Saya seringkali melakukan wisata intelektual melalui kunjungan ke toko-toko buku. Hal ini biasa saya lakukan sejak masa mahasiswa. Ada kepuasan tersendiri memandang tumpukan buku di rak yang tersedia sambil membaca judul buku yang memang sengaja dipampangkan. Terkadang senyum melihat judul buku-buku itu, terkadang pula meraih lalu membaca bagian pengantar yang sering diletakkan pada sampul belakang.
Minggu lalu wisata intelektual itu kembali saya lakukan ke beberapa toko buku besar dalam wilayah Jogjakarta. Pada sebuah toko buku di jalan Kaliurang, saya menemukan sebuah buku berjudul “Mereformasi birokrasi publik Indonesia : Studi perbandingan intervensi pejabat politik terhadap pejabat birokrasi di Indonesia dan Malaysia.” Sebenarnya tema-tema seperti ini bukan tema yang terlalu menarik bagi saya. Hanya saja ada suatu hal yang membuat buku ini berbeda. Buku ini ditulis oleh seorang sahabat saya yaitu Dr. Azhari, S.STP. M.Si, Rektor Universitas 19 November Kolaka. Sahabat ini juga baru usai menunaikan tugasnya mencalonkan diri sebagai calon Bupati Buton (meskipun dinyatakan kalah oleh KPU dan “pertarungan” berpindah ke MK).
Dahulu ketika berada di Kolaka, kami adalah sebagian kecil warga Kolaka yang dipersatukan oleh kesamaan kultur dan etnis Buton. Setiap bertemu, kami selalu menyempatkan diri ngobrol dalam bahasa buton (pogau wolio) sembari mengingat daerah asal kami yang terpisahkan laut dan gunung dengan Kolaka. Dalam berbagai pertemuan itu, Azhari sering bercerita tentang tema-tema birokrasi yang menjadi bahasan dalam penyusunan disertasi tingkat doktoralnya di UGM. Ternyata kemudian disertasi kawan saya itu diterbitkan oleh Pustaka Pelajar pada Januari 2011 dengan judul sebagaimana saya sebutkan di atas.
Buku ini langsung “menohok” ketika membaca pengantar pada bagian belakang cover yang mengutip koran Kendari Pos beberapa waktu setelah Nur Alam menjabat Gubernur Sultra : “…Sapu bersih. Itulah kata yang pantas untuk menggambarkan perombakan kabinet yang dilakukan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam, SE, kemarin. Tak hanya mengubah sebagian tetapi Nur Alam melakukan perombakan total. Alhasil, seluruh pejabat Eselon II era Gubernur Ali Mazi sebanyak 85 orang dinonjobkan SK Gubernur No. 89/2008…”.
Meskipun Azhari adalah kandidat yang pernah berkompetisi melawan Nur Alam pada panggung pilkada Propinsi Sultra (meskipun juga kalah), kutipan koran Kendari Pos di atas saya yakin jauh dari kesan parsial yang belakangan ini merasuk dalam kalangan cendekiawan Kampus. Azhari sebenarnya sedang menghadirkan sesuatu yang sering terjadi di tengah-tengah kita. Hal ini sangat lekat dengan keseharian birokrasi di daerah kita. Terkadang kita menyadari hal itu meski kemudian kita dengan segera pula melupakannya. Kesalahan-kesalahan demikian seringkali menguap tanpa solusi.
Buku ini kemudian menjadi menarik karena berusaha menjelaskan bagaimana suatu intervensi terhadap birokrasi oleh seorang pejabat politik dilakukan. Seorang pejabat publik yang bersumber dari partai politik tanpa pengalaman apapun dalam dunia birokrasi tiba-tiba duduk sebagai penguasa tertinggi dunia pemerintahan di daerah. Bisa dibayangkan kalau seseorang yang tidak pernah menghirup hawa birokrasi atau meminum air perasan kepegawaian daerah ujug-ujug menjadi pimpinan pada level teratas.
Yang terjadi kemudian adalah “sapu bersih”. Mekanisme mutasi, promosi dan degradasi ditentukan oleh faktor like dan dislike. Baperjakat lalu menjadi sekedar simbol bahwa penilaian telah dilakukan meski penilaian sebenarnya dilakukan di ujung telunjuk sang pemimpin.
Menurut Azhari, berbagai persoalan birokrasi yang terjadi di Indonesia, khususnya di Prop. Sultra tidak terlepas dari tiga persoalan mendasar yang melingkupinya, yaitu Sistem Politik, Budaya birokrasi dan Manajemen Birokrasi.
Padahal sebenarnya kalau kita mau belajar, birokrasi di beberapa negara telah memberikan pelajaran mahal betapa pengelolaan manajemen pemerintahan yang lebih berorientasi sentralistik pada top leadernya memberikan sumbangsih nyata ketidakpercayaan masyarakat atas kerja-kerja pelayanan publik. Sebagaimana Lord Acton pernah berujar : “Power tends to corrpt, absolut power corrupt absolutely”. (Kekekuasaan cenderung untuk korup, kekuasaan absolut, pastilah korup)
Idealnya, setiap pemimpin meneladani mantan Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy yang pernah berujar : “My loyalty to my party ends where my loyalty to my country begins”. (kesetiaanku pada partai berakhir ketika kesetiaanku pada negara bermula).
Satu hal yang bagi saya menjadi kelemahan dari buku ini adalah kurangnya eksploitasi terhadap kutipan “sapu bersih” dari koran Kendari Pos yang sengaja diletakkan pada cover belakang untuk memantik keingintahuan pembaca. Dalam konteks politik lokal Sultra, bagaimana relasi antara daratan dan kepulauan dapat merasuk ke dalam sendi-sendi birokrasi dan memutus dengan kejam karir kepegawaian seseorang yang dibangun bertahun-tahun sebelumnya.
Terlepas dari kelebihan dan kekurangan buku ini, kawan saya Azhari telah memberikan sumbangsih nyata pada bangsa ini termasuk pada Prop. Sultra. Sumbangsih ini akan terekam jelas hingga tahun-tahun mendatang. Bahkan boleh jadi jejak penalaran seperti ini akan lebih dikenang dan diingat orang ketimbang sekedar menjadi Gubernur atau Bupati namun minim prestasi.
Terhadap sumbangan pemikiran yang sangat bernilai ini, saya mengucapkan Selamat buat kawan saya Dr. Azhari, S.STP. M.Si.