Sesuai
dangan teori perundang-undangan, suatu aturan yang diberlakukan sebagai bagian
dari sistem hukum harus memenuhi 3 kriteria, yaitu Lex Scripta (tertulis), lex
Stricta (tegas dan tidak membuka ruang penafsiran) serta not retroactive (tidak berlaku surut).
Aturan itu diakui secara internasional dan dianggap sebagai sesuatu yang benar
sampai saat ini. Bahwa sistem hukum membuka pengecualian dalam beberapa hal
seperti diakuinya konvensi atau kebiasaan, juga merupakan sesuatu yang diakui.
Dalam
upaya mempertahankan hukum pidana, Indonesia mempergunakan prosedur beracara
yang berpedoman pada aturan tertulis yaitu UU No. 8 tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Seluruh prosedur beracara dalam khazanah
hukum pidana mengacu kepada KUHAP sepanjang tidak diatur secara khusus. Tentu
saja aturan beracara tersebut dituangkan secara tertulis agar setiap masyarakat
mengetahui secara persis, mengukur langkah-langkah yang akan dilakukan
sekaligus menyesuaikan apa yang hendak dilakukannya dalam ruang hukum acara
pidana.
Dalam
hukum acara pidana (KUHAP) yang dianut sistem hukum Indonesia, tidak disebutkan
sejak kapan seseorang dinyatakan sebagai tersangka. Dalam artian, KUHAP tidak menyebutkan
pada dokumen apa seseorang dijadikan sebagai tersangka. KUHAP hanya mengatur bahwa
tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan
bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 14
KUHAP). Inilah yang sering menimbulkan pertanyaan dari mereka-mereka yang
dinyatakan sebagai tersangka bahwa mereka belum menerima pemberitahuan telah
ditetapkan sebagai tersangka. Ketiadaan surat/dokumen pemberitahuan ini
dikarenakan dalam KUHAP memang tidak ada surat/dokumen yang harus dikeluarkan
mengenai penetapan tersangka sekaligus dikirimkan pada tersangka.
Dalam
praktek, seseorang diketahui sebagai tersangka sejak terbitnya Surat Perintah
Penyidikan (Sprin Dik) atau ketika Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP)
diumumkan ke publik. Sebenarnya Surat Perintah Penyidikan tidak mengharuskan
adanya nama tersangka di dalamnya. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang
terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 angka 2 KUHAP). Dari pengertian
penyidikan itu, sebuah Sprin Dik tidak boleh mencantumkan nama tersangka. Nama
tersangka baru diperoleh ketika bukti-bukti telah terkumpul, sedangkan
bukti-bukti itu harus diperoleh secara pro
justitia atau diperoleh atas dasar Surat Perintah Penyidikan.
Kasus
Angelina Sondakh
Ketua
KPK pada Februari 2012 telah mengadakan jumpa pers yang menyatakan bahwa
Angelina Sondakh telah ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara yang
berkaitan dengan Wisma Atlet Sea Games Palembang. Dalam laman Vivanews
sebagaimana dapat dibaca DISINI, nampak bahwa Surat Perintah Penyidikan terhadap
Angelina Sondakh tertanggal 19 April 2012. Apa yang dapat dibaca dari berita
ini ?
Dari
berita tersebut nampak bahwa KPK telah melakukan pendzaliman terhadap Angelina
Sondakh. Sejak bulan Februari hingga April, Angelina Sondakh telah berjalan
kemana-mana dengan membawa label tersangka di atas kepalanya. Secara hukum, dia
tidak bebas beraktivitas, apalagi status cekal pun ditimpakan padanya. Demikian
pula kawan-kawan atau pihak-pihak yang hendak membuat hubungan hukum, pasti
mengurungkan niat mengingat statusnya sebagai tersangka. Secara sosial, dapat
dibayangkan rasa malu yang harus diterimanya karena publik terlanjur mencapnya
sebagai orang yang bersalah. Howard Becker, seorang Kriminolog yang
mengemukakan Teori Labelling mengungkapkan bahwa seseorang yang dianggap
melakukan perbuatan menyimpang lalu mendapat cap/label dari pihak
lain/masyarakat, akan mengalami stigma dan kalau itu terus berlanjut, orang
tersebut akan menerima atau terbiasa dengan cap/label tersebut.
Publik
tidak pernah tahu, atas dasar apa Ketua KPK mengumumkan status tersangka bagi
Angelina Sondakh. Kalau status tersangka itu didasarkan pada bukti permulaan
yang cukup sebagaimana Pasal 1 angka 14 KUHAP, sudah pasti, bukti permulaan itu
diperoleh sebelum adanya surat perintah penyidikan. Kalau diperoleh sebelum
adanya surat perintah penyidikan, maka sudah pasti pula bukti-bukti itu
diperoleh tidak secara pro justisia. Logika
ini kalau diteruskan akan sampai pada kesimpulan bahwa surat dakwaan disusun
atas berkas perkara yang tidak sah karena didasarkan pada alat-alat bukti yang
tidak pro justisia.
Dalam UU, tidak ada penjelasan yang tegas tentang
“bukti permulaan yang cukup”. Istilah ini dapat ditemukan pada Pasal 1 butir 14
KUHAP tentang tersangka dan istilah hampir sama dapat ditemukan pada Pasal 17
KUHAP tentang perintah penangkapan. Dalam bagian penjelasan Pasal 1 angka 17
KUHAP disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “bukti permulaan yang cukup” ialah
bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1
butir 14. Yahya Harahap menjelaskan bahwa untuk memahami pasal-pasal tersebut,
sebaiknya kata “permulaan” dihilangkan sehingga kalimat dalam Pasal 17 KUHAP
berbunyi : diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup.
Jika seperti ini, pengertian dan penerapannya lebih pasti. Dan kalau tidak
salah tangkap, pengertian yang dirumuskan dalam pasal itu hampir sama dengan
pengertian yang terdapat pada hukum acara pidana Amerika, yang menegaskan bahwa
untuk melakukan tindakan penangkapan atau penahanan, harus didasarkan atas affidavit and testimony, yakni harus didasarkan pada adanya bukti dan
kesaksian. Menurut PAF Lamintang dan Theo Lamintang, kalimat “bukti permulaan
yang cukup” dalam rumusan Pasal 17 KUHAP harus diartikan sebagai bukti-bukti
minimal berupa alat-alat bukti seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 184 ayat
(1) KUHAP, yang dapat menjamin bahwa penyidik tidak akan menjadi terpaksa untuk
menghentikan penyidikannya terhadap seseorang yang disangka melakukan suatu
tindak pidana, setelah terhadap orang tersebut dilakukan penangkapan.
Pelanggaran oleh KPK terhadap Angelina Sondakh
juga telah mereduksi hak Angelina untuk segera mendapat pemeriksaan sebagaimana
Pasal 50 ayat (1) KUHAP : “ tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh
penyidik...”. Penjelasan Pasal ini adalah : “ Diberikannya hak kepada tersangka
atau terdakwa dalam pasal ini adalah untuk menjauhkan kemungkinan terkatung-katungnya
nasib seseorang yang disangka melakukan tindak pidana terutama mereka yang
tidak dikenakan tindakan penahanan, jangan sampai lama tidak mendapat
pemeriksaan sehingga dirasakan tidak adanya kepastian hukum, adanya perlakuan
sewenang-wenang dan tidak wajar. Selain itu juga untuk mewujudkan peradilan
yang dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.”
Pada konteks ini, sebenarnya KPK telah
melanggar HAM karena merampas kemerdekaan Angelina untuk hidup bebas tanpa
perlakuan yang diskriminatif sebagaimana Pasal
28 I UUD 1945 : (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk
diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apa pun. (2) Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang
bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan
terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Kita
semua mendukung KPK, oleh karenanya koreksi maupun kritik harus senantiasa
dilakukan agar KPK tidak keluar dari rel kebenaran dan orang-orang yang
terlibat di dalamnya tidak pula berlaku sewenang-wenang yang mengatasnamakan
lembaga super body tersebut.