Kamis, 15 Maret 2012

Tindak Pidana Pencucian Uang pada Putusan Majelis Hakim Kasus Hakim (non aktif) Syarifuddin


foto : tribunnews.com
Hakim (non aktif) Syarifuddin telah divonis penjara selama 4 tahun dan denda Rp150 juta subsidair empat bulan penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor. Meski putusan itu lebih ringan 16 tahun dari tuntutan Penuntut Umum, putusan itu tetap merupakan produk hukum yang harus dihormati bersama.
Tulisan kali ini tidak bermaksud untuk mempersoalkan kesenjangan antara tuntutan dan putusan, melainkan mencoba membahas pertimbangan hakim yang terserak pada berbagai media massa, khususnya pada bagian yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang. Tentu saja pertimbangan hakim harus dibaca melalui suatu putusan yang utuh. Namun sekedar sebagai materi pembelajaran, tidak salah juga kiranya kalau uraian yang hadir lewat media massa dijadikan sebagai bahan kajian.

Pada portal berita online “inilah.com” tertanggal 28 Februari 2012 disebutkan :
Selain itu, majelis hakim menyatakan uang dalam bentuk mata uang asing yang turut disita dari rumah Syarifuddin ketika digeledah KPK senilai Rp2 miliar dikembalikan kepada terdakwa. Majelis hakim beralasan soal itu itu tidak dimasukkan dalam surat dakwaan oleh penuntut umum sehingga tidak ada kewajiban terdakwa untuk melakukan pembuktian terbalik atas asal muasal uang tersebut.
Atas vonis ini, penuntut umum menyayangkan karena majelis hakim tidak memerintahkan pembuktian terbalik. Menurut penuntut umum, penggunaan pasal 38 UU Pemberantasan Korupsi soal pembuktian terbalik tidak perlu dimaksukan dalam surat dakwaan karena hukum acara mengatur seperti itu.
Pada tanggal yang sama, Republika.co.id memberitakan :
Tidak adanya dakwaan pencucian uang terhadap terdakwa perkara korupsi hakim Syarifudin Umar dinilai menjadi penyebab ditolaknya permohonan pembuktian terbalik dari Jaksa Penuntut Umum. Ketua Kelompok Regulasi Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan, Fitriadi, mengungkapkan seharusnya jaksa memasukkan pencucian uang dalam dakwaan.
"Ketentuannnya untuk bisa dibuktikan terbalik, dakwaan harus masuk. Tetapi tidak ada dalam dakwaan, ini kan lucu,"ujar Fitriadi saat dihubungi, Selasa (28/2). 
Jika dikenakan pencucian uang, ungkapnya, Pasal 77 Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menjelaskan bahwa pembuktian terbalik merupakan kewajiban terdakwa. Menurut dia, terdakwa harus menjelaskan bahwa harta kekayaan itu tidak terkait dengan perkara yang disangkakan.
Demikian pula kanal berita Vivanews.com pada 28 Februari 2012 :
Dalam dakwaan, penuntut umum hanya mendakwakan perihal uang Rp250 juta. Adapun yang tidak didakwakan maka barang bukti dikembalikan kepada terdakwa,” kata Hakim Anggota Ugo di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Selasa 28 Februari 2012.
Majelis Hakim mengatakan, pembuktian terbalik terhadap mata uang asing yang ditemukan KPK di rumah terdakwa tidak tercantum dalam dakwaan. Sementara untuk melakukan pembuktian terbalik sebagaimana pasal 38 Undang-undang Tipikor, Hakim berpendapat perihal mata uang asing itu harus masuk dalam dakwaan.
“Maka hal-hal yang di luar dakwaan, tidak dapat dipertimbangkan majelis hakim,” ujar Hakim Ugo. Hakim memerintahkan hal-hal yang tidak berhubungan dengan dakwaan dikembalikan kepada terdakwa.

Dari ketiga majalah berita online tersebut dapat ditarik intisari yang serupa yaitu :
1.    Dalam penggeledahan di rumah terdakwa, ditemukan barang bukti berupa uang dalam bentuk mata uang asing yang ditaksir bernilai sekitar 2 Milyar Rupiah;
2.    Penuntut Umum tidak memasukkan dalam surat dakwaan perihal barang bukti berupa uang dalam bentuk mata uang asing yang ditaksir bernilai sekitar 2 Milyar Rupiah.
3.    Oleh karena Penuntut Umum tidak memasukkan perihal barang bukti berupa uang dalam bentuk mata uang asing yang ditaksir bernilai sekitar 2 Milyar Rupiah dalam surat dakwaan maka Majelis Hakim tidak mengizinkan adanya upaya pembalikan beban pembuktian yang diusulkan Penuntut Umum.
4.    Majelis Hakim memutuskan untuk mengembalikan barang bukti berupa uang dalam bentuk mata uang asing yang ditaksir bernilai sekitar 2 Milyar Rupiah kepada terdakwa dengan alasan bahwa hal-hal yang diluar dakwaan, tidak dapat dipertimbangkan Majelis Hakim.

Dasar dari suatu pemeriksaan di persidangan adalah surat dakwaan. Ini mengesampingkan pendapat yang menyatakan bahwa dasar pemeriksaan adalah berkas perkara. Dalam suatu urut-urutan penggunaan dokumen pada tahap pra penuntutan maka berkas perkara adalah dasar dari penyusunan surat dakwaan. Penuntut Umum dapat mengesampingkan beberapa fakta yang termuat dalam berkas perkara apabila menurutnya fakta tersebut tidak berkaitan dengan pembuktian perkara ketika menyusun surat dakwaan. Meskipun demikian, suatu surat dakwaan yang dibuat dengan tidak berlandaskan pada perbuatan materil sebagaimana terurai dalam berkas perkara dari penyidik, dapat dibatalkan oleh Hakim.
Kembali pada putusan perkara Hakim (non aktif) Syarifuddin, nampak bahwa Majelis Hakim yang menangani perkara tersebut berpendapat bahwa Penuntut Umum harus memasukkan perihal barang bukti berupa uang dalam bentuk mata uang asing yang ditaksir bernilai sekitar 2 Milyar Rupiah tersebut ke dalam Surat Dakwaan. Persoalannya, kalau benar harus masuk, perihal barang bukti tersebut harus dinarasikan dimana dan bagaimana ? Mengikuti alur berpikir Majelis Hakim seperti ini, menurut saya paling tidak terdapat dua kemungkinan yang dapat dilakukan, yaitu :
1.    Perihal Barang bukti tersebut masuk ke dalam penguraian tentang pelanggaran terhadap UU Pencucian Uang. Terhadap hal ini, Penuntut Umum harus memastikan penyidik telah melengkapi berkas perkara dengan menambahkan pasal-pasal tentang pencucian uang. Artinya, bentuk dakwaan berubah menjadi kombinasi dengan penambahan secara kumulatif dakwaan tentang pencucian uang, diluar dakwaan tentang tindak pidana korupsi. Dengan komposisi dakwaan seperti ini, Majelis Hakim tidak memiliki alasan untuk menolak permintaan Penuntut Umum yang menghendaki adanya pembalikan beban pembuktian dalam persidangan.
2.    Narasi tentang Perihal Barang bukti dapat dimasukkan dalam uraian perbuatan tentang tindak pidana korupsi. Ketika Penuntut Umum dalam bagian akhir dakwaannya menguraikan tentang proses penangkapan terdakwa, dapat disisipkan narasi mengenai ditemukan adanya sejumlah barang yang tidak jelas asal-usulnya di rumah terdakwa apakah berkaitan dengan perkara ini atau tidak. Dengan menyisipkan uraian tentang asal-usul barang bukti, dalam proses persidangan, Penuntut Umum dapat meminta adanya pembalikan beban pembuktian agar keberadaan barang bukti tersebut menjadi jelas. Ketidakmampuan terdakwa menjelaskan asal-usul barang bukti tersebut dapat dianggap sebagai kebenaran materiil yang memberi peluang pada Majelis Hakim agar memutuskan status barang bukti menjadi harta milik negara. Upaya ini sebenarnya “gambling” karena belum tentu Majelis Hakim menyetujui adanya upaya pembalikan beban pembuktian.

Terlepas dari kemungkinan-kemungkinan tersebut, Majelis Hakim seharusnya dapat bertindak lebih arif dengan berupaya sekeras mungkin menggali kebenaran materiil dan tidak membiarkan proses-proses formil “membajak” hal-hal yang sifatnya materiil. Dengan mengungkap setiap fakta yang lahir di persidangan, Majelis Hakim memiliki referensi yang banyak tentang bagaimana sikap dan keseharian terdakwa. Referensi itu pada gilirannya akan berguna untuk mengetahui apakah perbuatan pidana telah terjadi dan membangun keyakinan bahwa terdakwa adalah pelaku dari tindak pidana tersebut.

3 komentar:

  1. blog bang ismed konsisten mengenai hukum...menarik skali

    salam hangat

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bung Patta : sy hanya mencoba belajar membaca dan belajar menulis. Thanks.

      Salam kembali

      Hapus
  2. informasi yang menarik..:) smoga hukum di indonesia semakin adil..! terima kasih

    BalasHapus