Argentina adalah tim bertabur bintang. Siapa yang tidak kenal nama-nama seperti Messi, Tevez, Higuain, Aguero, Mascherano, Zanetti atau Milito ? Kesebelasan apapun yang berhadapan dengan Argentina akan berpikir seribu kali dalam merumuskan strategi yang tepat menghadapinya. Copa America 2011 seakan menjadi panggung untuk menahbiskan nama-nama besar pemain Argentina sebagai seniman bola dunia.
Tapi apa yang terjadi ? Fakta kerapkali berbeda dengan apa yang diinginkan. Dalam dua pertandingan awal, Argentina seperti membentur tembok tebal. Para pemain yang selama ini dibangga-banggakan suporternya ternyata hanya menjadi macan kertas. Pergerakan, pengambilan posisi, penyerangan ataupun pertahanan tidak mencirikan kalau semua pemainnya adalah pemain papan atas dunia di liga-liga bergengsi. Sebelum menghadapi Argentina, Pelatih Kolombia Hernan Dario Gomez sesumbar secara lantang dengan mengatakan bahwa Argentina tidak bermain sebagai sebuah sistem yang kolektif.
Bagaimana memaknai keadaan ini ?
‘Sistem” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan yang membentuk suatu totalitas pengertian dari sudut pandangan teori, asas dan ketentuan hukum.
Meminjam teori Talcott Parson tentang Fungsionalisme Struktural, tim dengan nama besar seperti Argentina di Copa America 2011 ini tidak memiliki empat imperatif fungsional yang diperlukan (atau menjadi ciri) seluruh sistem yang kolektif (setidaknya dalam 2 partai awal). Yang pertama adalah proses Adaptasi. Tim Argentina harus mengatasi kebutuhan situasional yang datang dari luar. Ia harus beradaptasi dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan dengan kebutuhan-kebutuhannya. Tim lain tentu telah mengevaluasi berbagai keistimewaan tim Argentina. Sayangnya, Argentina yang merasa lebih “hebat” ketimbang tim lain kemudian memainkan pola standar dan monoton yang telah lama dianalisis tim-tim lawan. Sistem penyerangan yang dipraktekkan tim Argentina ternyata malah menkjadi bumerang karena ketidakmampuan mereka menembus gawang lawan. Parahnya lagi, Argentina seperti terkungkung oleh pola permainannya sendiri. Dalam konteks ini, sabda Rinus Michels sang pencipta metode penyerangan ala total football menemukan pembenaran, “tidak ada taktik yang benar-benar sempurna. Semua tergantung pada bagaimana reaksi di lapangan dan menemukan counter tactic yang tepat untuk diterapkan”.
Imperatif Fungsional kedua adalah pencapaian tujuan (Goal attainment). Tim Argentina sebagai sebuah kesatuan yang bersifat kolektif seharusnya mendefinisikan diri dalam upaya mencapai tujuan utamanya yaitu mengakhiri dominasi Brazil di lingkup regional Amerika Selatan. Seluruh tim harus menanamkan dengan kuat sugesti diri bahwa mereka sedang menciptakan sejarah yang akan dikenang sebagai kebangkitan generasi baru pasca generasi Maradona, Mario Kempes, Batista, Ruggeri ataupun Valdano.
Bagian ketiga dari Fungsional ala Parson adalah integrasi (Integration). Integrasi antara sesama pemain, antara pemain dengan taktik pelatih Sergio Batista ataupun antara pemain dengan espektasi publik yang demikian besar. Keberhasilan tim dalam mengelola nama-nama besar pemain akan menjadi parameter sejauh mana proses adaptasi itu akan menghasilkan sesuatu yang dahsyat. Terlihat betapa canggungnya Messi mendapat posisi sebagai target man, atau Tevez yang kewalahan harus mencari bola ke lapangan tengah. Proses adaptasi adalah dasar dalam mengatur pemain bintang dimanapun. Seluruh persoalan ego, kebintangan ataupun prestasi pribadi harus diletakkan di luar lapangan dan tidak ikut masuk dalam arena permainan. Pemain harus menampilkan diri sebagai kolektivitas yang sama dan tidak terbedakan. Barang siapa yang membawa individualisme dalam lapangan, maka ia akan berhadapan dengan esensi dasar sepakbola sebagai semua permainan tim yang mengandalkan kebersamaan. Pemain individualis akan dikutuk oleh ruh sepakbola hanya akan mendapat penghargaan semu dan dianggap gagal sebagai anak bangsa.
Fungsionalisme Parsonian yang terakhir adalah latensi (Latency) atau pemeliharaan pola. Suatu tim manapun harus mematenkan pola dasar permainan tim yang mengedepankan kebersamaan dalam permainan. Pola dasar yang digunakan harus terus-menerus disempurnakan dengan berbagai metode, taktik yang berkembang dalam permainan.
Dengan pendekatan ala Talcott Parson ini, dengan mudah disadari mengapa Argentina tidak berdaya menghadapi tim-tim semenjana seperti Bolivia atau Kolombia. Juga memperjelas pemahaman kita mengapa Argentina menang besar melawan Kostarika. Akan tetapi, ujian sebenarnya hadir ketika minggu nanti Argentina berhadapan dengan tim besar seperti Uruguay. Tim Uruguay juga memiliki problem yang sama dengan Argentina. Oleh karenanya, hanya tim dengan kesiapan mental dan keahlian memahami filsafat sepakbola yang akan memetik keuntungan dari pertemuan. Last but not least… tidak boleh dinafikan peran dewi keberuntungan.
Selamat menunggu partai Argentina vs Uruguay. May the best team win…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar