Jumat, 11 Mei 2012

Quo Vadis Penyiksaan oleh Penegak Hukum


Pada Januari 2012, organisasi Kemitraan yang bekerja sama dengan LBH dan Uni Eropa mengeluarkan hasil riset bertajuk “ Penyiksaan di Bumi Cenderawasih : Studi tentang Realitas dan Toleransi Penyiksaan di Propinsi Papua ”. Riset itu penting karena menggambarkan bagaimana perilaku penyiksaan yang masih kental dipraktikkan oleh aparat penegak hukum sekaligus mengukur tingkat toleransi masyarakat, korban, dan aparat penegak hukum terhadap kekerasan, yang meliputi kekerasan fisik, psikis, dan seksual di fokuskan di Papua. 
Dari tabel Prevalensi Penyiksaan yang dimuat pada Hal. 56, terlihat bahwa keseluruhan responden mengakui adanya penyiksaan oleh Polisi pada saat penangkapan, 96 % responden membenarkan adanya penyiksaan pada tahap pemeriksaan, 74 % responden pada saat penahanan dan 15 % responden ketika proses penghukuman. Tangan “penyiksaan” Jaksa terlihat pada saat pemeriksaan dan penahanan yang masing-masing diakui oleh 4 % responden serta 15 % pada saat penghukuman. Petugas Rutan/Lapas juga memiliki andil melakukan penyiksaan yang dibenarkan oleh 22 % responden pada saat penahanan serta 70 % ketika masa penghukuman.
Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa sebagian penegak hukum belum beranjak dari mindset penyiksaan untuk mendapatkan alat-alat bukti yang sesungguhnya telah dilarang dalam KUHAP. Pelarangan itu terlihat secara tersurat pada Pasal 183 KUHAP : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Dari rangkaian kalimat Pasal 183 KUHAP tersebut terdapat kata-kata “...alat bukti yang sah...”, yang tidak ditemukan penjelasan secara lebih lanjut. Namun demikian, secara logika kata-kata itu dapat dimaknai bahwa setiap perolehan, perlakuan maupun penggunaan alat bukti harus dilakukan dengan benar dan dapat dipertanggungjawabkan.
Perolehan,  dapat menentukan sah tidaknya alat bukti berkaitan dengan cara, lokasi atau waktu pengambilan alat bukti yang bersih/tidak terkontaminasi ataupun dimanipulasi oleh pihak lain. Perlakuan, berkaitan dengan cara mengelola alat bukti, penyimpanan sejak alat bukti itu diambil hingga kemudian dipergunakan untuk memperkuat pembuktian. Sedangkan Penggunaan, alat bukti itu harus pula dilakukan sesuai dengan logika perundang-undangan dan tidak digunakan untuk tujuan-tujuan lain yang tidak jelas.
KUHAP memang tidak memiliki penjelasan yang tegas tentang apa yang dimaksud dengan “...alat bukti yang sah...”. Ini berbeda dengan Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi, pada Pasal 36 ayat (2) : “ Alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, harus dapat dipertanggungjawabkan perolehannya secara hukum”. Serta ayat (3) Dalam hal alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang tidak dapat dipertanggungjawabkan perolehannya secara hukum, tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah.
UU Mahkamah Konstitusi tersebut sejalan dengan sistem hukum common law yang memiliki asas “Exclusionary Rules” di dalam hukum pidana. Asas ini menentukan bahwa setiap bukti yang diperoleh apabila tidak sesuai dengan hukum atau bertentangan dengan hukum (illegal) harus dianggap tidak mempunyai kekuatan dalam pembuktian (unlawful gathering evidence atau onrechtmatigeverkrijgen bewijs). Meskipun dalam sistem hukum nasional asas “Exclusionary Rules” ini tidak dinyatakan secara tegas, mantan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan mengakuinya sebagai sesuatu yang eksis melalui tulisannya “Penegakan Hukum Dalam Perkara Pidana” . Varia Peradilan No. 296 Juli 2010, “Dan kelalaian di dalam memperhatikan atau memegang asas “exclusionary rules” ini mengakibatkan dakwaan, tuntutan dan atau putusan menurut hukum tidak dapat diterima atau batal demi hukum”.
Dalam asas “exclusionary rules” terkandung doktrin “fruit of the poisoneous tree”. Doktrin ini kalau diartikan secara gramatikal berarti bahwa pohon yang beracun pasti pula mengandung buah yang beracun. Jika dibawah ke khazanah pembuktian, doktrin ini mengandung makna bahwa suatu proses pengambilan dan pengelolaan alat bukti yang menyalahi aturan yang berlaku, tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah di depan persidangan.
Doktrin “fruit of the poisoneous tree” sangat kuat dipegang dalam sistem common law seiring dengan kekuatan pembuktian physical evidence yang lebih “diutamakan” ketimbang testamentary evidence. Pihak yang berhak melakukan penilaian terhadap sah tidaknya alat bukti ketika diperoleh tentu saja adalah Hakim. Hal ini dituangkan dalam adagium yang sering diulang-ulang dalam sistem peradilan pidana sebagai “no evidence no case”.
Sebaliknya dalam sistem pembuktian di Indonesia, testamentary evidence jauh lebih diutamakan ketimbang physical evidence. Ini dapat dilihat dalam Pasal 184 KUHAP yang lebih mengedepankan keterangan saksi dan keterangan ahli ketimbang barang bukti yang kadangkala hanya dianggap sebagai petunjuk.
Kalau Doktrin “fruit of the poisoneous tree” dibawa ke dalam sistem pembuktian pidana Indonesia, maka setiap bentuk penyiksaan yang dilakukan sejak dari tahap penyidikan hingga berakhirnya proses pemeriksaan dapat dianggap sebagai bentuk tekanan yang secara langsung mempengaruhi hasil pemeriksaan (Berita Acara Pemeriksaan/berkas perkara), hasil penuntutan (surat dakwaan) ataupun hasil dari persidangan (putusan hakim). Ini sesuai dengan Pasal 117 (1) KUHAP : “keterangan tersangka dan/atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan/atau dalam bentuk apapun”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar