Said Faisal (foto : tempo.co) |
Said Faisal, Ajudan mantan
Gubernur Riau Rusli Zainal akhirnya dikenakan status sebagai tersangka dan
menjalani pemeriksaan perdana sekaligus mulai menjalani penahanan pada Jumat 21
Februari 2014. Penetapan tersangka itu dilakukan beberapa waktu setelah Said
Faisal memberikan keterangan sebagai saksi dalam perkara mantan bosnya di
Pengadilan Tipikor Riau pada hari Rabu tanggal 5 Februari 2014.
Menurut salah satu Penuntut Umum
(sebagaimana dikutip dari Hr. Kompas), Said Faisal memberikan keterangan yang
menyangkali penerimaan uang Rp. 500 juta dari Lukman. Pengingkaran itu
bertentangan dengan keterangan Lukman. Said tetap mengingkari penerimaan uang
itu, termasuk adanya rekaman pembicaraan telepon dirinya dengan Lukman. Rekaman
pembicaraan telepon Lukman dengan Said berisi seputar pemberian uang Rp. 500
juta kepada Rusli Zainal.
Penetapan tersangka sekaligus
penahanan terhadap seorang saksi yang memberikan keterangan tidak benar di
ruang sidang merupakan babak baru dalam penanganan perkara tindak pidana
korupsi. Terobosan dengan menjadikan tersangka terhadap saksi yang memberikan
keterangan palsu di depan persidangan merupakan suatu lampu kuning bagi para
saksi yang (meminjam bahasa Busyro Muqoddas) menjadi hamba atasan dan bukan
hamba Allah.
Selama ini, perlakuan terhadap saksi
yang memberikan keterangan tidak benar dalam ruang persidangan hanya terungkap
dalam wacana dan seolah berakhir di media massa. Hakim dan Penuntut Umum hanya
dapat berkeluh kesah dalam laporan yang ditujukan kepada pimpinannya. Sesekali
debat dan pembicaraan seputar saksi yang berdusta di pengadilan menyeruak dalam
ruang publik untuk kemudian hilang dan menyelusup di emperan hati publik
menunggu peluang melintasnya perhatian.
Ihwal berbohongnya saksi dalam
proses penegakan hukum sebenarnya bukan tidak pernah dipikirkan oleh pembuat
Undang-Undang. Pasal 22 UU Pemberantasan Tipikor No 31 tahun 1999 menyebutkan
bahwa, “Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29,
Pasal 35, atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau
memberi keterangan yang tidak benar dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda
paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”. Perbuatan materiil dalam
pasal itu bersifat comisionis dan ommisionis atau bersifat melakukan atau tidak
melakukan.
Sesuai
penafsiran gramatikal, pembuat UU sesungguhnya telah sadar sejak awal bahwa proses
penegakan hukum dalam perkara tindak pidana korupsi akan senantiasa berhadapan
dengan saksi yang diam, tidak bersedia memberikan keterangan yang diperlukan
atau bahkan memberikan keterangan yang tidak sebenarnya. Dari sisi pemidanaan, pembuat
UU mengkategorikan perbuatan pidana dalam pasal itu sebagai pidana yang berat
karena ancamannya di atas 5 (ima) tahun dan karenanya harus didampingi Penasihat
Hukum dalam setiap proses pemeriksaan.
Spirit Pasal 22
UU Pemberantasan Tipikor No 31 tahun 1999 juga berkorelasi
dengan Pasal 242 KUHP, “ (1) Barang siapa dalam keadaan di mana
undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau
mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi
keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi
maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana
penjara paling lama tujuh tahun. (2) Jika keterangan palsu di atas sumpah
diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka, yang bersalah
diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. (3) Disamakan dengan
sumpah adalah janji atau penguatan diharuskan menurut aturan- aturan umum atau
yang menjadi pengganti sumpah.
Dengan aturan yang sedemikian
tegas seperti itu, menjadi pertanyaan, mengapa proses hukum terhadap saksi yang
memberikan keterangan palsu selama ini tidak pernah dilakukan ? Jawaban
terhadap pertanyaan ini menurut saya, paling tidak karena empat hal.
Pertama, Penegak Hukum
berpandangan bahwa memberikan keterangan sebagai saksi adalah hak dan bukan
kewajiban. Oleh karena sebagai hak, ia
tidak memiliki konsekuensi perbuatan. Akibatnya lahir pandangan bahwa pemberian
keterangan palsu tidak memberikan akibat secara signifikan pada proses
pembuktian kesalahan terdakwa. Ini jelas pandangan yang keliru. Dalam Pasal 224
KUHP secara tegas dinyatakan bahwa memberikan keterangan sebagai saksi adalah
suatu kewajiban yang memiliki konsekuensi berupa sanksi apabila tidak
dilaksanakan. Penegak Hukum juga banyak melakukan tindakan permisif dengan
lebih banyak bersimpati dan berempati pada saksi yang tidak hadir pada setiap
tahapan penanganan perkara. Sikap seperti ini sedikit banyak menggelinding dan
berefek pada saksi-saksi dalam perkara lain yang menganganggap kehadiran dalam
proses penyidikan, penuntutan dan persidangan adalah tindakan fakultatif.
Kedua, lemahnya pembuktian
terhadap saksi yang memberikan keterangan palsu. Ketika memberikan keterangan
palsu di depan persidangan, Penuntut Umum sudah harus mulai memikirkan dengan
alat bukti apa tindakan itu harus di proses hukum. Alat bukti yang dapat
digunakan tentu saja adalah komparasi keterangan itu dengan keterangan
saksi-saksi lain. Dalam beberapa hal, suatu kesaksian hanya didukung oleh
sedikit saksi sehingga ketika komparasi harus dilakukan, kesaksian-kesaksian
itu hanya dianggap sebagai keterangan yang berdiri sendiri. Penegak hukum yang
sering “memata-matai” tentu dengan mudah menunjukkan bukti rekaman (taping)
atau sadapan (intersepsi). Namun bagi penegak hukum lain yang sering berkutat “membangkitkan
mayat/keterangan zaman lampau”, komparasi itu tak terpemanai sulitnya.
Ketiga, penegak hukum
terkonsentrasi menangani perkara pokok. Di tengah-tengah tumpukan pekerjaan,
Penegak Hukum cenderung mengesampingkan perkara-perkara accessoir yang
berimpilikasi mengganggu penanganan perkara pokoknya. Hitungan-hitungan
matematis berupa kerugian waktu, kemungkinan harus merefresh memori untuk
kemudian menjadi saksi juga menjadi penghalang untuk menyeriusi saksi yang
memberikan keterangan palsu. Apalagi kalau kemudian timbul anggapan bahwa
penanganan perkara pokoknya tidak akan terganggu karena berlimpahnya alat-alat
bukti lain yang dapat digunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa.
Keempat, kegamangan dalam
menentukan proses beracara. UU Pemberantasan Tipikor No 31 tahun 1999 tidak menyebutkan
bagaimana proses beracara itu dilakukan. Bagi sebagian orang, prosesnya akan
tunduk pada proses biasa sebagaimana penanganan perkara tindak pidana korupsi
yang lain melalui serangkaian upaya penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Penanganannya
juga setali tiga uang dengan Pasal 21 tentang upaya merintangi proses
penanganan perkara. Padahal masalah sesungguhnya yang nyata-nyata terjadi
karena silang sengkarut aturan akan timbul kalau berkaitan dengan proses
penanganan terhadap sangkaan keterangan palsu sebagaimana Pasal 174 KUHAP.
Dalam Pasal itu disebutkan :
(1) Apabila keterangan saksi di sidang disangka palsu, hakim ketua
sidang memperingatkan dengan sungguh-sungguh kepadanya supaya memberikan
keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan
kepadanya apabila ia tetap memberikan keterangan palsu.
(2) Apabila saksi tetap pada keterangannya itu, hakim ketua sidang
karena jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat
memberi perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjutnya dituntut perkara
dengan dakwaan sumpah palsu.
(3) Dalam hal yang demikian oleh panitera segera dibuat berita acara
pemeriksaan sidang yang memuat keterangan saksi dengan menyebutkan alasan
persangkaan, bahwa keterangan saksi itu adalah palsu dan berita acara tersebut
ditandatangani oleh hakim ketua sidang serta panitera dan segera diserahkan
kapada penuntut umum untuk diselesaikan menurut ketentuan undang-undang ini.
(4) Jika perlu hakim ketua sidang menangguhkan sidang dalam perkara
semula sampai pemeriksaan perkara pidana terhadap saksi itu selesai.
Penjelasan Pasal 174 KUHAP hanya
menyebutkan cukup jelas. Untuk itu ada baiknya apabila pasal tersebut
ditafsirkan berdasarkan doktrin ataupun metode penafsiran gramatikal serta
rasional. Dalam ayat (2) Pasal 174
tersebut dikatakan bahwa apabila saksi tetap pada keterangannya, Hakim Ketua
dapat memerintahkan untuk dilakukan Penahanan. Tidak jelas, apakah penaahanan
yang dimaksud disitu dilakukan berdasarkan Penetapan Hakim atau atas dasar
Surat Perintah Penyidikan (sesaat setelah persidangan dan saksi digelandang ke
kantor penyidik). Demikian pula dengan ayat (3), berita acara pemeriksaan sidang setelah ditandatangani Hakim Ketua dan
Panitera lalu diserahkan kepada Penuntut Umum. Juga tidak jelas, apakah Berita
Acara Pemeriksaan sidang tersebut harus diserahkan kepada Penyidik melalui
Penuntut Umum ataukah memang Penuntut Umum itulah yang dimaksud.
Penilaian terhadap keterangan seorang saksi yang diduga memberikan
keterangan palsu sangat penting berkaitan dengan pemeriksaan perkara pokoknya. Tanpa
bermaksud mendahului putusan hakim, tidak tertutup kemungkinan keterangan saksi
yang diduga berbohong itulah yang benar. Oleh karenanya, penilaian terhadap
keterangan saksi tersebut akan mempengaruhi jalannya perkara pokoknya. Boleh
jadi atas dasar itu, lahir ayat (4) yang menyebutkan adanya kemungkinan
penangguhan sidang perkara pokok hingga perkara pidana terhadap saksi itu
selesai. Penangguhan itu juga akan berakibat pada masa penahanan dalam
persidangan sekaligus hilangnya suasana batin pemeriksaan perkara.
Jika dilakukan rekonstruksi terhadap Pasal 174 tersebut maka boleh jadi
proses acaranya menjadi demikian : Terhadap saksi yang diduga memberikan
keterangan palsu setelah diperingatkan oleh Majelis Hakim, dapat dikenakan
penahanan oleh Penuntut Umum berdasarkan pada surat Penetapan Hakim. Majelis
Hakim juga sekaligus menunda persidangan perkara pokoknya sebelum kejelasan
tentang kebohongan saksi itu diselesaikan melalui suatu persidangan tersendiri.
Selanjutnya, Hakim Ketua dan Panitera
menandatangani berita acara pemeriksaan sidang untuk diserahkan kepada Penuntut
Umum. Penuntut Umum tidak perlu menyerahkan kepada penyidik karena tidak ada
jangka waktu yang jelas dalam KUHAP, lamanya penahanan berdasar penetapan hakim.
Juga agar proses pemeriksaannya tidak berlarut-larut melalui pengumpulan alat
bukti yang bertele-tele.
Atas dasar Berita Acara Pemeriksaan
Sidang, Penuntut Umum kemudian menyusun catatan penuntut umum untuk kemudian
diajukan melalui prosedur acara pemeriksaan singkat/APS. Mengapa APS yang dipilih ? karena metode pemeriksaan
akan dilakukan secara komparasi sehingga akan mudah dilakukan penilaian. Juga
untuk mempercepat proses pemeriksaan agar perkara pokoknya segera mendapat
kejelasan. Putusan dalam perkara singkat tersebut meski belum inkracht akan digunakan
sebagai petunjuk dalam penyelesaian perkara pokoknya.
Dengan pola penyelesaian seperti itu tentu saja dua hal terselesaikan
dengan segera yaitu, pertama, saksi yang berbohong di persidangan dapat diproses
serta diberi putusan ,dan kedua, persidangan perkara pokoknya mendapat petunjuk/kejelasan
dalam proses pembuktian sehingga majelis Hakim dapat lebih yakin dalam menjalankan
tugasnya memutus perkara.
Pendapat ini juga sesuai dengan pendapat Yahya Harahap yang lebih
mementingkan model penyelesaian secara substantif/materiil lebih didahulukan
ketimbang menjalani prosedur formal yang berbelit-belit.
Tapi, apapun model penyelesaian yang digunakan, Penegak Hukum tetap
harus mengedepankan asas praduga tak bersalah bagi siapapun juga.
Cangkringan, kaki Gunung Merapi,
DIY, 22 Februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar