Sabtu, 22 Februari 2014

Silang Sengkarut Penahanan Terhadap Saksi


Said Faisal (foto : tempo.co)
Said Faisal, Ajudan mantan Gubernur Riau Rusli Zainal akhirnya dikenakan status sebagai tersangka dan menjalani pemeriksaan perdana sekaligus mulai menjalani penahanan pada Jumat 21 Februari 2014. Penetapan tersangka itu dilakukan beberapa waktu setelah Said Faisal memberikan keterangan sebagai saksi dalam perkara mantan bosnya di Pengadilan Tipikor Riau pada hari Rabu tanggal 5 Februari 2014.
Menurut salah satu Penuntut Umum (sebagaimana dikutip dari Hr. Kompas), Said Faisal memberikan keterangan yang menyangkali penerimaan uang Rp. 500 juta dari Lukman. Pengingkaran itu bertentangan dengan keterangan Lukman. Said tetap mengingkari penerimaan uang itu, termasuk adanya rekaman pembicaraan telepon dirinya dengan Lukman. Rekaman pembicaraan telepon Lukman dengan Said berisi seputar pemberian uang Rp. 500 juta kepada Rusli Zainal.

Penetapan tersangka sekaligus penahanan terhadap seorang saksi yang memberikan keterangan tidak benar di ruang sidang merupakan babak baru dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi. Terobosan dengan menjadikan tersangka terhadap saksi yang memberikan keterangan palsu di depan persidangan merupakan suatu lampu kuning bagi para saksi yang (meminjam bahasa Busyro Muqoddas) menjadi hamba atasan dan bukan hamba Allah.

Selama ini, perlakuan terhadap saksi yang memberikan keterangan tidak benar dalam ruang persidangan hanya terungkap dalam wacana dan seolah berakhir di media massa. Hakim dan Penuntut Umum hanya dapat berkeluh kesah dalam laporan yang ditujukan kepada pimpinannya. Sesekali debat dan pembicaraan seputar saksi yang berdusta di pengadilan menyeruak dalam ruang publik untuk kemudian hilang dan menyelusup di emperan hati publik menunggu peluang melintasnya perhatian.

Ihwal berbohongnya saksi dalam proses penegakan hukum sebenarnya bukan tidak pernah dipikirkan oleh pembuat Undang-Undang. Pasal 22 UU Pemberantasan Tipikor No 31 tahun 1999 menyebutkan bahwa, “Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”. Perbuatan materiil dalam pasal itu bersifat comisionis dan ommisionis atau bersifat melakukan atau tidak melakukan.

Sesuai penafsiran gramatikal, pembuat UU sesungguhnya telah sadar sejak awal bahwa proses penegakan hukum dalam perkara tindak pidana korupsi akan senantiasa berhadapan dengan saksi yang diam, tidak bersedia memberikan keterangan yang diperlukan atau bahkan memberikan keterangan yang tidak sebenarnya. Dari sisi pemidanaan, pembuat UU mengkategorikan perbuatan pidana dalam pasal itu sebagai pidana yang berat karena ancamannya di atas 5 (ima) tahun dan karenanya harus didampingi Penasihat Hukum dalam setiap proses pemeriksaan.

Spirit Pasal 22 UU Pemberantasan Tipikor No 31 tahun 1999 juga berkorelasi dengan Pasal 242 KUHP, “ (1) Barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. (2) Jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. (3) Disamakan dengan sumpah adalah janji atau penguatan diharuskan menurut aturan- aturan umum atau yang menjadi pengganti sumpah.

Dengan aturan yang sedemikian tegas seperti itu, menjadi pertanyaan, mengapa proses hukum terhadap saksi yang memberikan keterangan palsu selama ini tidak pernah dilakukan ? Jawaban terhadap pertanyaan ini menurut saya, paling tidak karena empat hal.

Pertama, Penegak Hukum berpandangan bahwa memberikan keterangan sebagai saksi adalah hak dan bukan kewajiban. Oleh karena sebagai hak,  ia tidak memiliki konsekuensi perbuatan. Akibatnya lahir pandangan bahwa pemberian keterangan palsu tidak memberikan akibat secara signifikan pada proses pembuktian kesalahan terdakwa. Ini jelas pandangan yang keliru. Dalam Pasal 224 KUHP secara tegas dinyatakan bahwa memberikan keterangan sebagai saksi adalah suatu kewajiban yang memiliki konsekuensi berupa sanksi apabila tidak dilaksanakan. Penegak Hukum juga banyak melakukan tindakan permisif dengan lebih banyak bersimpati dan berempati pada saksi yang tidak hadir pada setiap tahapan penanganan perkara. Sikap seperti ini sedikit banyak menggelinding dan berefek pada saksi-saksi dalam perkara lain yang menganganggap kehadiran dalam proses penyidikan, penuntutan dan persidangan adalah tindakan fakultatif.

Kedua, lemahnya pembuktian terhadap saksi yang memberikan keterangan palsu. Ketika memberikan keterangan palsu di depan persidangan, Penuntut Umum sudah harus mulai memikirkan dengan alat bukti apa tindakan itu harus di proses hukum. Alat bukti yang dapat digunakan tentu saja adalah komparasi keterangan itu dengan keterangan saksi-saksi lain. Dalam beberapa hal, suatu kesaksian hanya didukung oleh sedikit saksi sehingga ketika komparasi harus dilakukan, kesaksian-kesaksian itu hanya dianggap sebagai keterangan yang berdiri sendiri. Penegak hukum yang sering “memata-matai” tentu dengan mudah menunjukkan bukti rekaman (taping) atau sadapan (intersepsi). Namun bagi penegak hukum lain yang sering berkutat “membangkitkan mayat/keterangan zaman lampau”, komparasi itu tak terpemanai sulitnya.

Ketiga, penegak hukum terkonsentrasi menangani perkara pokok. Di tengah-tengah tumpukan pekerjaan, Penegak Hukum cenderung mengesampingkan perkara-perkara accessoir yang berimpilikasi mengganggu penanganan perkara pokoknya. Hitungan-hitungan matematis berupa kerugian waktu, kemungkinan harus merefresh memori untuk kemudian menjadi saksi juga menjadi penghalang untuk menyeriusi saksi yang memberikan keterangan palsu. Apalagi kalau kemudian timbul anggapan bahwa penanganan perkara pokoknya tidak akan terganggu karena berlimpahnya alat-alat bukti lain yang dapat digunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa.

Keempat, kegamangan dalam menentukan proses beracara. UU Pemberantasan Tipikor No 31 tahun 1999 tidak menyebutkan bagaimana proses beracara itu dilakukan. Bagi sebagian orang, prosesnya akan tunduk pada proses biasa sebagaimana penanganan perkara tindak pidana korupsi yang lain melalui serangkaian upaya penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Penanganannya juga setali tiga uang dengan Pasal 21 tentang upaya merintangi proses penanganan perkara. Padahal masalah sesungguhnya yang nyata-nyata terjadi karena silang sengkarut aturan akan timbul kalau berkaitan dengan proses penanganan terhadap sangkaan keterangan palsu sebagaimana Pasal 174 KUHAP. Dalam Pasal itu disebutkan :
(1)  Apabila keterangan saksi di sidang disangka palsu, hakim ketua sidang memperingatkan dengan sungguh-sungguh kepadanya supaya memberikan keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap memberikan keterangan palsu.
(2)   Apabila saksi tetap pada keterangannya itu, hakim ketua sidang karena jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat memberi perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah palsu.
(3)  Dalam hal yang demikian oleh panitera segera dibuat berita acara pemeriksaan sidang yang memuat keterangan saksi dengan menyebutkan alasan persangkaan, bahwa keterangan saksi itu adalah palsu dan berita acara tersebut ditandatangani oleh hakim ketua sidang serta panitera dan segera diserahkan kapada penuntut umum untuk diselesaikan menurut ketentuan undang-undang ini.
(4)  Jika perlu hakim ketua sidang menangguhkan sidang dalam perkara semula sampai pemeriksaan perkara pidana terhadap saksi itu selesai.

Penjelasan Pasal 174 KUHAP hanya menyebutkan cukup jelas. Untuk itu ada baiknya apabila pasal tersebut ditafsirkan berdasarkan doktrin ataupun metode penafsiran gramatikal serta rasional.  Dalam ayat (2) Pasal 174 tersebut dikatakan bahwa apabila saksi tetap pada keterangannya, Hakim Ketua dapat memerintahkan untuk dilakukan Penahanan. Tidak jelas, apakah penaahanan yang dimaksud disitu dilakukan berdasarkan Penetapan Hakim atau atas dasar Surat Perintah Penyidikan (sesaat setelah persidangan dan saksi digelandang ke kantor penyidik). Demikian pula dengan ayat (3), berita acara pemeriksaan sidang setelah ditandatangani Hakim Ketua dan Panitera lalu diserahkan kepada Penuntut Umum. Juga tidak jelas, apakah Berita Acara Pemeriksaan sidang tersebut harus diserahkan kepada Penyidik melalui Penuntut Umum ataukah memang Penuntut Umum itulah yang dimaksud.

Penilaian terhadap keterangan seorang saksi yang diduga memberikan keterangan palsu sangat penting berkaitan dengan pemeriksaan perkara pokoknya. Tanpa bermaksud mendahului putusan hakim, tidak tertutup kemungkinan keterangan saksi yang diduga berbohong itulah yang benar. Oleh karenanya, penilaian terhadap keterangan saksi tersebut akan mempengaruhi jalannya perkara pokoknya. Boleh jadi atas dasar itu, lahir ayat (4) yang menyebutkan adanya kemungkinan penangguhan sidang perkara pokok hingga perkara pidana terhadap saksi itu selesai. Penangguhan itu juga akan berakibat pada masa penahanan dalam persidangan sekaligus hilangnya suasana batin pemeriksaan perkara.

Jika dilakukan rekonstruksi terhadap Pasal 174 tersebut maka boleh jadi proses acaranya menjadi demikian : Terhadap saksi yang diduga memberikan keterangan palsu setelah diperingatkan oleh Majelis Hakim, dapat dikenakan penahanan oleh Penuntut Umum berdasarkan pada surat Penetapan Hakim. Majelis Hakim juga sekaligus menunda persidangan perkara pokoknya sebelum kejelasan tentang kebohongan saksi itu diselesaikan melalui suatu persidangan tersendiri. Selanjutnya,  Hakim Ketua dan Panitera menandatangani berita acara pemeriksaan sidang untuk diserahkan kepada Penuntut Umum. Penuntut Umum tidak perlu menyerahkan kepada penyidik karena tidak ada jangka waktu yang jelas dalam KUHAP, lamanya penahanan berdasar penetapan hakim. Juga agar proses pemeriksaannya tidak berlarut-larut melalui pengumpulan alat bukti yang bertele-tele.  

Atas dasar  Berita Acara Pemeriksaan Sidang, Penuntut Umum kemudian menyusun catatan penuntut umum untuk kemudian diajukan melalui prosedur acara pemeriksaan singkat/APS. Mengapa  APS yang dipilih ? karena metode pemeriksaan akan dilakukan secara komparasi sehingga akan mudah dilakukan penilaian. Juga untuk mempercepat proses pemeriksaan agar perkara pokoknya segera mendapat kejelasan. Putusan dalam perkara singkat tersebut meski belum inkracht akan digunakan sebagai petunjuk dalam penyelesaian perkara pokoknya.

Dengan pola penyelesaian seperti itu tentu saja dua hal terselesaikan dengan segera yaitu, pertama, saksi yang berbohong di persidangan dapat diproses serta diberi putusan ,dan kedua, persidangan perkara pokoknya mendapat petunjuk/kejelasan dalam proses pembuktian sehingga majelis Hakim dapat lebih yakin dalam menjalankan tugasnya memutus perkara.

Pendapat ini juga sesuai dengan pendapat Yahya Harahap yang lebih mementingkan model penyelesaian secara substantif/materiil lebih didahulukan ketimbang menjalani prosedur formal yang berbelit-belit.
Tapi, apapun model penyelesaian yang digunakan, Penegak Hukum tetap harus mengedepankan asas praduga tak bersalah bagi siapapun juga.

Cangkringan, kaki  Gunung Merapi, DIY, 22 Februari 2014





Tidak ada komentar:

Posting Komentar