foto : tribunnews.com |
Hakim (non aktif) Syarifuddin telah divonis penjara
selama 4 tahun dan denda Rp150
juta subsidair empat bulan penjara oleh Majelis Hakim
Pengadilan Tipikor. Meski putusan itu lebih ringan 16 tahun dari tuntutan
Penuntut Umum, putusan itu tetap merupakan produk hukum
yang harus dihormati bersama.
Tulisan kali ini tidak bermaksud untuk mempersoalkan
kesenjangan antara tuntutan dan putusan, melainkan mencoba membahas
pertimbangan hakim yang terserak pada berbagai media massa, khususnya pada
bagian yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang. Tentu saja
pertimbangan hakim harus dibaca melalui suatu putusan yang utuh. Namun sekedar
sebagai materi pembelajaran, tidak salah juga kiranya kalau uraian yang hadir
lewat media massa dijadikan sebagai bahan kajian.
Pada portal berita online “inilah.com” tertanggal 28 Februari
2012 disebutkan :
Selain itu, majelis
hakim menyatakan uang dalam bentuk mata uang asing yang turut disita dari rumah
Syarifuddin ketika digeledah KPK senilai Rp2 miliar dikembalikan kepada
terdakwa. Majelis hakim beralasan soal itu itu tidak dimasukkan dalam surat
dakwaan oleh penuntut umum sehingga tidak ada kewajiban terdakwa untuk
melakukan pembuktian terbalik atas asal muasal uang tersebut.
Atas vonis ini,
penuntut umum menyayangkan karena majelis hakim tidak memerintahkan pembuktian
terbalik. Menurut penuntut umum, penggunaan pasal 38 UU Pemberantasan Korupsi
soal pembuktian terbalik tidak perlu dimaksukan dalam surat dakwaan karena
hukum acara mengatur seperti itu.
Pada tanggal yang sama, Republika.co.id
memberitakan :
Tidak adanya dakwaan pencucian uang terhadap terdakwa
perkara korupsi hakim Syarifudin Umar dinilai menjadi penyebab ditolaknya
permohonan pembuktian terbalik dari Jaksa Penuntut Umum. Ketua Kelompok
Regulasi Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan, Fitriadi, mengungkapkan
seharusnya jaksa memasukkan pencucian uang dalam dakwaan.
"Ketentuannnya untuk bisa dibuktikan terbalik, dakwaan
harus masuk. Tetapi tidak ada dalam dakwaan, ini kan lucu,"ujar Fitriadi
saat dihubungi, Selasa (28/2).
Jika
dikenakan pencucian uang, ungkapnya, Pasal 77 Undang-Undang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menjelaskan bahwa pembuktian
terbalik merupakan kewajiban terdakwa. Menurut dia, terdakwa harus menjelaskan
bahwa harta kekayaan itu tidak terkait dengan perkara yang disangkakan.
Demikian pula
kanal berita Vivanews.com pada 28 Februari 2012 :
Dalam dakwaan, penuntut umum hanya mendakwakan perihal uang Rp250 juta.
Adapun yang tidak didakwakan maka barang bukti dikembalikan kepada terdakwa,”
kata Hakim Anggota Ugo di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Selasa 28
Februari 2012.
Majelis Hakim mengatakan, pembuktian terbalik terhadap mata uang asing yang
ditemukan KPK di rumah terdakwa tidak tercantum dalam dakwaan. Sementara untuk
melakukan pembuktian terbalik sebagaimana pasal 38 Undang-undang Tipikor, Hakim
berpendapat perihal mata uang asing itu harus masuk dalam dakwaan.
“Maka hal-hal yang di luar dakwaan, tidak dapat dipertimbangkan majelis
hakim,” ujar Hakim Ugo. Hakim memerintahkan hal-hal yang tidak berhubungan
dengan dakwaan dikembalikan kepada terdakwa.
Dari ketiga majalah berita online tersebut dapat ditarik
intisari yang serupa yaitu :
1.
Dalam
penggeledahan di rumah terdakwa, ditemukan barang bukti berupa uang dalam
bentuk mata uang asing yang ditaksir bernilai sekitar 2 Milyar Rupiah;
2.
Penuntut
Umum tidak memasukkan dalam surat dakwaan perihal barang bukti berupa uang
dalam bentuk mata uang asing yang ditaksir bernilai sekitar 2 Milyar Rupiah.
3.
Oleh
karena Penuntut Umum tidak memasukkan perihal barang bukti berupa uang dalam
bentuk mata uang asing yang ditaksir bernilai sekitar 2 Milyar Rupiah dalam
surat dakwaan maka Majelis Hakim tidak mengizinkan adanya upaya pembalikan
beban pembuktian yang diusulkan Penuntut Umum.
4.
Majelis
Hakim memutuskan untuk mengembalikan barang bukti berupa uang dalam bentuk mata
uang asing yang ditaksir bernilai sekitar 2 Milyar Rupiah kepada terdakwa
dengan alasan bahwa hal-hal yang diluar dakwaan, tidak dapat dipertimbangkan Majelis
Hakim.
Dasar dari suatu pemeriksaan di
persidangan adalah surat dakwaan. Ini mengesampingkan pendapat yang menyatakan
bahwa dasar pemeriksaan adalah berkas perkara. Dalam suatu urut-urutan
penggunaan dokumen pada tahap pra penuntutan maka berkas perkara adalah dasar
dari penyusunan surat dakwaan. Penuntut Umum dapat mengesampingkan beberapa
fakta yang termuat dalam berkas perkara apabila menurutnya fakta tersebut tidak
berkaitan dengan pembuktian perkara ketika menyusun surat dakwaan. Meskipun
demikian, suatu surat dakwaan yang dibuat dengan tidak berlandaskan pada perbuatan
materil sebagaimana terurai dalam berkas perkara dari penyidik, dapat
dibatalkan oleh Hakim.
Kembali pada putusan perkara Hakim
(non aktif) Syarifuddin, nampak bahwa Majelis Hakim yang menangani perkara
tersebut berpendapat bahwa Penuntut Umum harus memasukkan perihal barang bukti
berupa uang dalam bentuk mata uang asing yang ditaksir bernilai sekitar 2 Milyar
Rupiah tersebut ke dalam Surat Dakwaan. Persoalannya, kalau benar harus masuk,
perihal barang bukti tersebut harus dinarasikan dimana dan bagaimana ?
Mengikuti alur berpikir Majelis Hakim seperti ini, menurut saya paling tidak
terdapat dua kemungkinan yang dapat dilakukan, yaitu :
1. Perihal Barang bukti tersebut
masuk ke dalam penguraian tentang pelanggaran terhadap UU Pencucian Uang.
Terhadap hal ini, Penuntut Umum harus memastikan penyidik telah melengkapi
berkas perkara dengan menambahkan pasal-pasal tentang pencucian uang. Artinya,
bentuk dakwaan berubah menjadi kombinasi dengan penambahan secara kumulatif
dakwaan tentang pencucian uang, diluar dakwaan tentang tindak pidana korupsi.
Dengan komposisi dakwaan seperti ini, Majelis Hakim tidak memiliki alasan untuk
menolak permintaan Penuntut Umum yang menghendaki adanya pembalikan beban
pembuktian dalam persidangan.
2.
Narasi
tentang Perihal Barang bukti dapat dimasukkan dalam uraian perbuatan tentang
tindak pidana korupsi. Ketika Penuntut Umum dalam bagian akhir dakwaannya
menguraikan tentang proses penangkapan terdakwa, dapat disisipkan narasi
mengenai ditemukan adanya sejumlah barang yang tidak jelas asal-usulnya di
rumah terdakwa apakah berkaitan dengan perkara ini atau tidak. Dengan
menyisipkan uraian tentang asal-usul barang bukti, dalam proses persidangan,
Penuntut Umum dapat meminta adanya pembalikan beban pembuktian agar keberadaan
barang bukti tersebut menjadi jelas. Ketidakmampuan terdakwa menjelaskan
asal-usul barang bukti tersebut dapat dianggap sebagai kebenaran materiil yang
memberi peluang pada Majelis Hakim agar memutuskan status barang bukti menjadi
harta milik negara. Upaya ini sebenarnya “gambling” karena belum tentu Majelis
Hakim menyetujui adanya upaya pembalikan beban pembuktian.
Terlepas dari kemungkinan-kemungkinan
tersebut, Majelis Hakim seharusnya dapat bertindak lebih arif dengan berupaya
sekeras mungkin menggali kebenaran materiil dan tidak membiarkan proses-proses
formil “membajak” hal-hal yang sifatnya materiil. Dengan mengungkap setiap
fakta yang lahir di persidangan, Majelis Hakim memiliki referensi yang banyak
tentang bagaimana sikap dan keseharian terdakwa. Referensi itu pada gilirannya
akan berguna untuk mengetahui apakah perbuatan pidana telah terjadi dan
membangun keyakinan bahwa terdakwa adalah pelaku dari tindak pidana tersebut.
blog bang ismed konsisten mengenai hukum...menarik skali
BalasHapussalam hangat
Bung Patta : sy hanya mencoba belajar membaca dan belajar menulis. Thanks.
HapusSalam kembali
informasi yang menarik..:) smoga hukum di indonesia semakin adil..! terima kasih
BalasHapus