Dunia penegakan hukum kembali meramaikan media
belakangan ini. Sumber berita tidak datang dari penanganan kasus-kasus besar di
sentrum kekuasaan, melainkan datang dari pojok sebuah kampung di Kota Palu
Sulawesi Tengah. Berita itu adalah berita tentang pencurian sandal seorang
polisi yang dilakukan seorang anak. Kabar tersebut semakin marak ketika
tokoh-tokoh pemerhati anak turun tangan menyuarakan keprihatinan. Mulai dari
pernyataan, unjuk rasa hingga pengumpulan sandal untuk dihadiahkan pada Kapolri
dilakukan sebagai bentuk solidaritas terhadap AAL.
Tulisan berikut ini ingin memberikan pemahaman pada kita semua tentang apa yang terjadi, sebagai pembanding dari berita-berita yang disuguhkan media. Mungkin saja isinya sedikit berbeda, karena persoalan ini dilihat dari kaca mata seorang pemerhati hukum yang tidak punya pretensi apa-apa. Tidak juga karena keinginan agar meraup oplah atau pembaca sebanyak mungkin.
Kasus AAL (inisial nama anak/pelaku) bermula
ketika ia merasa menemukan sandal (seharga Rp. 30.000.-) di pagar sebuah pekarangan rumah. Sandal
tersebut diambilnya dan dibawa pulang. Pemilik sandal yang belakangan
mengetahui bahwa sandalnya diambil AAL lalu memanggil AAL, memaksanya mengaku
(dan benar diakui AAL) kemudian memukulinya.
Seseorang disebut sebagai anak ketika usianya di bawah 18 tahun. Kategori anak nakal (melakukan tindak pidana atau melakukan perbuatan melanggar hukum) adalah anak yang usianya telah melewati 8 tahun dan belum mencapai 18 tahun. Ini menurut Pasal 1 UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. AAL menurut media baru berusia 15 tahun ketika melakukan tindak pidana, sehingga secara syah, ia mendapat status anak.
Status “anak” ini mengandung kosekuensi baik pada proses beracara ataupun proses penuntutan. Dalam proses pemeriksaan (baik penyidikan, penuntutan dan persidangan), AAL harus didampingi oleh orang tuanya. Selain itu juga disyaratkan adanya penelitian khusus dari Pembimbing Kemasyarakatan. Pemeriksaan juga harus dilakukan secara tertutup atau tanpa kehadiran penonton, bahkan pintu dan jendelapun harus ditutup agar tidak disaksikan pihak lain. Para pelaksana persidangan seperti Hakim, Penuntut Umum dan Penasihat Hukum dilarang mengenakan toga sidang ataupun pakaian dinas.
Sampai dengan saat tulisan ini dibuat, persidangan baru memasuki proses pemeriksaan saksi-saksi. Artinya belum ada tuntutan. Kalau ada media yang menyatakan bahwa Penuntut Umum telah mengajukan tuntutan 5 tahun, maka itu jelas-jelas salah. Yang terjadi adalah pelaku (AAL) baru selesai menjalani proses pembacaan dakwaan dengan ancaman Pasal 362 KUHP. Ancaman hukuman maksimal dalam pasal ini adalah 5 tahun. Mungkin inilah yang kemudian diberitakan sebagai tuntutan padahal tuntutan dan dakwaan adalah dua hal yang berbeda.
Satu hal yang penting, karena status AAL adalah “anak” maka sesuai Pasal 26 UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, AAL hanya dapat dijatuhi pidana maksimal selama 2 tahun dan 6 bulan (karena seorang “anak” maksimal hanya menjalani pidana setengah dari orang dewasa).
Lalu, apakah dengan demikian AAL akan dijatuhi
pidana penjara ? Belum tentu, UU Pengadilan Anak menyatakan bahwa selain dapat menjatuhkan
pidana penjara, Hakim juga dapat menjatuhkan pidana : mengembalikan kepada
orang tua, wali, atau orang tua asuh, menyerahkan kepada negara untuk mengikuti
pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau menyerahkan kepada Departemen
Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang
pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.
Dalam perkara AAL ini kemungkinan besar pidana
yang akan dijatuhkan hakim adalah salah satu dari 3 hal tersebut.
Terus terang, perkara-perkara seperti AAL ini bagaikan buah simalakama bagi penegak hukum. Di satu sisi, perkara tersebut telah memenuhi unsur-unsur pembuktian sehingga sesungguhnya tidak ada alasan untuk menghentikan kasus ini. Apalagi dalam praktek, korban yang merasa dirugikan terus menerus mendatangi penegak hukum mempertanyakan kelanjutan kasusnya. Kasus ini adalah delik biasa dan bukan delik aduan, sehingga tanpa laporanpun kalau polisi mengetahui ada kejadian wajib melakukan proses hukum. Dalam perkara AAL, Jaksa peneliti ataupun penyidik telah berusaha mengupayakan perdamaian antara pelaku dan korban, namun korban tetap berkeras. Menurut Mabes Polri, bahkan orang tua pelakulah yang ngotot agar anaknya dibawa ke pengadilan agar anak itu menyedari kesalahannya.
Dalam sistem penanganan pidana anak, kita belum mengenal mekanisme afdoening buiten process seperti di negeri Belanda. Dalam mekanisme demikian, penegak hukum yang dipimpin seorang penuntut umum dapat mengambil alih pemeriksaan dan mengumpulkan pihak yang bersengketa lalu mengupayakan penyelesaian secara damai. Bila terjadi kesepakatan, maka dituangkan secara tertulis dan persoalan dianggap selesai.
Sistem hukum kita juga belum mengenal keadilan Restoratif dalam mekanisme perundang-undangan. Keadilan restoratif mendudukkan para pihak yang bersengketa bersama-sama dengan tokoh masyarakat atau pemerintahan. Dalam konsep demikian, pelaku mengganti kerugian, korban memaafkan pelaku dan pelaku dapat melakukan suatu kegiatan yang membawa manfaat bagi lingkungannya sekaligus menjahit kembali harmoni yang terkoyak oleh perbuatannya.
Berbagai kasus anak seperti AAL ini seharusnya menjadikan para legislator sadar, bahwa ada sistem atau mekanisme yang salah dalam penanganan perkara anak. Untuk itu, sebaiknya dilakukan percepatan penyusunan materi perundang-undangan yang memberi landasan pada penegak hukum menyelesaikan perkara-perkara demikian diluar proses peradilan ataupun diluar pidana pemenjaraan.
Bagaimana dengan kasus pemukulan yang dialami AAL ? Tentu saja itu adalah dua hal yang berlainan dan memiliki proses penyelesaian yang berbeda. Terhadap si pelaku yang anggota Polisi dapat saja dilakukan peradilan kode etik dan peradilan umum.
Sungguh tidak elok perbuatan memukul anak kecil seperti AAL. Sama tidak eloknya kalau kita yang tidak
mengetahui persis duduk persoalannya lalu memvonis bahwa pihak ini bersalah
atau pihak itu keterlaluan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar