DR. Abdul Malik Gismar |
Materi lain yang tidak kalah menarik dalam Diklat Manajemen
Peradilan Pidana I di Jakarta Center for Law Enforcement Cooperation (JCLEC)
Semarang tanggal 5 hingga 9 Maret 2012 adalah materi Psikologi dalam Sistem
Peradilan Pidana. Materi tersebut dibawakan dengan sangat apik oleh DR. Abdul Malik Gismar, seorang
akademisi dari Universitas Paramadina sekaligus penggiat organisasi
“Kemitraan”.
Pada awal paparannya, DR. Abdul Malik Gismar menunjukkan
bagaimana globalisasi dan perubahan zaman terus bergerak membawa dunia ke
depan. Informasi dan komunikasi telah melenyapkan
sekat-sekat negara dan menyatukannya dalam suatu pandangan. Trend menuju
peradaban yang lebih bermartabat juga sampai ke Indonesia. Pada tataran yang
lebih kasat mata, dimana-mana mulai ditemukan antrian masyarakat di ruang-ruang
publik. Sifat “antri” ini merupakan salah satu indikator sederhana bahwa
masyarakat ingin lebih tertib dan menghindari budaya ketidakteraturan yang
selama ini membudaya di negara kita.
Pemaparan yang menggabungkan antara metode visual
(melalui video derap dunia yang semakin cepat), metode dialog dan game-game
psikologi menjadi menarik dalam rangka membongkar kejumudan berpikir peserta.
Kejumudan ini lalu digantikan dengan konsep-konsep baru yang lebih
mengedepankan kebersamaan, kesatuan dan kesepahaman antar lembaga.
Pada konsep yang lebih integratif antar institusi
penegakan hukum, sifat keteraturan itu harus menjadi salah satu katalisator dalam
mengeratkan hubungan antar lembaga. Apa yang selama ini menjadi ego sektoral
harus dikesampingkan dan diganti dengan hubungan saling kepercayaan. Tentu saja
pola hubungan antar lembaga itu harus berubah dari hubungan yang independen
menjadi hubungan yang interdependen. Saling membantu menjadi kata kunci karena
keberhasilan setiap sub sistem peradilan pidana juga akan menjadi keberhasilan
sub sistem lain.
DR. Abdul
Malik Gismar mencoba mengajak berpikir “out of
the box”. Dalam artian, beliau mengajak setiap penegak hukum keluar dari
pola pikir yang selama ini dipakai, melalui upaya-upaya mengeratkan komunikasi
dan mengesampingkan ego sektoral setiap institusi. Penekanan pada upaya
membongkar Konsep ego sektoral ini karena tidak dapat dipungkiri masih menjadi
bagian dari setiap lembaga meskipun keberadaannya seringkali dipungkiri.
Konsep ini juga bersesuaian dengan konsep pribadi dari
Alfred Adler tentang tujuan final manusia. Ada 3 tahap dalam pemikiran Adler
tentang tujuan final manusia, yakni: menjadi agresif, menjadi berkuasa, dan
menjadi superior. Superior adalah perjuangan menuju ke arah kesempurnaan. Dari
lahir sampai mati, perjuangan ke arah superioritas itu membawa sang pribadi ke
satu tahap perkembangan ke perkembangan berikutnya yang lebih tinggi.
Eksistensi lembaga penegakan hukum di Indonesia, secara
internal boleh jadi juga mengadopsi konsep Adler untuk menjadi superior. Hal
itu tercermin dengan berusaha memperkuat kewenangan masing-masing sambil
berusaha mengikis kewenangan lembaga lain. Upaya memperkuat kewenangan lembaga
tersebut pada gilirannya bermuara pada menjadikan lembaganya sendiri sebagai
pusat penegakan hukum sekaligus mengingkari keberagaman dan konsep pemisahan
kekuasaan. Ini mengingatkan pada isi surat John Emerich Edward Dalberg Acton
atau Lord Acton kepada Uskup Mandell Creighton di tahun 1887, “power tends to corrupt, and absolute power
corrupts absolutely”.
Sebagai bahan perbandingan, DR. Abdul Malik Gismar memberikan
jenis-jenis Egocentric yang dikutip dari buku Critical Thinking karya Richard Paul
dan Linda Elder, khususnya pada bab Pathological
Tendencies of the Human Mind, yaitu :
1. Egocentric memory : kecenderungan alamiah untuk
“melupakan” bukti dan informasi yang tidak mendukung pendapat dan “meningat”
bukti dan informasi yang mendukung.
Cara mengoreksinya :
Dengan secara terbuka mencari bukti dan informasi yang tidak mendukung
pendapat dan secara eksplisit mengarahkan perhatian pada bukti dan informasi
tersebut.
Bila anda coba dan tidak menemukan bukti dan informasi seperti itu ,
asumsikanlah bahwa anda belum mencarinya secara benar.
2. Egocentric myopia : kecenderungan alamiah untuk
berpikir “absolut” dalam sudut pandang yang sangat sempit.
Cara mengoreksinya :
Secara rutin berpikir dengan sudut pandang yang bertentangan dengan
sudut pandang kita
Bila anda tidak menemukan prasangka-prasangka pribadi dalam proses ini,
pertanyakanlah apakah anda telah dengan jujur (in good faith) mencobanya
3. Egocentric rightteousness :
Kecenderungan alamiah untuk merasa lebih baik atau “superior” karena yakin
benar, padahal tidak
Cara mengoreksinya :
Secara berkala mengingatkan diri mengenai betapa sedikit sebenarnya yang
kita ketahui. Coba list/daftar pertanyaan-pertanyyan yang tak terjawab.
Bila daftar ini pendek, apalagi kosong, anda perlu meragukan cara anda
bertanya.
4. Egocentric hypocrisy : Kecenderungan alamiah untuk
tidak menghiraukan inkosistensi—misalnya antara kata dan perbuatan; atau antara
standar yang kita pakai untuk diri sendiri dengan yang kita terapkan untuk orang lain.
Cara mengoreksinya :
Secara berkala membandingkan standar yang kita pakai untuk diri sendiri
dengan yang kita terapkan untuk orang lain
Bila anda tidak menemukan inkosistensi dalam pikiran ataupun dalam
perilaku anda, bertanyalah apakah anda sudah bertanya/menggalinya cukup dalam
5. Egocentric simplification :
Kecenderungan alamiah uintuk mengabaikan kompleksitas masalah dengan lebih
memilih pandangan yang simplistik bila kompleksitas tadi mengharuskan untuk
mengubah pendapat
Cara mengoreksinya :
Secara reguler memfokuskan pikiran pada kompleksitas masalah, secara
eksplisit memformulasikannya dalam kata-kata
Bila anda tidak menemukan bahwa anda telah menyederhanakan banyak
masalah penting, bertanyalah apakah anda telah benar-benar mengkonfrontasi diri
anda dengan kompleksitas dalam masalah yang anda hadapi.
6. Egocentric blindness : Kecenderungan alamiah untuk
tidak memperhatikan fakta dan bukti yang
berlawanan dengan kepercayaan dan nilai-nilai kita
Cara mengoreksinya :
Secara eksplisit mencari fakta dan bukti tersebut.
Bila anda tidak mendapati diri anda mengalami keresahan dalam mencari
fakta dan bukti ini, maka anda perlu bertanya, apakah anda telah secara serius
menanggapi fakta dan bukti ini
Bila anda dapati bahwa semua kepercayaan-kepercayaan anda benar sejak
awalnya, maka mungkin anda telah secara canggih “mengelabui” diri anda sendiri.
7. Egocentric immediacy : kecenderungan alamiah untuk
“overgeneralize” perasaan dan pengalaman sesaat, sehingga pandangan sangat
diwarnai olehnya.
Cara mengoreksinya :
Meletakkan hal-hal positif dan negatif yang kita dapati dalam perspektif
yang lebih besar. Untuk yang negatif, ingatkan diri anda bahwa situasi bisa
lebih buruk lagi; untuk yang positif, ingatkan bahwa masih banyak yang perlu
anda capai.
Anda ‘OK” bila dalam situasi apapun masih memiliki energi untuk lanjut;
anda tidak “OK” dan menjadi korban emosi
sesaat bila anda tak mampu melakukan apa-apa lagi (immobilized).
8. Egocentric absurdity : kecenderungan alami untuk gagal melihat
pemikiran yang telah memiliki konsekuensi “absurd”
Tentu saja kita boleh menerima ataupun menolak kedelapan macam Egocentric
tersebut. Namun satu hal yang tidak boleh kita lupakan dalam membangun kerangka
hubungan yang lebih baik antar setiap lembaga penegakan hukum adalah bekerja
jujur, profesional dan proporsional. Sebagaimana bait sebuah lagu lawas, “jangan
ada dusta diantara kita”.