Selasa, 17 April 2012

Pieter Erberveld : Bara yang Terus Membakar



Sewaktu masih bersekolah di SD, saya sering membuka buku-buku sejarah milik ayah saya. Saya membacanya dengan antusias sebagaimana saya biasa membaca buku-buku cerita yang dipinjamkan ibu dari perpustakaan sekolah. Salah satu kisah yang sangat membekas dalam ingatan (bahkan hingga saat ini) ketika membaca buku-buku bapak adalah kisah tentang Pieter Erberveld, seorang pemberontak VOC zaman penjajahan Belanda.  Nama itu kembali teringat ketika seorang dosen di kampus Salemba menyinggung tentang hukuman Pecah Kulit yang pernah diberlakukan VOC di Batavia.

Setelah sekian lama berlalu, ingatan tentang Pieter Erberveld muncul lagi dan memaksakan lahirnya tulisan ini. Pieter Erberveld, menurut peneliti Jepang Mayumi Yamamoto dalam tulisannya Spell of the Rebell, Monumental Apprehensions : Japanese Discourses on Pieter Erberveld, dilahirkan sekitar 300 tahun lalu dari seorang ayah Jerman dan Ibu Thailand. Sebagai orang keturunan Eropa dan Asia, Erberveld sangat dekat dengan masyarakat pribumi. Setelah kematian ayahnya, ia menerima warisan berupa tanah dalam jumlah yang sangat luas. Tanah ini kemudian disita oleh VOC (perusahaan dagang hindia Belanda) dengan alasan ketiadaan dokumen hingga kemudian menjadi bibit kebencian Erberveld pada VOC. Pieter Erberveld dan koleganya dari Jawa lalu mengupayakan suatu pemberontakan untuk menghabisi orang-orang Belanda dari Batavia. Rencana tersebut bocor dan mereka ditangkap lalu dieksekusi.

Cerita tentang Erberveld tidak berakhir dengan eksekusi. Justru metode eksekusi yang mendirikan bulu roma itu menjadi cerita horor yang melampaui waktu-waktu setelahnya. Dalam beberapa literatur, metode eksekusi Erberveld dilakukan dengan Pecah Kulit yaitu mengikat kedua tangan dan kedua kakinya lalu ditarik oleh empat ekor kuda pada posisi yang saling berlawanan arah. Tubuh Erberveld lalu memecah menjadi empat bagian. Hukuman itu kemudian dikenal sebagai hukuman pecah kulit sebagaimana nama tempat dilaksanakan eksekusi tersebut yaitu Kampung Pecah Kulit (oleh sebagian orang, nama pecah kulit diasosiasikan dengan pekerjaan sebagian warganya yang memecah/menyamak kulit hewan). Setelah tubuhnya memecah, kepalanya dipenggal dan ditancapkan pada sebatang tombak yang diletakkan di atas sebuah tembok bertulis dua bahasa, yaitu bahasa Belanda dan Jawa.
Menurut Arsip Perpustakaan Nasional RI pada bagian Koleksi Bersejarah Batavia, hukuman mati untuk terdakwa lain (seluruhnya berjumlah 19 orang) Dilakukan dengan cara yang sangat sadis yaitu punggung diikat pada sebuah kayu salib, tangan kanan dibacok sampai putus, lengan dijepit, daging kaki dan dada dicungkil keluar. Tubuh lalu dibelah dari bawah ke atas. Jantung dikeluarkan dan dilemparkan ke wajah mereka. Kepala dipancung, badan-badan dipotong-potong lalu disebarakan di sekitar rumah kediaman mereka. Kepala mereka ditancapkan pada sebuah tonggak di sebuah tempat di luar kota menurut keputusan pemerintah. Maksudnya agar menjadi makanan burung-burung!"

Dua bahasa pada tembok tempat tombak dengan kepala ditancapkan itu, kalau diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia berbunyi : ““Sebagai kenang-kenangan yang menjijikan atas dihukumnya sang pengkhianat Pieter Erberveld. Karena itu dipermaklumkan kepada siapapun, mulai sekarang tidak diperkenankan untuk membangun dengan kayu, meletakan batu bata dan menanam apapun di tempat ini dan sekitarnya. Batavia, 14 April 1722”

Perbuatan Pieter Erberveld dan koleganya dari Jawa itu rupanya dianggap sebagai kesalahan yang sangat berat oleh pihak Belanda sehingga model eksekusi yang sangat sadis lalu dipilih sebagai cara menghakimi Erberveld dkk.  Masih menurut Arsip Perpustakaan Nasional RI pada bagian Koleksi Bersejarah Batavia, dalam perjalanan sejarah, tahun 1920-an, seorang ilmuwan Belanda Prof. Molsbergen menemukan banyak ketidakwajaran dalam proses pengadilan itu. Perkara penghianatan yang tergolong criman leasae majestatis - kejahatan terhadap yang dipermuliakan.- seharusnya diadili oleh Raad van Justitie, bukan oleh collage van heemraden. Pelaksanaan hukuman mati tidak boleh disembarang tempat, tetapi harus di tempat yang biasa di pakai oleh raad van Justitie. Para terdakwa tidak diberi pembela. Harta milik para terdakwa tidak hanya disita separoh sebagaimana keputusan yang dijatuhkan, tetapi seluruhnya.

Criman leasae majestatis adalah kejahatan makar yang ditujukan terhadap raja atau ratu Belanda. Pada zaman perang kemerdekaan, kejahatan yang (masih) terdapat dalam Pasal 104, 106, 107,108,110 KUHP sering digunakan untuk menindas para pahlawan Indonesia. Oleh VOC, pasal-pasal makar ditafsirkan sebagai perbuatan yang ditujukan untuk menggulingkan kekuasaan VOC di Indonesia. Kejahatan makar adalah kejahatan yang tergolong berat sehingga setiap percobaannya pun sampai-sampai disamakan dengan perbuatan makar secara keseluruhan. Oleh karenanya menjadi aneh kalau kemudian, kejahatan makar yang dituduhkan pada Erberveld malah diadili di College van Heemraden atau semacam dewan yang mengurusi kepemilikan tanah, pembangunan, infrastruktur dan bertanggung jawab atas keamanan publik kawasan. Nampak bahwa perkara Erberveld adalah perkara yang sesungguhnya bukan kejahatan atas latar belakang ideologi melainkan kejahatan yang berkaitan dengan agraria atau infrastruktur di kota Batavia. Ini nampak jelas ketika VOC melakukan penyitaan terhadap seluruh harta benda Erberveld dari putusan yang seharusnya hanya dilakukan terhadap setengahnya. Oleh karenanya, pidana mati tidak tepat dilakukan terhadap Erberveld dan para koleganya.

Bahwa VOC melakukan peradilan hingga eksekusi yang sedemikian sadis terhadap Erberveld kemungkinan besar (ini asumsi saya atas data yang bersumber dari VOC!) karena Erberveld dianggap telah “menyerang” VOC dari sisi yang selama berdirinya sangat dijaga dengan ketat melalui serangkaian konflik dan peperangan. Erberveld menyerang sisi ekonomi dari VOC, suatu tindakan yang pada masa itu belum pernah dilakukan oleh siapapun kecuali oleh kekuatan besar seperti Inggris dan Portugal. Sebagaimana kita pahami, VOC adalah suatu perusahaan dagang sehingga kalkulasi untung rugi selalu dilakukan. Berbagai upaya dominasi dilakukan VOC untuk menjadikan Indonesia sebagai basis produksi semata. Perbuatan Erberveld dengan menguasai tanah yang sangat luas dan menjadikannya sebagai sarana produksi di luar VOC telah menyepelekan VOC sehingga berbagai dalih dilakukan demi untuk menghancurkan sarana produksi yang coba dibangun Erberveld.

Tapi benarkah Erberveld dipersalahkan hanya karena persoalan percobaan melakukan makar terhadap VOC ? William Bradley Horton dalam tulisannya di Jurnal Indonesia 76 (Oktober 2003) tentang Pieter Erberveld : The Modern Adventure of an eighteenth-century Indonesian Hero, menyatakan bahwa persoalan sesungguhnya dalam kasus itu tidak diketahui oleh orang banyak termasuk warga Batavia pada saat itu. Pieter Erberveld adalah simbol perlawanan terhadap kekuasaan kolonial, nasionalisme Indonesia, keyakinan terhadap Islam, identitas non Belanda sekaligus simbol kemahakuasaan VOC.

Pieter Erberveld sesungguhnya adalah seorang pahlawan yang mencoba mengusir Belanda dari bumi Indonesia. Mungkin saja latar belakang perlawanan datang dari persoalan pribadi yang kemudian dielaborasi menjadi ketertindasan bersama koleganya. Suluh peperangan terhadap penjajah Belanda yang dilatari oleh kepentingan pribadi banyak ditemukan disepanjang nusantara. Ini bukan hal yang aneh. Setiap perjuangan butuh katalisator, termasuk dalam perjuangan melawan penjajah. Pada kasus Erberveld, katalisator itu adalah kasus pertanahan yang kemudian membesar menjadi perlawanan terhadap kesewenang-wenangan.

Bara perlawanan dan kebiadaban eksekusi Pieter Erberveld terus membara dan membakar, melipat ruang waktu hingga kini, jauh setelah kehidupannya. Bara perlawanan itu terasa dan dapat dilihat ketika masyarakat mesuji memprotes tanah mereka yang diambil alih oleh pengusaha atau oleh rakyat Bima yang menentang eksplorasi tanah mereka demi kepentingan pertambangan.

Sejarah memang menempatkan perjuangan seseorang atas dasar pendapat masa kini tentang menang dan kalah. Ketika VOC berkuasa dengan pongahnya di bumi Indonesia, Erberveld dijadikan sebagai penjahat kelas kakap. Kini ketika Belanda telah meninggalkan bumi pertiwi, saatnya perjuangan Erberveld ditafsirkan ulang agar negara ini tidak meniru apa yang telah dilakukan VOC, mulai dari peradilan sesat, eksekusi yang biadab hingga penulisan sejarah yang mengukuhkan kepentingan kelompok.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar