Kamis, 22 Desember 2011

Whistleblower & Justice Collaborator


Dalam beberapa kasus yang menjadi perhatian, publik seringkali menyaksikan perlakuan yang berbeda dilihat dari kaca mata hati nurani. Pihak tertentu yang di awal berupaya membongkar suatu masalah seringkali menjadi orang pertama pula yang harus terjerembab karenanya. Penegakan hukum bagaikan pisau bermata dua. Ketika suatu masalah itu diangkat ke permukaan dan menjadi konsumsi publik, pihak pengungkapnya harus bersiap-siap menerima tusukan pertama.
Padahal keberadaan para pembuka kasus atau pembongkar masalah seringkali menjadi pintu masuk ke perkara yang sesungguhnya. Pengungkapan kasus tidak dapat dilakukan hanya melalui mekanisme intersepsi (penyadapan) atau analisis terhadap masalah melainkan juga melalui kerja-kerja sunyi para penyelidik/penyidik dalam mengupayakan orang-orang yang bersedia memberi kesaksian.
Persoalan demikian, telah menjadi perhatian para penegak hukum sedunia, sehingga kemudian muncul beberapa istilah melalui berbagai aturan perundang-undangan untuk melindungi pihak-pihak yang demikian. Tulisan ini mencoba untuk menelusuri istilah-istilah demikian, termasuk upaya perlindungannya.
1.       WHISTLEBLOWER
Istilah whistleblower seringkali diterjemahkan sebagai “peniup peluit”. Istilah ini muncul sebagaimana layaknya suatu pertandingan olahraga yang selalu menghadirkan tiupan peluit dari wasit sebagai pertanda ada sesuatu hal yang perlu mendapat perhatian.  Dalam perkembangannya, whistleblower sering diartikan sebagai pelaku kriminal yang membongkar kejahatan. Dalam konteks ini, whistleblower meminjam istilah Prof. Indriyanto Seno Adji adalah inner-circle criminal yang dianggap memiliki daya potensial untuk membuka tabir kejahatan lebih signifikan.
Secara yuridis, whistleblower sebagaimana PP No.71 Tahun 2000 adalah orang yang memberi suatu informasi kepada penegak hukum atau komisi mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi dan bukan pelapor.
Tidak jelas sejak kapan istilah whistleblower mulai muncul, namun yang jelas, sebagaimana istilah “money laundering”/pencucian uang, istilah ini juga sangat lekat dengan dunia kejahatan atau mafia. Begitu kuatnya persaudaraan sesama anggota organisasi kejahatan mafia, organisasi ini sangat sulit untuk dibongkar kecuali ada anggota yang berkhianat. Pelaku yang membelot dan kemudian mendapat perlindungan penegak hukum ini kemudian dijuluki sebagai whistleblower (“peniup peluit”) atau pertanda yang mengagetkan orang lain/publik dan “membangunkan” anggota organisasi mafia sekaligus memaksa penegak hukum bergerak mengungkapnya.
Secara umum, pemahaman publik tentang whistleblower terbagi dua macam. Pemahaman pertama, whistleblower adalah orang yang mengungkap suatu tindak kejahatan namun tidak terlibat di dalamnya. Sedangkan pemahaman yang kedua memasukkan pengungkap kejahatan sebagai whistleblower meskipun juga terlibat di dalamnya.
Berdasarkan Surat Edaran MA (SEMA) No 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Whistleblower dan Justice Collaborator, kedua istilah ini mendapat pemisahan yang tegas. Pemahaman pertama, tetap disebut sebagai whistleblower, sedangkan pemahaman yang kedua dikategorikan sebagai Justice Collaborator. Menurut SEMA tersebut, whistleblower adalah seseorang yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu yang bukan pelaku tindak pidana itu. Apabila pelapor (whistleblower ) dilaporkan balik oleh terlapor, maka perkara yang dilaporkan pelapor didahulukan.
Perbedaan praktik yang terjadi dalam memperlakukan whistleblower ini sangat kental antara Indonesia dan negara-negara lain dalam sistem Eropa Kontinental ataupun sistem Anglo Saxon. Kalau di Indonesia, perlindungan yang terjadi sangat lemah dan bahkan sering berubah menjadi pelaku yang lebih dahulu di proses. Ccontoh yang paling kental berkaitan dengan hal ini adalah Vincentius Amin Sutanto (akuntan PT. Asian Agri yang mengetahui seluk beluk penggelapan pajak di perusahannya) dan Agus Condro (Politisi DPR dalam kasus cek pelawat). Ketika mereka berteriak membongkar upaya pelanggaran hukum di tempatnya bekerja, tiba-tiba mereka dijadikan tersangka atas kasus yang mereka laporkan. Di negara lain dalam sistem Eropa Kontinental ataupun sistem Anglo Saxon, whistleblower mendapat perlindungan yang sangat ketat, mulai dari perlindungan dari pengungkapan nama dan identitas ke publik hingga perlindungan terhadap diri dan keluarganya dalam menjalani kehidupan selanjutnya. Di negara-negara tersebut peran whistleblower sangat diutamakan untuk dilindungi mengingat sulitnya mengungkap kejahatan terorganisasi.

2.       JUSTICE COLLABORATOR
Pengertian Justice Collaborator secara yuridis dapat ditemukan pada Surat Edaran MA (SEMA) No 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Whistleblower dan Justice Collaborator. Pada SEMA tersebut, Justice Collaborator dimaknai sebagai seorang pelaku tindak pidana tertentu, tetapi bukan pelaku utama, yang mengakui perbuatannya dan bersedia menjadi saksi dalam proses peradilan. Dalam Surat Keputusan Bersama antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, KPK dan Mahkamah Agung, Justice Collaborator adalah seorang saksi, yang juga merupakan pelaku, namun mau bekerjasama dengan penegak hukum dalam rangka membongkar suatu perkara bahkan mengembalikan aset hasil kejahatan korupsi apabila aset itu ada pada dirinya.
Untuk menentukan seseorang sebagai Justice Collaborator, sesuai SEMA No. 4 Tahun 2011, ada beberapa pedoman, yaitu :
a.       Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalamSEMA ini, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.
b.      Jaksa penuntut umum dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik dan atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana yang dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan asset-aset/hasil suatu tindak pidana.
c.       Atas bantuannya tersebut, maka terhadap saksi pelaku yang bekerja sama sebagaimana dimaksud di atas, hakim dalam menentukan pidana yang akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-hal penjatuhan pidana sebagai berikut :
i.                     Menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus, dan/atau
ii.                   Menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan diantara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara dimaksud

Dalam pemberian perlakuan khusus dalam bentuk keringanan pidana hakim tetap wajib mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar