foto : yustisi.com |
Pembicaraan tentang
Schapelle Leigh Corby beberapa hari ini begitu memenuhi ruang-ruang publik. Pro
dan kontra mengenai pembebasan bersyaratnya begitu massif merasuk hingga ke
kamar tidur warga. Mulai dari pejabat tinggi hingga rakyat jelata memperbincangkan
dara asal negeri jiran di selatan itu. Materi pembahasan juga begitu beragam
mulai dari sisi kemanusiaan, hubungan antar negara, kecantikan dan sikap
terhadap para pengguna narkoba.
Bagi saya, Corby tidak
sekedar perempuan berparas cantik yang dengan senyumnya membuat hubungan
Indonesia dan Australia ketar-ketir. Corby juga bukan sekedar wanita muda yang
menjadi kembang LP Kerobokan Denpasar. Corby ketika dalam persidangan di PN
Denpasar adalah perlambang betapa ruwet dan kompleksnya dunia hukum pidana.
Bahkan Corby juga menjadi materi perbandingan sistem hukum acara pidana antar
dunia hukum pidana Indonesia dan Australia.
Sebagaimana diketahui bersama,
Indonesia dan Australia memiliki dua sistem hukum yang berbeda. Kalau Indonesia
menganut sistem civil law (eropa kontinental), Australia memilih pijakan common
law (anglo saxon). Sistem hukum kita (utamanya penegakan hukum terhadap narkotika)
menganut prinsip crime control sedangkan Australia yang menjunjung tinggi hak
asasi seseorang lebih memilih pendekatan due process. Implikasi pendekatan ini
adalah bahwa negara kita lebih mendahulukan pola-pola penanganan perkara yang
cepat, represif dan cenderung mengesampingkan hak asasi seseorang, berkebalikan
dengan sistem hukum Australia yang memilih sistem berbeda.
Perbedaan dari sisi hukum
acara tersebut menjadi bara yang terus menyala melalui penolakan masyarakat
Australia terhadap sistem peradilan yang mengadili Corby. Pers Australia terus
menyiramkan bensin ke tengah publik Australia melalui pemberitaan-pemberitaan
tentang sistem peradilan yang korup, berat sebelah dan jauh dari rasa keadilan.
Perdebatan tertulis antara Penuntut Umum dan Penasihat Hukum dipandang sebagai
sandiwara yang telah disusun skenarionya. Maka kasus Corby kemudian dipahami publik
Australia sebagai perkara dimana raksasa kasar yang tidak berperikemanusiaan
hendak memangsa seorang putri kecil yang tidak bersalah.
Ketika Corby ditangkap
pada 8 Oktober 2004, jagat hukum kita tersentak. Ternyata mekanisme pembuktian
perbuatan pidana yang selama ini kita jalankan, memiliki celah hukum yag
sedemikian menganga. Selama ini, pembuktian perbuatan dalam suatu perkara
Narkotika merujuk kepada teori monistis yang sebenarnya sudah tidak up to date.
Teori Monistis adalah teori yang menggabungkan perbuatan materiil dengan
pertanggungjawaban pidana. Pada teori ini, pertanggungjawaban pidana dilihat
dalam kaitannya dengan perbuatan materiil. Dengan adanya kesalahan, maka proses
persidangan segera bergerak menuju kepada pemidanaan. Model inilah kemudian
yang masyhur dalam dunia teori hukum sebagai “Tiada pidana tanpa kesalahan”. Dalam
perkara Corby, pertanggungjawaban pidana dianggap telah terpenuhi dengan adanya
perbuatan materiil berupa temuan ganja seberat 4,1 kg netto dalam tas bogie
board miliknya. Pandangan yang dianut oleh Penuntut Umum dan diamini oleh Judex
factie maupun Judex juris ini berimplikasi pada tidak perlunya dibuktikan
bagaimana dan dengan modus seperti apa, barang bukti berupa ganja tersebut masuk
ke dalam tas Corby. Pandangan tersebut juga menutupi celah-celah yang mungkin
saja terjadi seperti adanya pihak lain yang memasukkan ganja ke dalam tas Corby
atau yang sekarang marak dikenal sebagai dugaan rekayasa kasus (lihat putusan
MA terbaru).
foto : nefosnews.com |
Lawan dari teori Monistis
adalah teori Dualistis yaitu teori yang secara tegas memisahkan perbuatan
pidana dari pertanggungjawaban pidana. Dalam teori ini, ketika seseorang
terbukti melakukan perbuatan materiil, tidak serta merta pelakunya langsung dijatuhi
pidana/hukuman. Harus ada benang merah yang menghubungkan antara perbuatan
materiil tersebut (actus reus) dengan sikap batin (mens rea) yang menjelaskan
lahirnya “kesalahan”. Teori Dualistis juga menjelaskan bahwa seseorang yang
telah terbukti melakukan kesalahan masih harus diteliti kembali apakah orang
tersebut memiliki pertanggungjawaban pidana atau mempunyai alasan untuk
melakukannya sebelum kemudian bergerak menuju “pidana”. Perbuatan pidana
kemudian dipahami tidak sekedar mencocoki rumusan sebagaimana tertera dalam
undang-undang namun lebih jauh dari itu juga harus mampu menjelaskan adanya
alasan yang rasional mengapa perbuatan itu kemudian dilakukan.
Melakukan suatu tindak pidana, tidak selalu berarti
pembuatnya bersalah atas hal itu. Untuk dapat mempertanggung-jawabkan seseorang
dalam hukum pidana diperlukan syarat-syarat untuk dapat mengenakan pidana terhadapnya,
Selain telah melakukan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana hanya dapat
dituntut ketika tindak pidana dilakukan dengan kesalahan dan penentuan adanya
kesalahan dan pertanggung jawaban pidana, tidak hanya ditentukan dari
terpenuhinya seluruh isi rumusan tindak pidana. (Dr. Chairul Huda, SH, MH.,
Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan menuju kepada Tiada Pertanggungjawaban pidana
tanpa kesalahan, Jakarta, Kencana 2006).
Dalam perkara Corby, Penuntut Umum dan juga Majelis
Hakim setelah mendapati adanya perbuatan material berupa penyimpanan ganja
dalam tas Corby, harus bergerak menuju ke alasan dan modus mengapa ganja
tersebut berada dalam tas. Hal-hal ini akan banyak bergantung pada proses
penyidikan. Ketika penyidikan berlangsung, penyidik harus mampu menyusun
konstruksi kejadian yang rasional dan didukung alat-alat bukti yang menjelaskan
motif dan modus yang dilakukan Corby ketika meletakkan ganja dalam tasnya. Konstruksi
itu akan diambil alih oleh Penuntut Umum dalam menjelaskan ke hadapan
persidangan dan di depan publik.
Tanpa membuktikan adanya motif dan modus dalam suatu
perbuatan pidana maka penegakan hukum hanya akan bergantung pada operasi
tangkap tangan yang rawan akan rekayasa.
Cangkringan, kaki gunung merapi DIY,
10 Feb 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar