besar seperti Inggris dan Portugal. Sebagaimana
kita pahami, VOC adalah suatu perusahaan dagang sehingga kalkulasi untung rugi
selalu dilakukan. Berbagai upaya dominasi dilakukan VOC untuk menjadikan
Indonesia sebagai basis produksi semata. Perbuatan Erberveld dengan menguasai
tanah yang sangat luas dan menjadikannya sebagai sarana produksi di luar VOC
telah menyepelekan VOC sehingga berbagai dalih dilakukan demi untuk
menghancurkan sarana produksi yang coba dibangun Erberveld.
Tapi
benarkah Erberveld dipersalahkan hanya karena persoalan percobaan melakukan
makar terhadap VOC ? William Bradley Horton dalam tulisannya di Jurnal
Indonesia 76 (Oktober 2003) tentang Pieter Erberveld : The Modern Adventure of an eighteenth-century Indonesian Hero,
menyatakan bahwa persoalan sesungguhnya dalam kasus itu tidak diketahui oleh
orang banyak termasuk warga Batavia pada saat itu. Pieter Erberveld adalah simbol perlawanan terhadap kekuasaan
kolonial, nasionalisme Indonesia, keyakinan terhadap Islam, identitas non Belanda
sekaligus simbol kemahakuasaan VOC.
Pieter Erberveld sesungguhnya adalah
seorang pahlawan yang mencoba mengusir Belanda dari bumi Indonesia. Mungkin saja
latar belakang perlawanan datang dari persoalan pribadi yang kemudian
dielaborasi menjadi ketertindasan bersama koleganya. Suluh peperangan terhadap
penjajah Belanda yang dilatari oleh kepentingan pribadi banyak ditemukan
disepanjang nusantara. Ini bukan hal yang aneh. Setiap perjuangan butuh
katalisator, termasuk dalam perjuangan melawan penjajah. Pada kasus Erberveld,
katalisator itu adalah kasus pertanahan yang kemudian membesar menjadi
perlawanan terhadap kesewenang-wenangan.
Bara perlawanan dan kebiadaban eksekusi Pieter
Erberveld terus membara dan membakar, melipat ruang waktu hingga kini,
jauh setelah kehidupannya. Bara perlawanan itu terasa dan dapat dilihat ketika masyarakat
mesuji memprotes tanah mereka yang diambil alih oleh pengusaha atau oleh rakyat
Bima yang menentang eksplorasi tanah mereka demi kepentingan pertambangan.
Sejarah memang menempatkan perjuangan
seseorang atas dasar pendapat masa kini tentang menang dan kalah. Ketika VOC berkuasa dengan
pongahnya di bumi Indonesia, Erberveld dijadikan sebagai penjahat kelas kakap.
Kini ketika Belanda telah meninggalkan bumi pertiwi, saatnya perjuangan
Erberveld ditafsirkan ulang agar negara ini tidak meniru apa yang telah
dilakukan VOC, mulai dari peradilan sesat, eksekusi yang biadab hingga
penulisan sejarah yang mengukuhkan kepentingan kelompok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar