Senin, 19 Maret 2012

Pengelolaan Konflik antar Penegak Hukum


Pada tanggal 5 hingga 9 Maret 2012 kemarin, saya bersama sekitar 40 peserta lain mengikuti Diklat Manajemen Peradilan Pidana I di jakarta Center for Law Enforcement Cooperation (JCLEC) Semarang. Diklat tersebut terselenggara atas kerjasama pihak JCLEC, United Nations Offices on Drug and Crime (UNODC) dan Organisasi Kemitraan. Para pemateri  sengaja didatangkan dari dunia akademisi yang sangat paham dengan dinamika peradilan pidana ditinjau dari ilmunya masing-masing. Diklat yang diselenggarakan dengan peserta dari LBH, Kepolisian, KPK, Kejaksaan, Mahkamah Agung tersebut berupaya menekankan kerjasama dan koordinasi dalam penanganan perkara.

Berbagai materi menarik disajikan dalam diklat lima hari tersebut. Sistem Peradilan Pidana disajikan berdasar kaca mata sosiologi, psikologi, manajemen dan hukum pidana. Termasuk juga perbandingan dengan sistem peradilan pidana yang berlaku di salah satu negara eropa oleh seorang penegak hukum dari negara eropa tersebut.
Kerjasama dan koordinasi dianggap penting oleh penyelenggara atas dasar pemahaman bahwa banyak masalah yang terjadi di pengambilan kebijakan ataupun di tingkat lapangan terjadi karena keengganan, keseganan ataupun ego sektoral masing-masing institusi.

Dari sekian banyak materi yang disajikan (termasuk game-game hiburan yang menekankan kerja sama), materi yang saya anggap paling menarik adalah pandangan sosiologi tentang Peradilan Pidana. Materi ini dibawakan dengan sangat menarik oleh Dr. Bagong, seorang akademisi dari Universitas Airlangga Surabaya. Dengan pola andragogi yang tidak terkesan menggurui, Dr. Bagong (sering menyebut diri hanya sebagai Pak Bagong) menyajikan kisah-kisah konflik yang nyata terjadi di masyarakat. Dengan mengungkap hal-hal tersebut, beliau telah membongkar pemahaman yang selama ini menjadi basis tindakan para penegak hukum dalam melaksanakan tugas-tugasnya.

Pak Bagong memulai uraiannya dengan menyajikan bahwa teori harmonis yang selama ini menjadi cita-cita semua orang adalah teori yang tidak memiliki banyak referensi. Harmonisasi sesungguhnya tidak ada. Kalau harmonisasi dipahami sebagai ketiadaan konflik maka kata itu sebenarnya hanya hidup dalam dunia idee. Tidak ada satu unit masyarakat terkecilpun yang benar-benar harmonis. Oleh karenanya, keberhasilan dalam pengelolaan kehidupan masyarakat bukan karena  ketiadaan konflik melainkan karena kemampuan mengelola konflik.
Ajaran yang mengakomodasi konflik sebagai bagian dari kehidupan masyarakat banyak digunakan oleh Georg Simmel yang kemudian disempurnakan oleh Lewis A. Coser. Menurut Coser, konflik merupakan proses yang bersifat instrumental dalam membentuk dan memelihara struktur sosial. Konflik membentuk batas imajiner antara dua kelompok masyarakat. Ketika konflik terjadi, ia juga secara tidak langsung memperkuat identitas kelompok, mengeratkannya dan melindunginya agar tidak “ditelan” oleh kelompok masyarakat lainnya.

Agar konflik tidak membesar dan meledak, Coser menawarkan gagasan yang disebutnya sebagai safety valve atau katup penyelamat. Gagasan ini  adalah salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial. “Katup penyelamat” membiarkan luapan permusuhan tersalur tanpa menghancurkan seluruh struktur, konflik membantu “membersihkan suasana”  dalam kelompok yang sedang kacau. Coser melihat katup penyelamat berfungsi sebagai jalan ke luar yang meredakan permusuhan, yang tanpa itu hubungan- hubungan di antara pihak-pihak yang bertentangan akan semakin menajam

Pada tataran masyarakat yang lebih luas (Pak Bagong sering mengambil daerah Surabaya sebagai contoh), “Katup penyelamat” ini dapat berupa teriakan, umpatan/makian suatu kelompok pada kelompok lainnya atau bahkan dapat berupa memori kolektif yang dijaga sekedar sebagai basis tindakan. Dengan mengambil contoh kejadian di daerah “Kembang Jepun” yang relatif stabil, Pak Bagong menunjukkan bagaimana kohesivitas hubungan dibangun atas dasar perbedaan suku, agama ataupun ras. Perbedaan itu tidak sampai mengakibatkan kericuhan atau kerusuhan dikarenakan setiap kelompok menerima manfaat dari kohesivitas hubungan tersebut. Tujuan/manfaat yang diterima itu pada gilirannya menyatukan semua pihak untuk berinteraksi dan saling menerima meski terkadang terselip konflik sebagai “Katup penyelamat” yang menyalurkan energi negatif.

Pada konteks hubungan antara sesama penegak hukum, pengelolaan konflik antar setiap institusi harus dipandang sebagai upaya untuk menyelaraskan hubungan ke arah yang lebih baik.  Dengan mengakomodir tujuan sistem peradilan pidana sebagai keberhasilan semua kelompok maka setiap konflik akan dimaknai sebagai suatu pergeseran mencari titik keseimbangan yang lebih baik dalam mengapresiasi hubungan selanjutnya. Hubungan kemudian dibangun atas dasar komunikasi, saling memahami, memerlukan dan tidak cepat tersinggung terhadap sesuatu.

Dari sisi teori, sebagian besar konflik yang terjadi diantara para penegak hukum (saya berusaha menghindari penggunaan kata “aparat” karena menurut Prof. MR, dalam bahasa Rusia “aparat” adalah penegak hukum yang korup, buruk dan sewenang-wenang) adalah konflik yang disebabkan oleh  ancaman identitas, kesalahpahaman antar budaya dan transformasi. Ancaman identitas sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan disertai ketakutan bahwa kehilangan atau penderitaan itu akan terulang di masa datang. Kesalahpahaman antar budaya memahami bahwa konflik disebabkan oleh ketidak cocokan dalam cara-cara komunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda. Sedang transformasi berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi.

Pembahasan yang menarik dan sangat dekat dengan keseharian oleh Pak Bagong lalu ditutup oleh Pak Bambang Widjojanto pada bagian akhir diklat yang menekankan bahwa suatu hubungan yang baik tidaklah hanya karena dibangun atas dasar saling memberi dan menerima melainkan harus dengan memberi lebih banyak untuk memulai suatu hubungan sebelum kemudian secara bersama-sama menerima hasil lebih banyak, jauh dari yang telah dikeluarkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar