Pada Januari 2012, organisasi
Kemitraan yang bekerja sama dengan LBH dan Uni Eropa mengeluarkan hasil riset
bertajuk “ Penyiksaan di Bumi Cenderawasih : Studi tentang Realitas dan Toleransi
Penyiksaan di Propinsi Papua ”. Riset itu penting karena menggambarkan
bagaimana perilaku penyiksaan yang masih kental dipraktikkan oleh aparat
penegak hukum sekaligus mengukur tingkat toleransi masyarakat, korban, dan aparat
penegak hukum terhadap kekerasan, yang meliputi kekerasan fisik, psikis, dan
seksual di fokuskan di Papua.
Dari tabel Prevalensi Penyiksaan yang
dimuat pada Hal. 56, terlihat bahwa keseluruhan responden mengakui adanya
penyiksaan oleh Polisi pada saat penangkapan, 96 % responden membenarkan adanya
penyiksaan pada tahap pemeriksaan, 74 % responden pada saat penahanan dan 15 % responden
ketika proses penghukuman. Tangan “penyiksaan” Jaksa terlihat pada saat
pemeriksaan dan penahanan yang masing-masing diakui oleh 4 % responden serta 15
% pada saat penghukuman. Petugas Rutan/Lapas juga memiliki andil melakukan
penyiksaan yang dibenarkan oleh 22 % responden pada saat penahanan serta 70 %
ketika masa penghukuman.
Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa
sebagian penegak hukum belum beranjak dari mindset penyiksaan untuk mendapatkan
alat-alat bukti yang sesungguhnya telah dilarang dalam KUHAP. Pelarangan itu terlihat
secara tersurat pada Pasal 183 KUHAP : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana
kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang
sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan
bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Dari rangkaian kalimat Pasal 183
KUHAP tersebut terdapat kata-kata “...alat bukti yang sah...”, yang tidak
ditemukan penjelasan secara lebih lanjut. Namun demikian, secara logika
kata-kata itu dapat dimaknai bahwa setiap perolehan, perlakuan maupun
penggunaan alat bukti harus dilakukan dengan benar dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Perolehan, dapat menentukan sah tidaknya alat bukti berkaitan
dengan cara, lokasi atau waktu pengambilan alat bukti yang bersih/tidak
terkontaminasi ataupun dimanipulasi oleh pihak lain. Perlakuan, berkaitan
dengan cara mengelola alat bukti, penyimpanan sejak alat bukti itu diambil
hingga kemudian dipergunakan untuk memperkuat pembuktian. Sedangkan Penggunaan,
alat bukti itu harus pula dilakukan sesuai dengan logika perundang-undangan dan
tidak digunakan untuk tujuan-tujuan lain yang tidak jelas.
KUHAP memang tidak memiliki penjelasan
yang tegas tentang apa yang dimaksud dengan “...alat bukti yang sah...”. Ini
berbeda dengan Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi, pada
Pasal 36 ayat (2) : “ Alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
harus dapat dipertanggungjawabkan perolehannya secara hukum”. Serta ayat (3)
Dalam hal alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
perolehannya secara hukum, tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah.
UU Mahkamah Konstitusi tersebut
sejalan dengan sistem hukum common law
yang memiliki asas “Exclusionary Rules” di dalam hukum pidana. Asas ini menentukan
bahwa setiap bukti yang diperoleh apabila tidak sesuai dengan hukum atau bertentangan
dengan hukum (illegal) harus dianggap tidak mempunyai kekuatan dalam
pembuktian (unlawful gathering evidence atau onrechtmatigeverkrijgen
bewijs). Meskipun dalam sistem hukum nasional asas “Exclusionary Rules” ini tidak dinyatakan secara tegas, mantan Ketua
Mahkamah Agung Bagir Manan mengakuinya sebagai sesuatu yang eksis melalui tulisannya
“Penegakan Hukum Dalam Perkara Pidana” . Varia Peradilan No. 296 Juli
2010, “Dan kelalaian di dalam memperhatikan atau memegang asas “exclusionary
rules” ini mengakibatkan dakwaan, tuntutan dan atau putusan menurut hukum
tidak dapat diterima atau batal demi hukum”.
Dalam asas “exclusionary rules” terkandung doktrin “fruit of the
poisoneous tree”. Doktrin ini kalau diartikan secara gramatikal berarti bahwa
pohon yang beracun pasti pula mengandung buah yang beracun. Jika dibawah ke
khazanah pembuktian, doktrin ini mengandung makna bahwa suatu proses
pengambilan dan pengelolaan alat bukti yang menyalahi aturan yang berlaku,
tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah di depan persidangan.
Doktrin “fruit
of the poisoneous tree” sangat kuat dipegang dalam sistem common law
seiring dengan kekuatan pembuktian physical evidence yang lebih “diutamakan”
ketimbang testamentary evidence. Pihak yang berhak melakukan penilaian
terhadap sah tidaknya alat bukti ketika diperoleh tentu saja adalah Hakim. Hal
ini dituangkan dalam adagium yang sering diulang-ulang dalam sistem peradilan
pidana sebagai “no evidence no case”.
Sebaliknya
dalam sistem pembuktian di Indonesia, testamentary evidence jauh lebih
diutamakan ketimbang physical evidence. Ini dapat dilihat dalam Pasal
184 KUHAP yang lebih mengedepankan keterangan saksi dan keterangan ahli ketimbang
barang bukti yang kadangkala hanya dianggap sebagai petunjuk.
Kalau Doktrin
“fruit of the poisoneous tree” dibawa ke dalam sistem pembuktian pidana
Indonesia, maka setiap bentuk penyiksaan yang dilakukan sejak dari tahap
penyidikan hingga berakhirnya proses pemeriksaan dapat dianggap sebagai bentuk
tekanan yang secara langsung mempengaruhi hasil pemeriksaan (Berita Acara Pemeriksaan/berkas
perkara), hasil penuntutan (surat dakwaan) ataupun hasil dari persidangan
(putusan hakim). Ini sesuai dengan Pasal 117 (1) KUHAP : “keterangan tersangka
dan/atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan/atau
dalam bentuk apapun”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar