Senin, 10 Februari 2014

Dari Tiada Corby Tanpa Pertanggungjawaban Pidana


foto : yustisi.com
Pembicaraan tentang Schapelle Leigh Corby beberapa hari ini begitu memenuhi ruang-ruang publik. Pro dan kontra mengenai pembebasan bersyaratnya begitu massif merasuk hingga ke kamar tidur warga. Mulai dari pejabat tinggi hingga rakyat jelata memperbincangkan dara asal negeri jiran di selatan itu. Materi pembahasan juga begitu beragam mulai dari sisi kemanusiaan, hubungan antar negara, kecantikan dan sikap terhadap para pengguna narkoba.
Bagi saya, Corby tidak sekedar perempuan berparas cantik yang dengan senyumnya membuat hubungan Indonesia dan Australia ketar-ketir. Corby juga bukan sekedar wanita muda yang menjadi kembang LP Kerobokan Denpasar. Corby ketika dalam persidangan di PN Denpasar adalah perlambang betapa ruwet dan kompleksnya dunia hukum pidana. Bahkan Corby juga menjadi materi perbandingan sistem hukum acara pidana antar dunia hukum pidana Indonesia dan Australia.
Sebagaimana diketahui bersama, Indonesia dan Australia memiliki dua sistem hukum yang berbeda. Kalau Indonesia menganut sistem civil law (eropa kontinental), Australia memilih pijakan common law (anglo saxon). Sistem hukum kita (utamanya penegakan hukum terhadap narkotika) menganut prinsip crime control sedangkan Australia yang menjunjung tinggi hak asasi seseorang lebih memilih pendekatan due process. Implikasi pendekatan ini adalah bahwa negara kita lebih mendahulukan pola-pola penanganan perkara yang cepat, represif dan cenderung mengesampingkan hak asasi seseorang, berkebalikan dengan sistem hukum Australia yang memilih sistem berbeda.
Perbedaan dari sisi hukum acara tersebut menjadi bara yang terus menyala melalui penolakan masyarakat Australia terhadap sistem peradilan yang mengadili Corby. Pers Australia terus menyiramkan bensin ke tengah publik Australia melalui pemberitaan-pemberitaan tentang sistem peradilan yang korup, berat sebelah dan jauh dari rasa keadilan. Perdebatan tertulis antara Penuntut Umum dan Penasihat Hukum dipandang sebagai sandiwara yang telah disusun skenarionya. Maka kasus Corby kemudian dipahami publik Australia sebagai perkara dimana raksasa kasar yang tidak berperikemanusiaan hendak memangsa seorang putri kecil yang tidak bersalah.
Ketika Corby ditangkap pada 8 Oktober 2004, jagat hukum kita tersentak. Ternyata mekanisme pembuktian perbuatan pidana yang selama ini kita jalankan, memiliki celah hukum yag sedemikian menganga. Selama ini, pembuktian perbuatan dalam suatu perkara Narkotika merujuk kepada teori monistis yang sebenarnya sudah tidak up to date. Teori Monistis adalah teori yang menggabungkan perbuatan materiil dengan pertanggungjawaban pidana. Pada teori ini, pertanggungjawaban pidana dilihat dalam kaitannya dengan perbuatan materiil. Dengan adanya kesalahan, maka proses persidangan segera bergerak menuju kepada pemidanaan. Model inilah kemudian yang masyhur dalam dunia teori hukum sebagai “Tiada pidana tanpa kesalahan”. Dalam perkara Corby, pertanggungjawaban pidana dianggap telah terpenuhi dengan adanya perbuatan materiil berupa temuan ganja seberat 4,1 kg netto dalam tas bogie board miliknya. Pandangan yang dianut oleh Penuntut Umum dan diamini oleh Judex factie maupun Judex juris ini berimplikasi pada tidak perlunya dibuktikan bagaimana dan dengan modus seperti apa, barang bukti berupa ganja tersebut masuk ke dalam tas Corby. Pandangan tersebut juga menutupi celah-celah yang mungkin saja terjadi seperti adanya pihak lain yang memasukkan ganja ke dalam tas Corby atau yang sekarang marak dikenal sebagai dugaan rekayasa kasus (lihat putusan MA terbaru).
foto : nefosnews.com
Lawan dari teori Monistis adalah teori Dualistis yaitu teori yang secara tegas memisahkan perbuatan pidana dari pertanggungjawaban pidana. Dalam teori ini, ketika seseorang terbukti melakukan perbuatan materiil, tidak serta merta pelakunya langsung dijatuhi pidana/hukuman. Harus ada benang merah yang menghubungkan antara perbuatan materiil tersebut (actus reus) dengan sikap batin (mens rea) yang menjelaskan lahirnya “kesalahan”. Teori Dualistis juga menjelaskan bahwa seseorang yang telah terbukti melakukan kesalahan masih harus diteliti kembali apakah orang tersebut memiliki pertanggungjawaban pidana atau mempunyai alasan untuk melakukannya sebelum kemudian bergerak menuju “pidana”. Perbuatan pidana kemudian dipahami tidak sekedar mencocoki rumusan sebagaimana tertera dalam undang-undang namun lebih jauh dari itu juga harus mampu menjelaskan adanya alasan yang rasional mengapa perbuatan itu kemudian dilakukan.
Melakukan suatu tindak pidana, tidak selalu berarti pembuatnya bersalah atas hal itu. Untuk dapat mempertanggung-jawabkan seseorang dalam hukum pidana diperlukan syarat-syarat untuk dapat mengenakan pidana terhadapnya, Selain telah melakukan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana hanya dapat dituntut ketika tindak pidana dilakukan dengan kesalahan dan penentuan adanya kesalahan dan pertanggung jawaban pidana, tidak hanya ditentukan dari terpenuhinya seluruh isi rumusan tindak pidana. (Dr. Chairul Huda, SH, MH., Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan menuju kepada Tiada Pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan, Jakarta, Kencana 2006).
Dalam perkara Corby, Penuntut Umum dan juga Majelis Hakim setelah mendapati adanya perbuatan material berupa penyimpanan ganja dalam tas Corby, harus bergerak menuju ke alasan dan modus mengapa ganja tersebut berada dalam tas. Hal-hal ini akan banyak bergantung pada proses penyidikan. Ketika penyidikan berlangsung, penyidik harus mampu menyusun konstruksi kejadian yang rasional dan didukung alat-alat bukti yang menjelaskan motif dan modus yang dilakukan Corby ketika meletakkan ganja dalam tasnya. Konstruksi itu akan diambil alih oleh Penuntut Umum dalam menjelaskan ke hadapan persidangan dan di depan publik.
Tanpa membuktikan adanya motif dan modus dalam suatu perbuatan pidana maka penegakan hukum hanya akan bergantung pada operasi tangkap tangan yang rawan akan rekayasa.
 Cangkringan, kaki gunung merapi DIY, 10 Feb 2014 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar