Senin, 22 Agustus 2011

RAMADHAN TIDAK SINGGAH DI KAMPUNG SAYA


Apakah anda merindukan suasana Ramadhan seperti penggambaran Anang dalam lagunya “suasana di kota santri” ? Jika jawaban anda, YA, maka anda sependapat dengan saya.
Saya dibesarkan di kota Baubau Prop. Sulawesi Tenggara. Pada zaman saya mulai belajar mendefenisikan sesuatu (sekitar masa-masa SMP), saya menyadari diri berada dalam suasana yang sangat menyenangkan. Pada bulan Ramadhan seperti ini, aktivitas sehari-hari berlangsung di seputaran mesjid. Mulai dari mengaji, berzikir, berdiskusi, menyiapkan buka bersama hingga tidurpun seringkali di dalam mesjid Nurul Abidin, belakang Kantor Depag Baubau. Kami para remaja mesjid yang mengendalikan seluruh kegiatan di mesjid, mulai dari persiapan buka puasa, hingga protokol dan doa diantara shalat tarawih. Meski bukan kota santri, suasana sosial masyarakat pada saat itu juga sangat menyenangkan. Warga sangat menghormati bulan suci ini. Kita mungkin saja akan berdebat soal teknis-teknis penghormatan, namun pada saat itu, suasana ramadhan terasa sangat kental melingkupi perjalanan kehidupan masyarakat Baubau.
Hal-hal itu terasa hingga kini. Saya selalu menyandingkan penghormatan terhadap bulan suci ini dengan suasana batin saya pada akhir tahun 1980-an tersebut. Rasanya suasana masa lalu itu tidak akan terulang kembali, bahkan ketika pulang kampung sejenak merasakan awal puasa. Terasa ada yang hilang walau tak berwujud. Suasana yang kental penuh religi menyambut kedatangan bulan suci pergi entah kemana. Saya bahkan bertanya dalam hati, adakah Ramadhan singgah secara sosiologis di kampung saya ?
Tentu saja memperbandingkan kehidupan masa lalu dan masa sekarang tidaklah setara. Ada banyak faktor yang mempengaruhinya. Mulai dari perilaku hidup konsumtif, rasa individu yang menegak hingga hal-hal yang sederhana seperti menjamurnya sarana hiburan yang merasuk ke ruang-ruang privat.  Tetapi tak apalah sekali-sekali subyektifitas menyeruak di tengah perasaan, untuk menyenangkan diri sekaligus menyadarkan bahwa kita masih manusia dan belum jadi malaikat.
Perlahan-lahan tapi pasti Kota Baubau berevolusi mengadopsi kebiasaan kota-kota besar. Di Jakarta, penghormatan terhadap bulan Ramadhan berlangsung setengah hati. Tempat makan, restoran atau café-café lainnya tetap beroperasi walaupun di depannya terpasang spanduk mengucapkan selamat menjalankan ibadah puasa. Orang yang berlalu lalang sambil merokok atau duduk makan minum di pinggir jalan sudah pemandangan yang biasa. Rasa malu karena tidak berpuasa sudah lenyap digantikan alasan mengejar hidup yang lebih baik. Kualitas hidup kemudian ditentukan oleh seberapa banyak seseorang memiliki lembaran-lembaran alat tukar. Bahkan untuk itu, rasa sosial dalam beragama ditempatkan pada antrian baris terakhir.
Saya sedih. Saya memang bukan orang yang sungguh taat dalam beragama walaupun saya juga bukan representasi kalangan pendosa. Saya hanya merindukan suasana tenang dan nyaman seperti di kampung saya dulu. Meski sangat sadar bahwa hal itu tidak mungkin lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar