Senin, 22 Agustus 2011

METODE PERINGATAN PROKLAMASI YANG UNIK DI KAMPUNG KAMI


Bagaimana anda atau lingkungan anda meresapi nilai-nilai proklamasi yang diikrarkan 66 tahun yang lalu ? Mungkin anda akan menjawab dengan mengadakan upacara bendera setiap tanggal 17 Agustus, perlombaan panjat pinang atau sederet kegiatan massal lainnya. Sah-sah saja, toh setiap orang punya cara sendiri-sendiri memperingati dan memaknai hari bersejarah dalam kehidupan bernegara kita itu.
Namun, dari sekian cara atau kegiatan yang rutin dan biasa dilaksanakan tersebut, di tempat saya memperoleh Kartu Tanda Penduduk di Dusun Watuadeg Desa Wukirsari Kec. Cangkringan daerah kawasan merapi ada hal yang unik. Keunikan itu baru saya jumpai kemarin ketika penduduk setempat melaksanakan kenduren dalam rangka selikuran (CMIIW) untuk memperingati malam kemulyaan lailatul Qadr. Kenduren merupakan media atau sarana warga dalam mengungkapkan berbagai rasa pada sang Pencipta. Ada kenduren sebagai syukuran atas suatu kenikmatan atau kebahagiaan ada pula kenduren dalam arti permohonan tolak bala atau ungkapan rasa kesedihan. Rasanya sedikit unik bagi saya yang lahir dan dibesarkan di pedalaman Sulawesi (Pulau Buton) bahwa ungkapan kesedihan diekspresikan dengan saling berbagi bahan makanan pada tetangga sekitar dan (tentu saja) doa bersama
Lazimnya dalam setiap kenduren, disediakan bahan makanan sehari-hari dalam sebuah wadah. Bedanya, kalau dalam kenduren yang lain, wadah berisi makanan itu disediakan sang empunya hajat, dalam kenduren selikuran, bahan makanan disediakan oleh setiap warga. Setiap rumah tangga kebagian membawa sebuah wadah berisi makanan yang selanjutnya diantarkan ke rumah Ketua RT.
Nah, keunikan yang saya maksud adalah ketika mengantarkan bahan makanan, para warga yang sebagian besar  adalah petani kebanyakan membawa dua wadah berisi makanan. Dari hasil tanya-tanya kepada para tetangga (dengan pemahaman bahasa jawa yang masih minim), saya mendapat jawaban mencengangkan. Kalau satu wadah tersebut dimaksudkan untuk tradisi selikuran, maka wadah yang satu lagi adalah untuk memperingati 17 Agustusan atawa hari proklamasi.
Dalam pembacaan doa yang dipimpin oleh seorang pemuda alumni pesantren setempat (mas Jono), terselip doa yang dinukil dari Surat Al Qadr dan doa agar tanah Indonesia menjadi tanah yang “gemah ripa loh jinawi”. Permohonan pada sang Maha Pemberi itu kemudian diakhiri dengan surat Al Fatihah dan salam-salaman para peserta kenduren. Selanjutnya masing-masing pulang dengan membawa wadah makanan yang dibawanya kembali ke rumah
Sebagai orang seberang, tradisi itu sangat menarik perhatian saya. Selama ini saya menyaksikan peringatan Proklamasi lebih banyak dilaksanakan secara struktural yang dikomandoi pemerintah. Berbagai kegiatan dilaksanakan dengan sokongan dana dari anggaran pemerintah atau hasil penarikan dana dari warga setempat. Kegiatan lebih banyak dilaksanakan secara hura-hura, massal dan minim nilai-nilai edukasi. Kegiatan-kegiatan itu bahkan mulai terkesan sebagai rutinitas yang membosankan.
Namun disini, tempat dimana gunung merapi berdiri dengan gagah, saya mendapat pelajaran dan hikmah yang sangat dalam. Warga berusaha menginternalisasikan nilai-nilai proklamasi dalam suatu doa dan perenungan yang sakral. Warga Cangkringan melakukannya dalam sunyi, tenang, damai dan penuh makna. Jauh dari hingar bingar kepentingan politik, pencitraan atau kesan yang wah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar