Jumat, 16 Maret 2012

Optimisme Asumsi Makro Ekonomi dan Indeks Persepsi Korupsi


Dalam pertemuan di gedung Bappenas tanggal 13 Februari 2012 yang membahas tentang Pertemuan pendahuluan berkaitan dengan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2013, dipaparkan asumsi-asumsi makro ekonomi proyeksi tahun 2012 dan 2013. Dalam asumsi-asumsi makro ekonomi tersebut dipaparkan mengenai pertumbuhan ekonomi 2012 sebesar 6,7 % (2013 diproyeksikan 7 %), Inflasi 5,3 % (2013 diproyeksikan 5 %) serta Rupiah di angka Rp. 8800 (2013 diproyeksikan 9000), tingkat pengangguran pada 6,4-6,6 (2013 diproyeksikan 6,0 – 6,3) serta angka kemiskinan 10,5 – 11,5 (2013 diproyeksikan 9,5 – 10,5).
Tanggal 13 Februari 2012, Presiden pada acara silaturahim dengan jurnalis Istana Kepresidenan di Istana Negara, masih sangat yakin akan mencapai pertumbuhan yang diproyeksikan pemerintah di angka 6,7 %. Proyeksi pertumbuhan ekonomi 2012 yang terkesan sangat berani dan optimis di tengah sisa-sisa krisis ekonomi eropa itu akhirnya direvisi sendiri oleh Bank Indonesia menjadi 6,5 %. Meskipun angka itu sebenarnya juga masih berada di atas angka proyeksi dari Bank Dunia yang mematok 6,3 % sebagai angka yang realistis.

Publik patut berbangga pada optimisme dan kesiapan pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, meskipun sesungguhnya jika dilihat persektor seuai Laporan BPS, pertumbuhan tertinggi terjadi pada pengangkutan dan komunikasi yang mampu tumbuh 10,7 persen. Tertinggi kedua pada pengangkutan dan komunikasi 10,7 persen. Kemudian perdagangan, hotel dan restoran 9,2 persen. Keuangan, real estat dan jasa perusahaan 6,8 persen. Sektor jasa-jasa dan konstruksi masing-masing 6,7 persen, industri pengolahan 6,2 persen. Kemudian listrik, gas dan air bersih 4,8 persen. Pertanian 3,0 persen serta pertambangan dan penggalian 1,4 persen.

Optimisme di bidang ekonomi tersebut ternyata juga menular ke bidang hukum, terutama yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi. Proyeksi yang dipaparkan melalui Indeks Persepsi Korupsi (IPK) juga semakin meningkat dari tahun ke tahun. IPK adalah suatu hasil dari Survei pengukuran korupsi yang dilaksanakan Transparency International (TI) mengenai tingkat kecenderungan terjadinya suap di beberapa institusi publik ataupun pemerintah daerah. Tahun 2010 angka IPK Indonesia adalah 2,8 dan menjadi 3,0 pada 2011. Angka IPK itu diproyeksi meningkat pada tahun 2012 menjadi 3,2 serta 4,0 pada 2013 hingga berujung di angka 5,0 pada tahun 2014 ketika masa pemerintahan Presiden SBY berakhir. Angka-angka itu lalu diperbandingkan dengan hasil pengukuran di negara-negara lain untuk menentukan posisi indonesia dalam kancah “perkorupsian” dunia. Menurut Transparency International (TI) dari 183 negara, pada 2011 Indonesia mengalami kenaikan skor 0,2 dibanding tahun 2010, dan menempati posisi 100 dengan skor sebesar 3,0. Angka ini di ASEAN lebih rendah dari Singapura yang memiliki skor CPI tertinggi dengan skor 9,2. Disusul Brunei Darussalam 5,2. Malaysia 4,3. Thailand 3,4. Posisi Indonesia masih lebih baik ketimbang Vietnam 2,9. Filipina 2,6. Laos 2,2. Kamboja 2,1. Myanmar 1,5.

Khusus pada angka IPK yang juga secara optimis diramalkan akan meningkat, publik rasanya harus memberi perhatian khusus terkait kinerja lembaga-lembaga pemerintahan dan KPK serta proyeksinya ke depan.
1.      Kejaksaan.
Menurut data yang dikeluarkan oleh ICW, pada tahun 2011, Kejaksaan RI telah menangani 332 perkara korupsi dengan kerugian negara sejumlah Rp. 1,133 Triliun. BPK memberikan pendapat berkaitan dengan penilaian terhadap Laporan Keuangan Kejaksaan RI tahun 2010 adalah Wajar Dengan Pengecualian. Pendapat BPK tersebut merupakan peningkatan setelah beberapa tahun sebelumnya mengeluarkan pendapat Disclaimer terhadap Kejaksaan.
2.      Kepolisian.
Menurut data yang dikeluarkan oleh ICW, pada tahun 2011, Kepolisian RI telah menangani 82 perkara korupsi dengan kerugian negara sejumlah Rp. 943,7 Miliar. Terhadap Laporan Keuangan Kepolisian tahun 2010, BPK memberikan pendapat berupa Wajar Tanpa Pengecualian dengan Paragraf Penjelasan.
3.      KPK.
Menurut data yang dikeluarkan oleh ICW, pada tahun 2011, KPK telah menangani 22 perkara korupsi dengan kerugian negara sejumlah Rp. 75,2 miliar. Terhadap Laporan Keuangan KPK tahun 2010, BPK memberikan pendapat berupa Wajar Tanpa Pengecualian seperti halnya beberapa tahun terakhir.

Tahun 2012 adalah tahun yang krusial bagi penegakan hukum. Pengalaman di akhir 2011 memberikan pelajaran tentang banyak hal. Kasus-kasus besar yang selama ini terpendam di bawah permukaan kehidupan masyarakat mulai terkuak. Sengketa pertanahan, sengketa pertambangan dan anarkisme dalam mengungkapkan pendapat akan banyak mewarnai proses penegakan hukum di tahun 2012. Kesiapan penegak hukum akan menjadi “key factor” bagi keberhasilan negara menangani masalah dalam penegakan hukum.

Berkaitan dengan kesiapan penegak hukum, pemberdayaan lembaga-lembaga konvensional mutlak dilakukan. KPK tidak bisa dipungkiri telah menjadi semacam “role model” dalam pemberantasan korupsi. Keberhasilan KPK dalam membentuk sistem internal dan pola hubungannya ke luar telah membangkitkan harapan akan lembaga penegak hukum yang lebih baik. Alangkah baiknya pula kalau model KPK ini ditularkan pada lembaga-lembaga hukum konvensional, baik dari segi sistem, kewenangan ataupun personilnya.

Demikian pula dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Pemerintah masih berkutat sebagai “pemadam kebakaran” yang hanya hadir ketika “api” telah membesar. Pemerintah belum sampai pada tahap bagaimana membangun mekanisme pencegahan “kebakaran” yang akurat. Sistem yang akurat akan mampu mencegah orang berbuat kejahatan. Sistem menutup “kesempatan” sebagai salah satu inti dari suatu pelaksanaan kejahatan selain “niat”. Oleh karenanya, tanpa suatu “road map” pemberantasan korupsi yang jelas, integratif dan komprehensif, pemerintah hanya akan berjalan di tempat.
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar