Foto : DetikNews |
Kasus
Afriyani Susanti, pelaku yang menabrak sembilan pejalan kaki hingga tewas di seputaran
Halte Tugu Tani Jakarta Pusat memasuki babak baru. Perkara tersebut akhirnya
disidangkan di PN Jakarta Pusat dengan dakwaan pertama melakukan pembunuhan
(Pasal 338 KUHP). Pasal lain yang didakwakan adalah Pasal 311 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 310
ayat (3) UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Ada yang janggal dari penggunaan pasal-pasal
tersebut terhadap kasus “kecelakaan” yang dilakukan oleh Afriyani. Dari sisi
historis, penggunaan Dakwaan Pasal 338 untuk kasus demikian baru dilakukan
sekali dalam sejarah hukum Indonesia, yaitu dalam Kasus Marojohan Silitonga
alias Ramses Silitonga, pengemudi metro
mini yang tercebur di Kali Sunter pada tahun 1994. Ramses akhirnya dijatuhi hukuman 15 tahun penjara atas dasar Pasal 338
KUHP. Penetapan hukuman bagi Ramses ini kemudian dikuatkan dengan keputusan
Mahkamah Agung (MA).
Ketika perkara Afriyani berada pada tahap penyidikan, berbagai silang
pendapat telah muncul berkaitan penggunaan Pasal 338 KUHP dalam berkas perkara.
Pada saat itu, pembicaraan seluruhnya berkisar pada teori kesengajaan (dolus) dan perbandingannya dengan teori kelalaian
(culpa). Para ahli terjebak pada pembahasan
antara perbedaan yang sangat tipis antara dolus
eventualis dan culpa lata. Pada
titik ini pendukung penggunaan Pasal 338 KUHP mendapat angin dengan menyodorkan
yurisprudensi kasus Ramses. Penyidik yang juga terpengaruh dengan perdebatan
ini lalu memilih untuk menggunakan Pasal 338 KUHP sebagai pasal yang diancamkan
sekaligus mengamini keinginan keluarga korban dan sebagian masyarakat yang
menghendaki agar Afriyani dihukum seberat-beratnya.
Berkaitan dengan rencana pemidanaan ini, Penyidik Polisi menggunakan
Pasal 338 KUHP karena ancamannya yang berat (15 tahun) ketimbang mengedepankan
Pasal 311 ayat (5), UU Nomor 22
Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang hanya 12 tahun. Sikap
mengedepankan rencana pemidanaan sebenarnya tidak dapat dijadikan sebagai
landasan menentukan pasal dalam berkas perkara. Penentuan pasal, murni harus
didasarkan pada perbuatan materiil yang dilakukan pelaku dan bukan karena
alasan-alasan lain di luar yuridis perkara. Kejadian seperti ini boleh jadi
sering ditemui pada berbagai kasus dengan kekerasan atau ancaman kekerasan yang
lalu dipadankan dengan Pasal 335 KUHP hanya agar pelakunya dapat dilakukan
penahanan. Sekali lagi, penentuan pasal yang disangkakan pada pelaku harus
murni berdasarkan perbuatannya dan bukan faktor lain di luar itu.
Kembali ke Pasal 338 KUHP yang dikenakan pada
Afriyani pada tahap penyidikan dan penuntutan, terdapat perbedaan yang sangat
signifikan kalau hendak dibandingkan dengan Kasus Ramses. Ketika Kasus Ramses
terjadi, Undang-Undang lalu Lintas yang berlaku adalah UU No. 14 Tahun 1992
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pada UU No. 14 Tahun 1992, khususnya
Bab XIII tentang Ketentuan Pidana dari Pasal 54 sampai Pasal 70 (sebanyak 17
Pasal), tidak ada satupun pasal yang mengatur tentang cara mengemudikan
kendaraan bermotor hingga mengakibatkan orang lain luka berat atau meninggal
dunia.
Sebaliknya pada UU Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan khususnya pada Bab XX tentang Ketentuan
Pidana yang terentang dari Pasal 273 hingga Pasal 317 (sejumlah 45 pasal) dicantumkan
dua pasal (Pasal 310 dan 311) yang mengatur tentang cara mengemudikan kendaraan
bermotor hingga mengakibatkan orang lain luka berat atau meninggal dunia. Pada
pasal 310, pembuat UU memberikan penekanan pada upaya mengemudikan
Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas.
Ini menjawab tudingan bahwa pelaku tidak memiliki unsur kesengajaan dalam
melakukan perbuatan (baik culpa levis
atau culpa lata maupun culpa yang disadari ataupun tidak
disadari). Demikian pula pada pasal 311, pembuat UU menggariskan klausul
tentang dengan sengaja mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan cara atau keadaan
yang membahayakan atau berakibat mencelakakan nyawa atau barang. Artinya,
menggunakan pertimbangan kasus Ramses dalam perkara Afriyani adalah sesuatu
yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis.
Apa arti perbedaan ini ? Perbedaan ini
mengandung makna berlakunya asas Systematische
Specialiteit atau kekhususan yang sistematis, artinya ketentuan pidana yang
bersifat khusus apabila pembentuk undang-undang memang bermaksud untuk
memberlakukan ketentuan pidana tersebut sebagai suatu ketentuan pidana yang
bersifat khusus atau ia akan bersifat khusus dari khusus yang telah ada
(Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan
Penegakan Hukum, 2009, hal. 171).
Dalam perkara Afriyani, penyidik atau
penuntut umum sejak awal telah dihadapkan pada pilihan untuk menggunakan
Pasal-pasal dalam KUHP atau UU tentang lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Perbuatan
Afriyani jika dikaji lebih mendalam tercakupi oleh Pasal-pasal KUHP maupun oleh
UU tentang lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dalam kondisi demikian, Penyidik
ataupun Penuntut Umum harus menentukan pilihan, mana yang lebih khusus dari
kedua aturan itu. Oleh karena UU tentang lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah
aturan yang lebih khusus/spesifik berkaitan dengan perbuatan mengemudikan
kendaraan bermotor, maka seharusnya, sejak awal UU inilah yang dipergunakan
sebagai landasan berkas perkara untuk kemudian menjadi dasar dakwaan. Dengan kata lain, penggunaan pasal 338 KUHP dalam
perkara Afriyani adalah hal yang terlalu berlebihan dan menyiratkan
ketidakpahaman asas Systematische
Specialiteit atau kekhususan yang sistematis.
Kelemahan dari pembuat UU adalah bahwa
dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tidak dicantumkan klausul yang secara khusus
mengatur tentang penempatan pasal-pasalnya sebagai aturan yang bersifat kekhususan
yang sistematis, meskipun sebagai asas sesungguhnya tidaklah pula salah bila
tidak dinyatakan secara tegas.
Kondisi ini berbeda dengan UU Tindak
Pidana Korupsi. UU No. 31 tahun 1999 khususnya pada Pasal 14 menyebutkan bahwa
: “setiap orang yang melanggar ketentuan
undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan
undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang
diatur dalam undang-undang ini.”
Klausul Pasal 14 inilah yang memfilter agar tidak semua perbuatan yang
merugikan keuangan/perekonomian negara sebagai tindak pidana korupsi. Betapa
banyak perbuatan pidana yang lebih tepat dan lebih khusus menggunakan UU
Perbankan, Perpajakan, Kehutanan dll ketimbang memaksakan UU Tindak Pidana
Korupsi.
Penggunaan asas Systematische Specialiteit atau kekhususan yang sistematis dalam
perkara Afriyani juga berguna untuk menyaring apa yang disebut sebagai concursus idealis. Tidak dapat
dibayangkan bagaimana kalau concursus
idealis diterapkan dalam perkara ini, meskipun secara teori hal itu
dimungkinkan. Concursus Idealis sebagaimana
diatur Pasal 63 ayat (1) KUHP merupakan salah satu bentuk gabungan tindak
pidana, yang terjadi apabila seseorang melakukan satu perbuatan tetapi dengan
bentuk satu perbuatan itu ia telah melanggar beberapa peraturan pidana.
Dalam konteks Afriyani, sesuai teori concursus idealis,
perbuatannya telah melanggar Pasal 338 KUHP dan juga Pasal 311 ayat (5) UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Kalau kedua pasal yang sangat berbeda stratanya
ini disandingkan dan didakwakan kepada Afriyani maka hukumannya akan menjadi
sangat tidak manusiawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar