Selasa, 13 Desember 2011

Alat Bukti dalam Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang (Belajar dari Kasus WaOde Nurhayati)

foto : Metronews.com
Pemberitaan Kompas online hari ini (14/12) salah satunya membahas komentar-komentar dari anggota parlemen WaOde Nurhayati (WON). Berita dengan link DISINI menarik untuk dikaji karena banyak dari pernyataan itu yang perlu diluruskan sebagai salah satu upaya pembelajaran hukum pada masyarakat. Sebenarnya pernyataaan-pernyataan itu tidak salah, hanya sedikit melenceng keluar jalur sehingga perlu diklarifikasi agar masyarakat memahami persoalan yang sebenarnya.
Hal pertama yang harus dikomentari adalah pernyataan : "(Laporan) PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) itu tidak bisa dijadikan bukti hukum oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Karena permintaan PPATK itu sudah menyalahi prosedur. Marzuki Alie sebagai Ketua DPR telah menggunakan wewenang meminta aliran dana pribadi saya," ujar Wa Ode.
Pernyataan ini terdiri dari dua anak kalimat yang diikat oleh hubungan kausalitas. Pada anak kalimat pertama, WON benar, dengan menyatakan bahwa Laporan PPATK tidak dapat dijadikan bukti hukum oleh KPK (bahkan oleh siapapun juga, termasuk Hakim!).
Laporan yang disampaikan oleh PPATK terdiri dari dua laporan, yaitu Laporan Hasil Transaksi Keuangan Mencurigakan dan Laporan Hasil Transaksi Tunai. Dua jenis laporan ini oleh UU No. 8 tahun 2001 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PPTPPU) telah ditambah dengan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP). Berdasarkan Pasal 1 angka 7 UU PPTPPU, Laporan Hasil Pemeriksaan adalah Laporan Hasil dari proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi Transaksi Keuangan Mencurigakan yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional untuk menilai dugaan adanya tindak pidana. LHP ini sebenarnya adalah penajaman atau pendalaman dari Laporan Hasil Transaksi Keuangan Mencurigakan dan Laporan Hasil Transaksi Tunai.
Tentu saja ketiga dokumen laporan dari PPATK ini tidak dapat dijadikan alat bukti. Apalagi pada tingkat penyidikan ketika berbagai hal belum mendapat pembenaran secara yuridis. Kebocoran atau "tipping off" laporan PPATK tersebut merupakan suatu tindak pidana tersendiri sebagaimana diatur dalam Pasl 12 UU PPTPPU yang diancam pidana 5 tahun (Pelakunya dapat dikenakan penahanan pada tingkat penyidikan). Seorang kawan yang pernah bertugas di Bareskrim  Mabes Polri menceritakan, saking rahasianya Laporan PPATK, disposisi oleh Kabareskrim dilakukan tanpa membuka segel amplopnya. Disposisi hingga ke struktur terbawah dilakukan dalam amplop tertutup hingga kemudian dibuka oleh Ketua Tim Penyidik. Ruang penyimpanannyapun dilindungi sedemikian rupa hingga menyamai perlindungan uang pada bank-bank besar di tanah air (ruang khasanah).
Alat bukti dalam perkara Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) sebagaimana diatur dalam UU mencakup alat-alat bukti dalam KUHAP (keterangan saksi, ahli, surat, petunjuk dan keterangan tersangka) serta alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau alat yang serupa optik dan Dokumen.
Dalam praktek penanganan perkara pencucian uang, Laporan PPATK tidak pernah diperlihatkan dalam semua tahapan pemeriksaan (penyidikan, penuntutan dan persidangan). Kalaupun penegak hukum melihat/mengetahui hal itu, maka pengetahuan itu hanya untuk diri mereka sendiri dan bukan untuk diceritakan pada orang lain.
Apakah dengan demikian Laporan PPATK itu tidak ada manfaatnya ? Tentu saja tidak, bahkan laporan itu sangat bermanfaat karena dapat menjadi landasan atau acuan penyidik mencari dan mengumpulkan alat bukti ketika mulai melakukan penyidikan.
Jadi, laporan PPATK itu tidak dapat dijadikan alat bukti bukan karena permintaan yang menyalahi prosedur melainkan karena memang ada larangan yang dilengkapi sanksi bagi pihak yang mempublikasikannya.
Pada anak kalimat kedua, Ketua DPR menurut WON telah menyalahgunakan wewenangnya meminta aliran dana pribadi WON. Menurut UU PPTPPU, ada lima pihak yang dapat meminta informasi pada PPATK, yaitu instansi penegak hukum, lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap penyedia jasa keuangan, lembaga yang bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, lembaga lain yang terkait dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang atau tindak pidana lain terkait dengan tindak pidana Pencucian Uang; dan financial intelligence unit (PPATK-nya) negara lain. DPR atau Parlemen dapat dikategorikan sebagai lembaga keempat atau lembaga yang terkait dengan PPTPPU. Jadi, permintaan informasi kepada PPATK tersebut tidak dapat dipersalahkan sepanjang dilakukan secara institusi.
Demikian pula, PPATK tidak dapat dipersalahkan melanggar klausul Kerahasiaan Bank dalam UU tentang Perbankan. PPATK dilindungi oleh Pasal 41 ayat (2) UU PPTPPU. Siapapun pemilik rekening di perbankan, baik pribadi ataupun lembaga dapat ditelusuri dengan mudah oleh PPATK untuk mengetahui apakah pada rekening atau transaksi itu terjadi hal-hal yang mencurigakan.
Tentu saja, semua masyarakat berharap penuntasan kasus ini secara hukum tidak diinterupsi oleh berbagai persoalan politik. Biarkanlah alat-alat bukti saling bertarung di pengadilan tanpa ada upaya untuk mendistorsi apa yang sebenarnya sedang terjadi. Juga kepada semua pihak (termasuk KPK) dapat lebih jernih melihat persoalan.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar