Penegak hukum memiliki kewenangan untuk melakukan
tindakan pemolisian sebagai “senjata” dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari.
Tindakan pemolisian itu dapat berwujud tindakan pemeriksaan, penangkapan,
penahanan, penyitaan dan penggeledahan. Pada lingkup yang lebih luas, tindakan
itu mencakup pula tindakan pencekalan dan penangkalan. Dalam KUHAP, tindakan
pemolisian (minus pencekalan dan penangkalan yang diatur dalam UU No. 6 tahun
2011 tentang Imigrasi) tersebut dilakukan oleh Penyidik dan atau penyelidik
(atas perintah penyidik). Kewenangan melakukan tindakan pemolisian adalah
satu-satunya pembeda antara penegak hukum dengan institusi lain dalam khazanah
eksekutif negara.
Meskipun merupakan bagian dari kewenangan penegak hukum,
tindakan pemolisian tidak dapat dilakukan secara serampangan karena berkaitan
dengan hak-hak asasi manusia/warga negara. Setiap tindakan pemolisian harus
dilakukan atas dasar yang logis dan sesuai dengan aturan perundang-undangan
yang ada. Dalam pertimbangan putusan hakim pada praperadilan kasus sisminbakum dengan
tersangka Romli Atmasasmita, Majelis
Hakim mendalilkan bahwa setiap tindakan pemolisian selain harus memenuhi
ketentuan perundang-undangan, juga harus memiliki alasan rasional yang obyektif
dan diterima akal sehat. Tindakan pemolisian tidak boleh didasarkan pada faktor
like dan dislike yang cenderung subyektif dan tidak memiliki parameter yang
jelas. Intinya, kewenangan yang dilakukan secara serampangan dan tidak
terkontrol akan menghasilkan tindakan yang sewenang-wenang.
Kapan suatu tindakan
pemolisian dapat dilakukan terhadap seseorang ? Apakah ada batasan atau limitasi yang
mengawali atau mengakhiri suatu tindakan pemolisian ? Apakah tindakan
pemolisian yang sewenang-wenang dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan atau
pelanggaran ? Hal-hal menarik ini sampai sekarang masih merupakan wilayah
abu-abu yang membingkai kebingungan masyarakat dalam memahaminya.
Suati tindakan pemolisian
erat kaitannya dengan upaya paksa. Dalam pelaksanaan tindakan upaya paksa,
penyidik memiliki alasan pembenar sehingga tuduhan pelanggaran HAM dapat
dikesampingkan.
Kalau diperhatikan dengan
seksama, setiap bentuk upaya paksa dalam tindakan pemolisian seperti
penangkapan, penahanan, penyitaan dan penggeledahan selalu didahului dengan
kata-kata “tindakan penyidik”. Ini memberikan pesan bahwa tindakan tersebut
hanya dapat dilakukan oleh penyidik dan tindakan tersebut dilakukan dalam
kerangka penyidikan. Tentu saja dalam konteks ini, dasar dari suatu penyidikan adalah
surat perintah penyidikan. Dalam surat perintah penyidikan, terkandung maksud
untuk mencari serta mengumpulkan bukti guna membuat terang tentang tindak
pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Kalau penyitaan dilakukan
terhadap benda yang berkaitan dengan tersangka, maka tindakan penangkapan,
penahanan dan penggeledahan dilakukan dalam kaitannya dengan diri tersangka.
Hanya saja, yang secara tegas menyebut “tersangka” adalah tindakan penahanan
(Pasal 20 KUHAP) sedangkan tindakan penangkapan dan penggeledahan tidak secara
khusus menyebut tersangka. Meskipun demikian, karena didahului dengan kata-kata
“tindakan penyidik” maka upaya paksa tersebut harus dipahami dalam kerangka pengumpulan
bukti sebagaimana dimaksud oleh “penyidikan”.
Dalam konteks upaya paksa
ini, ada dua peraturan yang secara tegas membolehkan adanya upaya paksa
meskipun tahapan penanganannya belum sampai ke tahap penyidikan. Kedua
peraturan itu ada dalam Undang-undang tindak pidana pencucian uang dan
undang-undang imigrasi.
Dalam
UU TP Pencucian Uang, dibolehkan adanya upaya penundaan transaksi dan
pemblokiran harta kekayaan. Kedua tindakan tersebut tentu saja termasuk
tindakan pelanggaran terhadap HAM. Ini merupakan pelanggaran terhadap
konstitusi khususnya Pasal 28A UUD 1945, yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk
hidup serta berhak untuk mempertahankan hidup dan kehidupan”. Dapat dibayangkan
betapa bingungnya seseorang yang tidak paham apa kesalahannya tiba-tiba
transaksi keuangannya dihentikan atau harta kekayaannya di blokir.
Mungkin
karena menyadari bahwa pelaksanaan kedua hal tersebut sangat urgen dan
berkaitan dengan nilai ekonomis yang mudah berubah dalam hitungan detik serta
agar tidak frontal menentang perlindungan hak asasi manusia, sejak awal
pembentuk undang-undang menetapkan limitasi waktu. Terhadap penundaan transaksi
hanya diberi waktu 5 hari sedangkan terhadap pemblokiran disediakan waktu 30
hari. Setelah jangka waktu tersebut maka pemblokiran harus segera dibatalkan demi
hukum.
Upaya
paksa lain sebelum tahap penyidikan dapat ditemukan dalam UU No. 6 tahun 2011
tentang Imigrasi terdapat dalam pasal 16 ayat (1) b yang berbunyi : “Pejabat Imigrasi
menolak orang untuk keluar Wilayah Indonesia dalam hal orang tersebut: ... (b) diperlukan
untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan atas permintaan pejabat yang berwenang”.
Terhadap hal ini, Mahkamah
Konstitusi telah membatalkan kata “penyelidikan dan” dengan pertimbangan :
”Mahkamah berpendapat penyelidikan itu
masih dalam tahapan yang dilakukan oleh penyelidik dalam rangka menentukan ada
atau tidak adanya suatu tindak pidana dalam kasus tertentu dan untuk mencari
buktibukti awal untuk menentukan siapa pelakunya. Oleh karena itu, penolakan
terhadap seseorang untuk keluar wilayah Indonesia ketika statusnya belum pasti
menjadi tersangka dalam suatu tindak pidana karena masih dalam tahap
penyelidikan akan mudah dijadikan alasan untuk menghalangi gerak seseorang
untuk keluar negeri. Lagipula dalam tahap penyelidikan, seseorang belum
mengetahui apakah dirinya sedang dalam proses penyelidikan atau tidak dan
proses penyelidikan itu tidak ada jangka waktu yang pasti sehingga tidak
diketahui kapan harus berakhir. Mencegah seseorang untuk ke luar negeri dalam
tahap tersebut dapat disalahgunakan untuk kepentingan di luar kepentingan penegakan
hukum sehingga melanggar hak seseorang yang dijamin oleh konstitusi yaitu hak
yang ditentukan dalam Pasal 28E UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang bebas
memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan
pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal
di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”. Ketentuan a
quo juga melanggar ketentuan konstitusi yang mewajibkan negara memberikan
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama
di hadapan hukum, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945”.
Putusan
Nomor 40/PUU-IX/2011 yang
dikeluarkan tanggal 8 Februari 2012 tersebut merupakan angin segar bagi para
pemerhati Hak Asasi Manusia karena dengan demikian dapat mengeliminir upaya
kesewenang-wenangan penegak hukum dalam melakukan upaya paksa berupa pencegahan
warga negara Indonesia ke luar negeri.
|
Sampul buku karya OC. Kaligis |
Tentu
belum lepas dari ingatan kita betapa dahulu pencekalan terhadap Anggoro Wijoyo
dan Joko S. Candra oleh KPK menjadi polemik yang berkepanjangan hingga berujung
pada penetapan Candra M. Hamzah dan Bibit Samad Riyanto, dua pimpinan KPK
menjadi tersangka oleh Kepolisian. Kedua pimpinan KPK tersebut menandatangani
surat pencekalan terhadap Anggoro Wijoyo dan Joko S. Candra di tengah kuatnya
harapan publik atas pelaksanaan UU yang mengamanatkan kepemimpinan KPK bersifat
kolektif kolegial.
Dalam
aturan perundang-undangan yang berlaku, tidak ada aturan yang secara khusus
mengatur dan memberikan sanksi terhadap seorang penegak hukum yang
menyalahgunakan kewenangannya. Aturan tentang penyalahgunaan kewenangan yang
selama ini dikenal masyarakat hanya berkaitan bilamana timbul kerugian keuangan
negara sebagaimana diatur dalam UU Tipikor. Sedangkan dalam hal tidak ada
kerugian negara, atau hanya merugikan orang secara individual/kelompok, maka
aturannya malah tidak jelas. Dalam hal penahanan yang dilakukan secara
sewenang-wenang, paling jauh hanya dapat dikenakan Pasal 328 atau Pasal 333
tentang Perampasan Kemerdekaan.
Negara
memang menyediakan mekanisme praperadilan, namun output
praperadilan hanya merujuk secara khusus pada korban/penggugat. Tidak ada
hukuman secara pidana yang dapat dikenakan pada penegak hukum meski secara
terang-terangan telah terjadi penyalahgunaan kewenangan yang berakibat merugikan
orang lain.
Dari
sisi aturan, negara ini tertinggal, padahal dalam Deklarasi tentang
Prinsip-prinsip dasar keadilan bagi korban kejahatan dan penyalahgunaan
kekuasaan sesuai Resolusi Majelis
Umum PBB No. 40/43 tanggal 29 Nopember 1985, disebutkan bahwa Korban adalah
orang yang secara individual atau kolektif menderita kerugian, termasuk luka
fisik atau mental, penderitaan emosional, kehilangan ekonomi atau pelanggaran
terhadap pokok-pokok hak dasar mereka, melalui perbuatan-perbuatan atau
kelalaian yang meskipun belum dianggap pelanggaran undang-undang pidana nasional
namun diakui secara internasional berkaitan dengan norma-norma hak asasi
manusia.
Dari Deklarasi
Majelis Umum tersebut nampak bahwa siapapun (termasuk penegak hukum) tidak
dapat berlindung dibalik topeng kewenangannya untuk menyakiti atau merugikan
orang lain karena perilaku tersebut telah digolongkan sebagai kejahatan
terhadap hak asasi manusia.
Mungkin
sudah waktunya Negara menyediakan mekanisme pidana sebagai sistem untuk menjaga
agar para penegak hukum tidak terus-menerus memproduksi kesewenang-wenangan
dalam menjalankan kewenangannya.