Gambar : Rakyat Merdeka Online |
Ribut-ribut kedatangan Lady Gaga ke Indonesia telah menguras energi
bangsa ini. Masyarakat seakan terpecah pada kelompok “kami” dan “mereka” yang
berdiri vis a vis secara diametral. Perdebatan yang seharusnya berada di jalur
privat lalu bergeser memenuhi ruang-ruang publik sehingga memekakkan telinga
warga yang tidak terkait dengan persoalan sesungguhnya.
Debat yang berlangsung selama ini lebih banyak berkutat pada kebebasan
ekspresi versus nilai-nilai tradisional/religius. Perdebatan ini sudah tentu
bagaikan jalan tak berujung karena standar posisi setiap pendapat berada pada
posisi yang sejajar sehingga menutup setiap pertautan yang mungkin bisa
dilakukan. Posisi yang sejajar itu berada pada ruang yang berbeda sehingga
hampir mustahil dilakukan rekonsiliasi bahkan dengan iming-iming persatuan
bangsa sekalipun.
Persoalan yang tidak kalah substansial berkaitan dengan kedatangan Lady
Gaga adalah persoalan besar yang dihadapi bangsa ini. Persoalan besar
itu adalah bagaimana kesiapan negara melakukan upaya perlindungan terhadap
sebagian warga sambil berusaha meneguhkan diri agar negara tidak dikendalikan
oleh sebagian warga yang lain.
Sejatinya negara ini seringkali menunjukkan gerak acak yang
membingungkan. Semua warga masih ingat bagaimana negara berusaha mengukuhkan
diri menjadi “polisi moral” yang mengintervensi ruang-ruang privat warga, bukan
untuk alasan menjaga ketertiban melainkan mengatur apa yang harus dirasakan
sekaligus menafikan suatu etika atau bahkan estetika. UU anti pornografi dan
pornoaksi, kebebasan berekpresi melalui UU ITE adalah sebagian kehendak negara
dalam memasung warganya. Bahkan dalam beberapa hal, negara menunjukkan
bagaimana negara mempertontonkan diri sebagai pihak yang paham soal moral
ketimbang warganya sendiri.
Di lain sisi, berlawanan dengan pihak yang paling paham soal moral,
negara menunjukkan diri sebagai "aktor/pelaku kekerasan". Kekerasan pasca pemberontakan PKI, Tanjung
Priok, Tragedi 27 Juli, Tragedi Mei 1998, Kasus Mesuji, Cikeusik, Temanggung, Kejadian di Pelabuhan
Bima adalah contoh bagaimana negara berusaha mengaplikasikan kekerasan pada
warganya.
Haryatmoko dalam Kata Pengantar buku “kekerasan negara menular ke
masyarakat” karya Rieke Dyah Pitaloka menuliskan bahwa kekerasan negara itu
bisa diwujudkan melalui berbagai cara. Pertama, represi yang dilakukan langsung
oleh aparat negara dengan berbagai sarana koersifnya. Kedua, melatih
paramiliter menjadi kelompok setia kepada penguasa untuk melaksanakan
tugas-tugas kotor (kriminal) dengan membungkam, mengintimidasi, memeras, meneror,
menculik sampai membunuh. Ketiga, melatih para kriminal (preman) untuk
melaksanakan proyek insidental seperti kerusuhan, penculikan atau pembunuhan.
Untuk menghilangkan jejak, para preman itu akan dihabisi setelah tugas-tugas
terlaksana. Keempat, menciptakan konflik horisontal antar kelompok masyarakat
yang berbeda etnis/agama. Konflik horisontal membutuhkan kondisi matang, maka
perlu rekayasa agar terjadi radikalisasi kelompok tertentu.
Dalam buku yang
merupakan inti dari tesis Rieke Dyah Pitaloka atas dasar tulisan-tulisan Hannah Arendt
diungkapkan benang merah yang menghubungkan kekerasan negara dengan tindak
kekerasan yang dilakukan masyarakat. Tulisan itu menunjukkan bagaimana
kekerasan yang dilakukan masyarakat sipil berasal dari kedangkalan berpikir dan
ketidakmampuan menilai secara kritis. Yang
menjadi “penyakit” utamanya adalah ketidakberpikiran. Tidak berpikir berbeda
sama sekali dengan bodoh. Orang bisa saja amat cerdas, namun tak menggunakan
kecerdasannya itu secara maksimal untuk berpikir secara menyeluruh, berpikir
secara sistemik (bukan sistematis). Dan karena tak berpikir, ia
seringkali tak sadar, bahwa tindakannya itu merupakan suatu kejahatan brutal.
Maka salah satu hal mendasar yang dibutuhkan untuk menjadi penjahat brutal
adalah ketidakberpikiran. Kedua hal tersebut (kedangkalan berpikir dan
ketidakmampuan menilai secara kritis) terjadi akibat masyarakat terkondisikan
menganggap kejahatan sebagai hal yang biasa, yang oleh Arendt disebut sebagai banality of evil (banalitas kejahatan).
Konsep
ini sejalan dengan teori Hegemoninya Antonio Gramsci yang menjelaskan bahwa
bentuk-bentuk persetujuan masyarakat atas
nilai-nilai masyarakat dominan dilakukan dengan penguasaan basis-basis pikiran,
kemampuan kritis, dan kemampuan-kemampuan afektif masyarakat melalui konsensus
yang menggiring kesadaran masyarakat tentang masalah-masalah sosial ke dalam
pola kerangka yang ditentukan lewat birokrasi (masyarakat dominan). Di sini
terlihat adanya usaha untuk menaturalkan suatu bentuk dan makna kelompok yang
berkuasa
Kalau Hegemoninya Gramsci cenderung bebas nilai dan
mempersepsikan penguasaan nilai sebagai bagian dari “proyek” negara, banality
of evil-nya Arendt lebih mengarah pada sisi negatif umat manusia untuk
menganggap kejahatan sebagai bagian dari sistem negara dan jauh dari
nilai-nilai “kekerasan”. Kedua teori ini dimungkinkan untuk dipergunakan pada
saat bersamaan, menyesuaikan dengan eskalasi yang hendak dibangun
Gambar : News.Infogue |
Kekerasan
yang tersistematis mulai dari penguasaan basis-basis pemikiran hingga
terstimulisasi pada tindakan kekerasan di lapangan menciptakan suatu skema
kejahatan kekerasan yang sempurna. Menurut Yasraf Amir Piliang dalam bukunya
Postrealitas, pelaku “kejahatan yang sempurna” itu hanyalah negara. Sistem kejahatan yang sempurna menghilangkan barang
bukti, membungkam saksi, menciptakan alibi, merekayasa motif, mencari kambing
hitam, mereduksi pelaku, dan membangun kontra pencitraan. Kejahatan sempurna
menciptakan kondisi ”minimalisme hukum” dan menghasilkan ”minimalitas
kebenaran”. Kejahatan sempurna bekerja melalui ”pembunuhan tanda-tanda”, yaitu
penghancuran tanda bukti (barang bukti, rekaman, dokumen, saksi, tempat
perkara) dan kondisi psikis pelaku (hipnotis, pembungkaman, pembisuan).
Sifat Paradoks negara yang disatu sisi bertindak sebagai “polisi moral”
sedangkan di sisi lain bertindak sebagai pelaku kekerasan menegaskan kegamangan
dalam menentukan sikap tegas posisi negara dalam setiap masalah. Negara
cenderung bersifat reaktif memadamkan masalah berdasarkan kekuatan kelompok penekan
(pressure group) yang berada di
sekeliling masalah.
Dalam suatu negara demokrasi yang mapan, kekuatan kelompok penekan (pressure group) adalah prasyarat
demokrasi yang memberikan kontribusi positif sebagai modal sosial . Modal
sosial ini pada gilirannya mempengaruhi kualitas hidup individu dan keberlangsungan komunitas
masyarakat. Robert Putnam (1993) mendefinisikan modal sosial sebagai suatu
nilai mutual trust
(kepercayaan) antara anggota masyarakat dan masyarakat terhadap
pemimpinnya. Modal sosial didefinisikan sebagai institusi sosial yang
melibatkan jaringan (networks),
norma-norma (norms), dan kepercayaan
sosial (social trust) yang mendorong
pada sebuah kolaborasi sosial (koordinasi dan kooperasi) untuk kepentingan
bersama.
Di Indonesia, kekuatan
kelompok penekan (pressure group) itu
berwujud pada berbagai kelompok yang tersebar berdasarkan keyakinan agama,
etnis latar belakang, ideologi ataupun kesamaan identitas lainnya. Multikultur
yang menjadi ciri negara juga dengan mudah ditemukan pada kelompok-kelompok
tersebut. Keragaman itu di satu sisi memperkaya khazanah bernegara meski di
sisi lain juga sangat rentan dengan kekerasan dan pemaksaan.
Sebenarnya, tidak ada persoalan berkaitan dengan politik multikultur
bangsa ini. Secara kultural, keragaman itu telah terbangun sejak negara ini
didirikan. Pada tataran akar rumput, multikultural itu tidak pernah menjadi
masalah. Ia baru menjadi masalah ketika dipergunakan untuk
kepentingan-kepentingan tertentu yang jauh dari kesan damai yang selama ini
ada. Ketika kekuatan kelompok penekan dikerahkan untuk mematahkan dominasi
negara dalam bidang hukum dan ketertiban (meski dilakukan atas nama kepentingan
tertentu) maka negara sesungguhnya sedang mengalami penyakit yang akut, apalagi
kalau kemudian negara takluk pada keinginan kelompok-kelompok itu.
Cermin kegamangan negara dapat dengan jelas dilihat pada rencana pelaksanaan
konser Lady Gaga. Negara yang diwakili Polisi pada awalnya menutup peluang
pelaksanaan konser di Indonesia. Entah disadari atau tidak, hal itu bersesuaian
dengan tekanan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu. Dengan dalih
alasan keamanan, Polisi menolak mengeluarkan rekomendasi konser. Ini aneh,
karena Polisi sebagai perwujudan negara seharusnya tidak boleh takut dengan
persoalan ketidakamanan, bahkan bila perlu, maju ke depan menciptakan keamanan
bagi seluruh warga. Konsep pendekatan ketidakamanan ini sesungguhnya lebih
bermakna ketidakmauan ketimbang sekedar ketidakmampuan negara. Penolakan ini tentu
saja mendapat tekanan dari kelompok-kelompok lain yang terus mengharapkan
Polisi agar menggunakan alasan lain yang lebih rasional ketimbang sekedar “takut”
terhadap ancaman. Polisi akhirnya gamang dan mengubah pandangan awal dengan
janji akan menelaah ulang permohonan jaminan keamanan dari sponsor, bahkan
bukan tidak mungkin menyetujuinya.
Pada titik ini, Polisi sedang menggunakan pendekatan Arendt untuk
menutupi penolakan awal konser sekaligus menstimulasi benak warga bahwa negara
sudah tepat dalam mengambil tindakan berkaitan dengan konser.
Para pengamat atau pemerhati hukum seharusnya tidak larut dengan situasi
ini. Mari terus berpikir !!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar