Dalam
pertemuan di gedung Bappenas tanggal 13 Februari 2012 yang membahas tentang
Pertemuan pendahuluan berkaitan dengan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun
2013, dipaparkan asumsi-asumsi makro ekonomi proyeksi tahun 2012 dan 2013.
Dalam asumsi-asumsi makro ekonomi tersebut dipaparkan mengenai pertumbuhan
ekonomi 2012 sebesar 6,7 % (2013 diproyeksikan 7 %), Inflasi 5,3 % (2013
diproyeksikan 5 %) serta Rupiah di angka Rp. 8800 (2013 diproyeksikan 9000), tingkat
pengangguran pada 6,4-6,6 (2013 diproyeksikan 6,0 – 6,3) serta angka kemiskinan
10,5 – 11,5 (2013 diproyeksikan 9,5 – 10,5).
Tanggal 13
Februari 2012, Presiden pada acara silaturahim dengan jurnalis Istana
Kepresidenan di Istana Negara, masih sangat
yakin akan mencapai pertumbuhan yang diproyeksikan pemerintah di angka 6,7 %. Proyeksi
pertumbuhan ekonomi 2012 yang terkesan sangat berani dan optimis di tengah
sisa-sisa krisis ekonomi eropa itu akhirnya direvisi sendiri oleh Bank
Indonesia menjadi 6,5 %. Meskipun angka itu sebenarnya juga masih berada di
atas angka proyeksi dari Bank Dunia yang mematok 6,3 % sebagai angka yang
realistis.
Publik patut
berbangga pada optimisme dan kesiapan pemerintah dalam mendorong pertumbuhan
ekonomi, meskipun sesungguhnya jika
dilihat persektor
seuai Laporan BPS, pertumbuhan tertinggi terjadi pada pengangkutan dan komunikasi
yang mampu tumbuh 10,7 persen. Tertinggi kedua pada pengangkutan dan
komunikasi 10,7 persen. Kemudian perdagangan, hotel dan restoran 9,2 persen.
Keuangan, real estat dan jasa perusahaan 6,8 persen. Sektor jasa-jasa dan
konstruksi masing-masing 6,7 persen, industri pengolahan 6,2 persen. Kemudian
listrik, gas dan air bersih 4,8 persen. Pertanian 3,0 persen serta
pertambangan
dan penggalian 1,4 persen.
Optimisme
di bidang ekonomi tersebut ternyata juga menular ke bidang hukum, terutama yang
berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi. Proyeksi yang dipaparkan melalui
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) juga semakin meningkat dari tahun ke tahun. IPK
adalah suatu hasil dari Survei pengukuran korupsi yang dilaksanakan Transparency International (TI)
mengenai tingkat kecenderungan terjadinya suap di beberapa institusi publik
ataupun pemerintah daerah. Tahun 2010 angka IPK Indonesia adalah 2,8 dan
menjadi 3,0 pada 2011. Angka IPK itu diproyeksi meningkat pada tahun 2012
menjadi 3,2 serta 4,0 pada 2013 hingga berujung di angka 5,0 pada tahun 2014
ketika masa pemerintahan Presiden SBY berakhir. Angka-angka itu lalu
diperbandingkan dengan hasil pengukuran di negara-negara lain untuk menentukan
posisi indonesia dalam kancah “perkorupsian” dunia. Menurut Transparency
International (TI) dari 183
negara, pada 2011
Indonesia mengalami kenaikan skor 0,2 dibanding tahun 2010, dan menempati posisi 100 dengan skor sebesar 3,0. Angka ini di ASEAN lebih rendah dari Singapura
yang memiliki skor CPI tertinggi dengan skor 9,2. Disusul Brunei Darussalam
5,2. Malaysia 4,3. Thailand 3,4. Posisi Indonesia
masih lebih baik ketimbang Vietnam
2,9. Filipina 2,6. Laos 2,2. Kamboja 2,1. Myanmar 1,5.
Khusus
pada angka IPK yang juga secara optimis diramalkan akan meningkat, publik
rasanya harus memberi perhatian khusus terkait kinerja lembaga-lembaga
pemerintahan dan KPK serta proyeksinya ke depan.
1. Kejaksaan.
Menurut data yang dikeluarkan oleh ICW,
pada tahun 2011, Kejaksaan RI telah menangani 332 perkara korupsi dengan
kerugian negara sejumlah Rp. 1,133 Triliun. BPK memberikan pendapat berkaitan
dengan penilaian terhadap Laporan Keuangan Kejaksaan RI tahun 2010 adalah Wajar
Dengan Pengecualian. Pendapat BPK tersebut merupakan peningkatan setelah
beberapa tahun sebelumnya mengeluarkan pendapat Disclaimer terhadap Kejaksaan.
2. Kepolisian.
Menurut data yang dikeluarkan oleh ICW,
pada tahun 2011, Kepolisian RI telah menangani 82 perkara korupsi dengan
kerugian negara sejumlah Rp. 943,7 Miliar. Terhadap Laporan Keuangan Kepolisian
tahun 2010, BPK memberikan pendapat berupa Wajar
Tanpa Pengecualian dengan Paragraf Penjelasan.
3. KPK.
Menurut data yang dikeluarkan oleh ICW,
pada tahun 2011, KPK telah menangani 22 perkara korupsi dengan kerugian negara
sejumlah Rp. 75,2 miliar. Terhadap
Laporan Keuangan KPK tahun 2010, BPK memberikan pendapat berupa Wajar Tanpa
Pengecualian seperti halnya beberapa tahun terakhir.
Tahun
2012 adalah tahun yang krusial bagi penegakan hukum. Pengalaman di akhir 2011
memberikan pelajaran tentang banyak hal. Kasus-kasus besar yang selama ini
terpendam di bawah permukaan kehidupan masyarakat mulai terkuak. Sengketa
pertanahan, sengketa pertambangan dan anarkisme dalam mengungkapkan pendapat
akan banyak mewarnai proses penegakan hukum di tahun 2012. Kesiapan penegak
hukum akan menjadi “key factor” bagi keberhasilan negara menangani masalah
dalam penegakan hukum.
Berkaitan
dengan kesiapan penegak hukum, pemberdayaan lembaga-lembaga konvensional mutlak
dilakukan. KPK tidak bisa dipungkiri telah menjadi semacam “role model” dalam
pemberantasan korupsi. Keberhasilan KPK dalam membentuk sistem internal dan
pola hubungannya ke luar telah membangkitkan harapan akan lembaga penegak hukum
yang lebih baik. Alangkah baiknya pula kalau model KPK ini ditularkan pada
lembaga-lembaga hukum konvensional, baik dari segi sistem, kewenangan ataupun
personilnya.
Demikian
pula dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Pemerintah masih berkutat
sebagai “pemadam kebakaran” yang hanya hadir ketika “api” telah membesar.
Pemerintah belum sampai pada tahap bagaimana membangun mekanisme pencegahan
“kebakaran” yang akurat. Sistem yang akurat akan mampu mencegah orang berbuat
kejahatan. Sistem menutup “kesempatan” sebagai salah satu inti dari suatu
pelaksanaan kejahatan selain “niat”. Oleh karenanya, tanpa suatu “road map” pemberantasan
korupsi yang jelas, integratif dan komprehensif, pemerintah hanya akan berjalan
di tempat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar